Museum Ibu Menjadi Sajian Pembuka di Acara Pekan Literasik Situbondo



Pamflet Kegiatan Hari Pertama Pekan Literasik Situbondo

Pekan Literasik Situbondo merupakan acara yang digagas oleh dua komunitas literasi kota Santri yakni Gerakan Situbondo Membaca (GSM) dan Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS).
          Ketika mengetahui jika sebentar lagi buku Museum Ibu terbit, ketua GSM Mas Sufyan menawarkan saya untuk membedah buku tersebut. Sekaligus menjadi pembuka acara.
          Mengetahui itu, saya pun bersepakat. Tapi, ada satu hal yang menjadi pikiran saya. Yakni soal waktu bedah bukunya, saya khawatir tidak bisa hadir. Sebab, pada bulan Maret saya memiliki agenda harus ujian skripsi. Saat itu, saya masih berjuang untuk mendapatkan tanggal yang pas. Jika saja tanggalnya bersamaan, tentu saya galau bukan kepalang. Untungnya, tanggal ujian skripsi itu dua hari sebelum pelaksanaan Pekan Literasik Situbondo. Tentu, tak lagi ada kekhawatiran.
          Buku Museum Ibu sendiri saya terima pada tanggal 9 Maret dari Penerbit. Keesokan harinya, saya langsung menyerahkan pada Mas Imron untuk diberikan kepada pembedah.
          Sehingga bedah buku pada tanggal 13 Maret benar-benar terjadi.
Pembedah memaparkan hasil bacaannya terhadap buku Museum Ibu.
          Di acara yang diselenggarakan di Aula Perpustakaan dan Arsip Daerah Situbondo itu, saya bercerita jika cerita pendek dalam Museum Ibu itu ditulis dari 2012-2017. Sebagian ceritanya berasal dari imajinasi, pengalaman pribadi, membaca buku, dan menonton film. Di sana saya juga menegaskan bahwa cerita tersebut tidak banyak yang saya ubah dari segi subtansi. Hanya sekadar memerhatikan aspek ejaan, sebab saya merasa eman jika cerita yang ditulis tahun 2012 dirombak total dengan gaya kepenulisan saya saat 2017. Tentu, esensinya menjadi hilang. Rasa osinilnya tidak lagi berasa. Makanya, saya tidak banyak melakukan perubahan. Padahal, detail dalam beberapa cerita. Terutama, saat awal-awal belajar menulis itu masih perlu banyak diperbaiki.
          Hal itu pula yang menjadi catatan pembedah. Lelaki yang juga menjadi dosen di Universitas Abdurrahman Saleh Situbondo itu mengungkapkan bahwa detail cerita kurang pada beberapa judul, walaupun begitu tidak mengurangi rasa penasaran untuk memiliki buku tersebut. Pembedah juga mencermati sampul buku yang begitu filosofis dengan wajah seorang ibu, perahu, dan ombak berwarna biru. Sampul tersebut begitu dekat dengan Situbondo sendiri yang dikelilingi pantai.
          Selain hal tersebut, masih menurut pembedah buku tersebut memiliki banyak pesan yang dalam, seperti pada cerpen Kampus Para Penghujat, Titisan Timun Mas, Tak Ada Dosen Hari Ini, dan lain-lain. pesan-pesan tersebut digambarkan secara tersirat (tidak langsung).
Dari empat belas cerita tersebut, pembedah merasa bahwa Kampus Para Penghujat merupakan cerpen terbaik. Tutup pembedah.
Setelah pembedah memaparkan hasil telaahnya terhadap buku saya. Terjadilah diskusi alot dengan peserta Pekan Literasik Situbondo hari pertama itu. Moderator yang digawangi oleh Fathur membagi dua sesi pertanyaan.
          Pada sesi pertama, ada dua penanya, yakni: (1) Arifah yang berasal dari SMAN 1 Panarukan menanyakan bagaimana cara menulis dengan baik, runtut, dan bermakna; dan (2) Dari Putri Nurhasanah (siswa SMKN 1 Panji) yang menanyakan apakah ceritanya berkesinambungan.
