Sejarah Perkembangan Islam Modernis di Indonesia -, wahhabiyyah atau wahhabisme merupakan sebuah kelompok gerakan atau ideologi yang terinspirasi dari buah pemikiran Syaikh Muhammad Ibnu Abd al-Wahab (wafat tahun 1207 H/1792 M). Sebenarnya para pengikut Syaikh Wahab cenderung menolak penggunaan istilah wahhabisme untuk kelompoknya itu, mereka mengidentifikasi dirinya sebagai penganut Monoteis Murni (muwahhidun/ahluttawhid), dan paling otoritatif mereka mengklaim sebagai salafi (salafism). Mereka menyebut gerakan mereka sebagai tariq al muhammadiyah. Identitas-identitas yang disebut terakhir ini berafiliasi dengan semangat gerakan mereka untuk mengembalikan umat islam kepada generasi awal (Salafusshalih), yaitu generasi nabi dan para sahabatnya yang selalu memurnikan aliran agama islam dari aneka macam bentuk bid’ah dan khurafat.
Wahhabi sangat menentang pemujaan terhadap orang-orang yang sangat dihormati, dan tindakan-tindakan gaib yang dilakukan oleh aliran-aliran sufi. Pada pada dasarnya mereka menginginkan kembalinya keimanan yang murni kepada Tuhan. Gerakan ini diteruskan oleh gerakan-gerkan islam di Timur Tengah, India, dan Afrika Utara. Gerakan ini mengalami puncaknya dengan ditandai oleh perumusan Moderisme Islam dan Reformisme Islam oleh Muhammd Jamaluddin al-Afghani (Iran-Turki, W. 1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (Mesir, W. 1323 H/1905 H), dan Rashid Ridha (Suriah, W. 1354 H/1935M) pada simpulan kala 19 dan awal kala 20.
Ada perbedaan aksara antara Muhammad bin Abd al-Wahab dengan ketiga tokoh itu, yakni terletak pada persentuhannya dengan ke-modern-an. Sehingga para pendukung pemikiran ketiga tokoh ini sering disebut Modernis. Perlu diketahui juga bahwasannya ide-ide ketiga tokoh tadi menjadi rujukan utama kalangan Islam Modernis di Indonesia dalam merumuskan dan sikap-sikap keagamaannya. Bisa dikatakan, Islam Modernis merupakan kelanjutan emanatif dari Wahhabiyah/Wahabbisme.
Tak urung faham Islam modernis yang berada di Indonesia selalu bersinggungan dengan Faham Islam masyarakat Indonesia yang sudah ada sebelumnya (Sunnisme). Sayangnya persinggungan itu tidak menghadirkan suasana dialog, relasi timbal balik saling menguntungkan, atau terjadi akulturasi antara keduanya. Justru yang mengemuka ialah ketegangan cukup berpengaruh antara kedua faham tersebut (faham islam modernis yang di dalam beberapa hal tertentu mengusung ide-ide wahabbisme dan Faham Islam masyarakat Indonesia (Islam Sayap Pesantren) yang sanggup diidentifikasi sebagai Sunnisme)
Persinggungan Islam Sayap Pesantren (Sunnisme) dengan Islam Modernis (Wahhabisme) di Indonesia bahwasanya sudah berlangsung semenjak simpulan kala ke-19, kemudian mengalami peningkatan intensitas sesudah memasuki awal kala ke-20.
Ricklefs mencatat bahwa komunitas muslim arab (Hadramaut) dan India yang tinggal di Singapura, memainkan peranan penting di dalam penyebaran gagasan pemurnian dan pembaruan islam ke Indonesia. Mereka ini ialah pedagang yang mempunyai mobilitas tinggi dan berinteraksi secara langsung dengan komunitas Muslim Melayu melalui perdagangan. Akhir kala ke-19, mereka mendirikan percetakan-percetakan litograf yang mengakibatkan membanjirnya buku-buku dan surat-surat kabar yang mencerminkan gagasan pembaruan Islam.
