Menghitung Luka (Dimuat di Berita Pagi Edisi 5 Februari 2017)





"Kapan Kakak mati?”
          Pertanyaan bernada kasar itu baru saja keluar dari lelaki yang menjadi tenaga honorer di sekolah yang saya pimpin. Saya terkejut bukan kepalang mendengar pertanyaan itu, bukan apa-apa selama ini lelaki yang saya anggap seperti anak sendiri itu memiliki jiwa yang sedemikian bersih, tutur kata yang halus bahkan jauh lebih halus dari ucapan saya sendiri.
          Saya menduga lelaki berusia hampir duapuluh empat itu memiliki sesuatu yang disembunyikan.
          “Kakak harus mati hari ini!”
          Ia kembali mengingau, napasnya memburu sesuatu. Saya mendadak seperti ditikam pisau. Oke lah, dia mengingau dan ingin kakaknya mati. Emangnya ada apa dengan kakaknya itu?
          Maka saya berusaha membangunkan ia. Saya tepuk dan goyangkan bahunya, serta tak lupa memangil namanya. Selang enam menit, setelah mengumpulkan raga ia terbangun.
          “Ada apa, Bunda?” ucapnya kebingungan.
          Bunda. Begitulah ia memangil saya, panggilan itu bukan tanpa sebab. Sejak menjadi pimpinan di sekolah dasar yang dianggap pinggiran ini, murid-murid memanggil dengan panggilan Bunda. Begitu pun dengan rekan-rekan pengajar. Dan, saya tak pernah mempermasalahkan itu. Pun, kedengarannya kata ‘Bunda’ merupakan kata tersejuk yang dilantunkan bibir manusia. Saya teramat merasakan hal itu.
          Ah. Saya jadi berpikir mengenai panggilan Bunda. Bukankah fokus utama dalam cerita ini adalah lelaki itu.
          “Bunda ambil minum dulu ya!”
          Saya memperbaiki ekspresi terlebih dahulu, setelah itu mengambil dua gelas. Lelaki itu pun memperbaiki tempat duduknya. Ia tak lagi tidur di kursi panjang yang berada di ruang kepala sekolah. Posisinya telah berubah tegap.
          “Nak...” panggil saya setelah memberikan air minum.
          “Ada apa, Bunda?” ucapnya lagi, masih terlihat rona kebingungan.
          Tiba-tiba bibir saya keluh, bingung berkata apa. Dunia seakan berhenti untuk sekian detik.
          “Ada yang kamu sembunyikan dari Bunda?”
          Lelaki itu tersenyum, kemudian menggeleng.
          Napas saya tiba-tiba sesak, melihat guru muda itu memperlihatkan ekspresi berbohong. Bukan saya sok tahu, tapi selama menjadi guru puluhan tahun, plus ditempa dengan ilmu psikologi pendidikan. Saya bisa merasakan aura kebohongan dalam diri seseorang, baik sesama rekan mengajar atau murid.
          “Cerita saja sama Bunda. Katanya Bunda ini bukan orang lain bagimu!”
          Saya ingat benar, lelaki itu benar-benar menganggap saya seperti ibu sendiri. Ia bercerita banyak tentang hidupnya, juga tentang perempuan yang diam-diam mencuri mimpi indahnya, tak hanya itu persoalan hidup dengan teman-teman semasa kuliah yang kotor tak luput diceritakan. Tapi, saya yakin untuk bagian keluarga. Ia tak pernah mau bercerita.
          Lelaki itu tak menjawab lagi, tapi wajahnya menyembunyikan kepedihan yang teramat dalam.
          Saya merasa cukup untuk intograsinya.
          Saya segera mengalihkan topik, “Kamu nggak mau pulkam, sebentar lagi liburan semester?”
          Tiba-tiba mendung bergelanyut dalam wajahnya. Ada butir kristal yang siap muncrat. Saya menahan napas, memperbaiki letak duduk supaya kian dekat dengan lelaki yang usianya sama dengan anak pertama saya itu.
          “Untuk apa aku pulang, Bund?”
