Perkembangan Filsafat Confusianisme Dan Pengaruhnya



Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan yang. Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan yang mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memperlihatkan dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat Cina.
Confusius menganjurkan biar orang berguru dan mempraktekan apa yang dipelajari sehingga menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang menyerupai ini dia sebut sebagai Qun Zi atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap tenag dalam segala situasi biar sanggup menuntaskan persoalan-persoalan penghidupan dengan rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus bisa mengatur harta yang baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan ini dalam Confusianisme lantaran para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi dibandingkan kekayaan.
Itulah sebabnya di Amerika dikala ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas diduduki oleh orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan Jepang yang ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi fatwa Confusianisme.
Kemudian fatwa Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu sendiri. Dengan adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung tinggi, merupakan jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara keseluruhan. Selain itu faktor kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah motivasi besar bagi mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin biar bisa memperlihatkan donasi bagi negaranya tersebut, sekalipun mereka hidup di negara orang lain.
Secara ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan Amerika sekalipun segai sebuah negara super power merasa riskan dengan keberadaan Cina tersebut. Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang besar dan tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian Cina. Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang Cina, merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi kehidupan yang jauh lebih baik.
Bagi orang Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan faktor pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur dianggap lebih magis dan bersifat irasional. Namun, fatwa Confusianisme yang termasuk filsafat Cina ini yang bekerjsama bukan aliran agama, tetapi aliran falsafah hidup yang tidak mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama, sehingga bisa memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam waktu tak kurang dari dua ribu tahun.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional), namun dari uraian imbas confusianisme di atas terlihat terang bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional lantaran pemikiran ini sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun, pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300 tahun yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh fatwa Khonghucu. salah satu diantara mereka yaitu Gottfried Wilhelm Von Leibniz, bahkan mengusulkan pada tahun1689 suatu kegiatan pertukaran budaya Timur-Barat, mungkin permintaan pertukaran budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional. dari pertukaran budaya diatas terlihat bahwa kini ini filsafat cina tidak lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat Confusianisme ini bisa menghipnotis perkembangan pemikiran di dunia.
Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao berdasarkan Lao Tse yaitu prinsip kenyataan objektif, substansi awet yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan fatwa Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme yaitu kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa wacana Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini yaitu 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道教 Daojiao (agama Tao). Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan 道學 Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia gres yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu fatwa filosofis, Taoisme terus berkembang hingga masa kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal wacana Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari cuilan yang positif dan cuilan yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang dihentikan melaksanakan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti aturan kodratnya.” Sikap pasrah terhadap aturan kodrat dan aturan alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para andal sejarah dan Filsafat Cina beropini bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero yaitu orang-orang yang melaksanakan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan bersahabat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat fatwa Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan goresan pena tangan eksklusif dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, menyerupai „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang mempunyai status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman wacana tujuan dari keberadaan insan itu sendiri. Para filsuf Taois beropini bahwa tujuan setiap orang yaitu mencapai transendensi spiritual. Oleh lantaran itu, mereka perlu menekuni fatwa Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme beropini bahwa tujuan setiap insan yaitu untuk mencapai keabadian, terutama keabadian badan fisik (physical immortality) yang sanggup dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua fatwa Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme beropini bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan sesudah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada cuilan ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun wacana menyayangi kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun wacana membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… insan tidak sanggup berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk menentukan antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan perilaku pasif dengan tidak melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat wacana bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua beropini bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, kalau semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak mempunyai keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang nrimo kepada orang bau tanah mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga beropini bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memperlihatkan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan mudah yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme sanggup dipandang sebagai fatwa yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme mempunyai pengertian-pengertian yang agak berbeda wacana konsep-konsep dasar Taoisme, menyerupai wu-wei, Tao, dan te, kalau dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” yaitu dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk simpulan hidup dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis serasi dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting yaitu “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan usaha bantu-membantu untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, eksklusif terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak mempunyai kegunaan dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan negara-negara absurd menyerupai tanah air sendiri, keluaga lain menyerupai keluarga sendiri, orang lain menyerupai dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Sekolah Mo berakar dari para hero yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan kemudian menjadi pengembara (游侠/ yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis yaitu sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan kekerabatan yang sempurna (Lǐ, tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung). Dari cuilan ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
“penilaian standar harus dilakukan… Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap evaluasi harus diverifikasi… wacana dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat…”
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip berdasarkan Mo Tzŭ yaitu seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada insan lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih bermanfaat.
Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, sanggup dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan nalar dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan wacana hal-hal menyerupai “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah aturan tidak berpikir wacana manusia, nirwana atau dunia, melainkan wacana soal-soal mudah dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari rujukan baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari fatwa Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati yaitu ren, yang digunakan dalam tindakan yaitu yi.” Jadi, ren yaitu prinsip sempurna untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi yaitu cara sempurna untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius mengritik Mohisme mengenai tata korelasi relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih menekankan diri sendiri. Ia memperlihatkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis korelasi yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang Konfusianis lainnya yaitu Xunzi. Dia yaitu eksponen prinsip prinsip Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius sanggup dikatakan sebagai wakil dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, lantaran ia menekankan control social dan kodrat insan itu buruk.
Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa insan yang dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang lantaran kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia membuatkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup yaitu menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam sebagai daerah mereka menarik diri, mencita citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti fatwa mereka. Tetapi lantaran diantara mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.
Sementara itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu beropini bahwa Dao yaitu suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, fatwa ajaran mereka menekankan bahwa insan harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya.
Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa lingkaran dari gagasan kaum Legalis berasal dari fatwa shi berdasarkan Shen Dao, fatwa shu berdasarkan Shen Buhai, dan fa berdasarkan Shang Yang. Han Fei menggunakan teori Xunzi wacana kodrat insan dalam upayanya mempertahankan bahwa aturan dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian .Han Fei juga menggunakan kepercayaan wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang menggunakan aturan yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian membuktikan bahwa mereka bertentangan eksklusif dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan imbas manusia.
Menurut Sima Tan (meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang dikatakan mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang terdiri dari:
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para andal ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli politik
Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao menerima arti baru. Tao kini dibandingkan dengan “Nirwana” dari fatwa Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menimbulkan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai cuilan penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.
Zaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi fatwa filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga fatwa ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme yaitu bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah semenjak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala gres Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir fatwa Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia menggunakan diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang membuatkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia menggunakan 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga membuatkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada karenanya membentuk sekolah Lu wang.
Zaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan masa kedua puluh imbas filsafat Barat cukup besar. Banyak goresan pena pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler yaitu pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah imbas Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama semenjak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat contohnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.

referensi:   
Creel, H. G. Chinese Thought from Confusius to Mao Tse tung. 1953. Chicago: The University of Chicago Press.
Yu-Lan, Fung. A History of Chinese Philosophy, vol. I & II. 1952. Princeton: Princeton University Press.
Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006. Blackwell Publishing.

Related : Perkembangan Filsafat Confusianisme Dan Pengaruhnya

0 Komentar untuk "Perkembangan Filsafat Confusianisme Dan Pengaruhnya"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)