Cinta Bertabur di Langit Panarukan (Dimuat di Radar Banyuwangi 28 Juni 2015)

Cinta Bertabur di Langit Panarukan
Oleh : Gusti Trisno


Pagi itu, hujan menyambut kedatangannya di Bandara Internasional Juanda. Tepat jam delapan pagi ia sampai di bandara yang terletak di kota pahlawan tersebut. Hari ini adalah hari yang sangat mendebarkan untuknya. Ia akan bertemu kembali dengan kedua orangtuanya yang sudah lama tak dijumpai. Mereka adalah sepasang malaikat yang Allah kirim padanya. Dia begitu kagum akan perjuangan mereka, ia terlahir dari keluarga yang pas-pasan namun alhamdulillah Allah memudahkan urusannya. Hingga ia bisa mendapat beasiswa di Universitas Islam tertua di dunia, yakni Universitas Al-Azhar Mesir. Ia mengambil fakultas Ushuluddin, jurusan Hadist Universitas Al-Azhar. Jurusan dan fakultas yang sama dengan penulis novel best seller Ayat-Ayat Cinta. Begitu banyak pengalaman yang dia dapat di negara piramida ini. Namun tugasnya sebagai sarjana universitas ini belum selesai.
Ia masih ingin kuliah master di tempat yang sama. Akan tetapi karena permintaan orangtuanya melanjutkan kuliah di sini. Ia mengambil keputusan itu. Mungkin dengan seperti itu ia bisa tambah dekat dengan mereka, malaikat cintantya.
Pelan. Tapi pasti. Langkah kakinya mulai beranjak pergi dari bandara internasional tersebut, sebuah taksi menggampirinya, seolah tahu, jika pemuda tersebut membutuhkan tumpangannya.
Jauh dari lubuk hatinya, sebuah nama kecamatan di Situbondo, ia ucap begitu sering.
Ah. Panarukan. Selalu menjadi tempat yang ia rindukan.
Sekitar dua jam kemudian, wajah Panarukan sebentar lagi terlihat.
            “Panarukan … Panarukan siap … siap.“ Suara kondektur sambil mengetok jendela.
            Tukang becak memperebutkannya, segera ia memilih sesosok lelaki yang berusia seperi sosok ayahnya. Sesampainya di rumah, ia dikejutkan dengan pernak-pernik yang tampak asing di mata.
            Rumah. Hiasan rumah. Sekitar rumah. Semua tampak berbeda.
            “Faris.Sebuah suara yang dikenal, memanggil.
            “Ibu.Jawab lelaki bernama Faris tersebut.
            Ia pandangi raut wajah perempuan penuh kasih, ia cium kening dan pipihnya. Ia meluapkan setiap rasa rindu  yang menggelora dalam dada.
Ibunya tak banyak berubah, kini wajah yang penuh dengan keteduhan itu tak berubah sedikit pun. Malah bertambah teduh dan cantik dengan sebuah kerudung berwarna biru muda.
            “Ibu, Ayah di mana?“ Tanya Faris setelah memandangi rumah yang kosong, tak ada penampakan sosok bertubuh kekar itu.
            “Ayahmu sibuk, Cong[1]. Beliau menjadi panitia acara petik laut di desa ini.“ Jawab Ibu dengan nada yang lembut.
            “O, gitu ya Bu. Ya, sudah Faris rehat sejenak ya!”
            “Iya, istirahat lah dulu, Nak”
            Ia pun segera melangkah menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Segera ia memicingkan mata, walaupun begitu pikirannya menerawang menembus cakrawala. Batinnya terus berpikir dan bertanya, apa itu petik laut? Dan untuk apa dilaksanakan? Dan sederat pertanyaan lain, turut terekam dalam otaknya.
Ia pun berinisiatif, mencarinya di Wikipedia.
Bentuk rasa syukur kepada Allh SWT atas segala limpahan karunianya banyak macamnya. Namun bagi komunitas nelayan, menunjukkan rasa syukur atas melimpahnya hasil tangkapan laut serta selalu selamat tanpa bencana serta rintangan apapun, hanya dikenal dengan ritual "Petik Laut" dan "larung saji".

            Ritual ini yang selalu dinantikan dan rutin dilakukan dikalangan komunitas nelayan, termasuk nelayan petik laut di Desa Kilen Sari, Kecamatan Panarukan. Upacara ritual yang selalu dipadati ribuan warga nelayan tersebut merupakan acara puncak. Ada pemutaran film, pentas seni, pementasan musik gambus, orkes dangdut, dan tari gandrung banyuwangi. Ada juga Pengajian dan berbagai lomba untuk masyarakat nelayan. seperti renang bebas, domino, catur, tari, tarik tambang, dan panjat pinang.

