1. Pengertian Pola Garapan/koreografi
Koreografi adalah melatih daya kreatif seseorang untuk diungkapkan dalam penyusunan tari. Sal Murgianto mengemukakan tentang pemahaman kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh penyusunnya sendiri. Komposisi atau composition berasal dari kata to composeyang artinya, mengatur atau menata bagian-bagian sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berhubungan dan secara bersama membentuk kesatuan yang utuh. Istilah koreografiberbeda dengan komposisi, komposisi lebih luas dan umum penerapannya. Koreografi adalah proses pemilihan dan pengaturan gerakan-gerakan menjadi sebuah tarian, dan di dalamnya terdapat laku kreatif.
Dari pemahaman di atas, koreografi dan komposisi merupakan kerja kreatif dalam mewujudkan karya tari, dan untuk keberhasilannya dibutuhkan acuan ilmu/pengetahuan sebagai bahan pertimbangan, berupa prinsip-prinsip tari agar mendapatkan hasil karya tari yang baik.
Kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas ini bergantung pada pendidikan, pengalaman, selera, perkembangan artistik, pembawaan pribadi, kemampuan kreatif, dan keterampilan teknisnya. Kemampuan membuat keputusan atau kemampuan memilih ide, bahan dan cara-cara pelaksanaan yang sesuai dan menolak yang tidak sesuai dengan kebutuhan kreatif seseorang, biasanya dianggap bersifat intuitif (gerak hati). Namun pada kenyataannya penilaian artistik ini dipengaruhi oleh adanya prinsip-prinsip bentuk seni yang tampaknya dipahami, diakui dan yang membimbing usaha manusia sejak memulai kesenian. Prinsip-prinsip semacam ini tidaklah membeku menjadi sekumpulan aturan kaku yang merumuskan bentuk seni. Akan tetapi, lebih merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka mencapai sebuah komposisi yang memenuhi syarat secara estetis.
Berdasarkan pola garapannya, tari di Indonesia dapat dibagi menjadi dua yakni tari tradisional dan tari kreasi baru. Tari tradisional adalah tarian yang mengalami masa yang cukup lama dan selalu berpola pada kaidah-kaidah (tradisi) yang telah ada. Tari kreasi baru adalah tarian yang tidak berpijak pada kaidah kaidah yang telah ada, tetapi sudah mengarah kepada kebebasan dalam pengungkapannya. Tari tradisional berdasarkan nilai artistik garapannya dibagi menjadi 3 yakni tari primitif, tari rakyat dan tari klasik. Sedangkan tari kreasi baru dibagi menjadi 2 yakni tari kreasi baru yang bersumber pada pola tradisi, dan tari kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi yang ada.
2. Jenis Tari Berdasarkan Pola Garapan
a. Tari Tradisional
Kata tradisi dalam perbincangan umum, sering diartikan sebuah kebiasaan. Tradisi adalah suatu kebiasaan yang sifatnya turun temurun, berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam kurun waktu yang panjang. Didalam suatu tradisi terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat bagi masyrakatnya. Bertitik tolak dari pandangan umum, tari tradisional adalah tarian yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah atau suatu komunitas, sehingga kemudian menciptakan suatu identitas budaya dari masyarakat bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas kemudian dikenal tari-tarian Minang, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan dan sebagainya. Akan tetapi tari tradisi bukan hanya hidup dan berkembang di wilayah asalnya saja, melainkan banyak juga yang berkembang di luar wilayah tersebut. Misalnya tari Aceh, Minang dan Jawa berkembang pula di kota Jakarta. Demikian pula tari Bali juga bisa berkembang di Yogyakarta atau di kota Bandung yang secara geografis bukan wilayah Bali. Tetapi dimanapun tari tradisi berkembang, tarian tersebut bisa dikenali dari ciri-cirinya yang khas, dan diakui berasal dari wilayah asalnya. Ciri-ciri tersebut meliputi unsur gerak, tata rias, busana, dan musik pengiringnya.
Selain dari wilayah geografis etnisnya, tingkatan atau strata sosial budaya suatu kelompok masyarakat ikut pula wewarnai kekhasan kehidupan tarinya. Oleh sebab itu tari-tarian yang tumbuh di lingkungan kaum bangsawan (ningrat) atau istana, bentuk tariannya berbeda dengan tarian yang hidup dalam kalangan rakyat umum di desa-desa. Demikian juga tarian di kota berbeda dengan tarian di desa atau kampung.
Tari tradisional berdasarkan nilai artistik garapannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tari primitif, tari rakyat, dan tari klasik.
1) Tari Primitif
Tari primitif bersifat magis atau sakral dan berciri khas sederhana. Apabila ditinjau dari terminologi primitif berasal dari kata primus (bahasa latin) yang berarti pertama. Dengan demikian tarian ini dapat dikatakan tarian yang paling tua umurnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tarian primitif telah ada semenjak manusia ada di dunia ini, atau boleh dikaitkan hampir seumur manusia. Bentuk-bentuk gerak tarian primitif nampaknya belum digarap komposisinya. Tata busana, tata rias, iringan musiknyapun sangat sederhana, terutama pada tata panggung dengan segala perlengkapannya. Pada jaman dahulu tarian primitif terdapat di mana-mana, di seluruh pelosok dunia yaitu pada jaman prasejarah, tetapi sekarang hanya terdapat di suku pedalaman yang masih menjalankan tata kehidupan masyarakat primitif. Tarian ini hanya diselenggarakan pada upacara-upacara adat dan agama. Gerak tariannya sangat sederhana, yaitu merupakan desain-desain global, yang hanya berupa depakan-depakan kaki, loncatan-loncatan, langkah-langkah dan gerakan anggota badan tertentu saja.Bentuk tari-tarian mereka masih sederhana pula sesuai instrumen musik pengiringnya yang sederhana dan hanya terdapat satu macam instrumen musik. Tari-tarian mereka hanya menirukan gerak alam dengan gerakan tangan, kepala, serta depakan kaki.
Tari primitif lebih mengutamakan ungkapan ekspresi kehendak atau keyakinan dari pada artistiknya.
Oleh karenanya gerak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu saja. Fungsi tari tersebut untuk upacara kelahiran, upacara akil balig, upacara perkawinan, menyambut tamu, kematian, akan melakukan perburuan, untuk mendatangkan hujan (untuk kesuburan), akan melakukan peperangan, untuk menyambut kemenangan dan sebagainya. Musik pengiringnya sangat sederhana sekali, dengan ritme yang berulang-ulang sehingga sangat mudah untuk diikuti oleh penari-penarinya. Ritme yang demikian ini berlangsung sangat lama yang mengakibatkan penari makin menyatu dengan ritme tersebut sehingga terjadi gerakan di bawah sadar yakni menimbulkan daya magis dan akhirnya penari menjadi trance (kerasukan). Dalam keadaan demikian ini biasanya penari-penari tersebut mempunyai kekuatan kekuatan di luar kemampuan manusia biasa seperti menyembuhkan penyakit, tak terluka dengan senjata tajam, tak hangus oleh api, bisa menari sangat indah dan menarik.
Instrumen pengiring jumlahnya tidak banyak, kadang kala hanya berupa kentongan saja, gendang, genta, sungu, terompet yang terbuat dari bambu, kayu, kulit keong dan sebagainya, bahkan sering hanya diiringidengan gerakan-gerakan kaki, tepukan tangan, nyanyian, dan teriakan-teriakan saja.
(a) Tari Kataga (Nusa Tenggara Timur)
Tari Kataga diselenggarakan sebelum maju ke medan perang sebagai sarana untuk menggugah semangat para ksatria yang akan maju ke medan perang. Dalam tarian ini seorang penghulu membawakan syair-syair yang mengkisahkan sebab-sebab perang sampai terjadinya perang, serta menjelaskan bahwa pihak yang benar selalu akan menang. Pembacaan syair-syair ini diikuti gerak-gerak tari yang indah yang diiringi oleh instrumen musik yang berupa gong dan kendang. Para penari membawa senjata perang berupa pedang dan perisai.
