”Dasar tello’ due’!” semprot seorang lelaki bertubuh gemuk tak jauh dariku.
Aku segera menaikkan alis sebelah. Bingung dengan maksud semprotannya yang mengatakan orang lain dengan sebutan 32. Entah apa maksud dari pernyataan tersebut. Anehnya, orang yang diserompot dengan kata-kata itu tak menjawab barang sepatah-dua patah kata. Atau barangkali senarai katanya telah habis.
Belum cukup kekagetanku tentang kata 32 itu. Aku kembali mendapat kode dengan angka, kali ini bukan dengan nada semprotan. Tapi, rayuan.
“Hey, empak petto. Mara kancae engkok!”
Empak petto. Sekalipun aku tidak begitu paham Madura. Tapi ungkapan itu rasanya menunjukkan angka 47. Ya, kalau nggak salah. Duh, aku jadi merasa bodoh di bawah ke lingkungan yang mayoritas Madura. Pasalnya, Ayah yang asli Situbondo dan Ibu asli Jawa berasal dari Jawa Tengah tak pernah mengajariku berbahasa Madura atau bahasa Jawa. Di rumah kami yang sederhana tanpa perlu keluh kesah, nestapa, dan air mata itu hanya menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, aku kadang risih jika tidak terlampau pandai berbahasa keduanya.
Lebih jauh itu, kosakata bahasa Jawa dan Madura didapat sepenggal-sepenggal, makanya kadang aku takut dijadikan bahan omongan dengan kedua bahasa yang tak kumengerti.
Barangkali aku harus menjelaskan alasan kembali ke tanah tempat Ayah dilahirkan. Lebih tepatnya tujuh hari sebelum aku ke sini. Kami yang berada di Pulau Bali mendapat telepon bahwa Nenek dari Ayah meninggal. Tentu Ayah, Ibu, dan aku syok bukan kepalang. Apalagi Nenek tidak sedikitpun memberi tanda. Bahkan demi mendengar perkataan itu, Ayah sampai menjerit kencang. Dan, tentu menangis sejadi-jadinya. Layaknya anak TK yang permennya diambil oleh temannya. Itu Ayah, bagaimana denganku? Hanya beberapa tetes air mata yang keluar demi perasaan Ayah. Pasalnya, aku sama sekali tak merasa kehilangan berlebih. Apalagi, Ayah tidak sedikit pun mendekatkan diri pada Nenek.
Bagaimana dengan Ibu? Ibu pun demikian. Ibu hanya menguatkan Ayah. Tanpa sedikit pun memberi tangisan. Catat itu! Tidak ada tangisan. Aku jadi pusing dengan keadaan ini. Apa mungkin karena ini mereka tak mengajakku ke Situbondo atau pulang ke Magelang. Lah, emangnya ada.
Walauapun keadaan emosi yang berbeda itu. Kami akhirnya memutuskan ke Situbondo. Jarak Bali yang cukup dekat dengan Situbondo hanya sekitar lima jam. Lebih dekat dibanding ke Surabaya yang kadang mencapai sepuluh jam jika sedang macet parah, tentunya!
Oke lah. Kami berangkat dengan tiga koper. Sebab, Ayah berkata bahwa kami akan tinggal selama tujuh hari.
Dan, di hari ketujuh setelah Nenek wafat aku mendengar ucapan. Tello due’! Empak petto! Apa coba maksudnya?! Arrgh! Kenapa pula aku membingungkan kode bahasa yang tak jelas itu? Bukankah jauh lebih baik, aku menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat semisal mengirim SMS pada para mantan yang masih setia menunggu misalnya. Eh, kok jadi berpikir soal mantan ya. Tidak ada hubungan dengan kode bahasa kan? Mantan itu kode hati yang sedang tertunda! Sudahlah, lebih baik aku pergi dari perbicaraan orang-orang dengan kode bahasa itu.
“Mau ke mana, Cong?” cegah bapak-bapak berpakaian merah menyala.
“Tidur, Pak.” Jawabku apa-adanya.
“Nanti kalau mimpi bilang sama Bapak.” Tawarnya.
Aku terpaksa menyungingkan senyum. Bukan apa-apa, aku mimpi ini atau mimpi itu. Tidak ada urusannya dengan bapak itu. Masak jika nanti misalnya aku mimpi basah, aku harus pula cerita pada bapak itu. Kan, nggak etis! Nggak masuk akal!