          Untuk apa aku pulang, Bund? Jawaban yang benar-benar menyentakkan jiwa. Pulang itu adalah bagian refreshing yang mutlak dibutuhkan manusia, dengan pulang kita bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, dan itu bisa membuat tubuh bertambah bahagia.
          “Tidak ada yang mengharapkan aku pulang!” tegasnya kemudian.
          Saya jadi teringat, jika lelaki itu semasa kuliah yang letaknya tak jauh dari sekolah dasar yang saya pimpin itu, jarang sekali mengambil jatah liburan di kampung. Ketua jurusannya pernah mengatakan pada saya ketika meminta mahasiswanya untuk menjadi tenaga pengajar tambahan di sekolah yang saya pimpin begini,
          “Kalau saya menawarkan Joe, Bu Krisna. Bu Krisna perlu tahu sebagai mahasiswa, Joe cakap, energik, dan pintar. Kalau disuruh ini-itu pasti mau. Gampang mengerti pula, selain itu IPK-nya lumayan.”
          Pernyataan ketua jurusan yang berusia di atas saya sepuluh tahun memang benar sekali. Lelaki yang bernama Joe itu begitu piawai dalam mengajar, murid-murid juga begitu betah.  Begitu pun saya yang menjadi pimpinan di sekolah.
          “Oya, Nak. Bunda pengen ke rumahmu boleh?”
          Entah mengapa pertanyaan itu keluar dari mulut saya. Padahal, pertanyaan sebelum sudah memberikan efek kristal yang siap muncrat di wajahnya. Dan, pertanyaan ini pula membuat pertahanannya roboh. Ia tersedu-sedu, menangis sedemikian ritmis.
          Saya menyentuh pundaknya, berusaha memberikan kekuatan. Ia segera menghambur dalam pelukan. Untungnya pelukan dari lelaki muda ini sudah dimengerti suami dan anak-anak saya, makanya mereka tak cemburu. Begitu juga guru-guru yang lain. Anak itu memang tak lahir dari rahim saya, tapi entah mengapa hati ini seperti memiliki lelaki ini.
          Ia terus menangis dalam pelukan. Saya membiarkan saja sampai ia mau berbicara.
          “Maafkan aku, Bunda.” Tuturnya setelah melepaskan pelukan saya.
          Ada apa? Tanya saya dalam batin. Pertanyaan itu hanya dalam batin, saya tak lagi berani untuk bertanya. Biarkan gemuruh di hatinya, ia ungkapkan sendiri.
          “Aku ....”
          Mendadak hening. Diikuti lampu yang mendadak mati. Hujan di luar datang dengan tergesa-gesa. Ah, rasanya suasana bumi terlalu mendramatisir keadaan ini.
          Ia berjalan memunggungi saya, kemudian mengambil napas panjang.
          “Aku tidak memiliki keluarga sudah, Bund. Lalu untuk apa aku pulang?”
          “Duduklah, Nak. Ceritakan semua sama, Bunda. Semuanya!”
          Ia segera mengambil foto keluarga yang berada di dompetnya yang lusuh. Dari sana ada potret keluarga bahagia. Ia menunjuk ayah, ibu, dan kakaknya. Sekalipun tanpa ditunjuk saya sudah mengerti.
          “Mereka keluarga yang mengambil dan kemudian membuangku secara perlahan, Bund!”
          “Aku juga selalu berharap, lelaki yang telah membuangku segera mati!” lanjutnya dengan mata nyalang, menunjuk kakak satu-satunya.
          Oh ... jadi, ingauannya itu adalah cita-cita terpendam. Pasti begitu banyak beban yang dimiliki dada dan pundaknya.
          Ia melanjutkan kisah. Dulu ketika masih kecil, ayahnya yang seorang nelayan berusaha melaut di tengah kondisi badai yang berkecamuk. Hanya karena si kakak meminta sepeda motor dan mengancam tidak akan sekolah.