(b) Tari Perang (Irian Jaya)
Tari perang oleh orang Irian Jaya dilakukan pada upacara akan berangkat ke medan perang, dengan harapan agar dalam perang nanti musuhnya dapat dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak kelihatan yang terdapat pada tari tersebut. Oleh orang-orang Timorini tari perang ini digunakan pula untuk mengusir maklhuk halus yang mereka sebut kugi.Kugi ini sering mengganggu kampung dan biasanya menimbulkan wabah penyakit menular, orang-orang Timorini menyelenggarakan tari perang yang dilakukan oleh penari-penari pria yang berpakaian perang dan senjata lengkap. Dalam menari mereka juga menyanyi. Para penari berjalan berbaris mengelilingi kampung serta diiringi pula oleh hiruk pikuk penduduk yang makin lama makin bertambah ribut, dengan maksud untuk menakut-nakuti kugi agar mau keluar dari kampung yang kena wabah.
2) Tari Rakyat
Tari-tarian rakyat di Indonesia sebenarnya masih bertumpu pada unsur primitif, seperti Sang Hyang dari Bali, Kuda Kepang Jawa, dan sebagainya. Tari rakyat sering berfungsi sebagai tari upacara atau kelengkapan sosial dan juga hiburan dalam kehidupan masyarakat. Ada sebagian tari rakyat yang penyajiannya langsung terkait dengan upacara ritual. Dalam hal ini tempat dan waktu upacaranya ditentukan, begitu pula dengan para penarinya, biasanya tarian tersebut bersifat supranatural. Misalnya adanya saji-sajian khusus yang diperuntukkan bagiroh-roh halus yang diyakini oleh mereka memiliki kehidupan, kekuasaan dan kekuatan yang berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakatnya.Tari rakyat lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepemilikan secara kolektif. Budaya kerakyatan sangat kuat peran dan fungsinya di lingkungan masyarakat agraris dan juga masyarakat pesisir. Sistem kehidupan sosial budaya juga selalu terkait dengan sistem kepercayaan dan sistem mata pencaharian (pertanian, perikanan, perdagangan, dan lain-lain). Norma-norma kehidupan kolektif itu merupakan hasil kesepakatan bersama yang berguna untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan alam kehidupan.
Pada perkembangan berikutnya tari rakyat bisa pula dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama sebagai hiburan pada acara pesta atau upacara-upacara sosial kemasyarakatan. Ke dua tarian rakyat yang dikemas secara khusus untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya festival, lomba atau kepentingan lainya yang secara khusus diadakan untuk upaya menumbuh kembangkan serta meningkatkan frekuensi pementasan.
Berikut ini beberapa contoh tari rakyat:
(a) Tari Kuda Kepang (Yogyakarta)
Kuda Kepang (Kuda: kuda, kepang: bambu yang dianyam). Tarian rakyat ini dilakukan oleh laki-laki yang menunggang kuda-kudaan pipih yang terbuat dari anyaman bambu dan dicat. Tungkai-tungkai penari sendiri menciptakan ilusi dari gerakan seekor kuda. Pertunjukan ini dikenal dengan kuda lumping (Jawa Barat), jathilan (Yogyakarta) dan reyog (Jawa Timur). Sering kali seorang penunggang kuda diiringi oleh beberapa pemusik dan seorang yang bertopeng atau tanpa topeng dengan sepucuk cambuk, serta melakukan perjalanan sepanjang kota dan berhenti di sebuah sudut jalan untuk sebuah pertunjukan. Pada sebuah jathilan di Yogyakarta dilengkapi dengan empat buah topeng, dengan menampilkan seorang pelawak mengenakan topeng separo muka berwarna putih, seorang pria dengan topeng hitam, seorang laki-laki liar berwajah merah, dan seorang perempuan bertopeng kuning.
Kerasukan adalah peristiwa dasar dari sebuah pertunjukan Kuda Kepang. Pada permulaan tari para penari tampil teratur, dalam ritme-ritme reguler dan ajeg yang dihasilkan oleh orkes perkusi kecil, pria berkuda itu berderap dalam sebuah lingkaran. Pada pertunjukan berikutnya mereka terbagi menjadi 2 pihak yang seolah-olah terlibat dalam trance (kesurupan) perkelaian. Makin lama ritme-ritme yang menggoda menjadi tegang, dan seorang dari penari ndadi, yaitu kerasukan.
Sering kali suatu itu disebabkan ketika pemimpin mencambuk seorang penunggang kuda dengan sebuah cambuk yang dipercaya telah diisi dengan kekuatan magis dengan cara upacara-upacara pengisian. Penungggang kuda yang kerasukan itu lalu mulai bertingkah seperti seekor kuda. Ia bisa berlari liar, bergelimpangan di tanah, makan rumput, atau batang padi, dan minum air dari sebuah ember di tanah. Seluruh tubuhnya kaku, mataseolah-olah tak tampak, bahkan mungkin melakukanserangan-serangan liar dengan berlari-lari marah dengan menginjak-injakan kakinya terus menerus ketanah.
Tari Kuda Kepangmerupakan tari rakyat yang berasaldari propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tari tersebut ditarikan oleh penari laki-laki dengan menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari bambu ( kudang kepang).
(b) Tari Reyog (Jawa Timur)
Tari Reyog berkembang di daerah Ponorogo yang terdiri dari pemain kuda kepang, reyog, bujangganong, klana sewandono, thetek melek, pentul dan tembem. Cerita yang dibawakan adalah siklus cerita Panji. Panji dalam banyak hal adalah Arjuna Jawa Timur, yaitu seorang pangeran mulia yang ideal, yang tak terkalahkan dalam pertempuran serta yang tak bisa dibendung dalam bercinta.Perjuangan Arjuna berhubungan dengan kesejahteraan Pandawa serta kejayaan atau pengelolaan ketertiban dunia. Tujuan cara berpikir Panji sangat sempit yaitu hanya fokus pada bertemunya kembali dengan mempelai wanita yang sulit dipahaminya yaitu Candrakirana yang cantik (sinar gemerlapan dari bulan), puteri dari Daha Kediri. Cerita-ceritanya penuh dengan hilangnya tokoh secara misterius, transformasi-transformasi, penyamaran, serta kebangkitan, dan roman itu diperkirakan merupakan petualangan-petualangan Panji dalam mencari Candrakirana dan merefleksikan sebuah mitos matahari dan bulan kuna. Sebaliknya nama-nama dari tokoh-tokoh tertentu dari kerajaan-kerajaan utama serta beberapa peristiwa membangkitkan asosiasi tentang Jawa Timur secara historis.
(c) Tari Tayub (Yogyakarta)
Tarian ini diawali dengan orang tua atau sesepuhdesa yang menari dan dilanjutkan dengan penari wanita
(ledek) dan penabuh. Ledek menari dengan posisi lebih tertutup dari pada penari (pengibing).
Tari Tayub yang merupakan tarian rakyat biasanya berkaitan dengan kesuburan tanaman padi. Arti ritual dari kehadiran penariTayub dapat diamati pada beberapa contoh pertunjukan tari Tayub.
Pada awal pertunjukkan penari Tayub meletakkan seuntai tangkai padi di perangkat musik yang memainkan gendhing Sri Boyong. Hal ini menandakan upacara yangmengagungkan dewi Padi yaitu dewi Sri.
Dalam tradisi ini dipercaya bahwa Dewi Sri akan tetap tinggal di desa dan melindungi saat panen padi tiba. Melalui tari Tayub, desa tersebut telah memperbaharui hubungan melalui persembahan kepada Dewi Sri.
