Plagiat dan Sikap Kita

Beberapa hari lalu, tindakan plagiat kembali menjadi perbincangan jagat di lini masa Facebook. Apalagi yang melakukan plagiat itu seorang mahasiswa S2 yang bukan pertama kali tulisannya dimuat di media massa.

Cerpen yang diplagiat sendiri berjudul 'Bukan Kecap Oriental' yang pernah tayang di Jawa Pos. Cerpen tersebut tayang kembali di media lain dengan judul  'Menantu Idaman'.




Dalam melakukan tindakan plagiat, si penulis mengubah nama tokoh dan judul cerita saja. Hanya saja pelaku kurang jeli. Karena panggilan tokoh, di narasi disebut mamak sementara di dialog masih disebut ibu seperti cerpen aslinya. Bagi yang penasaran dengan perbandingan antara cerpen asli dan cerpen hasil plagiasi. Bisa klik di BukanCerpen Oriental dan Menantu Idaman.

Tindakan plagiat atas karya sastra ataupun yang lainnya bukan sekali-dua kali muncul ke permukaan. Ada banyak sekali yang sudah kalian ketahui. Anehnya sebagian pelaku plagiat itu tidak merasa melakukan tindakan terpuji itu.

Makanya sebelum membahas tentang plagiat lebih jauh, kita harus mengerti apa itu plagiat, plagiarisme, dan plagiator. Untuk mengerti konsep dasar itu, kita merujuk ke KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ya!
·  Plagiat: pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
·        Plagiarisme: penjiplakan yang melanggar hak cipta.
·        Plagiator: orang yang mengambil karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri; penjiplak.

Pengertiannya jelas sekali bukan? Lalu, bagaimana jika kita melihat atau mengetahui tindakan plagiat yang dilakukan seseorang? Haruskah kita diam atau memperingatinya?
Pasti setiap orang memiliki jawaban masing-masing karena sudut pandang yang berbeda-beda. Begitulah yang terjadi tindakan plagiat atas cerpen Bukan Kecap Oriental. Tetapi saya yakin menanggapi permasalahan tersebut, orang-orang di Facebook baik yang penulis atau penikmat karya sastra akan mengecam tindakan itu. Makanya sanksi sosial di ranah maya langsung menyeruak.

Apalagi sebagian besar orang menyangsingkan kalau pelaku tidak mengerti atas tindakannya. Hal ini dikarenakan dua faktor: Pertama, sebagai seorang mahasiswa S2 sudah pasti belajar tentang tindakan plagiat itu apa. Hal ini terbukti sebelum ia menyelesaikan tugas akhir di masa kuliah. Kedua, sebagai orang yang bukan sekali tulisannya dimuat di media massa, sudah pasti tahu bagaimana rasanya jika tulisannya sendiri diplagiat. Sakit, Buk!

Seorang penulis pernah berkata kepada saya, “Gus, seorang penulis itu aktor intelektual. Jika ia memiliki kesalahan, siap-siap pembaca dan media akan meninggalkannya. Kesalahan terbesar seorang penulis adalah melakukan tindakan plagiat atau mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri.”

Pernyataan itu benar-benar membekas dalam pikiran saya. Apalagi setelah tahu dampak plagiat yang benar-benar kejam. Seperti di ranah akademik, bisa-bisa gelar akademik yang diperoleh semasa kuliah bisa dicopot loh. Kan eman banget sama waktu dan tenaga yang sudah dikeluarkan habis-habisan di masa kuliah? Belum lagi, kalau orang tua sudah terlanjur senang atas kelulusan kita. Duh, pasti banyak orang yang mencemooh dan memandang rendah deh. Nggak percaya? Jangan nyoba-nyoba ya! Hehe. Lalu, bagaimana jika hal tersebut terjadi di ranah karya baik fiksi atau nonfiksi, gelar penulis yang sudah disandang tidak lantas membuat gelar atau sapaan keren itu tercopot kok. Cuma sebagai orang yang pernah melakukan plagiat, tak mudah membuat pembaca dan media percaya lagi akan karya kita.

Tak hanya itu, dampak plagiat itu juga diatur jelas loh oleh undang-undang. Bahkan kita sudah sering membacanya di setiap halaman awal pada sebuah buku. Jika tidak ingat, saya kutipkan di sini ya:

Kutipan Pasal 72 terkait Ketentuan Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta:
(1)      Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliyar rupih)
(2)      Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Ih, ngeri banget ya? Dendanya besar sekali ya? Makanya kita harus mencegah tindakan itu. Caranya ya jika mengutip pendapat seseorang sertakan saja siapa penulis aslinya, baik itu di ranah penelitian ilmiah ataupun ketika menulis fiksi lho. Sebab memang tidak semua orang tahu jika tindakan yang dilakukan terindikasi plagiat. Semisal menyalin status orang tanpa menyertakan penulis aslinya dan menyebarkan pesan siaran tanpa menyertakan siapa yang menulis.

Makanya perlu edukasi, inilah tugas kita yang teramat berat. Saya sendiri sejak menekuni dunia tulis-menulis mulai SMA tidak tahu-menahu tentang plagiat. Akhirnya, ketika menulis di blog ini pada tahun-tahun awal saya sering sekali mengutip pendapat orang lain, lalu disambung dengan pendapat lain lagi, dan disambung pula dengan pendapat sendiri. Barulah diakhir tulisan saya menyebut link yang memberikan pendapat itu.

Dan ketika kuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tepatnya matakuliah Penulisan Karya Ilmiah. Saya baru mengetahui jika cara menulis seperti itu salah. Sebagai penulis ada cara mengutip tersendiri yang kemudian dikenal dengan kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Kalau mengutip langsung itu kita tidak mengubah subtansi/isi pendapat orang, tetapi kalau tidak langsung kita memprafasekan pendapat orang tersebut, jadi ada sedikit pengubahan. Begitulah kira-kira.

Eh, kalau kasus seperti itu kira-kira plagiat? Atau tidak tahu teknik mengutip ya? Hehe. Biarlah pembaca yang menentukan.

Tapi yang pasti, sejak mengetahui materi itu saya lebih hati-hati dalam menulis. Begitupun ketika menulis karya fiksi, saya tuliskan jika idenya terinspirasi atau mengadaptasi. Sebagai contoh pada cerpen Mereka Bilang Ibuku Monster yang terinspirasi dari video di slide power point yang diputar oleh Kepala Sekolah saat H-3 Ujian Nasional.  



Yuk, jadi agen pemberantas plagiat caranya seperti yang dikatakan AA Gym dengan 3 M-nya, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari sekarang.

Salam.

Gusti Trisno

Related : Plagiat dan Sikap Kita

0 Komentar untuk "Plagiat dan Sikap Kita"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)