          Sebenarnya mereka sudah punya tabungan untuk beli sepeda motor, hanya tinggal sejuta rupiah. Untuk melakukan kredit di dealer, pantang bagi keluarga kecil itu. Sebab bukan apa, jika sudah membeli sesuatu dengan tanpa kredit, pasti lebih enak dan nggak beban. Filosofi sederhana yang saya dapat siang ini dari lelaki itu.
          Makanya berhari-hari, si Ayah melaut. Dan naas, pada hari ketujuh. Lelaki itu dikabarkan hilang tersapu ombak di laut yang ganas.
          Tentu selaku anak, ia begitu geram pada kakaknya. Sejak saat itu, timbul hasrat ingin melenyapkan lelaki yang berjarak sembilan tahun darinya itu.
          Beruntung si Ibu benar-benar menguatkannya, untuk belajar melupakan. Ia pun berusaha menjadi diri yang lebih baik dari kakaknya. Ia tak pernah menuntut apapun dalam hidupnya. Hanya saja, semua berubah ketika menjelang SMA.
          Ia menuntut dengan jelas kepada Ibunya untuk melupakan kakak yang sedemikian berubah menjadi berantakan.
          Bukan tanpa sebab, saban hari kakaknya itu hanya memberi bekas luka di hati Ibu. Saat lelaki itu bersekolah, jika ibu tidak bisa memberikan barang yang diinginkan kakak pasti lelaki itu memukul dan melakukan tindakan keras yang sebenarnya bisa membuatnya di penjara.
          “Sudah sepatutnya kita lapor pada polisi, Ibu tidak bisa begini selamanya.” Ucap lelaki itu menirukan kejadian beberapa tahun lalu.
          “Tapi apa yang terjadi, Bun?” tanyanya di sela-sela sesi menceritakan bagian kelam dalam hidupnya.
          Saya segera menduga Ibu hanya menangis dan tak menjawab pertanyaan lelaki itu.
          Dan, perkiraan saya benar-benar tidak meleset.
          “Saat itu aku merasa punya Ibu yang bodoh, Bun. Mengapa lelaki itu bisa menjadi kakakku? Seandainya aku bisa meminta pada Tuhan. Aku tak ingin memiliki kakak seperti itu!”
Seandainya.... untuk pertama kali ia menggunakan kata seandainya. Ia memang sedang tak berandai-andai. Tapi, ah sudahlah. Lebih baik aku mendengarkan ceritanya saja!
          “Aku menjadi kasar juga, Bun. Setiap kali aku melihat bekas pukulan di wajah Ibu. Aku menunggu Kakak pulang. Setelah itu, kami berantem. Ibu melihat ini hanya menjerit ketakutan. Tapi, aku tak pernah puas jika belum memberi bekas yang sama pada tubuh kakak. Bunda tahu tubuhku jauh lebih tinggi dan besar dari lelaki pengecut itu. Sudah tentu aku dengan mudah menghajar kakak. Tapi, Bund. Aku sedemikian menyesal. Karena ketika aku tak ada di rumah, Ibu menjadi bulan-bulanan lelaki sialan itu!”
          Saya menginggit bibir tidak percaya dengna ceritanya. Bagaimana mungkin seorang anak tega membuat bekas luka yang teramat dalam bagi ibunya. Malin Kundang saja yang terkenal sebagai anak durhaka, hanya tidak mengakui ibunya, tanpa pernah memberikan bekas luka lewat pukulan. Dan, kakak dari lelaki yang berada di dekatku ini. Kelakuannya lebih biadab dari Malin Kundang.
          “Aku sampai hilang akal, Bun. Hingga aku meracuni makanan yang ia beli. Aku memilih makanan yang ia beli kuracuni, bukan makanan yang Ibu buat. Sebab aku tidak ingin ada apa-ada dengan Ibu. Aku sedemikian sayang pada beliau, Bun.”
          Saat mengucap kalimat demi kalimat itu. Air mata lelaki ini sudah tak tertahankan. Saya memegang tangannya, berusaha memberi kekuatan lebih.
          Ia kembali melanjutkan kisah ....