Tari Tayub juga ditampilkan dalam upacara perkawinan, yang dipercaya upacara tersebut berkaitan dengan masalah kesuburan. Oleh karena itu penari Tayub menari dengan penari laki-laki. Hal ini melambangkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang secara ritual dipercaya dapat mempengaruhi kesuburan mempelaiwanita.
Tari Tayub dalam upacara panen maupun perkawinan masih sering dilakukan oleh masyarakat Jawa. Hal ini mencerminkan bahwa penari Tayub memiliki peran yang sangat penting dalam ritual, karena melalui upacara ritualtersebut tari Tayub melambangkan kesuburan dan keselamatan.
(4) Tari Angguk
Tari Angguk merupakan tarian rakyat yang ada di kabupaten Kulonprogo propinsi DIY. Tarian rakyat ini bernafaskan Islami dan ditarikan oleh penari perempuan.
(5) Tari Mitis
Tari mitis melambangkan tari kesuburan, yang terdapat di daerah pedalaman Kalimantan Timur. Tarian ini merupakan tarian rakyat.
3) Tari Klasik
Tari Klasik adalah tari yang telah mengalami kristalisasi artistik yang tinggi yang ada semenjak jaman feodal. Tari klasik pasti mempunyai nilai-nilai tradisional, sedangkan tarian tradisional belum tentu mempunyai nilai klasik, karena tari klasik selain berciri tradisional juga memiliki nilai keindahan yang tinggi. Terminologi klasik berasal dari kata latin classic yang berarti golongan masyarakat yang tinggi pada jaman Romawi kuna. Pada jaman Romawi, Tullius membagi masyarakat menjadi 6 golongan berdasarkan atas kekayaannya. Golongan yang terendah disebut Klasproletari dan yang tertinggi disebut kelas Classici. Oleh Aulus Geullius istilah Classici ini dipakai untuk menyebut hasil karya dari pengarang-pengarang bangsa Romawi yang berprestasi atau bermutu tinggi. Kemudian pengarangnya disebut Sciptor Classicus. Berdasarkanpengutaraan mengenai arti klasik dari jaman Romawi itu dapat dikatakan bahwa salah satu khas klasik adalah mengandung nilai keindahan yang tinggi.
Tari Jawa gaya Yogyakarta merupakan contoh tari klasik, sebab tarian tersebut tampak dengan jelas adanya bentuk-bentuk aturan baku yang sangat mengikat. Jenis geraknya sudah ditentukan mulai dari, posisi, komposisi termasuk pakaian dan dialognya pula. Dialog dalam drama tari Jawa berupa jenis suara, yaitu tekanan tinggi, rendah, keras, serta lembut yang telah ditentukan dan ada standar yang mengikat. Tari Jawa gaya Surakarta meskipun masih dapat dikatakan klasik namun sedikit mendekati romantik. Sebenarnya ada standar ataupun pola, baik pada bentuk gerak hubungannya dengan komposisi dan pakaian maupun dialog, namun tidak begitu mengikat. Geraknya lebih gemulai, pakaiannya lebih gemerlapan cahaya warna dan variasinya.Sedangkan dialognya lebih merupakan ekspresi emosi dari si penari yang lebih komunikatf.
Berikut ini contoh beberapa tari Klasik
(a) Tari Bedhaya
Tari Bedhaya adalah tarian puteri yang dibawakan oleh sembilan penari wanita dengan mengenakan busana yang sama. Tari ini mengisahkan sebuah cerita. Tari Bedhaya dahulu merupakan kelengkapan kebesaran sebuah keraton, baik keraton Surakarta maupun keraton Yogyakarta. Tari Bedhaya yang merupakan pelengkap kebesaran seorang raja ini ada satu yang dianggap sakral oleh keraton Surakarta yaitu Bedhaya Ketawang, sedangkan Yogyakarta Bedhaya Semang.
Dari kedua jenis tersebut yang paling dianggap sakral adalah Bedhaya Ketawang yang dipertunjukkan pada peringatan hari ulang tahun penobatan Susuhunan di atas tahta. Dilingkungan istana, Bedhaya Ketawang dipercaya bahwa tarian tersebut diilhami oleh Dewi Laut Selatan, atau Nyai (ratu) Lara Kidul. Ia dikatakan tampil pada raja pertama yaitu Sultan Agung, dan mengungkapakan cintanya kepadanya dengan sebuah lagu yang ia nyanyikan sambil menari dihadapannya. Dewi ini diminta untuk mengajarkan tarinya kepada penari-penari sang raja, supaya sang raja selalu bisa mengenang Dewi Laut Selatan.
Sebuah pertunjukan Bedhaya Ketawang selalu didahului oleh sesaji dan pembakaran kemenyan bagi Ratu Kidul (lazim disebut Kanjeng Ratu Kidul) atau salah seorang bidadarinya dan seorang moyang dinasti sultan yang sedang memerintah.
Bedhaya secara tradisional tampil dalam sebuah kelompok yang beranggotakan sembilan orang. Busana dan hiasan-hiasan mereka adalah busana dari pengantin puteri. Dalam musik serta nyanyian yang mengiringi tari mereka yang lambat, sebuah suara wanita solo biasanya mendahului bagian-bagian koor. Teks dari nyanyian Bedhaya Ketawang dianggap begitu suci, hingga transkripnya dihindari karena takut akan pencemaran akibat kesalahan.
Tema-tema tari Bedhaya sering kali erotis secara puitis, hanya sedikit ungkapan nafsu yang jelas dalam tariannya. Berjalan masuk dan keluar adalah prosesional yang khidmat. Awal dan akhir dari tarian ini sama seperti pada semua tari istana yang lain, terdiri dari gerak-gerak maknawi penyembahan yaitu dari sembah yang ditujukan kepada seorang dewa, yaitu raja dan tamu-tamu terhormat. Sedangkan gerakan yang sederhana dimulai dengan tangan yang terkatup diangkat pada level hidung dan wajah yang sedikit dicondongkan. Namun dalam versi tari sembah selalu ada urutan yang rumit tetapi indah ya dari itu dimulai kepala dan lengan, tangan, dan gerak tubuh, dan parapenari duduk di lantai. Pada saat para penari bangkit dari posisi duduk, mereka tetap pada posisi semula, kemudian berlanjut kesatu gerak yang mengalir dengan lembutdisertai dengan permainan halus dari tangan-tangan molek yang menjimpit dan menjatuhkan, menerpa dan melemparkan ujung-ujung selendang tari mereka yang tergantung bebas.
Ke sembilan penari Bedhaya berbusana sama serta menari dengan teknik yang sama yaitu tari puteri halus yang lembut. Masing-masing penari memiliki nama sendiri-sendiri menurut fungsinya. Di dalam komposisi tari Bedhaya terdiri dari endel pajeg, batak, jangga, dhadha, apit ngajeng, apit wingking, endel wedalan wingking, buntil.
(b) Tari Srimpi
Semua penari Srimpi adalah gadis-gadis keturunan bangsawan, kemenakan, anak kemenakan, bahkan anak-anak perempuan muda atau cucu-cucu perempuan muda dari raja-raja yang memerintah. Pada perkembangannya Srimpi adalah tarian klasik dasar yang ditarikan oleh gadis-gadis Jawa. Di istana kerajaan biasanya Srimpi biasanya ditampilkan dalam kelompok yang beranggotakan empatorang.
Dalam tari Srimpi terdapat versi cerita yang berbeda. Tari srimpi yang lembut disimbolkan sebagai puncak dari sebuah pertempuran dimana kedua belah pihak tidak ada yang menang atau kalah. Di awal pertempuran penari menggunakan keris yang bagus, dilanjutkan dengan menggunakan busur-busur kecil dan anak panah.