            Inti kegiatan petik laut adalah saat pelarungan sesaji ke tengah laut, sesaji itu disatukan dalam sebuah perahu kecil. Isinya macam-macam, namun yang paling menonjol adalah kepala sapi. Sebelum dilarung, sesaji itu telah melalui serangkaian ritual. Perahu sesaji diturunkan kelaut beramai-ramai kemudian dilarung ketengah dan ditenggelamkan.
            Itulah hasil Goggling yang didapat. Sungguh bener-benar membuatnya terkejut “Apakah benar dengan mengadakan ritual petik laut itu adalah ungkapan kebahagiaan kita terhadap Segala pemberian Allah berupa hasil laut yang melimpah. Hadits dari mana coba? Trus mengapa pakai sesaji segala?“ pikirnya, setelah membaca tulisan tersebut.
            Meskipun terlahir sebagai anak Panarukan, tak banyak yang ia ketahui tentang Panarukan. Pendidikan dari orangtuanya yang memaksanya jauh dari tempat yang penuh dengan kehidupan seorang nelayan itu. Sejak SD, ia tinggal di Yogyakarta bersama Bukleknya. Bahkan ketika  SMP & SMA mondok di sebuah Ponpes di Ponorogo.
Ia hanya pulang ketika puasa menjelang idul fitri. Pantes saja ia tidak tahu tentang petik laut ini. Bukankah petik laut tak pernah hadir di suasana idul fitri?
            Dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai dua, ia memandang kehidupan masyarakat yang begitu semarak menatikan kehadiran petik laut. Sesaat, Ibu mendatanginya.
            “Yuk, kita jalan-jalan keliling kampung!” ajak Ibunya.
            Ia segera mengangguk. Dan pemandangan penduduk merasa janggal dengan kehadirannya. Wajahnya yang bersih, namun penuh dengan brewok. Ia  hanya mengeluarkan senyum pada setiap orang yang merasa aneh dengan kedatangannya.
            Ibunya terus berjalan, hingga langkah kakinya terhenti ketika seseorang ada yang memanggilnya.
             “Begini Bu … saya ingin membahas masalah majelis taklim semalam, Bu. Tampaknya kelompok majelis taklim ini akan istirahat untuk sementara. Karena sebagian besar dari anggota sibuk dengan petik laut.” Urai lelaki paruh bayah kepada ibunya.
            “Oh gitu yah Pak, saya sih terserah ibu-ibu yang lain. Kan bapak yang ngasih tausiah dan bapaklah yang lebih pantes memutuskan. Jika saya manut-manut saja lha “ Jawab Ibu.
            “Oh ya Bu … Terima kasih atas pendapat Ibu, saya pamit dulu …. Sih Rana takut nyariin.” Kata lelaki itu dengan nada sedikit panik seraya mengucap salam.
            Pertemuan dengan lelaki itu pun berakhir. Sedikit banyak, ia mendapat cerita dari Ibunya tentang Pak Haji Samsul beliau adalah sosok haji idaman. Pengetahuan tentang agamanya sangat luas. Namun sayang anaknya yang bernama Rana dibenci masyarakat sekampung gara-gara tidak setuju akan adanya event petik laut itu.
***
Mentari pagi bersinar begitu terang hari ini hari libur nasional. Minggu. Tinggal tiga hari lagi event budaya itu akan terselenggara. Petik laut, ia mulai menyusun rencana untuk menggagalkan budaya yang kurang disukai itu. Mungkin dengan bantuan Rana semua bisa mudah. Ia bergegas mendatangi rumah Pak Haji Samsul dan berharap Rana ada di sana.
            “Assalamualaikum.“ Katanya, mengucapkan salam sebagai orang Islam.
            Ia menunggu sosok yang akan membuka pintu ini untuk mempersilahkannya masuk, tak perlu menunggu waktu lama. Akhirnya ada sesosok bidadari yang membuka pintu rumahnya, dia mengenakan jilbab berwarna putih. Wajahnya terlihat bersinar mungkin karna Shalat Tahajjud yang sering dia kerjakan. Tak salah lagi, itu pasti Rana.
            “Waalaikum salam, mohon maaf Mas. Ada kepentingan sama Abah yah?“ Jawab perempuan itu dengan nada keheranan.
            “Oh itu…tidak saya lagi butuh dengan yang namanya Dik Rana.“ Jawabnya sedikit canggung
            “O, saya sendiri Mas, silakan duduk.“
            Ia langsung menjelaskan pada Rana, perihal kedatangannya kemari. Mereka berdua mempunyai pendapat yang sama yakni sama-sama menolak akan adanya acara petik laut itu. Mereka pun mengatur waktu besok se-usai kuliah jam tiga sore. Rana mengajaknya menuju Pelabuhan Panarukan. Rana akan menjelaskan semua di sana biar lebih enteng katanya. Karena hari ini dia ada janji dengan salah seorang sahabatnya. Faris pun menyetujui hal itu.
