Ajari aku membenci pujian, Bu
Dan mencintai kritikan
Karena pujian begitu melenakan
Sedang kritikan memperkuar asa dan harapan
....
Petikan puisi di atas adalah kutipan dari puisi Ajari Aku, Bu karangan saya. Di mana dalam puisi tersebut sebagai seorang penulisnya, saya merasa jika Ibu adalah segala. Ibu adalah Ibu. Ibu adalah sahabat. Dan Ibu adalah guru. Ya. Ibu bisa menjadi siapapun, tapi tak bisa digantikan siapapun.
Merujuk pada judul tulisan ini yang membahas persoalan kritikan dan pujian. Mari kita baca status Facebook Asma Nadia.
“Jika saya ditanya manakah yang lebih saya sukai: mendapatkan pujian dan kalimat yang membuat saya senang atau masukan dan kritikan agar saya memiliki sesuatu untuk direnungkan. Bahan untuk membuat proyek saya menjadi lebih baik? Tanpa ragu saya akan pilh yang kedua. Apaagi jika berasal dari pihak-pihak yang sayang dan peduli. Tulus ingin agar kita menjadi lebih baik. Sebab pujian tidak akan mengantarkan saya ke mana-mana. Ada banyak alasan orang memuji: benar bagus dan tulus, alhamdulillah jika demikian. Alasan lain sekedar tidak ribut atau memang tidak memiliki pisau bedah karya yang baik. Bisa juga karena cari muka. Sementara input, kritikan dan masukan terlepas benar atau tidak, bisa menjadi bahan renungan dan catatan untuk terus memproses diri dan selalu lebih baik dari waktu ke waktu. Lagi pula selain Isa Alamsyah, saya mungkin orang yang paling keras kritikannya terhadap karya sendiri sejauh ini.”
Penulis sekaliber Asma Nadia sendiri lebih menyukai kritikan. Saya pun sependapatn dengan beliau. Karena menurut saya pribadi, suatu saat pujian bisa menjadi ujian. Jika kita tidak waspada dalam menyikapinya.
Pun, dalam kehidupan sehari-sehari. Ketika saya berhasil mengumpulkan puisi-puisi yang telah lama ditulis menjadi sebuah buku. Banyak orang yang memuji dan mengaku bangga dengan saya.
Bahkan salah satu dosen berkata, “Trisno adalah kebanggaan bagi Ibu.” Ya. Awalnya saya bangga. Serasa naik ke atas gunung tanpa sedikit pun merasa lelah. Tapi, kemudian saya merenung atas pujian tersebut. Jika suatu saat kebanggaannya ini melakukan hal yang tak sesuai di mata beliau. Pastilah rasa kekecewaan beliau berlipat-lipat.
Pun, sebelum itu saya mendapat kritikan atas buku itu dari teman sendiri yang juga satu kota. Tulisannya di blog pribadinya itu membuat saya mengubah hal yang telah saya lakukan. Beruntung, buku Ajari Aku, Bu dicetak dengan sistem Print Of Demand. Artinya, jika suatu kesalahan ditemukan. Kami langsung bisa membenahi.
Dan selain itu, buku tersebut pun juga telah banyak dipesan oleh berbagai kalangan di berbagai daerah. Paling banyak adalah kaum Ibu.
Mereka pun memberi pendapat atas buku tersebut. Sungguh, terstimoni mereka membuat saya merasa di atas awan.
Seperti berikut:
Saya bukan siapa-siapa. Hanya seoragn anak yang tak mungkin bisa mendekatkan diri pada-Nya tanpa seorang Ibu. Dan saya hanya seorang Ibu yang berusaha untuk menjadi yang terhebat buat putriku satu-satunya. Duh, kata-kata Gusti serupa memori tentang Ibu, wanita hebat yang selal dirindu. Puisi-puisi dalam buku “Ajari Aku, Bu”membuat para Ibu sepertiku berubah wujud semula. Dirindu, diharap, dan ditiru. Ibu adalah sejatinya guru. Nangis baca bukunya. Semoga Ibuku bahadia di sana. Aamiin.
Sri Lima Ratnandari, Sumatera Utara
“Ungkapan kasih sayang kepada ibu dalam sebuah puisi merupakan proses dari sebuah bakti anak yang tidak seberapa dibanding kasih ibu di sepanjang jalan kehidupan.”
Ahmad Sufiatur R. Penulis Novel Kesatria Kuda Putih.