Dalam versi yang lain ditampilkan dua penari Srimpi yang menceritakan tentang dua orang puteri yang terlibat dalam sebuah intrik dengan raja Arab. Salah seorang puteri tersebut merencanakan untuk membebaskan kekasihnya dari tahanan, tetapi sang puteri mencurigai yang lain dan merasa dimata-matai bahkan akan digagalkan rencananya untuk membebaskan sang kekasih. Hal ini menyebabkan sang puteri terdorong untuk bertempur atau melawannya.
Tidak seorangpun akan membayangkan bahwapenari-penari Srimpi adalah wanita-wanita berpostur tinggi dan perkasa. Adegan pertama dari pertemuan mereka seindah, secermat, dan selamban seperti pada tari Bedhaya. Keseimbangan tanpa perasaan yang sama serta kelembutan terjaga terus, bahkan selama adegan perang seorang dari puteri-puteri Srimpi itu bergerak disekitarnya dengan langkah-langkah kecil bahkan cepat disekitar lawannya, dimana lawannya terpukul dan berjongkok di lantai.
Srimpi merupakan tari puteri yang dibawakan oleh empat orang penari wanita yang mengenakan busana yang sama, ke empat penari tersebut menari dengan teknik tari puteri yang halus. Walaupun bentuk koreografi tari ini merupakan tari kelompok, tetapi tarian ini merupakan tari duet atau berpasangan yang disusun secara ganda. Tema yang ditampilkan adalah perang tanding yang diambil dari berbagai wiracarita. Misalnya perang antara permadi melawan Suryatmaja, antara Srikandi melawan Larasati, Srikandi melawan Suradewati.
Makna simbolis dari tari Srimpi yang ditarikan oleh empat penari adalah melambangkan empat mata angin, atau jagad raya yang memiliki unsur penting yaitu grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Apabila dikaji lebih dalam, makna angka empat itu adalah kesempurnaan atau keseimbangan. Hal ini sesuai dengan filsafat hidup manusia selalu mencari kesempurnaan atau keseimbangan. Tari Srimpi di Keraton Yogyakarta hanya dipentaskan di bangsal Kencana, sedangkan di Keraton Surakarta di bangsal Sasana Sewaka.
(c) Tari Pendet dari Bali
Tari Pendet merupakan tari yang berfungsi sebagai penjemput para dewa yang datang ke Marcapada dalam upacara odalan. Di Bali tari ini merupakan tari penyambutan para tamu.. Pintu keluar masuk panggung berbentuk seperti gapura lengkung, yang lantainya dibelakang lebih rendah. Kesan yang ditimbulkan oleh pintu keluar masuk yang demikian ini seolah-olah para penari tampil menuju panggung dari sebuah gua, demikian pula apabila mereka keluar meninggalkan pentas, seolah-olah mereka masuk ke dalam gua yang gelap. Tari Pendet dibawakan oleh empat penari gadis berbusana adat dengan sebuah bokor berisi bunga pada masing-masing tangan kanan penari. Gerak mata yang disebut sledet membutuhkan bantuan tekanan bunyi gamelan yang diharapkan bisa memberikan suasana riang dan lembut. Tari Pendet diiringi dengan seperangkat gambelan Gong atau Gong kebyar.
(d) Tari Panyembrama (Bali)
Tari Panyembrama yang dibawakan oleh empat orang gadis merupakan ciptaan dari seorang tokoh Legong keraton I Gusti Raka Saba. Tari ini merupakan salah satu variasi tari penyambutan yang merupakan awal dari pertunjukan sebagai ungkapan selamat datang. Gaya tarinya sangat feminim, dan sesekali pada bagian akhir dari tari ini para penari menaburkan bunga.
b. Tari Kreasi Baru
Secara garis besar tari kreasi baru terdiri dari 2 yaitu tari kreasi baru yang berpijak pada pola tradisi dan tari kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi.
1) Tari kreasi baru berpijak pada pola tradisi
Pada dasarnya tari kreasi baru berpijak pada pola tradisi tetapi konsep penyajiannya berbeda.Meskipun gerak-gerak tari bersumber pada tari tradisi tertentu, tetapi konsep penyajiannya telah dirubah dan disesuaikan dengan konsep ide atau gagasan koreografer. Sebagai contoh tariGambyong dari Surakarta, walaupun tarian tersebut telah mengalami berbagai penggarapan dan gubahan, tetapi prinsip dasar koreografi Gambyong tidak pernah berubah, demikian pula nilai simboliknya. Hanya saja konsep penyajian dan nilai kreativitas bersumber dari gagasan-gagasan pribadi koreografer.
2) Tari Kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi
Tari kreasi baru merupakan ungkapan seni tidak berpolakan pada tradisi, tetapi lebih merupakan garapan baru yang tidak berpijak pada standar yang telah ada, tari kreasi baru ini sering disebut modern. Istilah modern berasal dari kata latin modo yang berarti baru saja. Tari modern sebagai ungkapan rasa bebas, mulai muncul setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sebagai refleksi dari kebebasan manusia dalam segala bidang. Namun Indonesia merupakan negara yang bertradisi kuat dalam bidang tari, sehingga pembaharuan berjalan setapak demi setapak.
Garapan-garapan tari yang bersifat modern tidak identik garapan-garapan imitasi dari neto arat. Segala gerak tari entah itu ditimba dari keadaan sekarang maupun dari aspek-aspek budaya tradisional, dapat dipakai sebagai sumber garapan tari modern. KonsepDasar dituntut pada tari modern adalah kebebasan dalam cara mengungkapkan teknik gerak diatas pentas.
Berikut contoh tari kreasi baru:
Koreografi adalah melatih daya kreatif seseorang untuk diungkapkan dalam penyusunan tari. Sal Murgianto mengemukakan tentang pemahaman kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh penyusunnya sendiri. Komposisi atau composition berasal dari kata to composeyang artinya, mengatur atau menata bagian-bagian sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berhubungan dan secara bersama membentuk kesatuan yang utuh. Istilah koreografiberbeda dengan komposisi, komposisi lebih luas dan umum penerapannya. Koreografi adalah proses pemilihan dan pengaturan gerakan-gerakan menjadi sebuah tarian, dan di dalamnya terdapat laku kreatif.
Dari pemahaman di atas, koreografi dan komposisi merupakan kerja kreatif dalam mewujudkan karya tari, dan untuk keberhasilannya dibutuhkan acuan ilmu/pengetahuan sebagai bahan pertimbangan, berupa prinsip-prinsip tari agar mendapatkan hasil karya tari yang baik.
Kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas ini bergantung pada pendidikan, pengalaman, selera, perkembangan artistik, pembawaan pribadi, kemampuan kreatif, dan keterampilan teknisnya. Kemampuan membuat keputusan atau kemampuan memilih ide, bahan dan cara-cara pelaksanaan yang sesuai dan menolak yang tidak sesuai dengan kebutuhan kreatif seseorang, biasanya dianggap bersifat intuitif (gerak hati). Namun pada kenyataannya penilaian artistik ini dipengaruhi oleh adanya prinsip-prinsip bentuk seni yang tampaknya dipahami, diakui dan yang membimbing usaha manusia sejak memulai kesenian. Prinsip-prinsip semacam ini tidaklah membeku menjadi sekumpulan aturan kaku yang merumuskan bentuk seni. Akan tetapi, lebih merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka mencapai sebuah komposisi yang memenuhi syarat secara estetis.
