Rahasia di Balik Bakti dan Kasih Ibu

Judul              : Museum Ibu
Penulis          : Gusti Trisno
Penerbit        : AE Publishing
Cetakan         : I, Februari 2017
Tebal             : vi + 88 halaman
ISBN               : 978-602-6325-37-2
Peresensi      : Teguh Wibowo, pegiat literasi di FLP Surabaya

Di Indonesia, hari ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Hari ibu adalah hari penting dan perlu dirayakan untuk menghargai peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosial.
Banyak sekali tugas dan kewajiban seorang ibu. Ibu mengandung, melahirkan, merawat, dan mendidik anaknya. Tidak lepas dari pekerjaan rumah, memasak, bersih-bersih, mencuci, dan sebagainya. Ibu disebut sebagai madrasah/sekolah pertama bagi buah hatinya. Karena sebelum masuk usia sekolah, anak dalam asuhan orang tua, dan yang memiliki jalinan batin terdekat dan terkuat adalah sosok ibu.
Timbal balik atau pengabdian seorang anak kepada ibunya bisa berupa berbakti kepadanya, menyenangkan hatinya, selalu mendoakan yang terbaik. Tidak membentak, menyuruh, atau membantah nasihat, karena berpotensi durhaka dan dimurkai Allah. Selain itu, seorang anak juga perlu belajar sungguh-sungguh, tidak malas, dan kreatif lewat karya.
Misalnya, Gustri Trisno, dalam hal ini mengapresiasi sosok ibu dalam buku kumpulan cerpen “Museum Ibu”. Buku ini terdiri dari 14 cerpen yang didominasi tema seputar ibu. Cerpen “Museum Ibu” sendiri bercerita tentang seorang remaja laki-laki, tampak sejak kecil menyimpan kesedihan mendalam yang tak pernah bisa diungkapkan kepada banyak orang, termasuk ibunya. Remaja itu kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, karena keduanya lebih sering berseteru, sehingga curahan kasih sayang pada anak tunggalnya itu sangat minim. Bapaknya bahkan tega melakukan aksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
 “Lelaki yang menyimpan kesedihan itu akhirnya menemukan cara lain untuk mengekspresikan kesedihannya. Bahwa rasa sedih tidak baik dimiliki sendiri. Tentu ia tak bercerita semua kesedihannya pada orang tuanya. Ia membaginya pada guru semasa di sekolah” (hal 33).
Remaja itu di SMP memilih dekat dengan guru biologi dan di SMA dengan guru fisika. Lalu, ia kenal dengan sahabat perempuannya di facebook bernama Cahaya Senja dan menjalin keakraban. Suatu ketika suami perempuan itu uring-uringan dengan remaja itu lewat telepon, tidak mau melihat kedekatan keduanya.
“Remaja itu merenung. Apa yang salah dengan dirinya. Mengapa terlalu banyak perempuan yang dekat dengannya? Dan semuanya adalah ibu-ibu paruh baya? Ia berharap semua ini bisa selesai sendiri. Tidak ada lagi ibu-ibu selain ibunya yang teramat dicintainya. Karena ia takut membuat museum ibu untuk ibu-ibu lain yang bukan ibunya. Bukankah ibu bisa jadi siapa pun, tapi tak bisa digantikan siapa pun?” (hal 41)
Kita dapat melihat bagaimana perwujudan apresiasi Gusti dalam karyanya. Gusti telah mencapai kesadaran menyatukan ikatan batin, imajinasi, dan dedikasi kepada sosok ibu. Selain kepada ibunya, dedikasi lain ditujukan untuk orang-orang yang berjasa dalam proses kreatifnya. Tampak pada cerita-ceritanya, di mana ada interaksi atau relasi antara guru dengan muridnya dan dosen dengan mahasiswanya. Kurang lebih pengaruh lingkungan dan pengalaman di mana ia terkenang pernah belajar.
Tetapi, tidak semua cerpen dalam buku ini memenuhi struktur cerpen, ada yang masih datar dan polos. Contohnya, cerpen “Teruntuk Guru Mayaku di Layar Laptop”, belum bisa menggugah perhatian. Perlu kelogisan cerita dan membangun karakter cerpen yang padu. Sebaik mungkin bukan hanya melulu soal curahan hati.
Gusti menyajikan cerpen-cerpennya dalam taraf ringan, tetapi berisi nilai moral. Beberapa cerpen pernah dimuat di buku antologi. Ada keunikan tersendiri menikmati cerpen-cerpen yang ditulis di awal kepenulisannya. Sumbangsihnya, dengan membaca buku ini kita terbantu dalam upaya selalu berbakti kepada ibu dan orang-orang terkasih. Pesan Gusti: “Ibu bisa jadi siapa pun, tetapi tidak bisa digantikan siapa pun.” (*)


Teguh Wibowo, bergiat Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Surabaya. Resensinya pernah dimuat di Radar Sampit, Koran Jakarta, Tribun Jogja, Tribun Jateng, Tribun Timur, Medan Bisnis, Haluan, Harian Bhirawa, Duta Masyarakat, Malang Post, Kabar Madura, Radar Mojokerto, dll. Juara harapan 1 lomba menulis resensi “Seri Sayap Sakinah dan Mawaddah” oleh Penerbit Indiva Media Kreasi (2015). Juara 1 lomba menulis resensi buku terbitan FAM Publishing oleh FAM Indonesia (Agustus 2016).


[1] Resensi ini disalin dari Radar Sampit Edisi Minggu, 3 Desember 2017. 

Related : Rahasia di Balik Bakti dan Kasih Ibu

0 Komentar untuk "Rahasia di Balik Bakti dan Kasih Ibu"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)