Selain itu, orang-orang Minangkabau juga memainkan peranan yang penting dalam gerakan pemurnian dan pembaruan islam Islam era awal itu. Diantaranya ialah Syaikh Tahir bin Jalaluddin al-Azhari (W. 1377 H/1957 M), ia terlibat sangat aktif di dalam penyebaran gagasan-gagasan pemurnian dan pembaruan islam melalui surat kabar Al-imam yang diterbitkan di Singapura. Selain dia, ada juga Syaikh Muhammad Djamil Djambek (W. 1367 H/1947 M) yang pulang dari Makkah ke Minangkabau pada tahun 1903 M dan Haji Rasul (Haji Karim Amrullah, W. 1365 H/1945 M) pada tahun 1906 M. Ketiga putra Minangkabau n ini ialah murid Syaikh Khatib al-Minangkabawi. Mereka secara terbuka mencela tarekat dan praktek-praktek beragama muslim Melayu.
Gerakan Pembaruan Islam/Islam Modernis juga menyebar ke Jawa. Jamiyyat Khayr (1905 M) yang merupakan komunitas Arab di Batavia, tercatat sebagai organisasi umat islam yang mengambil prakarsa pertama dalam penyebarannya. Kemudian berturut-turut Persyarikatan Ulama (1911 M) di Jawa Barat, Muhammadiyyah (1912) di Yogyakarta, dan Al-Irsyad atau Jami’iyyat al-islah wa al-irsyad (1915 M) dan Persis (Persatuan Islam, 1923 M) di Bandung.
Persinggungan dan ketegangan semakin memuncak. Ketika pada bulan Januari 1926, secara sepihak tokoh-tokoh muslim modernis dalam pertemuan lobi di Cianjur menskenario keputusan Kongres Al-Islam ke-5 di Bandung pada bulan Februari 1926, khususnya ihwal delegasi ke Muktamar Makkah. Sesuai dengan hasil pertemuan di Cianjur, balasannya kongres Bandung tetapkan dua delegasi untuk ke Muktamar Makkah, yaitu Tjokroaminoto (Sarikat Islam) dan Mas Mansoer (Muhammadiyyah), kedua utusan ini ialah termasuk yang merepresentasikan Islam Modernis.
Kegagalan kalangan pesantren untuk menitipkan aspirasinya semoga menjadi agenda kongres, dan terpilihan 2 utusan Indonesia tanpa mempertimbangkan representasi kaum tradisionalis memunculkan tindakan yang sepihak pula. Para tokoh pesantren meyakini kebutuhan merumuskan inisiatifnya sendiri yang terpisah dari kelompok islam modernis guna “menjamin pandangan-pandangan dan kepentingan-kepentingan keagamaan mereka sanggup terwakili”. Akhirnya, melalui pertemuan 15 ulama senior dari kalangan pesantren pada Januari 1926 di rumah KH Wahab Chasbullah (Kertopaten, Surabaya), diputuskan membentuk Komite Hijaz. Dalam Komite Hijaz ini, Kyai Hasyim, KH Mashuri Lasem, dan KH Kholil Lasem menduduki jabatan sebagai Penashat, KH Hasan Gipo (Ketua), H. Sholeh Syamil (Wakil Ketua), Muhammad Shodik (Sekertaris), dan KH. Abdul Halim (Pembantu). Kepanitiaan yang telah terbentuk ini, kali pertama bertanggung jawab “mempersiapkan pengiriman delegasi ke Muktamar di Mekkah, dan menghubungi para ulama terkemuka di Jawa dan Madura.
Pertemuan dalam sekala besar juga dilakukan oleh ulama-ulama pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 yang juga dilakukan di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut juga ditatapkan KH. Raden Asnawi sebagai delegasi resmi yang akan menghadap eksklusif penguasa Ibnu Saud guna memberikan aspirasi-aspirasi hasil tadi pertemuan ulama tersebut. Untuk memperkuat basis legitimasi delegasi Komite Hijazjuga disepakati bahwa harus ada institusi yang mengusung dan memperlihatkan mandat kepada KH. Raden Asnawi. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dalam pertemuan itu juga dibentuklah organisasi sosial keagamaan yang belakangan terkenal dengan sebutan Nahdatul Ulama (NU). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 M atau bertepatan dengan tanggal 16 Rajab tahun 1344 H.