Dengan perasaan jengah, aku meninggalkan majelis kode bahasa yang tak jelas itu. Tidak dengan Ayah yang masih menemani bapak-bapak yang tampak bercengkrama dengan kode-kode bahasa itu. Sementara Ibu, tak tampak di mana batang senyumnya. Padahal, aku ingin memuntahkan kode-kode bahasa itu pada Ibu. Apa benar angka-angka bisa menjadi pertanda dalam suatu bahasa?
Duh, di saat yang dibutuhkan Ibu malah tidak ada.
Atau mungkin ya, nasihat Bapak itu benar. Kalau nanti mimpi aku harus beri tahu beliau. Siapa tahu, mimpiku itu menjawab segalanya.
Baiklah aku akan masuk kamar.
Lampu dimatikan.
Dan, aku terlelap.
*
Ular mendatangiku dengan jumlah yang cukup banyak. Semakin lama, ia membentuk perempuan cantik. Aku dengan takut mendekatinya. Tapi, senyumnya seolah sihir yang mengajakku untuk terus mendekatinya. Akhirnya, aku jatuh ke dalam dekapannya. Aku begitu nyaman sekali. Sekalipun di sekitar perempuan cantik itu tersisa ular yang cukup banyak.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Apa Ibumu tak pernah mengajari tentang cerita perempuan yang memiliki banyak ular di kepalanya?”
“Venusa?”
“Yup, kamu pintar sayangku!”
Rayuannya kena. Aku seperti melambung. Rasanya mantan-mantanku jauh di bawah perempuan dengan ular di kepalanya itu atau mungkin dia itu punya mantra pemikat cinta yang sanggup merobohkan kerasnya hati ini.
“Mengapa kamu memelukku?”
Aku terpaksa mengucap kalimat tanya bodoh itu.
“Cinta yang membuatku memelukmu.”
Aku kembali melambung ke awan. Terbang ke cakrawala, menembus angkasa hingga tiba di galaksi bimasakti. Untuk pernyataan terakhir, mohon dicoret. Aku takut jika nanti dianggap meniru perkataan penyanyi yang sedang ulala itu.
Balik ke perempuan cantik itu.
Aku terpaksa melepas pelukannya sejenak.
“Mengapa?” kejarku.
Ia tersenyum. Kemudian berlari, aku ikut-ikut berlari. Seolah kami pemain film India yang sedang bersandung lagu-lagu cinta. Barangkali aku ini adalah Sharul Khan dan dia menjadi Khajol. Cukup romantis jika di dalam film. Bedanya, alam kami ini nyata. Kami berlari bukan karena menyanyikan lagu-lagu romantis. Tapi, sebagai tanda untuk mengejar cinta. Membangun cinta.
Cinta? Terlalu cepat untuk mengatakan itu ya?
Mungkin yang pas adalah mengejar kepastian.
Di sela-sela lari-lari kecil, menguber satu sama lain. Kemudian aku dipanggil seseorang.
“Ibu.”
Aku tak percaya perempuan terkasih itu ada di depan mataku. Dari mana kedatangan beliau? Padahal, sedari tadi tidak ada. Belum lagi, bagaimana beliau bisa sampai di sini. Tempat pertemuanku dengan perempuan yang memiliki ikat kepala ular itu bukanlah di dekat rumah. Rumah nenek tepatnya. Tapi, sedikit jauh. Barangkali bisa berkilo-kilo.
“Pulang!” Ibu memberi perintah.
Aku meringis ketakutan. Ibu yang biasa lembut kini mendadak menjadi seperti monster. Ada apa sebenarnya? Mengapa hari ini begitu banyak kebingungan yang masuk dalam pikiranku?
“Sekali lagi kamu bermain dengan empak petto’ itu. Ibu kurangi uang jajanmu!”
Tunggu. Tunggu. Empak petto’ dari mana Ibu mengerti kode bahasa yang diomongkan teman-teman Ayah.
“Tidak!” aku berteriak. Tanpa tahu alasan yang jelas.
Ibu memandangku dengan aneh.
Aku kembali berteriak.
Ibu menggigil ketakutan.
Kemudian, perempuan dengan pulang di kepalanya mendekati kami.