“Sebuah ungkapan tulus dari hati yang dalam dan kehalusan pekerti dari seorang penyair pemula yang mencari jati diri dalam karya dan jiwanya sendiri. Yang masih butuh bimbingan menuju kedewasaanya yang tinggi, tinggi dalam makna, karya dan cinta. Cinta padaNya, cinta anak pada Bundanya, cinta pemuda pada bangsanya. Semoga sukses dalam hidup dan kehidupan. Serta, dapat menjadi teladan dan penerang bagi sesama hamba. Aamiin YRA.”
Aty Mulyani, Guru Biologi MAN Cendikia Jambi.
“Penulis menuangkan sosok ibu dalam suatu tulisan yang sederhana. Hasilnya setelah membaca kumpulan puisi ini tidak sesederhana tulisannya. Menjadikan kita selalu ingat pada seorang perempuan yang telah menghadirkan kita ke dunia. Karena cintanya yang sangat luar biasa pada seorang ibu, penulis merasakan kasih sayang yang hebat juga dalam menjalani hidupnya. Selalu tersimpan kerinduan yang dalam, sehingga doa tak pernah putus dihadirkan untuk seorang perempuan yang dipanggilnya ‘Ibu’.”
Dian Ambarwati, Polisi Wanita di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
“Di tengah-tengah puisi yang muncul di era ini terkesan membawa beban berat buat pembacanya. Trisno dalam Ajari Aku, Bu! Memberikan warna baru tentang fenomena visual kebatinan yang luar biasa. Lebih dari itu, puisi yang ditawarkan segar, cerdas, dan orisinil disertai diksi yang kuat.”
Mega Windayana, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember.
“Ajari aku, Bu. Tulisan yang sangat menarik, menyentuh perasaan dan iman.”
Moh Imron, Ketua Komunitas Penulis Muda Situbondo.
“Kumpulan puisi yang sangat menyentuh, memotivasi kita untuk selalu menyayangi ibu yang merupakan sosok bidadari nyata. Sangat pas bagi para penikmat sastra, di mana penyajiannya sederhana. Namun, tetap berkelas.”
Nurul Holila, Penulis Antologi Cerpen “Dermaga Patah Hati”.
Dan masih banyak testimoni dari pemesan atau first reader lainnya. Namun, ketika saya merenung. Rasanya buku tersebut, terlampau sederhana. Bahkan sangat sederhana. Jauh dari kesan sempurna. Baik soal diksi dan lainnya. Memang dalam penulisan puisi modern tidak terlalu banyak aturan seperti pada penulisan puisi lama.
Namun, alangkah lebih baiknya saya lebih cermat. Menyaring pujian yang masuk. Agar nantinya tidak melenakan saya dalam membuat karya selanjutnya. Dan Fernanda Rochman Ardhana, seorang sahabat dari dunia maya memberi komentar terhadap status saya yang mengenai ketika pujian menjadi ujian. Berikut pernyataannya. “Semoga dapat melewatinya, Sob. Ketika pujian datang nikmati saja, karena ada batas waktunya. Pujian itu akan hilang dengan sendirinya. Namun pujian harus dinikmati. Karena itu serupa dengan kita mensyukuri hasil jerih payah kita yang membuat pujian itu datang. Namun pujian tidaklah harus melenakan jiwa karena kita harus tetap melaju demi meraih pujian selainnya.”
Ok. Hidup dengan pujian memang enak? Tapi, jika kebanyakan bisa mabuk kepayang. Dan membuat kita nantinya haus akan pujian. So, selamat menikmati pujian yang mungkin akan menjadi ujian. Semoga tidak melenakan.
Ngampung iklan ya, para pembaca yang budiman. Heheh. Bagi yang mau pesan buku kumpulan puisi Ajari Aku, Bu bisa hubungi saya via inbox FB. Harganya cuma 25.000 (belum ongkir dari Jember). Agar lebih mudah, saya menggunakan ongkr. 15.000 (untuk wilayah Jawa Timur), 20.000 (Jawa), 25.000 (Non Jawa).
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, follow twitter @gustitrisno dan G+ (+Gusti Trisno), ya? Apabila informasi ini bermanfaat bagi kamu. Bisa juga follow FP Blog Gusti Trisno biar dapat update info setiap hari. J
0 Komentar untuk "Ketika Pujian Menjadi Ujian"