Sejarah Singkat Imam Hanbali

"Ia murid paling pintar yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung musibah akhir tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun alasannya menolak iman resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup tabiat agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain yaitu guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, usaha mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali menandakan hal itu.

Imam Hanbali yang dikenal andal dan pakar hadits ini memang sangat memperlihatkan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits populer semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka menyerupai Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi acuan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami pedoman Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.

Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.

Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, bekerjsama hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu alasannya ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.

Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan tiba begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, alasannya sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali berguru Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.

Setelah itu, ia mengunjungi para ulama populer di aneka macam tempat menyerupai Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali sanggup menyerap semua pelajaran dengan baik.

Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama populer di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu usang hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang mengakibatkan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia gres menikah sesudah usia 40 tahun.

Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra berjulukan Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra berjulukan Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya perempuan berjulukan Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.

Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama populer yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.

Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama andal fikih, berkata, ''Aku pernah tiba kepada Imam Hanbali, kemudian saya diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini yaitu rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'''

Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang mengakibatkan aliran ini sebagai madzhab resmi negara menciptakan kalangan ulama berang. Salah satu pedoman yang dipaksakan penganut Mu'tazilah yaitu paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.

Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan perilaku Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu menciptakan umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.

Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin populer dan banyaklah ulama dari aneka macam pelosok berguru kepadanya. Para ulama yang berguru kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.

Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam dilema fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memperlihatkan perhatian khusus pada dilema ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.

Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan aturan dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.

Ketiga, jikalau para sahabat berbeda pendapat, ia akan menentukan pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak terang persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan tetapkan salah satunya, tetapi mengambil perilaku membisu atau meriwayatkan kedua-duanya.

Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima yaitu qias, atau analogi. Qias dipakai bila tidak ditemukan dasar aturan dari keempat sumber di atas.

Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada kurun ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada kurun ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memperlihatkan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di daerah Timur Tengah.

Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di aneka macam forum pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang hingga sekarang jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling populer yaitu Musnad Ahmad bin Hanbal.




Sejarah Singkat Imam Hanbali

(Dari muslim.or.id)

Nasab dan Kelahirannya
Beliau yaitu Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab dia bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika dia masih dalam kandungan, orang renta dia pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu dia dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika dia gres berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut mencicipi penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya yaitu seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh cukup umur sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan dia sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga mempunyai ibu yang bisa mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi sentra peradaban dunia Islam, yang penuh dengan insan yang berbeda asalnya dan bermacam-macam kebudayaannya, serta penuh dengan bermacam-macam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, andal hadits, para sufi, andal bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Quran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab ketika berumur 14 tahun, dia melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak gampang goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi dia dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan dia biar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam dilema kesehatan. Tentang hal itu dia pernah bercerita, “Terkadang saya ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu hingga adzan berkumandang atau sesudah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian dia ketika itu memang tengah tertuju kepada harapan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau menyampaikan bahwa orang pertama yang darinya dia mengambil hadits yaitu al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 ketika berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melaksanakan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra dia bahwa dia mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, dia mulai melaksanakan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah kemudian ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang dia temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana yaitu Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri dia dan terkadang mengakibatkan dia acuan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber dia mengambil ilmu yaitu Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, dia amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau gres menikah sesudah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu hingga saya masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa menyerupai itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid dia berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya semenjak tahun tahun 180 ketika pertama kali dia mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab perihal tafsir, perihal an-nasikh dan al-mansukh, perihal tarikh, perihal yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, perihal jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz perihal Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari final hidup khalifah tersebut, biar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya tiba kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu perihal hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jikalau (perawinya) dari Kufah atau Syam, saya akan pergi mendatanginya jikalau memang shahih.” Ini memperlihatkan kesempurnaan agama dan nalar Imam Syafi‘i alasannya mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak saya tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang menyerupai Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jikalau ditanya perihal 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan dia di sisinya jikalau memberikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal menyerupai diketahui bahwa Harun bin Yazid yaitu salah seorang guru dia dan populer sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan terang tampak kecondongan khalifah yang berkuasa mengakibatkan unsur-unsur abnormal (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun mengakibatkan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim menentukan orang-orang Turki. Akibatnya, justru bertahap kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat aneka macam bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam iman dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, menyerupai Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, menerima sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, bisa mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan mengembangkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat perihal kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah hingga gosip kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy menyampaikan bahwa Quran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jikalau Allah menguasakan orang itu kepadaku, pasti akan saya aturan bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka bisa melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin mendapatkan pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun hingga mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi materi omongan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama perihal hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Quran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya biar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun balasannya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum hingga ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana dikarenakan telah hingga kabar perihal kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah menerima wasiat dari al-Makmun biar meneruskan pendapat kemakhlukan Quran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara kemudian dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat dia perihal kemakhlukan Alquran, tetapi dia bisa membantahnya dengan bantahan yang tidak sanggup mereka bantah. Akhirnya dia dicambuk hingga tidak sadarkan diri kemudian dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan berdasarkan yang lain-. Selama itu dia shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban dia tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan kolam gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, dia dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak bisa berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, dia kembali memberikan pelajaran-pelajarannya di masjid hingga al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad mencicipi cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu hingga al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian perihal kemakhlukan Quran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat perihal kemakhlukan Quran dan bahaya eksekusi mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para andal hadits untuk memberikan hadits-hadits perihal sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, dia jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, dia menghadap kepada rabbnya menjemput janjkematian yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar mayit dia hingga beratusan ribu orang. Ada yang menyampaikan 700 ribu orang, ada pula yang menyampaikan 800 ribu orang, bahkan ada yang menyampaikan hingga satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya memperlihatkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada ketika itu demi memperlihatkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian yaitu (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah citra ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana perilaku agung dia yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap menyerupai itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya alasannya dia sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.

Related : Sejarah Singkat Imam Hanbali

0 Komentar untuk "Sejarah Singkat Imam Hanbali"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)