Kota di Tepi Jurang (Dimuat di Pikiran Rakyat Edisi Minggu 21 Mei 2017)


Darma kebingungan. Ia terus berusaha berteori atas hal yang tak ia mengerti. Sebagai seorang kepala daerah yang sebentar lagi masa periodenya akan habis. Ia masih ingin berkuasa di daerahnya. Menjadi orang nomor satu yang paling disegani, dihormati, dan di-di lainnya.
            Tapi serangan dari orang dalam yang tak lain dari wakilnya sendiri menambah kepenatan dalam tubuhnya.
            Memang selama ini orang-orang di kotanya mengetahui ketidakharmonisan kedua pasangan pemimpin kota. Hal ini terlihat dari banyak aspek. Semisal, ketika ada acara apapun dan harus memasang baliho. Pada gambar baliho tersebut hanya ada Darma dan istri. Sedang Hartawan dan istrinya tidak ada.
            Begitu juga dalam acara-acara kota Darma selalu bersama istrinya. Entah di mana Hartawan sebenarnya? Tapi ketidakbersamaannya dengan Darma sering membuat rakyat resah.
            “Aku harus jadi pemimpin di kota ini lagi. Tak peduli akan ancaman Hartawan. Aku pasti bisa!” sikap optimis Darma menyala-nyala.
            Ia pun segera menghubungi sekretaris daerahnya yang juga akan menjadi pendampingnya kelak.
            “Kita jangan lakukan serangan fajar, serangan subuh atau apapun itu. Saatnya kita main cerdas.” Ucap Darma mengawali pembicaraan di telepon.
            “Bagaimana caranya?” tanya sekretaris daerahnya.
            “Itu menjadi urusanmu. Oleh karena itu, kutunggu kau di pendopo. Nggak enak bicara di telepon!”
            Maka sekretaris daerah yang bernama Rupawan itu segera mendatangi rumah dinas Darma. Mereka pun memiliki agenda untuk mendatangkan tokoh-tokoh berpengaruh di kota seperti ulama, cendikiawan, juga para anak muda yang tergabung dalam komunitas penulis. Dari sana, sepasang bupati dan sekretaris daerah yang akan maju dalam bursa pemilihan bupati dan wakil bupati beberapa bulan lagi ini akan memberi penjelasan tentang kota yang berarak maju lebih baik. Dari segi apapun.
            Tak lupa akan ada pemutaran pariwisata yang sekarang didatangi banyak wisatawan luar negeri, juga rancangan tata ruang kota lima tahun ke depan. Sungguh, dengan pemutaran tersebut akan membuat sensasi luar biasa. Dan pasti hadirin yang datang akan mengatakan ‘wah’, para ulama yang memiliki banyak santri juga akan menyumbang suara. Para cendikiawan akan memberi respon baik yang turut membuat promosi gencar dikalangan muridnya. Juga penulis muda yang akan membuat tulisan-tulisan indah seputar pekerjaan Darma selama lima tahun menjabat sebagai kepala daerah dan juga program kerja lima tahun ke depan.
            “O, jadi seperti kampenye terselubung ya, Pak?” Rupawan segera bertanya.
            Yup. Benar. Kita akan segera memulainya!” Darma semakin optimis akan menang di periode mendatang.
            “Lalu bagaimana dengan wakil Bapak. Apa ia tidak diundang?”
            “Ia tidak terlalu penting kan. Bukankah ia hanya akan menjadi hama jika terus berada di sekitar kita.”
*
Di tempat yang berbeda, Hartawan dilanda kecemasan. Perangainya yang santun jika dilihat banyak orang tak membuat hatinya sama dengan rupanya.
            Entah kekuatan darimana. Ia seperti merasa jika dirinya telah tersesat di kota ini. Memang awalnya, lelaki yang berusia empat puluh tahun ini tak ingin menjadi wakil bupati. Tapi, suratan takdir berkata lain.
            Dan dengan setengah hati, ia pun berusaha ber-drama di depan banyak masyarakat. Tapi, itu tak lama. Setahun setelah menjabat sebagai orang nomor dua. Partner kerjanya mulai congak dan merasa paling berpengaruh memimpin kotanya.
