Rujak Kenangan
Oleh: Gusti Trisno
“Apa kamu yakin takut sama hujan? Jika di matamu sering terjadi hujan airmata?”
Raisa diam seketika, ia menggengam erat tangan lelaki di sampingnya itu. Lalu, keduanya berpandangan sekian lama. Setelah itu, hujan airmata benar-benar menjebak keduanya.
Adalah cinta yang bersumber dari kesucian menyatukan keduanya. Begitu pun Raisa dan lelaki yang bernama Imron itu. Keduanya bahu-membahu membangun cinta dan mengejar sayang. Kisah romantis sepasang pelajar itu tingkat kevalidannya tidak perlu diragukan. Berhari-hari mereka bersama, berbagi kisah, canda, tawa, dan nestapa. Pun, di sekolahnya. Mereka mendapatkan predikat Couple of The Year setelah melewati serangkaian seleksi ketat di dunia maya.
Sayangnya, mereka terpisahkan untuk sementara. Mengingat Imron itu harus pergi ke luar kota.
“Aku berharap kamu sabar menunggu. Ini bukan cuma tentang cinta kita, tapi soal nama baik sekolah!” pinta Imron pada Raisa di suatu senja di sungai Sampeyan.
Perempuan yang memiliki suara merdu bak Raisa di layar kaca itu tak memberikan jawaban. Hanya senyum yang tergores di bibirnya yang kecil. Imron yang memandangnya begitu senang bukan kepalang, sebab dari senyum itu ia bisa memaknai bahwa perempuan itu setuju atas permintaannya.
“Kamu minta apa sebagai gantinya?”
Raisa tak lagi menjawab. Ia malah tersenyum lagi.
“Yakin tidak akan meminta apa-apa?” tanya Imron lagi, setelah berusaha menafsirkan permintaan perempuan nomor dua di hatinya itu.
“Aku cuma minta, kamu jangan genit di sana!”
Selepas mengucap kata itu, Raisa berlari menghindar dari Imron. Lalu keduanya berkejaran tak jauh dari bantaran sungai, sambil tertawa penuh kesenangan. Hujan yang menjadi perlambang cinta pun ikut mentakzimi kebahagiaan keduanya.
Ahh!
Auw!
Raisa meringis. Ia kembali mengingat masa silam itu. Lelaki yang kini di sampingnya itu melingkarkan pelukan, memberikan sedikit kekuatan!
“Hujan sudah reda, ayo kita pulang!” ajak Raisa.
*
Tak ada yang diharapkan dari seorang Ibu, selain kebahagiaan anaknya. Itulah yang tercermin dari ibu yang Raisa miliki. Perempuan berusia hampir kepala lima itu telah memberikan kekuatan yang sedemikian hebat padanya, sementara harapan ataupun keinginan tak pernah Raisa terima.
Ibu begitu membebaskannya untuk memilih seseorang yang sudah siap mencuri mimpi-mimpinya.
“Ada sendu di wajahmu, Nak?” tanya Ibu setibanya Raisa di rumah.
Raisa tak menjawab, ia hanya merapatkan tubuhnya dalam dekapan hangat si maha pemberi cinta itu. Mengetahui itu, Ibu membalas dengan pelukan yang sedemikian sayang disertai mengelus rambut anak perempuan satu-satunya itu.
Pelukan itu berhenti sejenak, sebab Ibu meminta diri untuk mengecek sari atau sisa air pemindangan.
Akibat hal itu, Raisa pun berlari ke kamar. Ia berganti pakaian demi membantu pekerjaan Ibu.
“Tidak usah, Nak. Pekerjaan ini akan membuatmu terus mengingat kenangan.” Tolak Ibu halus sekali.
Meskipun mendapat penolakan seperti itu, perempuan yang memiliki tahi lalat kecil di bawah bibirnya itu tetep keukeh membantu. Mula-mula ia menata satu per satu ikan yang sebelumnya telah dicuci bersih oleh Ibu dalam sebuah panci besar di atas kompor gas. Setelah itu, ia menambahkan garam dan air seperlunya. Kompor dihidupkan. Raisa santai sejenak, sementara ibu memindahkan sari atau air sisa rebusan ikan yang lain dalam sebuah wadah.
