“Desa menyerupai kaki, kalau kaki lumpuh maka badan dan kepala tidak akan optimal” (Mohammad Yamin).
Di Indonesia, desa nyaris terlalaikan dalam pembangunan dan pemberdayaan. Desa kolam anak tiri yang dilupakan ibunya (kota). Pasalnya, lengkapnya aneka akomodasi memusat di kota-kota. Hal ini pasti tidak cocok dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 yang menyebutkan, pemerintah sentra dan pemerintah kawasan menyelenggarakan pemberdayaan penduduk desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan.
Untuk itu, selaku mahasiswa yang tengah hijrah menempuh pendidikan di kota sebaiknya berpartisipasi dan dalam proses pembagunan desa yang sekarang memperoleh Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 1 samapi 1,4 milyar dari APBN untuk menjamin kemakmuran desa – pasti juga untuk demi menghadapi ekspresi dominan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Atau memutuskan terus menerus cuma menyaksikan desanya terpinggirkan serta kalah dengan desa lainnya?
Kita mesti sama-sama menyadari jika, menurut Badan Pusat Statistik 2014, penduduk miskin meraih 28,28 juta orang, yang mana sebanyak 10,5 juta orang tinggal di kota dan sebanyak 17,7 tinggal di desa.
Di segi lain, kekompleksitasan kendala desa sekarang juga penyebab orang desa memutuskan bertumpuk dan berjejalan di kota, bertempat di pinggiran kota yang kumuh. Inilah yang memunculkan urbanisasi yang tak sehat. Orang desa yang berbondong-bondong ke kota cuma untuk menyerbu ekonomi dan memburu mimpinya. Akibatnya, kendala kekerasan, ketimpangan, kemiskinan, kemacetan, pencurian, pendidikan yang masih tertinggal, dan masalah-masalah sosial yang lain terus tak terelakkan dalam pemberitaan media-media kita.
Kini saatnya tugas mahasiswa selaku “kekuatan politik” biar tak bergeming untuk mengaktualisasikan pemikirannya guna menyambung pengecap rakyat dan pemerintah demi tujuan perubahan. Mahasiswa mesti berani bergerak dan bersatu. Saat ini negeri kita masih belum merdeka sepenuhnya. Lantas apa yang dijalankan mahasiswa dalam membangun daerahnya?
Banyak cara untuk membagun desa, semisal menghasilkan program-program untuk desa, melek kendala desa, memberi edukasi terhadap penduduk desa dan lain sebagainya. Sudah saatnya masayarakat disadarkan akan corak perkembangan desannya.
Bukankah maju-mundurnya suatu desa itu tergantung pada pemimpinnya juga? Penguasa, layaknya petuah Montasqieu, “Penguasa condong menyelewengkan kekuasaannya, dan mengerjakan kekuasaan sesuai dengan kehendak sendiri.” [Henry J. Schmandt (2009)]. Nasihat mirip itu sayogyanya menghasilkan mahasiswa mempunyai persepsi untuk lebih terlibat menyelamatkan desa dari para oligarki pemerintah desa.
Jika menganalisa kegiatan yang dicanagkan oleh Kementerian Desa lewat gerakan desa membagun Indonesia, merupakan ide empuk yang berdasar pada Nawa Cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat kawasan dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal itu, tersirat dalam sajak WS Rendra berjudul Sebatang Lisong: “kita mesti keluar kejalan raya, keluar ke desa-desa, menghayati sendiri semua tanda-tanda dan menghayati duduk kendala yang nyata.”
Oleh lantaran itu, desa dilarang lemah. Bila desa lemah maka kotalah yang mau menemukan dampaknya. Karenanya, semua unsur baik yang di sekolah tinggi tinggi, pemerintah, dan forum sosial penduduk mesti bergotongroyong membagun negara lewat hal yang kecil, yakni peduli terhadap desa. Desa akan makmur bila lepas dari lilitan kemiskinan dan penindasan kaum borjuis desa.
Ingat! Tujuan kita bernegara salah satunya untuk mengentaskan kemiskinan. Majunya suatu desa sanggup berakibat pada majunya negara di mata negara-negara ASEAN. “Desa merupakan suatu unit dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjadi bibit kemakmuran negara”. Sudah saatnya desa kita menjadi kuat, maju, berdikari dan demokratis.
0 Komentar untuk "Mahasiswa Merupakan Biro Penyelamat Desa"