Berdasarkan pola garapannya, tari di Indonesia dapat dibagi menjadi dua yakni tari tradisional dan tari kreasi baru. Tari tradisional adalah tarian yang mengalami masa yang cukup lama dan selalu berpola pada kaidah-kaidah (tradisi) yang telah ada. Tari kreasi baru adalah tarian yang tidak berpijak pada kaidah kaidah yang telah ada, tetapi sudah mengarah kepada kebebasan dalam pengungkapannya. Tari tradisional berdasarkan nilai artistik garapannya dibagi menjadi 3 yakni tari primitif, tari rakyat dan tari klasik. Sedangkan tari kreasi baru dibagi menjadi 2 yakni tari kreasi baru yang bersumber pada pola tradisi, dan tari kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi yang ada.
2. Jenis Tari Berdasarkan Pola Garapan
a. Tari Tradisional
Kata tradisi dalam perbincangan umum, sering diartikan sebuah kebiasaan. Tradisi adalah suatu kebiasaan yang sifatnya turun temurun, berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam kurun waktu yang panjang. Didalam suatu tradisi terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat bagi masyrakatnya. Bertitik tolak dari pandangan umum, tari tradisional adalah tarian yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah atau suatu komunitas, sehingga kemudian menciptakan suatu identitas budaya dari masyarakat bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas kemudian dikenal tari-tarian Minang, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan dan sebagainya. Akan tetapi tari tradisi bukan hanya hidup dan berkembang di wilayah asalnya saja, melainkan banyak juga yang berkembang di luar wilayah tersebut. Misalnya tari Aceh, Minang dan Jawa berkembang pula di kota Jakarta. Demikian pula tari Bali juga bisa berkembang di Yogyakarta atau di kota Bandung yang secara geografis bukan wilayah Bali. Tetapi dimanapun tari tradisi berkembang, tarian tersebut bisa dikenali dari ciri-cirinya yang khas, dan diakui berasal dari wilayah asalnya. Ciri-ciri tersebut meliputi unsur gerak, tata rias, busana, dan musik pengiringnya.
Selain dari wilayah geografis etnisnya, tingkatan atau strata sosial budaya suatu kelompok masyarakat ikut pula wewarnai kekhasan kehidupan tarinya. Oleh sebab itu tari-tarian yang tumbuh di lingkungan kaum bangsawan (ningrat) atau istana, bentuk tariannya berbeda dengan tarian yang hidup dalam kalangan rakyat umum di desa-desa. Demikian juga tarian di kota berbeda dengan tarian di desa atau kampung.
Tari tradisional berdasarkan nilai artistik garapannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tari primitif, tari rakyat, dan tari klasik.
1) Tari Primitif
Tari primitif bersifat magis atau sakral dan berciri khas sederhana. Apabila ditinjau dari terminologi primitif berasal dari kata primus (bahasa latin) yang berarti pertama. Dengan demikian tarian ini dapat dikatakan tarian yang paling tua umurnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tarian primitif telah ada semenjak manusia ada di dunia ini, atau boleh dikaitkan hampir seumur manusia. Bentuk-bentuk gerak tarian primitif nampaknya belum digarap komposisinya. Tata busana, tata rias, iringan musiknyapun sangat sederhana, terutama pada tata panggung dengan segala perlengkapannya. Pada jaman dahulu tarian primitif terdapat di mana-mana, di seluruh pelosok dunia yaitu pada jaman prasejarah, tetapi sekarang hanya terdapat di suku pedalaman yang masih menjalankan tata kehidupan masyarakat primitif. Tarian ini hanya diselenggarakan pada upacara-upacara adat dan agama. Gerak tariannya sangat sederhana, yaitu merupakan desain-desain global, yang hanya berupa depakan-depakan kaki, loncatan-loncatan, langkah-langkah dan gerakan anggota badan tertentu saja.Bentuk tari-tarian mereka masih sederhana pula sesuai instrumen musik pengiringnya yang sederhana dan hanya terdapat satu macam instrumen musik. Tari-tarian mereka hanya menirukan gerak alam dengan gerakan tangan, kepala, serta depakan kaki.
Tari primitif lebih mengutamakan ungkapan ekspresi kehendak atau keyakinan dari pada artistiknya.
Oleh karenanya gerak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu saja. Fungsi tari tersebut untuk upacara kelahiran, upacara akil balig, upacara perkawinan, menyambut tamu, kematian, akan melakukan perburuan, untuk mendatangkan hujan (untuk kesuburan), akan melakukan peperangan, untuk menyambut kemenangan dan sebagainya. Musik pengiringnya sangat sederhana sekali, dengan ritme yang berulang-ulang sehingga sangat mudah untuk diikuti oleh penari-penarinya. Ritme yang demikian ini berlangsung sangat lama yang mengakibatkan penari makin menyatu dengan ritme tersebut sehingga terjadi gerakan di bawah sadar yakni menimbulkan daya magis dan akhirnya penari menjadi trance (kerasukan). Dalam keadaan demikian ini biasanya penari-penari tersebut mempunyai kekuatan kekuatan di luar kemampuan manusia biasa seperti menyembuhkan penyakit, tak terluka dengan senjata tajam, tak hangus oleh api, bisa menari sangat indah dan menarik.
Instrumen pengiring jumlahnya tidak banyak, kadang kala hanya berupa kentongan saja, gendang, genta, sungu, terompet yang terbuat dari bambu, kayu, kulit keong dan sebagainya, bahkan sering hanya diiringidengan gerakan-gerakan kaki, tepukan tangan, nyanyian, dan teriakan-teriakan saja.
- Tari primitif merupakan tari yang berkembang didaerah yang menganut kepercayaan animisme, dan dinamisme. Tari ini merupakan tari yang memuja roh para leluhur dan estetika seni. Tari primitif biasanya merupakan wujud dan kehendak berupa pernyataan maksud permohonan tarian tersebut dilaksanakan. Ciri tari pada zaman primitif adalah kesederhanaan pada kostum, gerak dan iringan. Tujuan utama dari tarian ini adalah untuk mewujudkan suatu kehendak tertentu, sehingga ekspresi yang dilakukan berhubungan dengan permintaan yang diinginkan. Ciri-ciri tari primitif antara lain: gerak dan iringan sangat sederhana berupa hentakan kaki, tepukan tangan/ simbol suara/ gerak-gerak saja yang dilakukan.
- Gerakan dilakukan untuk tujuan tertentu misalnya menirukan gerak binatang karena berburu, proses inisiasi, kelahiran, perkawinan, dan panen.
- Instrumen sangat sederhana terdiri dari tifa, kendang, / intrumen yang hanya dipukul secara tetap bahkan tanpa memperhatikan dinamika.
- Tata rias sederhana bahkan bisa berakulturasi dengan alam sekitar.
- Tari bersifat sakral karena untuk upacara keagamaan.
- Tarian primitif tumbuh dan berkembang pada masyarakat sejak zaman prasejarah yaitu zaman sebelum munculnya kerajaan sehingga belum mempunyai pemimpin secara formal. Kehidupan masyarakat masih bergerombol, berpindah -pindah dan bercocok tanam.
- Tarian primitif dasar geraknya adalah maksud dan kehendak hati dan pernyataan kolektif.
- Atribut pakaian menggunakan bulu-buluan dan daun-daunan.
- Formasi pada tarian primitif biasanya berbentuk lingkaran karena menggambar kekuatan.
- Tarian ini berkembang pada masyarakat yang menganut pola tradisi primitif / purba dimana berhubungan dengan pemujaan nenek moyang dan penyembahan leluhur.
(a) Tari Kataga (Nusa Tenggara Timur)
Tari Kataga diselenggarakan sebelum maju ke medan perang sebagai sarana untuk menggugah semangat para ksatria yang akan maju ke medan perang. Dalam tarian ini seorang penghulu membawakan syair-syair yang mengkisahkan sebab-sebab perang sampai terjadinya perang, serta menjelaskan bahwa pihak yang benar selalu akan menang. Pembacaan syair-syair ini diikuti gerak-gerak tari yang indah yang diiringi oleh instrumen musik yang berupa gong dan kendang. Para penari membawa senjata perang berupa pedang dan perisai.