Ketika Raisa berhasil menunggu ikan dipindang selama tiga puluh menit dengan tabahnya. Ia lalu mengabungkan dengan air sisa rebusan yang ibu miliki.
“Ada banyak cara mengawetkan ikan, Bu. Dengan cara memindang, mengasinkan, atau bahkan menggunakan formalin. Bagaimana dengan cinta yang ada dalam keluarga?”
Ibu tak terkejut dengan pernyataan Raisa itu. Selama ini, perempuan yang ditinggal suaminya selingkuh itu telah berusaha melenyapkan kenangan. Tapi, anaknya-Raisa-tidak, malah gadis itu berhasil merawat kenangan dengan baik.
“Kita memilih mengawetkan ikan dengan memindang, Bu. Dengan cara itu, kita bisa makan ikan secara langsung, dagingnya juga lembut dan rasanya khas. Sementara cinta yang dimiliki kita tak tahu caranya untuk diawetkan.”
Ibu tak tahan lagi dengan ucapan Raisa yang sedemikian ritmis itu. Bisa-bisa hujan airmata mengalir di antara keduanya.
“Maafkan Ibu.”
Hanya kata itu yang dikeluarkan dari mulut Ibu.
*
Raisa telah kehilangan orang yang disayanginya berkali-kali.
Diawali dengan Ayah. Lelaki kekar yang seharusnya mengalirkan airmata dari keringatnya itu tegah meninggalkan Raisa dan ibunya. Hanya demi perempuan yang sanggup memberikannya kenikmatan.
Berhari-hari, lelaki itu memberikan neraka di rumah.
Ibu diberikan pukulan luka, tangisan airmata, dan longlongan tak bermakna. Semua pekerjaan Ibu selalu salah di mata lelaki itu. Sementara, lelaki yang nyaris kepalanya ditutupi uban semua itu tak melakukan apa-apa.
Ibu memindang ikan, kemudian menjadikan sari air sisa rebusan ikan sebagai petis memang tak bisa mendompleng perekonomnian keluarga yang kian labil. Ditambah dengan badai keluarga yang hanya tinggal menunggu beberapa saat untuk mendapatkan gempa.
Kejadian petaka kemudian terjadi secara tergesa-gesa.
Lelaki itu pulang dalam keadaan mabuk. Saat itu, Ibu dan Raisa sedang membuat petis sebagai bumbu rujak. Proses membuat petis butuh ketabahan yang sedemikian ekstra. Makanya Raisa dan Ibu begitu konsterasi.
Mula-mula mereka merebus kembali sari (sisa air) pemindangan di dalam panci untuk direbus, setelah agak mengental, disaring kembali untuk membuang sisas-sia ikan yang tersisa. Proses tidak berhenti di situ, jika air sisa pemindangan itu telah bersih direbus kembali sambil diaduk hingga kental. Butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikannya.
Kemudian di tengah menunggu itu, lelaki itu menghampiri mereka. Entah sengaja atau tidak, petis yang dalam keadaan panas itu tersenggol kaki lelaki itu. Sontak, lelaki yang setiap hari dipanggil Ayah oleh Raisa itu mengeluh kepanasan.
Ibu langsung memberi pertolongan dengan mengambil kotak P3K. Tapi, lelaki itu malah melempar kotak yang dianggap tidak berguna. Setelah itu, Raisa melihat Ibunya dipukul lelaki itu karena dianggap teledor mengerjakan petis.
Sebagai anak yang sedemikian dekat dengan si pemilik rahim itu. Raisa jelas tak terima. Ia menggunakan penggorengan untuk memukul lelaki yang membuatnya lahir di dunia. Setelah itu, peperangan kata-kata yang penuh dengan umpatan nama-nama hewan keluar dari tiga orang di rumah itu.
