Perjalanan Filsafat Cina, The Origins Of Chinese Philosophy



Filsafat Cina merupakan salah satu filasafat tertua di dunia, selain filsafat India dan filsafat Barat, dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar yang mensugesti sejarah perkembangan filsafat dunia. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Harmoni antara insan dan sesama, insan dengan alam, insan dengan surga. Selalu dicari keseimbangan antara keduanya. Toleransi terlihat dalam keterbukaan terhadap pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Perikemanusiaan, lantaran selalu manusia-lah yang merupakan pusat filsafat Cina, insan yang pada hakikatnya baik dan yang harus mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesama manusia.
Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara insan dan sesama, antara insan dan alam, antara insan dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusialah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina.

Perkembangan Awal Filsafat Cina
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat yakni sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan mendasar sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak sanggup dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut. Dalam hal ini yakni bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah kegiatan yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari kegiatan mudah kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah ihwal pengetahuan yang benar, pemahaman asli, dan penghargaan yang masuk akal atas banyak sekali masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga yakni lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat.
Pengertian “asal mula’ ini haruslah dilihat dalam konteks pandangan yang multi dimensi dan plural. Karenanya untuk memahami asal mula filsafat cinapun, orang perlu mengacu pada permasalahan tatanan yang dimunculkan, yakni historisitas, praktis, dan teoretis. Ketiga hal ini harus dilihat dalam satu kesatuan. Selain itu perlu dipahami pula bahwa pengalaman historis dan kultural ini memberi konteks bagi munculnya metodologi dan kosmologi, yang kemudian sanggup menerangkan pula ihwal lahirnya bahasa dan konstruksi filsafat. Pada akhirnya, filsafat itu kemudian memberi dampak bagi perkembangan sosial dan kultural masyarakat. Dengan demikian, filsafat menjadi sebuah sebuah self-refining, self-criticizing, dan juga sebagai proses pemenuhan diri atas tradisi kultural.
Berdasarkan inovasi arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur maritim dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini yakni budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.
Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada ketika Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke kawasan Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga ihwal praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang semenjak awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade.
Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar masa ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat besar lengan berkuasa dan membentuk ciri-ciri khusus yang membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai kesannya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar berdiri dan mulai memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan baik.
Kaum aristokrat terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, lantaran pada ketika negeri dilanda kekacauan dan perang yang diharapkan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu masa memerintah negeri Cina. Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan aturan berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad mensugesti pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan banyak sekali upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk menerima legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melaksanakan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memperlihatkan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melaksanakan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melaksanakan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu dengan penguasa yang lain.
Dilatarbelakangi keadaan menyerupai itu filsafat Cina lebih banyak memusatkan perhatian pada dilema politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang menciptakan filsafat Cina mempunyai ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam.
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan insan itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina ihwal realitas dan alam dari animo utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru menciptakan mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri insan sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.
Dalam tradisi Zhou Yi, pengalaman akan perubahan dalam alam pada masa Cina Kuno menjadi terorganisasi dan terartikulasi ke dalam sebuah sistem pemikiran dan klarifikasi ihwal realitas. Pengorgansiasian dan pengartikulasian inipun tidak hanya memperlihatkan sebuah pandangan kosmologis mengenai dunia dimana insan sanggup menemukan tempatnya yang layak dan kiprah yang layak, tetapi juga membuatkan sebuah cara pemikiran menuju dunia yang berintegrasi dan the self, dan ekspansi makna fakta-fakta dan penentuan nilai pemahaman. Karenanya, Zhou Yi sebagai sebuah pemikiran filsafat Cina, memperlihatkan sebuah cara pencapaian keseimbangan, sentralitas, harmoni dan komprehensi menyerupai halnya dalam sebuah perkembangan transformatif, usaha kembali ke sumber final mereka.
Berikut ini yakni beberapa aspek penting dari Zhou Yi sebagai sebuah cara pemikiran dan juga ihwal dampaknya terhadap filsafat Cina:
1. Zhou Yi berfokus pada totalitas dari realitas dan hal-hal yang membuatkan sebuah sistem realitas yang lengkap/komplit. Kelengkapan (complitness) ini dimulai dari observasi dasar terhadap oposisi komplementer ataupun terhadap polaritas sebagai penentu keseluruhan.
2. Zhou Yi berfokus pada harmoni sebagai suatu keadaan inseptif atas kreativitas (sheng) dan pada harmonisasi sebagai the natural end state dari realitas dalam sebuah proses perubahan dan transformasi.
3. sudut pandang kosmologis ini juga memampukan kita untuk melihat dunia sebagai ceaseless activity terhadap realisasi harmoni dan pada ketika yang sama sebagai suatu harmoni dalam beberapa tingkatan yang disiapkan bagi perkembangan kreativitas selanjutnya.
Zhou Yi ini sanggup menjadi hal mudah dalam menuntun keputusan dan tindakan manusia. Salah satu kiprah terpenting dari keputusan insan dan tindakannya yakni untuk mengetahui dan menguasai masa depan. Namun yang jadi permasalahannya yakni bahwa lantaran masa depan itu belum terbentuk, kemudian bagimana kita sanggup berharap untuk bisa mengetahuinya? Zhao Yi menyampaikan bahwa kita boleh menggambarkan masa depan dalam pengertian model onto-cosmological dari pemahaman yang berdasarkan pada totalitas yin-yang dan kecenderungan kreatifnya ke arah harmonisasi dan harmoni.