Penomena Komita Hijaz dan pertemuan Cianjur di atas semakin terperinci menerangkan relasi dua kutub gerakan islam yang kurang harmonis, bahkan penuh dengan ketegangan. Sebagaimana yang terjadi dan mengemuka di hampir sepanjang sejarah kebangsaan tanah air, insiden ini menjadi memori kolektif masing-masing pihak yang ujung-ujungnya selalu menghadapkan dua kutub pada posisi saling berlawanan, bukan saja secara religius tetapi juga politik.
Wahhabi sangat menentang pemujaan terhadap orang-orang yang sangat dihormati, dan tindakan-tindakan gaib yang dilakukan oleh aliran-aliran sufi. Pada pada dasarnya mereka menginginkan kembalinya keimanan yang murni kepada Tuhan. Gerakan ini diteruskan oleh gerakan-gerkan islam di Timur Tengah, India, dan Afrika Utara. Gerakan ini mengalami puncaknya dengan ditandai oleh perumusan Moderisme Islam dan Reformisme Islam oleh Muhammd Jamaluddin al-Afghani (Iran-Turki, W. 1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (Mesir, W. 1323 H/1905 H), dan Rashid Ridha (Suriah, W. 1354 H/1935M) pada simpulan kala 19 dan awal kala 20.
Ada perbedaan aksara antara Muhammad bin Abd al-Wahab dengan ketiga tokoh itu, yakni terletak pada persentuhannya dengan ke-modern-an. Sehingga para pendukung pemikiran ketiga tokoh ini sering disebut Modernis. Perlu diketahui juga bahwasannya ide-ide ketiga tokoh tadi menjadi rujukan utama kalangan Islam Modernis di Indonesia dalam merumuskan dan sikap-sikap keagamaannya. Bisa dikatakan, Islam Modernis merupakan kelanjutan emanatif dari Wahhabiyah/Wahabbisme.
Tak urung faham Islam modernis yang berada di Indonesia selalu bersinggungan dengan Faham Islam masyarakat Indonesia yang sudah ada sebelumnya (Sunnisme). Sayangnya persinggungan itu tidak menghadirkan suasana dialog, relasi timbal balik saling menguntungkan, atau terjadi akulturasi antara keduanya. Justru yang mengemuka ialah ketegangan cukup berpengaruh antara kedua faham tersebut (faham islam modernis yang di dalam beberapa hal tertentu mengusung ide-ide wahabbisme dan Faham Islam masyarakat Indonesia (Islam Sayap Pesantren) yang sanggup diidentifikasi sebagai Sunnisme)
Persinggungan Islam Sayap Pesantren (Sunnisme) dengan Islam Modernis (Wahhabisme) di Indonesia bahwasanya sudah berlangsung semenjak simpulan kala ke-19, kemudian mengalami peningkatan intensitas sesudah memasuki awal kala ke-20.
Ricklefs mencatat bahwa komunitas muslim arab (Hadramaut) dan India yang tinggal di Singapura, memainkan peranan penting di dalam penyebaran gagasan pemurnian dan pembaruan islam ke Indonesia. Mereka ini ialah pedagang yang mempunyai mobilitas tinggi dan berinteraksi secara langsung dengan komunitas Muslim Melayu melalui perdagangan. Akhir kala ke-19, mereka mendirikan percetakan-percetakan litograf yang mengakibatkan membanjirnya buku-buku dan surat-surat kabar yang mencerminkan gagasan pembaruan Islam.
Selain itu, orang-orang Minangkabau juga memainkan peranan yang penting dalam gerakan pemurnian dan pembaruan islam Islam era awal itu. Diantaranya ialah Syaikh Tahir bin Jalaluddin al-Azhari (W. 1377 H/1957 M), ia terlibat sangat aktif di dalam penyebaran gagasan-gagasan pemurnian dan pembaruan islam melalui surat kabar Al-imam yang diterbitkan di Singapura. Selain dia, ada juga Syaikh Muhammad Djamil Djambek (W. 1367 H/1947 M) yang pulang dari Makkah ke Minangkabau pada tahun 1903 M dan Haji Rasul (Haji Karim Amrullah, W. 1365 H/1945 M) pada tahun 1906 M. Ketiga putra Minangkabau n ini ialah murid Syaikh Khatib al-Minangkabawi. Mereka secara terbuka mencela tarekat dan praktek-praktek beragama muslim Melayu.