          Saya pun segera menjawab pertanyaan Arifah bahwa setiap orang memiliki cara menulis atau proses kreatif yang berbeda. ada yang memulainya dengan langsung menulis, ada yang menulis dengan membaut kerangka terlebih dahulu, dan lain-lain. tapi sebagai proses kreatif, tentu menulis memiliki beberapa tahapan seperti: (1) mencari ide, (2) mengendapkan ide, (3) menulis, dan (4) menyunting. Proses pencarian ide bisa diperoleh dari bahan bacaan, film, masalah pribadi atau orang lain, dan lain-lain. setelah ide, didapatkan ada proses pengendapan untuk memecahkan masalah terkait ide. Cara mengontemplasikan proses pengendapan itu bisa dari teknik renung, yakni penulis bisa merenungkan beberapa kejadian sampai ide itu menemukan titik penyelesaian. Dalam hal ini, kita bisa membuat kerangka cerita. dan, saya sendiri ketika awal-awal menulis menggunakan cara ini. Namun, sekarang lebih enak menulis tanpa kerangka. Setelah dua hal tersebut, kita tinggal menulis. Baru deh menyunting tulisan sendiri artinya kita menyikapi tulisan dengan kacamata editor.
          Berkaitan pertanyaan kedua, saya menjawab dengan singkat bahwa 14 cerita tersebut tidak memiliki keterkaitan.
          Setelah mendapat jawaban yang sesuai dengan keinginan. Moderator segera membuka sesi kedua. Kini yang bertanya adalah seorang dosen Fakultas Sastra UNARS yagn juga menjadirekan kerja pembedah. Penanya tersebut bernama BU Sufi. Bu Sufi mengapresiasi mengenai penerbitan buku ini, walaupun begitu ia meminta penjelasan lebih detail seputar pengalaman menulis, proses kreatif menulis, dan unsur-unsur cerita.
          Tiga pertanyaan dari satu orang itu membuat saya cukup lama menjawab. Sebab jika ditanya seputar pengalaman menulis, tentu saya mengawali menulis sejak akhir SMA hingga sekarang. Sampai akhirnya pada 2015 barulah tulisan-tulisan saya tembus media. Dan, pengalaman yang berkesan itu saat mengikuti perlombaan di tingkat jawa Timur pada 2016. Sekaligus menerobehkan juara 2 (baca selengkapnya di sini). Barulah 2017 buku ini berhasil terbit.
          Lalu proses kreatif menulis, saya sendiri memperoleh ide dari apa saja. Misal tentang Tak Ada Dosen Hari ini, saya menulis itu saat berpikir bagaimana ya, jika suatu pagi dosen tak laig memberikan materi? Dari ide tersebut, tentu sudah ada banyak jawaban, seperti sebagian besar mahasiswa senang, sebagiannya tidak. Selain berdasarkan imajinasi, beberapa cerpen juga terinspirasi dari bacaan, seperti Museum Ibu terinspirasi setelah membaca cerpen Museum Luka yang dimuat di Jawa Pos, Titisan Timun Mas yang merupakan hasil refleksi dari dongeng Timun Mas, dan lain-lain. Sebab menurut saya, ide bisa berasal darimana saja. tinggal kita yang mengemasnya lebih elegan.
          Menjawab pertanyaan terakhir, saya sebagai orang yang belajar nulis tidak termasuk orang yang memerhatikan unsur-unsur cerita dalam proses menulisnya. Menulis ya. Menulis. Lepas itu baru deh, ngedit. Jika menulis berdasarkan teori A, B, C, dan D. Kita menjadi takut salah.
          Jawaban itu pula menjadi penutup cerita pekan Literasik hari pertama. Walaupun begitu, berkat acara tersebut. Saya jadi masuk koran. Tak percaya, silakan lihat gambar berikut:


Tentang kisah masuk koran, apa perlu saya menulisnya juga di blog ini?
Hehe. J



Related : Museum Ibu Menjadi Sajian Pembuka di Acara Pekan Literasik Situbondo

0 Komentar untuk "Museum Ibu Menjadi Sajian Pembuka di Acara Pekan Literasik Situbondo"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)