            Maka, Hartawan kehilangan arah. Ia tak pernah sedikit pun diajak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sebagai layaknya pemimpin daerah. Pun, ketika ada agenda yang harus memasang baliho di pinggir-pinggir jalan raya. Tak ada satu pun potret dirinya.
            Satu hal yang ia ancamkan pada sang pemimpinnya. Jika sampai ia terlihat tak bekerja oleh masyarakat. Dunia akan berguncang mengetahui perangai buruk sang bupati. Yang memiliki sikap suka nilep uang kota, juga gemar bersama wanita-wanita.
            “Ayah, nggak capek.” Tiba-tiba suara anak Hartawan yang telah mencapai usia gadis menghentikan lamunan Hartawan sejenak.
            “O, tidak sayang. Ada apa?”
            “Besok bisa ambil raportku.”
            Hartawan mengangguk.
            Keesokan harinya di sekolah gadisnya. Sekolah dibuat heboh akan kedatangan wakil kepala daerah yang mengambil raport. Bak selebritis ibu kota, para wali murid meminta berfoto dengannya.
            “Maju terus, Pak. Kalau Bapak jadi bupati periode depan. Saya pasti milih.” Suara wali murid lainnya yang diikuti kata ‘setuju’ wali murid lainnya.
            Hartawan senang.
            Di ujung perjalanan menuju rumah dinasnya. Tiba-tiba ia mendapat SMS dari anak buahnya yang berisi bahwa Hartawan sedang ditunggu sang bupati di Gedung Pemberdayaan Masyarakat.
            Hartawan pun langsung menyuruh supirnya memutar arah.
*
“Bagaimana kabarmu wakilku?” tanya Darmawan ketika melihat Hartawan. Di samping Darmawan ada Rupawan yang hanya senyum-senyum sinis tak jelas.
            “Ayo masuk ke ruanganku!” ajak Hartawan.
            Darmawan dan Rupawan segera menerima ajakan Hartawan. Di dalam ruangan sekitar empat kali lima meter itu mereka berbincang-bincang tentang kota yang berada di ujung jurang.
            “Kuminta kau mundur sebagai calon bupati periode ini.” Kata Darmawan langsung to the point. “Rasanya publik di kota ini sudah tahu, kalau kau tak pernah bekerja. Selain itu, kau juga memiliki dua jabatan penting di kota ini. Bukankah selain sebagai wakil bupati. Kau juga menjadi Ketua Pemberdayaan Masyarakat. Itu artinya dalam sebulan masyarakat mengetahui jika kau mendapat dua gaji sekaligus. Jadi, sebelum opini publik menggiringkau ke ranah yang lebih memalukan! Lebih baik mundur bukan?” tambah Darmawan.
            “O, masalahnya begitu. Kalau kau berani mengancamku. Aku juga tinggal memberi tahu kepada masyarakat luas atas kelakuankau menilep uang rakyat, juga kegemaranmu bersama perempuan-perempuan. Aku masih punya banyak foto dan bukti-bukti fisik. Tentu, setelah masyarakat tahu, mereka akan menyuruh kau turun tahta sebelum waktunya.”
            “Yakin kau punya bukti? Bukankah laptopmu telah rusak?” tanya Darmawan merasa di atas angin.
            “Darimana kau tahu jika laptopku rusak? Apa ini kelakuankau untuk menghilangkan bukti-bukti kelakuan bejatkau?”
            “Hahah. Kau pintar sekali wakilku.”  Sekali lagi Darmawan senang bukan kepalang atas perilaku anak buahnya yang menyabotase laptop wakilnya itu.
            “Tapi kau jangan merasa menang dulu. Aku menyimpan bukti-bukti itu tidak hanya di satu tempat. Jadi, siap-siap saja kau akan turun tahta sebelum waktunya.” Hartawan angkat suara, diliriknya sekretaris daerahnya yang tak sedikit pun berbicara. “Bagaimana Pak Sekda masih setia dengan pemimpin licik macam dia?”
            Hartawan melepas napas sejenak, kemudian melanjutkan, “Bukankah dalam dunia politik tak ada yang abadi. Kawan bisa jadi lawan, lawan bisa jadi kawan. Bukan tidak mungkin, setelah aku didepak oleh dia. Kau juga bernasib sama? Apakah kita lebih baik bekerja sama saja?”