Gambar 7. Tari Kataga (Nusa Tenggara Timur) |
(b) Tari Perang (Irian Jaya)
Tari perang oleh orang Irian Jaya dilakukan pada upacara akan berangkat ke medan perang, dengan harapan agar dalam perang nanti musuhnya dapat dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak kelihatan yang terdapat pada tari tersebut. Oleh orang-orang Timorini tari perang ini digunakan pula untuk mengusir maklhuk halus yang mereka sebut kugi.Kugi ini sering mengganggu kampung dan biasanya menimbulkan wabah penyakit menular, orang-orang Timorini menyelenggarakan tari perang yang dilakukan oleh penari-penari pria yang berpakaian perang dan senjata lengkap. Dalam menari mereka juga menyanyi. Para penari berjalan berbaris mengelilingi kampung serta diiringi pula oleh hiruk pikuk penduduk yang makin lama makin bertambah ribut, dengan maksud untuk menakut-nakuti kugi agar mau keluar dari kampung yang kena wabah.
Gambar8. Tari perang (irian Jaya) |
2) Tari Rakyat
Tari-tarian rakyat di Indonesia sebenarnya masih bertumpu pada unsur primitif, seperti Sang Hyang dari Bali, Kuda Kepang Jawa, dan sebagainya. Tari rakyat sering berfungsi sebagai tari upacara atau kelengkapan sosial dan juga hiburan dalam kehidupan masyarakat. Ada sebagian tari rakyat yang penyajiannya langsung terkait dengan upacara ritual. Dalam hal ini tempat dan waktu upacaranya ditentukan, begitu pula dengan para penarinya, biasanya tarian tersebut bersifat supranatural. Misalnya adanya saji-sajian khusus yang diperuntukkan bagiroh-roh halus yang diyakini oleh mereka memiliki kehidupan, kekuasaan dan kekuatan yang berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakatnya.Tari rakyat lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepemilikan secara kolektif. Budaya kerakyatan sangat kuat peran dan fungsinya di lingkungan masyarakat agraris dan juga masyarakat pesisir. Sistem kehidupan sosial budaya juga selalu terkait dengan sistem kepercayaan dan sistem mata pencaharian (pertanian, perikanan, perdagangan, dan lain-lain). Norma-norma kehidupan kolektif itu merupakan hasil kesepakatan bersama yang berguna untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan alam kehidupan.
Pada perkembangan berikutnya tari rakyat bisa pula dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama sebagai hiburan pada acara pesta atau upacara-upacara sosial kemasyarakatan. Ke dua tarian rakyat yang dikemas secara khusus untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya festival, lomba atau kepentingan lainya yang secara khusus diadakan untuk upaya menumbuh kembangkan serta meningkatkan frekuensi pementasan.
Berikut ini beberapa contoh tari rakyat:
(a) Tari Kuda Kepang (Yogyakarta)
Kuda Kepang (Kuda: kuda, kepang: bambu yang dianyam). Tarian rakyat ini dilakukan oleh laki-laki yang menunggang kuda-kudaan pipih yang terbuat dari anyaman bambu dan dicat. Tungkai-tungkai penari sendiri menciptakan ilusi dari gerakan seekor kuda. Pertunjukan ini dikenal dengan kuda lumping (Jawa Barat), jathilan (Yogyakarta) dan reyog (Jawa Timur). Sering kali seorang penunggang kuda diiringi oleh beberapa pemusik dan seorang yang bertopeng atau tanpa topeng dengan sepucuk cambuk, serta melakukan perjalanan sepanjang kota dan berhenti di sebuah sudut jalan untuk sebuah pertunjukan. Pada sebuah jathilan di Yogyakarta dilengkapi dengan empat buah topeng, dengan menampilkan seorang pelawak mengenakan topeng separo muka berwarna putih, seorang pria dengan topeng hitam, seorang laki-laki liar berwajah merah, dan seorang perempuan bertopeng kuning.
Kerasukan adalah peristiwa dasar dari sebuah pertunjukan Kuda Kepang. Pada permulaan tari para penari tampil teratur, dalam ritme-ritme reguler dan ajeg yang dihasilkan oleh orkes perkusi kecil, pria berkuda itu berderap dalam sebuah lingkaran. Pada pertunjukan berikutnya mereka terbagi menjadi 2 pihak yang seolah-olah terlibat dalam trance (kesurupan) perkelaian. Makin lama ritme-ritme yang menggoda menjadi tegang, dan seorang dari penari ndadi, yaitu kerasukan.
Sering kali suatu itu disebabkan ketika pemimpin mencambuk seorang penunggang kuda dengan sebuah cambuk yang dipercaya telah diisi dengan kekuatan magis dengan cara upacara-upacara pengisian. Penungggang kuda yang kerasukan itu lalu mulai bertingkah seperti seekor kuda. Ia bisa berlari liar, bergelimpangan di tanah, makan rumput, atau batang padi, dan minum air dari sebuah ember di tanah. Seluruh tubuhnya kaku, mataseolah-olah tak tampak, bahkan mungkin melakukanserangan-serangan liar dengan berlari-lari marah dengan menginjak-injakan kakinya terus menerus ketanah.
Gambar 9. Tari Kuda Kepang |
Tari Kuda Kepangmerupakan tari rakyat yang berasaldari propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tari tersebut ditarikan oleh penari laki-laki dengan menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari bambu ( kudang kepang).
(b) Tari Reyog (Jawa Timur)
Tari Reyog berkembang di daerah Ponorogo yang terdiri dari pemain kuda kepang, reyog, bujangganong, klana sewandono, thetek melek, pentul dan tembem. Cerita yang dibawakan adalah siklus cerita Panji. Panji dalam banyak hal adalah Arjuna Jawa Timur, yaitu seorang pangeran mulia yang ideal, yang tak terkalahkan dalam pertempuran serta yang tak bisa dibendung dalam bercinta.Perjuangan Arjuna berhubungan dengan kesejahteraan Pandawa serta kejayaan atau pengelolaan ketertiban dunia. Tujuan cara berpikir Panji sangat sempit yaitu hanya fokus pada bertemunya kembali dengan mempelai wanita yang sulit dipahaminya yaitu Candrakirana yang cantik (sinar gemerlapan dari bulan), puteri dari Daha Kediri. Cerita-ceritanya penuh dengan hilangnya tokoh secara misterius, transformasi-transformasi, penyamaran, serta kebangkitan, dan roman itu diperkirakan merupakan petualangan-petualangan Panji dalam mencari Candrakirana dan merefleksikan sebuah mitos matahari dan bulan kuna. Sebaliknya nama-nama dari tokoh-tokoh tertentu dari kerajaan-kerajaan utama serta beberapa peristiwa membangkitkan asosiasi tentang Jawa Timur secara historis.
Gambar 10. Tari Reyog Ponorogo |
(c) Tari Tayub (Yogyakarta)
Tarian ini diawali dengan orang tua atau sesepuhdesa yang menari dan dilanjutkan dengan penari wanita
(ledek) dan penabuh. Ledek menari dengan posisi lebih tertutup dari pada penari (pengibing).
Tari Tayub yang merupakan tarian rakyat biasanya berkaitan dengan kesuburan tanaman padi. Arti ritual dari kehadiran penariTayub dapat diamati pada beberapa contoh pertunjukan tari Tayub.
Pada awal pertunjukkan penari Tayub meletakkan seuntai tangkai padi di perangkat musik yang memainkan gendhing Sri Boyong. Hal ini menandakan upacara yangmengagungkan dewi Padi yaitu dewi Sri.
Dalam tradisi ini dipercaya bahwa Dewi Sri akan tetap tinggal di desa dan melindungi saat panen padi tiba. Melalui tari Tayub, desa tersebut telah memperbaharui hubungan melalui persembahan kepada Dewi Sri.
