Di Balik Cerdik Licik Si Kancil, Benarkah Si Kancil Mewakili Tipe Ideal Orang Jawa Atau Melayu-Indonesia?



DALAM dongeng hewan di Indonesia, kancil yaitu tokoh terpopuler. Cerita Kancil sudah usang ada dalam masyarakat Jawa, bahkan sebelum ada tradisi tulisan. Cerita Kancil sering dijadikan sarana pengajaran bagi anak-anak.
“Tokoh hewan cerdik licik ini di dalam ilmu folklor (cerita rakyat) dan antropologi disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu,” tulis James Danandjaja dalam Folklor Indonesia.
Menurut Sir Richard Windsted dalam A History of Classical Malay Literature, pada periode II SM pada suatu stupa di Barhut Allahabad India terukir adegan-adegan dongeng binatang, berasal dari dongeng agama Budha, yang dikenal sebagai Jataka. Dongeng hewan ini kemudian menyebar ke luar India; ke arah barat menuju Afrika serta ke timur menuju Indonesia dan Malaysia bab barat.
Dongeng si Kancil, tulis R.B. Dixon dalam The Mythology of All Races: Oceanic, terdapat di daerah-daerah di Indonesia yang menerima efek besar lengan berkuasa Hinduisme dan erat hubungannya dengan kerajaan Jawa Hindu dari periode ke-7 hingga periode ke-13.
Hipotesis Dixon, berdasarkan James Danandjaja, diperkuat dengan fakta bahwa dongeng si Kancil juga terdapat di negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang punya kekerabatan erat dengan kebudayaan Hindu. Sayangnya, beliau tak menjelaskan kenapa dongeng Kancil sanggup hidup hingga berabad-abad, atau apa fungsinya sebagai ungkapan kebudayaan dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda.
Kendati telah usang menjadi folklor yang dituturkan secara lisan, kisah si Kancil gres dibukukan pada periode ke-19. “Semua versi dongeng kancil berbahasa Jawa, ceritanya sanggup dilihat sebagai suatu siklus yang menceritakan seluruh riwayat hidup sang Kancil semenjak lahir hingga meninggalnya,” tulis T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A.
Versi dongeng Kancil tertua yaitu Serat Kancil Amongsastra karangan Kyai Rangga Amongsastra, penulis Kadipaten selama pemerintahan Pakubuwono V di Surakarta, yang dikarang pada 1822. Atas perjuangan Dr W. Palmer van den Broek, serat tersebut dicetak pada 1878. Buku induk lain dongeng si Kancil diterbitkan G.C.T. van Dorp di Semarang pada 1871. Cerita Kancil ini lebih dikenal dengan Serat Kancil van Dorp alasannya yaitu tak diketahui penulisnya.
Buku lainnya yaitu Serat Kancil Salokadarma karya R.A. Sasraningrat, putra Pakualam Yogyakarta, yang berangka tahun 1891. Cerita Kancil dalam buku ini kehilangan cirinya menyerupai Kancil pada umumnya. Hal ini, berdasarkan Abing Ganefara dalam skripsinya ihwal Serat Kancil Saloka Darma di jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia tahun 1990, alasannya yaitu terdapat konsep-konsep pemikiran gaib yang menonjol, sehingga tugas hewan dalam dongeng ini tak berbeda dari insan sehari-hari. Misalnya, ada tugas bercakap-cakap, mengajar, memberi nasihat, atau laga argumentasi sambil sesekali diselipi ajaran-ajaran mistik.
Naskah yang akrab dengan Serat Kancil Salokadarma, berdasarkan Behrend dan Titik, yaitu Serat Kancil Amongraja di mana memuat pemikiran moral, Islam, kebatinan, dan lain-lain disampaikan melalui wejangan. Tiada keterangan penulisan mengeni serat ini. Tapi melihat tanda-tanda bahasa dan terutama sasmitaning tembang yang diletakkan di awal pupuh baru, diperkirakan teks ini berasal dari bulat kesusastraan Pakualaman, Yogyakarta.
Perbedaan isi Serat Kancil Amongraja dengan serat-serat lain terletak pada tokoh Kancil yang digambarkan sebagai seorang cowok dengan ilmu pengetahuan luas. Dari penggambaran tersebut tidak tertangkap kesan bahwa Kancil yaitu tokoh binatang. Kancil merupakan putra Raden Pathangkus dari Ampeldenta dan seorang dewi dari negara Wiradi. Pada usia 16 tahun, Kancil telah menguasai ilmu kebatinan, falak, Alquran, sastra, bahasa Arab dan Jawa, hingga undang-undang dan aturan Jawa-Belanda.
Menurut James Danandjaja, dari semua peneliti ihwal dongeng Kancil, yang menarik yaitu karya Philip Frick McKean, The Mouse-deer (Kantjil) in Malayo-Indonesia Folklore: Alternative Analyses and the Significance of a Trickster Figure in South-East Asia. McKean menyimpulkan bahwa ideal folk (cerita rakyat) Jawa yaitu selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng si Kancil sanggup diambil kesimpulan bahwa Kancil mewakili tipe ideal orang Jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kebijaksanaan yang damai dalam menghadapi kesukaran, selalu sanggup dengan cepat memecahkan duduk perkara rumit tanpa ribut-ribut, dan tanpa banyak emosi. Benarkah demikian?

Referensi : Historia

Related : Di Balik Cerdik Licik Si Kancil, Benarkah Si Kancil Mewakili Tipe Ideal Orang Jawa Atau Melayu-Indonesia?

0 Komentar untuk "Di Balik Cerdik Licik Si Kancil, Benarkah Si Kancil Mewakili Tipe Ideal Orang Jawa Atau Melayu-Indonesia?"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)