Anak Pedagang Ikan Kecil, Mau Jadi Apa?

Waktu itu saya baru beberapa jam melaksanakan ujian nasional di hari terakhir, di tengah kemelut pikiran dan rumus-rumus ujian yang bersarang di kepala. Saya melangkahkan kaki menuju rumah. Tentu, setelah sebelumnya saya diantar oleh seorang sahabat ke gang rumah. 

Langkah kaki saya ringan, perlahan melewati sebuah rumah yang masih terhitung kerabat.

“Trisno mau kuliah di mana?”

Deg! Sebuah suara dari seorang yang berusia di bawah Ibu saya bertanya. Dengan nada sedikit lesu saya menjawab, “Nunggu pengumuman, Mak.”

Mak atau Emak adalah panggilan saya kepada bibi baik kepada saudara dari Ayah atau ibu, baik saudara kandung, ipar, bahkan tetangga. Begitu pun kepada saudara lelaki yang berusia sepantaran Ayah saya biasa memanggil Pak.

“Anak pedagang ikan kecil, punya banyak hutang, mau jadi apa kamu? Nggak kasihan apa sama orangtua?”

Sumber Gambar: Metro Sulawesi

Seorang perempuan yang tak lain adalah Adik dari Mak itu ikut bersuara. Saya tak langsung menjawab, hanya mencoba melangkahkan kaki meskipun rasa dalam hati begitu perih.

Beberapa hari lalu, bahkan tepat ketika ujian nasional. Kondisi ekonomi keluarga memang berada di bawah kata cukup. Ayah yang bekerja sebagai nelayan, tak mendapat banyak uang dari hasil melautnya, apalagi kondisi laut yang tidak mendukung. Sedang, Ibu tengah mengalami rasa sakit.

Sampai di rumah, segera saya membanting tas. Mencoba mengulang adegan dan kata-kata tadi yang terlontar.

“Nunggu pengumuman, Mak.”

Sebuah kata yang meluncur dari bibir saya beberapa menit lalu.

Mengapa harus kata itu yang meluncur? Penyebabnya tak lain karena memang kondisi saya yang sedang menanti pengumuman waktu itu. Memang saya telah mendaftar di dua perguruan tinggi negeri di Jawa Timur melalui jalur SNMPTN. Dan saya takut untuk mengatakan kedua perguruan tinggi tersebut, apalagi lolos atau tidaknya masih belum diketahui.

Tapi, jika mengingat kata-kata Adik dari perempuan yang saya panggil Mak itu tadi membuat bara di hati seakan bertambah. Apalagi, bukan cuma sekali-dua kali ia bersikap seperti itu pada saya. Bahkan perlakuannya cenderung meremehkan. Saya berencana mengadukan ini pada Ibu, tapi karena kondisi kesehatan beliau, saya urung menceritakan. Maka saya memutuskan untuk cerita ke Mbak.

“Mbak, tadi aku lewat rumahnya Mak ...., terus biasa adiknya meremehkanku. Katanya, anak sepertiku mau jadi apa?” Ucap saya mengawali pembicaraan.

Mbak Suwarni ---- Kakak Ketiga saya mengungkapkan, “Sudahlah, kita tidak tahu apa yang ada di depannya, Dik. Belum tentu anaknya dia itu bisa sukses dalam belajarnya. Karena kebanyakan anak orang kaya yang terlalu memanjakan anaknya berakibat tidak baik terhadap tumbuh kembang sang anak. Makanya, kamu harus bisa buktikan pada orang itu, jika perkataannya salah. Caranya ....”

Mbak seperti sengaja menggantung pernyataannya, “Caranya benar-benar belajar, buktikan bahwa kamu bisa.”

Ahh. Jujur ketika bercerita pada Mbak, saya menginginkan Mbak bisa melabrak orang tersebut. Karena menghina saya, apalagi ada embel-embel orangtua. Dan ini bukan cuma sekali-dua kali, tapi berkali-kali. Contoh lain saja, ketika saya melewati rumahnya dengan membawa helm, ia atau suaminya sering menanyakan, “Mana sepedanya? Kok cuma bawa helm?”

Ahh. Jika mengingat itu semua memang sakit. Sakit hati teramat perih, dan obatnya juga tidak dijual bebas di apotik. Tapi, lihat-lah dari orang tersebutlah, saya bertekad untuk memperbaiki diri. Barangkali, jika tidak mendapat hinaan atau ejekan dari orang tersebut, saya berleha-leha dalam menuntut ilmu. [!]
Jember, 20 Maret 2015

Catatan: Ketika cerita ini ditulis, saya telah kuliah semester empat di salah satu perguruan tinggi negeri di Jember.  

Related : Anak Pedagang Ikan Kecil, Mau Jadi Apa?

0 Komentar untuk "Anak Pedagang Ikan Kecil, Mau Jadi Apa?"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)