          Lewat racun itu, kakaknya berhasil masuk rumah sakit. Dokter segera memberi pertolongan. Hanya saja, penyesalan baru datang dalam pikirannya. Jika kakaknya hanya sakit, bukannya itu membuat biaya yang tak sedikit. Pun, jika mati, biaya yang keluar pasti banyak untuk tahlilan, pelayat, dan lain-lain. Sekalipun nantinya akan ada banyak beras dan gula yang didapat.
          Untungnya, si Ibu segera mengurus keringanan kepada desa. Jadi, biaya rumah sakit tidak terlalu dipikir. Kakaknya pun tertolong. Saat itu, lelaki yang saya anggap seperti anak sendiri ini melihat bahwa sang kakak bertobat. Dan menyesali bahwa kemungkinan keracunan ini adalah pengingat dari sang Kuasa untuk segera berhenti menyiksa ibunya.
          Ada suka ... ada duka ... porsinya sama saja.
          Kakak masuk rumah sakit mengakibatkan bertobat! Ada untungnya juga katanya bisa membuat kakak bertobat.
          Hidupnya pun langsung tentram, kakak segera mencari pekerjaan. Tak lama setelah itu, menikah dengan gadis pujaan. Lalu, terjadilah badai kembali dalam rumah mereka. Kakak menjadi kasar, memang tidak pernah memukul Ibu. Tapi, selalu memperlakukan ibu seperti pembantu.
          Ia tentu tak terima dan protes.
          “Tapi protes yang kukeluarkan membuatku pergi selamanya dari rumah itu, Bund. Hingga saat ini aku tak pernah menginjakkan kaki lagi.”
          “Kenapa?” akhirnya saya mengeluarkan kata tanya.
          “Kakak berkata, ia memiliki hak atas Ibu. Sementara aku tidak. Aku bukan anak kandung Ibu. Aku hanya anak ....”
          Ia tak melanjutkan. Anak angkat? Duh, masalah hidupnya sedemikian rumit!
          “Aku langsung bertanya pada ibu. Ibu tak menjawab, hanya isakan air mata yang keluar. Seolah-olah membenarkan perkataan kakak. Akhirnya aku keluar dari rumah itu, sebab aku merasa selama ini tak berguna membela perempuan yang bukan Ibuku.”
          Saya menyesali ucapan terakhirnya. Tidak ada yang sia-sia, Nak. Kamu patut membela perempuan yang sudah berkorban banyak waktu mengasuhmu!
          “Sampai saat ini aku merasa ingin membunuh kakak, Bun. Tapi, untuk pulang. Rasanya aku tak berani. Padahal, aku ingin sekali mencium tangan ibu.”
          Ada rindu, dendam, dan cinta yang bercampur menjadi satu dalam hatinya.
          “Pulanglah, Nak. Selesaikan masalahmu!”
          Setelah mengucap kata itu, saya memerhatikan lelaki itu sudah sedemikian tenang. Mengurai permasalahan yang mungkin disembunyikan dari orang banyak.
          “Bunda juga mau pulang ke rumah orangtua!”
          “Aku ikut bunda libur semester ini?”
          “Tidak ... tidak boleh. Kunjungi Ibumu, doakan kakakmu. Mereka pasti menerimamu, Nak. Lupakan masalah yang ada.”
          Hujan di luar sudah reda. Suami saya segera menjemput. Kami pun bersama keluar dari ruang kepala sekolah.
          Malam yang diam-diam mengundang purnama, mengawali perjalanan saya dan suami ke rumah orangtua. Selain itu, ada senyum merekah ketika mendapat SMS dari anak itu. kalau ia pulang ke rumah orangtuanya malam ini. Semoga ia tak lagi menghitung luka yang bersarang di hatinya. Sebab, sebagai pimpinan di sekolah. saya merasa khawatir jika ada guru yang menghitung luka. Lantas menerapkannya pada muridnya.
(*) Dimuat di Berita Pagi Edisi 5 Februari 2017.

Related : Menghitung Luka (Dimuat di Berita Pagi Edisi 5 Februari 2017)

0 Komentar untuk "Menghitung Luka (Dimuat di Berita Pagi Edisi 5 Februari 2017)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)