Ciri-Ciri Filsafat Cina
Pertama-tama lantaran masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak sanggup dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran mudah berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para andal sejarah, mengemukakan beberapa ciri yang muncul akhir kecenderungan tersebut, adalah:
1. Dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak sanggup dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang menerima tempat dalam tradisi filsafat Cina, alasannya yakni filsafat justru lahir lantaran adanya banyak sekali dilema yang muncul dari kehidupan yang aktual.
2. Secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
3. Dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan insan dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
4. Meskipun menekankan pada dilema insan sebagai makhluk sosial, dilema yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina sanggup diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan insan menerima perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
5. Filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa insan sanggup mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui banyak sekali kebijakan mudah serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis menciptakan bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
6. Agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
7. Penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat aturan dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang aneh dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
8. Dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina menyerupai menyayangi mencar ilmu dan mendorong orang gemar melaksanakan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melaksanakan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai target apabila dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.

Periodisasi Filsafat Cina
Pokok pemikiran dari filsafat dan kebudayaan Cina yakni perikemanusiaan. Filsafat Cina lebih pragmatis dengan mengajarkan bagaimana harus bertindak supaya keseimbangan antara dunia dan nirwana tercapai. Ketika kebudayaan Yunani masih beropini bahwa semua makhluk dikuasai oleh suatu nasib buta (Moira), dan ketika kebudayaan India masih mengajarkan bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa insan sendiri sanggup menentukan nasib dan tujuannya.
Pada perkembangan melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat Cina sanggup dikategorikan ke dalam empat periode besar, yaitu: Zaman Klasik (600 – 200 SM), zaman Neo-taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M), zaman Neo-konfusianisme (1000 – 1900 M) dan zaman Modern (setelah 1900)
 
Zaman Klasik (600 – 200 SM)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat, seratus aliran yang semuanya mempunyai fatwa yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, contohnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah: Konfusianisme.

Konfusianisme
Kong Hu Cu merupakan seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama pengembang sistem yang memadukan alam fikiran dan kepercayaan orang Cina yang paling besar filosofinya menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi suatu pemerintahan ihwal cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat tingkah laris teladan yang kini telah menyerap dalam kehidupan dan kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Dari imbas pemikiran inilah Confusianisme banyak menghasilkan para intelektual di Cina, dan imbas intelektualnya ini besar lengan berkuasa terhadap sebagian penduduk di dunia.
Confusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 SM di kawasan Lu,di Shantung. Ia mengajarkan bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) yakni “jalan manusia”. Artinya: insan sendirilah yang sanggup menimbulkan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup sanggup dicapai melalui perikemanusiaan (“yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.. Dalam bahasa Mandarin aliran ini disebut
儒家 Rujia. Rujia memang sering diartikan sebagai filsafat Khonghucu. Sebenarnya Rujia berarti filsafat cendikiawan, Ru sendiri berarti cendikiawan atau sarjana.
Pada usia muda, yakni 17 tahun, Confusius diangkat menjadi pengawas kerajaan, sebagai pemilik ladang gandum umum dan lumbung pangeran, kemudian menjadi Kepala Peternakan. Ia seorang yang suka belajar. Pada usia 22 tahun ia mulai mengajar. Setahun kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus mengundurkan diri dari keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan kacau pada masa itu mengakibatkan ia tidak taat pada adat. Sikap Confusius sangat dihormati, terutama oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu selama tiga tahun itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat dari zaman Wen hingga Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Confusius yakin bahwa untuk mengamankan keadaan, maka harus kembali pada jalan yang telah ditempuh oleh yao dan Shun,yaitu dengan jalan berbakti dan setia. Ia mencar ilmu lagi dari semua buku-buku yang ada ihwal agama, adat, sastra, sejarah, musik, dan lain-lain. Kemudian semuanya itu digubah dan disadur sehingga berbentuk pedoman hidup bangsa Cina. Setelah habis masa sedih citanya ia mengunjungi loyang yang dibangun oleh Pangeran Chou. Ia mulai lagi mengajarkan pada murid-muridnya ihwal sejarah, kesusastraan, perihal upacara, musik syair, dan terus mencatat segala hal yang berarti dan diketahuinya dalam goresan pena yang berjudul “The Books of History (Shang Shu), The pring and Autum Annals, The Books of Rites, dan The Book of Song.