“Jauhi anakku!”
Aku bingung dengan keadaan ini. Rasanya seperti berada pada sebuah iklan di televisi. Di mana, aku harus memilih kiri atau kanan. Atau dekat kata lain, “Pilih dia atau aku!”
Aku memejamkan mata. Tak mungkin aku meninggalkan Ibu demi perempuan yang baru dikenal. Apalagi ia memiliki banyak ular. Meskipun, ia sudah memberi kehangatan dan cinta yang tak begitu lama. Ah. Inikah rasanya pertemuan singkat yang tak terduga?
Perempuan itu tak menghiraukan perkataan Ibu. Ia malah semakin mendekat pada kami. Ibu takut bukan kepala. Sanggulnya jatuh. Aku meringis ketakutan. Beruntung, banyak kaum bapak dengan tubuh yang kekar mengepung perempuan itu.
Kami terselamatkan. Perempuan itu seperti menyulut dendam dengan matanya yang menyala terang.
Ular-ular yang berada di kepalanya menghilang satu-satu dengan gaibnya. Sementara tubuhnya yang begitu cantik, tiba-tiba berubah menjadi seperti waria.
“Dasar empak petto!” umpat seorang bapak.
Mendengar umpatan itu napasku seperti mau berakhir. Teriakan keluar dengan tanpa rencana.
“Ada apa, Nak?” tanya Ibu yang memegang air putih padaku.
Ah, rupanya aku bermimpi.
Aku segera menyungingkan senyum.
“Hanya mimpi, Bu. Terima kasih airnya.”
“Lekas tidur kembali. Besok kita kembali ke Bali.” Ungkap Ibu.
“Aku pamit ke kamar mandi dulu ya, Bu.”
Kamar mandi yang ada di rumah nenek berada di luar rumah. Akhirnya, aku terpaksa melewati bapak-bapak yang masih tampak bercengkrama. Sementara Ayah sudah tidur tak jauh dari tempat mereka bercerita.
“Gimana mimpi apa?”
“Tunggu, Pak. Nanti aku cerita. Aku ke kamar mandi dulu.”
Tak sampai lima menit di kamar mandi. Aku pun bergabung di majelis pembicaraan itu, dengan tanpa malu, aku bercerita apa yang ada dalam mimpiku itu.
“Wah, kode alam itu artinya, Nak!”
Bapak-bapak yang berjumlah empat orang itu berkata seperti itu. Aku jadi takut mendengarnya. Apalagi perawakannya tidak semua terlihat baik. Bahkan, konon katanya salah satu dari mereka pernah menjadi preman.
Dari pada bingung memikirkan itu. Aku pamit kembali ke kamar.
Ibu sudah terlelap di ranjang yang kami tempati. Aku mencium keningnya. Kemudian tidur.
Pagi harinya, kami sudah kembali ke Bali. Pekerjaan Ayah menunggu, sementara teman-teman dan mantan-mantanku juga telah menunggu. Perjalanan Situbondo-Bali membuatku mengerti bahwa Ibu sedemikian sayang padaku. Apalagi peristiwa semalam di saat mimpi buruk itu datang. Pun, di kapal penyebrangan aku dengan penuh kasih memijat punggung beliau yang katanya kram.
Siang hari kami sudah di Bali. Dan, karena lelah perjalanan. Kami memutuskan tidur. Hingga tak terasa bangun sekitar jam delapan malam. Itu pun karena telepon Ayah berdering hebat.
“Anakmu pintar!” sapa sebuah suara.
“Di sini jebol!” sahut suara yang lain.
“Panen duit pokoknya!”
“Kapan-kapan anakmu suruh ke sini lagi?!”
Ayah melirikku aneh. Duh, apa maksud penjelasan bapak-bapak itu ya?
“Kamu bilang apa sama mereka?” tanya Ayah.
“Cuma cerita kalau aku mimpi ketemu perempuan di kepalanya penuh ular dan ketika ualrnya hilang dia berubah menjadi waria.” Jelasku berterus terang.
Ayah tak menjawab. Ia malah bertanya pada orang di seberang sana.
“Emangnya berapa yang keluar?”
“3247!”
0 Komentar untuk "Angka-Angka yang Pandai Berbicara (Dimuat di Radar Banyuwangi Edisi 15 Januari 2017)"