Gerakan Pembaruan Islam/Islam Modernis juga menyebar ke Jawa. Jamiyyat Khayr (1905 M) yang merupakan komunitas Arab di Batavia, tercatat sebagai organisasi umat islam yang mengambil prakarsa pertama dalam penyebarannya. Kemudian berturut-turut Persyarikatan Ulama (1911 M) di Jawa Barat, Muhammadiyyah (1912) di Yogyakarta, dan Al-Irsyad atau Jami’iyyat al-islah wa al-irsyad (1915 M) dan Persis (Persatuan Islam, 1923 M) di Bandung.
Persinggungan dan ketegangan semakin memuncak. Ketika pada bulan Januari 1926, secara sepihak tokoh-tokoh muslim modernis dalam pertemuan lobi di Cianjur menskenario keputusan Kongres Al-Islam ke-5 di Bandung pada bulan Februari 1926, khususnya ihwal delegasi ke Muktamar Makkah. Sesuai dengan hasil pertemuan di Cianjur, balasannya kongres Bandung tetapkan dua delegasi untuk ke Muktamar Makkah, yaitu Tjokroaminoto (Sarikat Islam) dan Mas Mansoer (Muhammadiyyah), kedua utusan ini ialah termasuk yang merepresentasikan Islam Modernis.
Kegagalan kalangan pesantren untuk menitipkan aspirasinya semoga menjadi agenda kongres, dan terpilihan 2 utusan Indonesia tanpa mempertimbangkan representasi kaum tradisionalis memunculkan tindakan yang sepihak pula. Para tokoh pesantren meyakini kebutuhan merumuskan inisiatifnya sendiri yang terpisah dari kelompok islam modernis guna “menjamin pandangan-pandangan dan kepentingan-kepentingan keagamaan mereka sanggup terwakili”. Akhirnya, melalui pertemuan 15 ulama senior dari kalangan pesantren pada Januari 1926 di rumah KH Wahab Chasbullah (Kertopaten, Surabaya), diputuskan membentuk Komite Hijaz. Dalam Komite Hijaz ini, Kyai Hasyim, KH Mashuri Lasem, dan KH Kholil Lasem menduduki jabatan sebagai Penashat, KH Hasan Gipo (Ketua), H. Sholeh Syamil (Wakil Ketua), Muhammad Shodik (Sekertaris), dan KH. Abdul Halim (Pembantu). Kepanitiaan yang telah terbentuk ini, kali pertama bertanggung jawab “mempersiapkan pengiriman delegasi ke Muktamar di Mekkah, dan menghubungi para ulama terkemuka di Jawa dan Madura.
Pertemuan dalam sekala besar juga dilakukan oleh ulama-ulama pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 yang juga dilakukan di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut juga ditatapkan KH. Raden Asnawi sebagai delegasi resmi yang akan menghadap eksklusif penguasa Ibnu Saud guna memberikan aspirasi-aspirasi hasil tadi pertemuan ulama tersebut. Untuk memperkuat basis legitimasi delegasi Komite Hijazjuga disepakati bahwa harus ada institusi yang mengusung dan memperlihatkan mandat kepada KH. Raden Asnawi. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dalam pertemuan itu juga dibentuklah organisasi sosial keagamaan yang belakangan terkenal dengan sebutan Nahdatul Ulama (NU). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 M atau bertepatan dengan tanggal 16 Rajab tahun 1344 H.
Penomena Komita Hijaz dan pertemuan Cianjur di atas semakin terperinci menerangkan relasi dua kutub gerakan islam yang kurang harmonis, bahkan penuh dengan ketegangan. Sebagaimana yang terjadi dan mengemuka di hampir sepanjang sejarah kebangsaan tanah air, insiden ini menjadi memori kolektif masing-masing pihak yang ujung-ujungnya selalu menghadapkan dua kutub pada posisi saling berlawanan, bukan saja secara religius tetapi juga politik.
0 Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Islam Modernis Di Indonesia"