Tari Tayub juga ditampilkan dalam upacara perkawinan, yang dipercaya upacara tersebut berkaitan dengan masalah kesuburan. Oleh karena itu penari Tayub menari dengan penari laki-laki. Hal ini melambangkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang secara ritual dipercaya dapat mempengaruhi kesuburan mempelaiwanita.
Tari Tayub dalam upacara panen maupun perkawinan masih sering dilakukan oleh masyarakat Jawa. Hal ini mencerminkan bahwa penari Tayub memiliki peran yang sangat penting dalam ritual, karena melalui upacara ritualtersebut tari Tayub melambangkan kesuburan dan keselamatan.
(4) Tari Angguk
Tari Angguk merupakan tarian rakyat yang ada di kabupaten Kulonprogo propinsi DIY. Tarian rakyat ini bernafaskan Islami dan ditarikan oleh penari perempuan.
Gambar 11. Tari Angguk |
(5) Tari Mitis
Tari mitis melambangkan tari kesuburan, yang terdapat di daerah pedalaman Kalimantan Timur. Tarian ini merupakan tarian rakyat.
Gambar 12. Tari Hudoq |
Gambar 13. Tari dolalak dari Jawa Tengah merupakan tarian rakyat khususnya di daerah Purworejo yang ditarikan oleh para wanita. |
Gambar 14. Tari Lengger merupakan jenis tari rakyat. |
Gambar 15. Tari Topeng merupakan jenis tari rakyat yang hidup di pedesaan. |
3) Tari Klasik
Tari Klasik adalah tari yang telah mengalami kristalisasi artistik yang tinggi yang ada semenjak jaman feodal. Tari klasik pasti mempunyai nilai-nilai tradisional, sedangkan tarian tradisional belum tentu mempunyai nilai klasik, karena tari klasik selain berciri tradisional juga memiliki nilai keindahan yang tinggi. Terminologi klasik berasal dari kata latin classic yang berarti golongan masyarakat yang tinggi pada jaman Romawi kuna. Pada jaman Romawi, Tullius membagi masyarakat menjadi 6 golongan berdasarkan atas kekayaannya. Golongan yang terendah disebut Klasproletari dan yang tertinggi disebut kelas Classici. Oleh Aulus Geullius istilah Classici ini dipakai untuk menyebut hasil karya dari pengarang-pengarang bangsa Romawi yang berprestasi atau bermutu tinggi. Kemudian pengarangnya disebut Sciptor Classicus. Berdasarkanpengutaraan mengenai arti klasik dari jaman Romawi itu dapat dikatakan bahwa salah satu khas klasik adalah mengandung nilai keindahan yang tinggi.
Tari Jawa gaya Yogyakarta merupakan contoh tari klasik, sebab tarian tersebut tampak dengan jelas adanya bentuk-bentuk aturan baku yang sangat mengikat. Jenis geraknya sudah ditentukan mulai dari, posisi, komposisi termasuk pakaian dan dialognya pula. Dialog dalam drama tari Jawa berupa jenis suara, yaitu tekanan tinggi, rendah, keras, serta lembut yang telah ditentukan dan ada standar yang mengikat. Tari Jawa gaya Surakarta meskipun masih dapat dikatakan klasik namun sedikit mendekati romantik. Sebenarnya ada standar ataupun pola, baik pada bentuk gerak hubungannya dengan komposisi dan pakaian maupun dialog, namun tidak begitu mengikat. Geraknya lebih gemulai, pakaiannya lebih gemerlapan cahaya warna dan variasinya.Sedangkan dialognya lebih merupakan ekspresi emosi dari si penari yang lebih komunikatf.
Berikut ini contoh beberapa tari Klasik
(a) Tari Bedhaya
Tari Bedhaya adalah tarian puteri yang dibawakan oleh sembilan penari wanita dengan mengenakan busana yang sama. Tari ini mengisahkan sebuah cerita. Tari Bedhaya dahulu merupakan kelengkapan kebesaran sebuah keraton, baik keraton Surakarta maupun keraton Yogyakarta. Tari Bedhaya yang merupakan pelengkap kebesaran seorang raja ini ada satu yang dianggap sakral oleh keraton Surakarta yaitu Bedhaya Ketawang, sedangkan Yogyakarta Bedhaya Semang.
Dari kedua jenis tersebut yang paling dianggap sakral adalah Bedhaya Ketawang yang dipertunjukkan pada peringatan hari ulang tahun penobatan Susuhunan di atas tahta. Dilingkungan istana, Bedhaya Ketawang dipercaya bahwa tarian tersebut diilhami oleh Dewi Laut Selatan, atau Nyai (ratu) Lara Kidul. Ia dikatakan tampil pada raja pertama yaitu Sultan Agung, dan mengungkapakan cintanya kepadanya dengan sebuah lagu yang ia nyanyikan sambil menari dihadapannya. Dewi ini diminta untuk mengajarkan tarinya kepada penari-penari sang raja, supaya sang raja selalu bisa mengenang Dewi Laut Selatan.
Sebuah pertunjukan Bedhaya Ketawang selalu didahului oleh sesaji dan pembakaran kemenyan bagi Ratu Kidul (lazim disebut Kanjeng Ratu Kidul) atau salah seorang bidadarinya dan seorang moyang dinasti sultan yang sedang memerintah.
Bedhaya secara tradisional tampil dalam sebuah kelompok yang beranggotakan sembilan orang. Busana dan hiasan-hiasan mereka adalah busana dari pengantin puteri. Dalam musik serta nyanyian yang mengiringi tari mereka yang lambat, sebuah suara wanita solo biasanya mendahului bagian-bagian koor. Teks dari nyanyian Bedhaya Ketawang dianggap begitu suci, hingga transkripnya dihindari karena takut akan pencemaran akibat kesalahan.
Tema-tema tari Bedhaya sering kali erotis secara puitis, hanya sedikit ungkapan nafsu yang jelas dalam tariannya. Berjalan masuk dan keluar adalah prosesional yang khidmat. Awal dan akhir dari tarian ini sama seperti pada semua tari istana yang lain, terdiri dari gerak-gerak maknawi penyembahan yaitu dari sembah yang ditujukan kepada seorang dewa, yaitu raja dan tamu-tamu terhormat. Sedangkan gerakan yang sederhana dimulai dengan tangan yang terkatup diangkat pada level hidung dan wajah yang sedikit dicondongkan. Namun dalam versi tari sembah selalu ada urutan yang rumit tetapi indah ya dari itu dimulai kepala dan lengan, tangan, dan gerak tubuh, dan parapenari duduk di lantai. Pada saat para penari bangkit dari posisi duduk, mereka tetap pada posisi semula, kemudian berlanjut kesatu gerak yang mengalir dengan lembutdisertai dengan permainan halus dari tangan-tangan molek yang menjimpit dan menjatuhkan, menerpa dan melemparkan ujung-ujung selendang tari mereka yang tergantung bebas.
Ke sembilan penari Bedhaya berbusana sama serta menari dengan teknik yang sama yaitu tari puteri halus yang lembut. Masing-masing penari memiliki nama sendiri-sendiri menurut fungsinya. Di dalam komposisi tari Bedhaya terdiri dari endel pajeg, batak, jangga, dhadha, apit ngajeng, apit wingking, endel wedalan wingking, buntil.