***
Sore yang dari kemarin di tunggu-tunggu datang, namun tampaknya Faris dan Rana tak akan berhasil untuk menggagalkan rencana petik laut ini pasalnya waktu untuk petik laut hanya tinggal dua hari lagi. Faris pun menelpon Rana yang kemarin memberi sebuah nomer telepon, terdengar jelas suara halusnya.
Dari sambungan telepon tersebutlah mereka pergi ke Pelabuhan Panarukan. Sebuah pelabuhan yang dekat dengan daerah rumah yang terletak di daerah pesisir.
             Rana pun menjelaskan tentang sejarah pelabuhan ini dari mulai yang kecil hingga yang besar. Ia terlihat sangat fasih dan hafal sejarah ini. Faris baru tahu bahwa jika pelabuhan ini dulunya adalah pelabuhan internasional di masa penjajahan Belanda.
Di tempat yang dinamakan dermaga baru Panarukan dan ditambah cerita dari Rana, membuat kekaguman tersendiri dalam hati Faris. Apalagi ketika melihat lalu lalang nelayang yang sibuk hilur-mudik disamping mereka.
Rana kemudian menjelaskan jika tujuan diadakan tradisi tersebut karena diyakini mampu membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi nelayan yang ditandai melimpahnya ikan (hasil laut) dan selain itu untuk mengingat sejarah pelabuhan Panarukan yang  mempunyai nilai sejarah yang digunakan sebagai sarana untuk mengeskpor tembakau ke luar negeri. 
            Rasanya Faris semakin penasaran dengan tradisi ini. Ia pun berniat ingin ikut acara ini, namun hal tersebut berbeda dengan Rana yang berhalangan untuk tidak mengikuti acara tersebut. Mereka  pun pulang dengan keadaan tidak ada penolakan terhadap tradisi ini. Faris berniat untuk mengikuti bersama Ibu dan Ayah yang kebetulan menjadi panitia.
***
Hari ini adalah hari yang akan menjadi sejarah bagi Rana. Ia duduk termangu di depan kamarnya. Terbesit di hatinya ingin sekali mengikuti acara petik laut itu namun karena kesibukannya sebagai mahasiswa membuatnya tak bisa mengikuti acara budaya tersebut. Tiba-tiba sesosok lelaki misterius membius tubuhnya membawanya ke tempat yang tak bisa dijangkau oleh pikiran Rana.
            Tiba-tiba Faris melihat tubuh Rana di sebuah perahu. Ia terlihat bingung bagaimana mungkin Rana bisa ada di perahu ini. Bukankah ia tak bisa datang ke acara petik laut ini? Tiba-tiba Rana terbangun. Suara Pak Haji Samsul terdengar di belakang mereka. Dan seorang pemuda mendekat diantara mereka.
            Di samping itu selama sekitar satu jam, puluhan kapal nelayan yang dihias sedemikian rupa itu berputar-putar di laut. Selain mengangkut sanak saudara para nelayan, tidak sedikit pula para pengunjung yang ikut naik ke kapal. Puluhan perahu tersebut akhirnya berhenti di tengah laut untuk menggelar ritual petik laut.
Tepat di tengah itu pula, Faris melihat kesungguhan Dandi. Ya. Nama pemuda tampan itu utnuk meminang Rana. Entah, dari mana asalnya rasa cemburu bersarang dalam hati Faris.
             Perahu kembali ke bibir pantai. Sedang Rana tak juga bibirnya berkata untuk menerima atau menolak pinangan dari pemuda tampan itu.  
            “Mohon maaaf Dandi, aku mengganggapmu hanya sebagai saudara. Tidak lebih, aku tidak mencintaimu. Namun aku mencintai sosok lelaki yang juga ada satu perahu dengan kita.“ Jawab Rana mengangetkan se-isi kapal.
            “Siapa itu Rana?“
            “Dia itu adalah Faris, dia berada di belakangmu.Jawab Rana.
            Cinta itu sulit untuk terdefinisikan, dan kini, Faris menemukannya lewat acara budaya yang tak disangka-sangka. []
Situbondo, November 2012


Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, follow twitter @gustitrisno  dan G+ (+Gusti Trisno), ya? Apabila informasi ini bermanfaat bagi kamu.  Bisa juga follow  FP Blog Gusti Trisno biar dapat update info setiap hari. J


Related : Cinta Bertabur di Langit Panarukan (Dimuat di Radar Banyuwangi 28 Juni 2015)

0 Komentar untuk "Cinta Bertabur di Langit Panarukan (Dimuat di Radar Banyuwangi 28 Juni 2015)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)