            Rupawan membenarkan pernyataan Hartawan meski hanya dalam hati.
*
Acara yang digagas untuk pertemuan penulis, cendikiawan, dan ulama se-kota sebentar lagi dimulai. Darmawan sebagai bupati cukup puas akan kinerja orang-orangnya untuk menyukseskan acara ini. Tapi, jauh dari itu beban pikirannya semakin bertambah berat tatkala bertemu dengan wakilnya beberapa hari lalu.
            “Selamat pagi.” Ucap Darmawan memberi sambutan. Ia mencoba menenangkan dirinya agar suaranya tidak terlalu bergetar.
            Sekilas ia melempar senyum kepada semua undangan.
            “Masyakat Kota Abal-Abal yang saya cintai. Maksud undangan kalian ke sini adalah sebagai perwakilan dari masyarakat. Selain itu, saya juga akan mempresentasikan hasil kerja sebagai bupati selama lima tahun. Juga, program kerja yang belum selesai yang mungkin akan diteruskan oleh siapa saja yang bisa menjadi pemimpin di daerah ini.”
            Sesaat Darmawan memberi kode agar video panorama wisata di kotanya diputar. Dan ketika kembali menghadap ke audiens. Ia terkejut bukan kepalang. Wakilnya ada di depan mata.
            Video diputar. Semua audiens tampak geram. Bagaimana tidak dalam video tersebut ditampilkan bupati yang sedang mabuk-mabukan dengan beberapa perempuan. Istri bupati yang hanya duduk dibangku undangan tampak semakin sedih.
            Wakil bupati tersenyum menang, dalam hatinya ia bernyanyi, “Malaikat juga tahu, aku yang jadi juaranya!”
            Sontak. Darmawan kaget bukan kepalang melihat video itu. Ia segera mendekatkan tangannya pada jantung. Tiba-tiba serangan jantung mendadak menimpanya.
            Dari arah penonton tak ada satupun yang sudi membantunya. Mereka terus asyik menonton kelakuan bejat pemimpinya. Dan itu berlaku sampai video-video itu habis.
            Ke-esokan harinya publik Kota Abal-Abal langsung berunjuk rasa meminta bupati mundur dari singgasananya. Tak ada jalan lain. Dengan berat hati bupati langsung turun tahta digantikan oleh wakilnya.
*
Sekalipun kini kuasa ada di tangan Hartawan, ia merasa banyak mata-mata mengintainya untuk turun dari jabatannya itu. Dengan taktik yang tak dimengerti banyak orang. Segera ia memecat orang-orang yang dianggap masih tak terima dengan lengsernya Darmawan.
            Hal ini pun mencuatkan publik merasa jika kelakuan Hartawan hanya memperburuk suasana. Apalagi pemilihan kota hanya tinggal sebentar lagi. Bagaimana mungkin pengganti pejabat itu bisa bekerja dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
            Kekacauan semakin bertambah. Apalagi media kota mengabarkan Hartawan yang memiliki perangai tak indah. Bahkan, selama menjabat wakil bupati dan ketua badan pemberdayaan masyarakat. Ia dapat gaji dobel.
            Dan masyarakat kian geram. Meminta Hartawan mundur dari jabatannya.
            Kejadian ini berdampak luar biasa pada Kota Abal-Abal. Rasa percaya langsung sirna. Pemilihan kepala daerah dipercepat dari waktunya. Namun, tak satu pun masyakarat menentukan nama yang pantas menjadi pemimpinnya.
            Entah bagaimana lanjutan cerita masyarakat Kota Abal-Abal yang berada di ujung jurang itu? Mungkin saja mereka menanti datangnya Satria Paningit yang membuat suasana berubah. Mari kita nantikan bersama-sama!

Related : Kota di Tepi Jurang (Dimuat di Pikiran Rakyat Edisi Minggu 21 Mei 2017)

0 Komentar untuk "Kota di Tepi Jurang (Dimuat di Pikiran Rakyat Edisi Minggu 21 Mei 2017)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)