Gambar 16. Tari Bedhaya, merupakan tari klasik gaya Yogyakarta Para penari dalam posisi gerak kapang-kapang yang dilakukan oleh sembilan penari putri dengan busana tari yang sama |
Gambar 17. Tari Bedhaya gaya yogyakarta |
Gambar 18. Tari Bedhaya gaya Surakarta |
(b) Tari Srimpi
Semua penari Srimpi adalah gadis-gadis keturunan bangsawan, kemenakan, anak kemenakan, bahkan anak-anak perempuan muda atau cucu-cucu perempuan muda dari raja-raja yang memerintah. Pada perkembangannya Srimpi adalah tarian klasik dasar yang ditarikan oleh gadis-gadis Jawa. Di istana kerajaan biasanya Srimpi biasanya ditampilkan dalam kelompok yang beranggotakan empatorang.
Dalam tari Srimpi terdapat versi cerita yang berbeda. Tari srimpi yang lembut disimbolkan sebagai puncak dari sebuah pertempuran dimana kedua belah pihak tidak ada yang menang atau kalah. Di awal pertempuran penari menggunakan keris yang bagus, dilanjutkan dengan menggunakan busur-busur kecil dan anak panah.
Dalam versi yang lain ditampilkan dua penari Srimpi yang menceritakan tentang dua orang puteri yang terlibat dalam sebuah intrik dengan raja Arab. Salah seorang puteri tersebut merencanakan untuk membebaskan kekasihnya dari tahanan, tetapi sang puteri mencurigai yang lain dan merasa dimata-matai bahkan akan digagalkan rencananya untuk membebaskan sang kekasih. Hal ini menyebabkan sang puteri terdorong untuk bertempur atau melawannya.
Tidak seorangpun akan membayangkan bahwapenari-penari Srimpi adalah wanita-wanita berpostur tinggi dan perkasa. Adegan pertama dari pertemuan mereka seindah, secermat, dan selamban seperti pada tari Bedhaya. Keseimbangan tanpa perasaan yang sama serta kelembutan terjaga terus, bahkan selama adegan perang seorang dari puteri-puteri Srimpi itu bergerak disekitarnya dengan langkah-langkah kecil bahkan cepat disekitar lawannya, dimana lawannya terpukul dan berjongkok di lantai.
Srimpi merupakan tari puteri yang dibawakan oleh empat orang penari wanita yang mengenakan busana yang sama, ke empat penari tersebut menari dengan teknik tari puteri yang halus. Walaupun bentuk koreografi tari ini merupakan tari kelompok, tetapi tarian ini merupakan tari duet atau berpasangan yang disusun secara ganda. Tema yang ditampilkan adalah perang tanding yang diambil dari berbagai wiracarita. Misalnya perang antara permadi melawan Suryatmaja, antara Srikandi melawan Larasati, Srikandi melawan Suradewati.
Makna simbolis dari tari Srimpi yang ditarikan oleh empat penari adalah melambangkan empat mata angin, atau jagad raya yang memiliki unsur penting yaitu grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Apabila dikaji lebih dalam, makna angka empat itu adalah kesempurnaan atau keseimbangan. Hal ini sesuai dengan filsafat hidup manusia selalu mencari kesempurnaan atau keseimbangan. Tari Srimpi di Keraton Yogyakarta hanya dipentaskan di bangsal Kencana, sedangkan di Keraton Surakarta di bangsal Sasana Sewaka.
Gambar 19. Tari Srimpi gaya Yogyakarta |
Gambar 20. Tari Srimpi Gaya Surakarta |
(c) Tari Pendet dari Bali
Tari Pendet merupakan tari yang berfungsi sebagai penjemput para dewa yang datang ke Marcapada dalam upacara odalan. Di Bali tari ini merupakan tari penyambutan para tamu.. Pintu keluar masuk panggung berbentuk seperti gapura lengkung, yang lantainya dibelakang lebih rendah. Kesan yang ditimbulkan oleh pintu keluar masuk yang demikian ini seolah-olah para penari tampil menuju panggung dari sebuah gua, demikian pula apabila mereka keluar meninggalkan pentas, seolah-olah mereka masuk ke dalam gua yang gelap. Tari Pendet dibawakan oleh empat penari gadis berbusana adat dengan sebuah bokor berisi bunga pada masing-masing tangan kanan penari. Gerak mata yang disebut sledet membutuhkan bantuan tekanan bunyi gamelan yang diharapkan bisa memberikan suasana riang dan lembut. Tari Pendet diiringi dengan seperangkat gambelan Gong atau Gong kebyar.
Gambar 21.Tari Pendet dari Bali |
(d) Tari Panyembrama (Bali)
Tari Panyembrama yang dibawakan oleh empat orang gadis merupakan ciptaan dari seorang tokoh Legong keraton I Gusti Raka Saba. Tari ini merupakan salah satu variasi tari penyambutan yang merupakan awal dari pertunjukan sebagai ungkapan selamat datang. Gaya tarinya sangat feminim, dan sesekali pada bagian akhir dari tari ini para penari menaburkan bunga.
Gambar 22.Tari Panyembrama sebagai tari penyambutan yang ditarikan oleh gadis-gadis |
b. Tari Kreasi Baru
Secara garis besar tari kreasi baru terdiri dari 2 yaitu tari kreasi baru yang berpijak pada pola tradisi dan tari kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi.
1) Tari kreasi baru berpijak pada pola tradisi
Pada dasarnya tari kreasi baru berpijak pada pola tradisi tetapi konsep penyajiannya berbeda.Meskipun gerak-gerak tari bersumber pada tari tradisi tertentu, tetapi konsep penyajiannya telah dirubah dan disesuaikan dengan konsep ide atau gagasan koreografer. Sebagai contoh tariGambyong dari Surakarta, walaupun tarian tersebut telah mengalami berbagai penggarapan dan gubahan, tetapi prinsip dasar koreografi Gambyong tidak pernah berubah, demikian pula nilai simboliknya. Hanya saja konsep penyajian dan nilai kreativitas bersumber dari gagasan-gagasan pribadi koreografer.
2) Tari Kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi
Tari kreasi baru merupakan ungkapan seni tidak berpolakan pada tradisi, tetapi lebih merupakan garapan baru yang tidak berpijak pada standar yang telah ada, tari kreasi baru ini sering disebut modern. Istilah modern berasal dari kata latin modo yang berarti baru saja. Tari modern sebagai ungkapan rasa bebas, mulai muncul setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sebagai refleksi dari kebebasan manusia dalam segala bidang. Namun Indonesia merupakan negara yang bertradisi kuat dalam bidang tari, sehingga pembaharuan berjalan setapak demi setapak.
Garapan-garapan tari yang bersifat modern tidak identik garapan-garapan imitasi dari neto arat. Segala gerak tari entah itu ditimba dari keadaan sekarang maupun dari aspek-aspek budaya tradisional, dapat dipakai sebagai sumber garapan tari modern. KonsepDasar dituntut pada tari modern adalah kebebasan dalam cara mengungkapkan teknik gerak diatas pentas.
Berikut contoh tari kreasi baru:
Gambar 23.Tari Merak kreasi baru dari Surakarta |
Gambar 24.Tari Kebyar Ciptaan Bagong Kussudihardjo |
Gambar 25. Tari kreasi baru berpijak pada tradisi |
Gambar 26.Tari kreasi baru berpijak pada tradisi |
Gambar 27. Tari kreasi baru berpijak pada tradisi |
Gambar 28. Tari kreasi baru berpijak pada tradisi |
Gambar 29. Tari kreasi baru berpijak pada tradisi |
Gambar 30. Tari kontemporer (tari modern) termasuk jenis tari kreasi baru yang gerak gerak tarinya tidak berpijak pada tradisi |
Gambar 31. Tari Kontemporer (tari modern) termasuk jenis tari kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi yang ada |
Gambar 32. Tari Kontemporer (modern) termasuk jenis tari kreasi baru yang gerak-gerak tarinya tidak berpijak pada pola tradisi |
0 Komentar untuk "Pengertian Pola Garapan/koreografi dan Jenis Tari Menurut Pola Garapan/ Koreografi"