Filsafat Confusianisme dan Pengaruhnya
Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan yang. Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan yang mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memperlihatkan dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat Cina.
Confusius menganjurkan semoga orang mencar ilmu dan mempraktekan apa yang dipelajari sehingga menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang menyerupai ini ia sebut sebagai Qun Zi atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap tenag dalam segala situasi semoga sanggup menuntaskan persoalan-persoalan penghidupan dengan rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus bisa mengatur harta yang baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan ini dalam Confusianisme lantaran para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi dibandingkan kekayaan.
Itulah sebabnya di Amerika ketika ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas diduduki oleh orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan Jepang yang ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi fatwa Confusianisme.
Kemudian fatwa Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu sendiri. Dengan adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung tinggi, merupakan jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara keseluruhan. Selain itu faktor kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah motivasi besar bagi mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin semoga bisa memperlihatkan donasi bagi negaranya tersebut, sekalipun mereka hidup di negara orang lain.
Secara ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan Amerika sekalipun segai sebuah negara super power merasa riskan dengan keberadaan Cina tersebut. Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang besar dan tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian Cina. Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang Cina, merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi kehidupan yang jauh lebih baik.
Bagi orang Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan faktor pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur dianggap lebih magis dan bersifat irasional. Namun, fatwa Confusianisme yang termasuk filsafat Cina ini yang bergotong-royong bukan aliran agama, tetapi aliran falsafah hidup yang tidak mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama, sehingga bisa memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam waktu tak kurang dari dua ribu tahun.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional), namun dari uraian imbas confusianisme di atas terlihat terang bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional lantaran pemikiran ini sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun, pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300 tahun yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh fatwa Khonghucu. salah satu diantara mereka yakni Gottfried Wilhelm Von Leibniz, bahkan mengusulkan pada tahun1689 suatu acara pertukaran budaya Timur-Barat, mungkin seruan pertukaran budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional. dari pertukaran budaya diatas terlihat bahwa kini ini filsafat cina tidak lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat Confusianisme ini bisa mensugesti perkembangan pemikiran di dunia.

Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao berdasarkan Lao Tse yakni prinsip kenyataan objektif, substansi infinit yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan fatwa Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme yakni kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa ihwal Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini yakni 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道教 Daojiao (agama Tao). Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan 道學 Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia gres yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu fatwa filosofis, Taoisme terus berkembang hingga masa kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal ihwal Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari kepingan yang positif dan kepingan yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang dilarang melaksanakan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti aturan kodratnya.” Sikap pasrah terhadap aturan kodrat dan aturan alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para andal sejarah dan Filsafat Cina beropini bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero yakni orang-orang yang melaksanakan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan bersahabat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat fatwa Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan goresan pena tangan pribadi dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, menyerupai „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang mempunyai status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman ihwal tujuan dari keberadaan insan itu sendiri. Para filsuf Taois beropini bahwa tujuan setiap orang yakni mencapai transendensi spiritual. Oleh alasannya yakni itu, mereka perlu menekuni fatwa Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme beropini bahwa tujuan setiap insan yakni untuk mencapai keabadian, terutama keabadian badan fisik (physical immortality) yang sanggup dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua fatwa Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme beropini bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada kepingan ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun ihwal menyayangi kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun ihwal membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… insan tidak sanggup berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk menentukan antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat ihwal bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua beropini bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, kalau semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak mempunyai keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang ikhlas kepada orang renta mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga beropini bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memperlihatkan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan mudah yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme sanggup dipandang sebagai fatwa yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme mempunyai pengertian-pengertian yang agak berbeda ihwal konsep-konsep dasar Taoisme, menyerupai wu-wei, Tao, dan te, kalau dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.

Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” yakni dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk final hidup dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis serasi dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.

Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting yakni “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan usaha bahu-membahu untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, pribadi terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berkhasiat dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan negara-negara gila menyerupai tanah air sendiri, keluaga lain menyerupai keluarga sendiri, orang lain menyerupai dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Sekolah Mo berakar dari para hero yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan kemudian menjadi pengembara (游侠/ yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis yakni sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan hubungan yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung). Dari kepingan ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
“penilaian standar harus dilakukan… Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikasi… ihwal dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat…”
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip berdasarkan Mo Tzŭ yakni seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada insan lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih bermanfaat.

Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, sanggup dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan nalar dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan ihwal hal-hal menyerupai “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.

Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah aturan tidak berpikir ihwal manusia, nirwana atau dunia, melainkan ihwal soal-soal mudah dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari pola baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.

Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari fatwa Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati yakni ren, yang digunakan dalam tindakan yakni yi.” Jadi, ren yakni prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi yakni cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih menekankan diri sendiri. Ia memperlihatkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang Konfusianis lainnya yakni Xunzi. Dia yakni eksponen prinsip prinsip Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius sanggup dikatakan sebagai wakil dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, lantaran ia menekankan control social dan kodrat insan itu buruk.

Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menerka bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa insan yang dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang lantaran kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia membuatkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup yakni menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri, mencita citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti fatwa mereka. Tetapi lantaran diantara mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.
Sementara itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu beropini bahwa Dao yakni suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, fatwa ajaran mereka menekankan bahwa insan harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya.

Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bundar dari gagasan kaum Legalis berasal dari fatwa shi berdasarkan Shen Dao, fatwa shu berdasarkan Shen Buhai, dan fa berdasarkan Shang Yang. Han Fei menggunakan teori Xunzi ihwal kodrat insan dalam upayanya mempertahankan bahwa aturan dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian .Han Fei juga menggunakan keyakinan wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang menggunakan aturan yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian mengambarkan bahwa mereka bertentangan pribadi dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan imbas manusia.
Menurut Sima Tan (meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang dikatakan mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang terdiri dari:
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para andal ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli politik

Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao menerima arti baru. Tao kini dibandingkan dengan “Nirwana” dari fatwa Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menimbulkan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai kepingan penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.

Zaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi fatwa filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga fatwa ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme yakni bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah semenjak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala gres Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir fatwa Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia menggunakan diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang membuatkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia menggunakan 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga membuatkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.

Zaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan masa kedua puluh imbas filsafat Barat cukup besar. Banyak goresan pena pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler yakni pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah imbas Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama semenjak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat contohnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.