Lepas itu, hari-hari Raisa dan Ibu tak lagi memiliki lelaki penopang hidup.
Kecuali, ketika Raisa menginjak masa SMA. Raisa menemukan Imron. Lelaki yang pintar dalam berkata-kata gombal dan penuh prestasi di bidang akademik serta nonakademik itu sanggup membuat Raisa kehilangan kesadarannya.
Pun, ketika Raisa cerita pada Ibu bahwa lelaki yang mengisi hatinya itu akan mengawakili sekolah dalam sebuah pertandingan di propinsi. Ibu semakin yakin jika Imron adalah lelaki yang tepat untuk gadisnya itu.
Sepeninggal Imron ke propinsi, Raisa sering rujak-an bersama kawan-kawannya yang tak jauh dari kompleks tempat ia tinggal. Tentu, petis yang digunakan adalah petis buatannya sendiri.
“Hati-hati mengupas mangga, sebab setiap kupasannya adalah kenangan.”
Komentar salah satu teman Raisa.
“Bumbu rujak butuh petis, mangga, dan air kerinduan.” Pleset yang lain.
Raisa hanya senyam-senyum tak jelas, berkat Imron teman-teman Raisa benar-benar ketularan baper. Ada saja kata-kata gombal, lebay, dan menarik yang keluar. Baik di sekolah, bahkan di situasi rujak seperti sekarang ini.
Pun, guna membunuh waktu. Raisa bukan hanya sekali-dua kali rujak-an bersama kawan-kawannya, tapi selama berhari-hari di waktu liburan yang ia punya. Sebab bukan apa-apa, ia tak sekolah selama waktu dua Minggu dan Imron-nya masih membela sekolah di propinsi. Tentu, ini adalah waktu yang tepat buat teman-temannya.
Sayangnya, pada hari ketiga belas. Raisa terkena serangan panas di sekujur tubuhnya. Rambutnya rontok sedemikian banyak. Ia yang mengetahui itu langsung memeriksa ke dokter. Dan, benar saja perempuan yang pantas jadi duta shampo itu terkena tifus.
Bertepatan dengan itu, Imron datang dari propinsi dengan membawa piala kemenangan. Namun, hati lelaki itu hancur setelah melihat kekasihnya kehilangan mahkotanya.
“Kita putus!” ucap lelaki itu dengan mudahnya.
Pada saat itu, kehilangan Imron jauh lebih sakit dibandingkan kehilangan Ayah itu yang Raisa rasakan.
*
“Mau rujak-an?” tawar lelaki yang kemarin menggengam tangan Raisa.
“Siapa takut?” tanya balik Raisa.
“Sudah pandai merawat kenangan?”
Raisa tersenyum.
Sesat permpuan itu bersyukur. Sebab, kehilangan Imron dan Ayah tak membuat dunianya kiamat. Ia malah bertemu dengan lelaki yang sedemikian lembut. Tak pandai merangkai kata, tapi cintanya dibuktikan dengan tindakan nyata.
Dimulai ketika Raisa kehilangan rambut, lelaki itu mengajak Raisa ke dokter spesialis. Barulah ditemui bahwa penyebab kerontokan bukan karena tipus, tapi demam tinggi yang terjadi pada jangka waktu panjang saat perempuan itu terkena tipes.
Kemudian, lelaki itu pula yang mengeluarkan uang demi menebus obat penumbuh rambut kembali. Tak sampai di situ, ia pula yang membantu ibu berjualan petis dengan cara lebih elegan di seosial media. Sekaligus memberikan nama petis tersebut dengan julukan Rujak Kenangan. Sebab lewat tragedi rujak-an Raisa dengan kawan-kawan, keduanya bisa menyatu.
Adalah sebuah pertanyaan yang membayang di benak pembaca yang budiman? Siapakah lelaki yang beruntung dan sedemikian peduli itu?
Jember, 18 Februari 2017 Jam 14:12
0 Komentar untuk "Rujak Kenangan (Dimuat di Samarinda Pos Edisi 16 Juli 2017)"