Pada ketika ini terdapat majemuk jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan pemikiran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir sanggup dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), alasannya ialah pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa dituliskan di bawah ini:
Jenis:
Metode:
pasa di bulan pasa (ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan. Sebelumnya, simpulan bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut
tapa mutih
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut
tapa mutih
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari
tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam
tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak menggunakan api (geni) selama sehari-semalam
tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam
tapa ngrame
siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan saja
tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)
tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)
tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air
tapa nggantung
menggantung di pohon
dan masih banyak lagi jenis lainnya menyerupai tapa ngidang, tapa brata, dll.
Untuk memahami makna puasa berdasarkan budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laris spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil inovasi sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga penjelasannya pun menggunakan sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan budi / nalar. Ketiga, dalam budaya gaib Jawa terdapat akhlak guruisme, di mana murid melaksanakan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh alasannya ialah itu, interpretasi laris spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laris spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik.
Ciri laris spiritual tapa dan pasa ialah menikmati yang tidak lezat dan tidak menikmati yang enak, bangga dalam keprihatinan. Diharapkan sesudah menjalani laris ini, tidak akan gampang terpengaruhi dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga sanggup juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi besar lengan berkuasa sesudah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya ialah untuk menerima kesaktian, bisa berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini alasannya ialah pandangan gaib yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan gaib sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf ialah salah satu jalan di mana insan berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka agar lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh jadinya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)
3. Puasa sebagai ibadah.
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa menyerupai ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari ialah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di tempat santri dan kauman.
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan ialah sentra alam semesta dan sentra segala kehidupan alasannya ialah sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya membuat alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, alasannya ialah segala sesuatunya bergerak berdasarkan rencana
dan atas ijin serta kehendakNYA. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini ialah sumber yang sanggup menawarkan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang sanggup juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti,
yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral insan ialah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu insan menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gustinya. Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang tinggi dan paling akrab dengan dunia diatas, alasannya ialah pada awalnya dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung.
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir islam, dengan pandangan orisinil mengenai alam kodrati ( dunia ini ) dan alam adikodrati ( alam gaib atau supranatural )
Ciri pandangan hidup orang Jawa ialah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam ialah ungkapan kekuasaan yang memilih kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme ialah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya ialah satu, atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan insan selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan insan merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan insan berada dalam dua kosmos ( alam ) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Referensi : Satmata, Budaya tanah Jawa
0 Komentar untuk "Puasa Dalam Masyarakat Jawa"