Pemikir-Pemikir Aksial dan Formasi Sekolah-Sekolah Filsafat
Perkembangan filsafat Cina pada periode dari tahun 475-221 SM merupakan sebuah proses kreatif dimana dua tradisi kebudayaan muncul sebagai respons atas perubahan sosial dan politik ketika itu. Humanisme politis dan naturalisme organik yakni dua posisi tipikal sebagaimana lebih lanjut dikembangkan dalam konfusianisme dan Daoisme.
Mencius mengindentifikasikan dilema sentral waktu sebagai stabilitas politis dan sosial (ding). Persepsinya dan wawasannya dalam dilema ini yakni bahwa dunia ini akan “distabilisasikan oleh being unified” (ding-yu-yi). Persoalannya yakni bagaimana dunia ini disatukan dan ditata berdasarkan sebuah sistem prinsip-prinsip, contohnya: tatanan Zhou atau Li.
Selain itu, dikatakan pula bahwa legalisme berkembang dari penyatuan dan perbandingan banyak sekali sekolah filsafat pada awal-awalnya, menyerupai konfusianisme, Mohisme, Daoisme. Dari konfusianisme berupa pengontrolan massa dengan otoritas dan keyakinan ihwal alam jahat insan (Hsun Tzu), dari Mohisme berupa prinsip kesamaan dan utilirianisme, dari Daoisme berupa prinsip-prinsip non-aksi (wu-mei). Faktor terpenting dari pemikiran legalis yakni pertimbangan dari kebutuhan mendesak untuk pemerintahan yang tersentralisasi dan tersatukan. Selain empat sekolah tersebut, dalam periode Cina klasik juga muncul nama-nama sekolah, menyerupai sekolah Yin-Yang Wu-Xing, sekolah taktik Militer (Bing Jia), sekolah agronomi (Nung Jia) dan sekolah Diplomatik (Zong Heng Jia).
Sekolah-sekolah filsafat ini mengetengahkan sebuah transformasi nilai-nilai dan sebuah rekonstruksi tradisional, penciptaan standard gres ataupun paradigma baru. Karl Jaspers menyebutnya sebagai masa aksial. Para filsuf yang dikenal besar lengan berkuasa pada periode klasik sejarah cina ini yakni para pemikir aksial. Mereka menanggapi secara kritis masa mereka dan terhadap dunia waktu mereka, dan yang membuatkan arah-arah dan visi-visi pada sebuah transformasi nilai untuk seluruh kemanusiaan. Ini yakni sebuah integrasi kreatif dari li dan tradisi zhi. Apa yang disebut kreatif dalam wawasan mereka itu ditarik dari keterlibatan eksistensial mereka dalam dunia dan kemnausiaan.
Beberapa ciri dari “pemikir aksial”:
1. Mereka disebut pemikir aksial apabila mereka memikirkan bagi dunia, sebuah keseluruhan masyarakat, kelas sosial, sebuah lokalitas khusus dan dirinya.
2. Mereka bisa untuk menancapkan pengaruhnya pada generasinya dan generasi sesudahnya dalam sebuah cara yang alami dan spontan. Tidak ada manuver politik dalam mensugesti masyarakat. Pengaruh tersebut muncul melalui jalur sosial dan kultural seperti: mengajar, lecturing dan percakapan atau obrolan dalam sebuah lingkungan intelektual ataupun yang berbasiskan akademis.
Ada beberapa macam jawaban kritis di antara para filosof, yang mana masing-masing mempresentasikan sebuah tindakan kritik dan penilaian atas realitas sosial dan politik.
1. Tipe pertama jawaban kritis yakni melepaskan realitas sosial dan politik dan dalam pengertian untuk mengatasi realitas sosial politik untuk sesuatu yang sungguh memang bersifat utopia
2. Tipe kedua yakni jawaban konfusian atas rekonstruksi. Dalam basis pengalaman kulturalnya dan refleksi historisnya, konfusius melihat adanya nilai yang menekankan kembali tradisi li. Konfusius juga menekankan soal keberadaan dan kekuatan ren, kekuatan dari transformasi moral atas individu insan dalam relasinya dan transaksi dengan yang lainnya. Ren dalam filsafat konfusius berarti kualitas yang menegaskan kemanusiaan yang mempunyai kekuatan untuk membuatkan kemanusiaan dari pusat seorang individu ke sebuah komunitas melalui hubungan insan yang tertata dengan baik dan atas pertemanan yang harmonis.
Konfusius mengubah political ren ke dalam suatu moral and human ren. Ada 3 point yang ditunjukkan. Yang pertama, belas kasih dan kebajikan terhadap orang-orang secara umum diperluas dengan melibatkan unsur perasaan dan tindakan pribadi individu dalam masyarakat. Yang kedua, bukanlah penguasa itu sendiri yang bisa untuk mempraktekan ren atau yang harus mempraktikannya. Semua insan bisa mempraktekkannya dan harus mempraktekannya supaya lebih manusiawi dan dimanusiakan. Yang ketiga, ren harus dipandang sebagai kekuatan batin dari seorang pribadi manusia, yang sanggup dilatihkan dan yang membutuhkan adanya perhatian yang konstan supaya sanggup tumbuh ke dalam sebuah kesempurnaan.
Terkait dengan li (praktek), yi yakni esensi dari tindakan li. Dalam relasinya dengan yi, li yakni realisasi dari pemikiran akan yi. Dalam relasinya dengan ren, yi yakni objektivikasi dari ren. Dalam relasinya dengan yi, ren yakni kekuatan yi yang memotivasi. Dengan demikian, ren yakni bentuk yang paling konkret dan tepat dari semua nilai keutamaan dan merupakan integrasi dari semua keutamaan

Demikianlah perjalanan sejarah Filsafat Cina yang coba dirunut. Begitu banyak kelemahan serta (mungkin) kesalahpahaman dalam memahami sejarah filsafat ini yang memang tidak gampang apalagi begitu banyak istilah gila yang digunakan. Namun penulis mencoba semaksimal mungkin untuk menguraikan dengan baik bagaimana perjalanan ini mulai dari abstraksi dinasti Zhou hingga Neo konfusianisme. Pengaruh fatwa mereka memainkan peranan penting sepanjang sejarah Cina bahkan hingga sekarang. Meski terdapat sikap saling kritik antara filsuf satu dengan lainnya hal tersebut nyatanya telah membentuk suatu atmosfer pemikiran Cina secara keseluruhan.

Daftar Pustaka
1. Creel, H. G. Chinese Thought from Confusius to Mao Tse tung. 1953. Chicago: The University of Chicago Press.
2. Yu-Lan, Fung. A History of Chinese Philosophy, vol. I & II. 1952. Princeton: Princeton University Press.
3.Short History of Chinese Philosophy. 1948. New York: The Free Press.
4. Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006. Blackwell Publishing.

Related : Perjalanan Filsafat Cina, The Origins Of Chinese Philosophy

0 Komentar untuk "Perjalanan Filsafat Cina, The Origins Of Chinese Philosophy"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)