Sebagai mahasiswa Universitas Jember membuat saya sering melakukan perjalanan Situbondo-Jember apalagi jika di hari-hari libur kuliah semisal Sabtu-Minggu. Sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakan rutinitas pulang-kampung, meski tidak setiap Minggu dilakukan. Tapi selalu saya menyempatkan pulang-kampung minimal sebulan sekali.
Waktu itu, saya kembali ke Jember dengan Mbak Yusro--- anak kedua Ummi. Meskipun kami tak ada hubungan darah apapun, Mbak Yusro sudah seperti kakak sendiri, begitu pun Ummi yang tak lain adalah guru biologi sewaktu SMP.
Saya dan Mbak Yusro memilih tempat duduk tepat di belakang supir. Tiba-tiba pandangan kami dikejutkan dengan seorang anak perempuan yang sedang mimisan dan menengadahkan tangan kepada kami.
Miris! Sedih! Itu yang saya rasakan. Bagaimana mungkin orang tua rela menjadikan anaknya peminta-minta guna demi kepulnya sebuah asap dalam rumah? Bagaimana mungkin gadis yang seharusnya ceria di bangku sekolah berada di terminal dan meminta-minta? Sampai kapan gadis ini terus meminta-minta? Tak ada hak-kah dia mengecap nikmatnya menuntut ilmu di sekolah.
Mbak Yusro memberi beberapa lembar uang kepada gadis itu, sedang saya sibuk dengan berbagai pertanyaan yang entah kapan akan terjawab.
“Kamu harus bersyukur, Dik. Sekalipun hidup tidak bergelimangan harta. Tapi Ayah-Ibu tidak pernah menyuruhmu mengemis. Kamu masih bisa sekolah, bahkan hingga kuliah.” Komentar Mbak Yusro, ketika gadis itu beranjak keluar dari bus.
“Tapi Mbak aku tetap nggak habis pikir? Di mana orangtua gadis itu? Tidakkah mereka memiliki rasa kasihan terhadap gadis yang seharusnya sekolah?” akhirnya beberapa pertanyaaan itu terlontar juga dari mulut saya.
“Ya, inilah hidup Dik. Makanya kita harus banyak bersyukur.”
Saya masih belum puas terhadap jawaban dari Mbak Yusro, otak seakan diperas habis untuk menjawab adegan yang baru beberapa menit didapatkan itu. Bus perlahan berjalan, seiring dengan semakin jauh langkah bus itu. Sosok gadis di terminal itu menghilang dari pikiran saya, setibanya di kota perantauan tercinta.
Peristiwa tersebut langsung membayang dalam otak saya, mengingat beberapa hari belakangan ini, media massa baik elektronik maupun cetak membahas tentang ekspolitasi anak. Di mana anak dalam kasus tersebut dijadikan sebagai media penghasilan bagi para orang tua. Pun, ternyata si anak itu adalah sewaan. Bukan anak kandung, meski beberapa ada orang tua yang ternyata juga menjadi pendamping ketika anaknya menjadi pengemis di jalanan.
Fakta yang baru diungkap di acara “Apa Kabar Indonesia Malam” TV One yang juga mengundang Kak Seto (Jumat, 25 Maret) itu juga memberitahukan bahwa si anak sering mendapat perlakuan kasar, seperti dicubit jika tidak mendapat hasil yang sesuai.
Miris! Rasanya mendengar berita-berita ini. Apalagi, seharusnya seorang anak itu bisa mengenyam pendidikan. Sebab, dengan pendidikan. Insya Allah, kemiskinan yang ada pada orang tuanya tidak menjadi barang warisan bagi si anak.
Lebih jauh dari itu, ternyata saya juga mendapat fakta baru seputar pengemis. Dulu, Ibu saya yang kebetulan berjualan ikan di Pasar Panarukan bercerita. Bahwa ada seorang lelaki tua yang pincang sering meminta-minta. Sontak, para penjual yang terdiri dari kaum Ibu itu memberi beberapa rupiah. Namun ternyata, di lain tempat si pengemis itu malah menggunakan sepeda motor cowok dengan kaki biasa saja. Mengetahui kabar itu, tatkala pengemis kembali meminta-minta. Orang-orang tidak pernah memberi lagi.
Selain Ibu, seorang teman di bangku kuliah juga bercerita. Tentang seorang perempuan yang sering menjadi pengemis di wilayah kampus. Ternyata ibu tersebut satu perumahan dengan teman saya, yang notabene-nya berada di kawasan elit.
Sungguh! Saya bingung dan harus geleng-geleng kepala!
Berdasar kejadian itu, saya tidak memberi uang lagi kepada pengemis. Jika memberi, mungkin dengan catatan pengemis itu sudah tua. Seusia Mbah saya. Sebab, bukan apa-apa. Sebenarnya, mereka masih bisa bekerja dengan cara yang lain. Bukan meminta-minta. Dan, jika kita memberi berarti kita mendukung pekerjaan mereka. Toh, masih banyak cara beramal lainnya. Semisal, memberi uang ke panti asuhan atau pembangunan masjid. Dananya jelas! Dan, insya Allah lebih bermanfaat.
Tangan yg di atas lebih baik daripada tangan yg dibawah. Tangan di atas adl tangan pemberi sementara tangan yg di bawah adl tangan peminta-minta. [HR. Muslim No.1715].
*Sumber gambar: Kompasiana.com
0 Komentar untuk "Yang Diharap dari Peminta-Minta"