Cerita yang Mengubah Segalanya (Dimuat di Berita Pagi, Edisi 15 September 2018)




Ia telah tiba di suatu kamar yang tak diduga sebelumnya. Kamar tempat ia dicipta dengan penuh nestapa. Bagaimana tidak, setelah kehilangan ayah, lalu diterpa kegalauan panjang akibat masa lalu yang tak pantas diingat mengenai gejala oedipus yang dideritanya, dan kemudian bertemu Dewi yang menjadi cinta pertamanya itu. Kemudian, ada lelaki yang mengaku menciptanya dan merenggut Dewi darinya. Seolah-olah si penulis jatuh cinta kepada tokoh yang ia ciptakan sendiri.


Tetapi, kini si penulis telah mengubah cerita itu sendiri. Makanya, ketika ia tahu hal itu. Ia menerobos pintu ke mana saja dan menemui penulisnya di kamar yang tak lebih bagus dari kamar yang ia miliki.

“Terima kasih,” Joe menyapa si penulis cerita.

Ia tak mendapat balasan hangat. Hanya keterkejutan yang terpancar jelas di mata lelaki itu. Bukan hanya keterkejutan, lelaki itu malah histeris membuat seisi rumah masuk ke kamar itu.

Joe masih di sana, saat ibu dari penulisnya itu bersama seorang lelaki yang sebaya dengan penulisnya masuk kamar. Ibu si penulis itu merupakan perempuan berwajah teduh yang memiliki senyum menawan sekali. Sejenak, ia teringat ibunya sendiri. Pasti ibunya bingung mencarinya, lantaran pergi ke dunia manusia yang menciptanya.

“Kamu siapa?” tanya perempuan berusia paruh baya itu.

Joe mencoba memberikan senyum terbaiknya. Ia bingung harus menjawab apa, kalau ia jujur bisa saja ibunya tak percaya atau mengalami ketakutan yang sama dengan penulis yang menciptanya sendiri.

“Teman anak ibu,” Aku Joe sekalipun perempuan itu tampak tak percaya.

“Balu, ambil minyak kayu putih, Nak.”

Lelaki yang ditunjuk ibu itu segera pergi dan membawa minyak kayu selang beberapa menit. Perempuan ayu itu langsung mengoleskan minyak itu ke hidung si penulis. Dan sekitar lima menit kemudian, lelaki itu bangun.

“Aku di mana?”

Joe mendadak ingin tertawa akan ungkapan yang begitu klise itu. Tetapi, tawanya tertahan.

“Kamu di kamar, Nak. Tadi histeris, kemudian ya ibu ke sini bersama Balu,” Ibu menjelaskan, “Tetapi, yang ibu bingungkan siapa lelaki ganteng ini, Nak.” Tunjuk ibu kemudian ke arah Joe.

“Dia temanku, Bu.”

“Kok masuk rumah nggak kelihatan? Padahal, ibu dan Balu sedang bercakap-cakap di luar rumah.”

“Aku capek ya, Bu.”

Ibu tak lagi protes. Perempuan itu membiarkan penulis pencipta Joe itu di kamar bersama Joe dan Balu. Kesempatan itu membuat Joe ingin bertanya-tanya.

“Mengapa kamu membuat tokoh sepertiku?”

Penulisnya itu tak langsung menjawab, malah temannya yang bernama Balu seperti menangkap aroma ganjil.

“Gara-gara ucapanmu terbukti sekarang kan. Tokoh yang kuciptakan benar-benar hadir di dunia nyata. Dan, ia sekarang meminta pertanggungjawaban.” Jelas pencipta itu membuat Joe ingin tertawa. Apalagi, melihat si Balu yang tampak tak percaya.

Joe segera mengangkat suara kembali, “Aku meminta penjelasanmu mengenai asal muasal terciptanya aku.”

Tak ada jawaban. Lelaki itu memegang kepala yang pusing. Melihat itu, timbul rasa kasihan dalam diri Joe. Dan semua rasa kasihan itu sejenak teralihkan ketika mendengar suara Bunda Peri yang memanggilnya.

“Aku harus pergi,” ucap Joe lalu menghadap ke arah cermin di kamar si penciptanya. Ia mendekatkan tangannya ke cermin itu, kemudian ada pusaran seperti lingkaran yang menariknya. Dan ketika membuka mata, ia telah bersama Bunda Peri dan Dewi di taman tak jauh dari kompleks perumahannya.

 “Ke mana saja kamu?” Perempuan cantik berkacamata itu menatap Joe heran.

Joe berusaha memberikan senyum terbaik pada perempuan kedua yang teramat dicintanya itu. Ia menimang antara menceritakan kejadian ini atau menyimpannya sendiri. Terlebih, selama ini tak ada satu pun yang ia tutupi.

“Joe?” Bunda Peri kembali memanggilnya.

“Aku jalan-jalan, Bun,”

Bunda Peri menatapnya heran sekali lagi. Kedua alisnya merapat pertanda kebingungan yang didera. “Sama siapa? Nggak mungkin kan, kamu sendirian?”

Ah. Pernyataan itu benar-benar serupa skakmat bagi Joe. Bunda Peri-nya teramat hafal, jika ia tak suka pergi sendirian. Bahkan untuk sekadar belanja di mall saja, ia ditemani Dewi, Ibu, atau Bunda Peri sendiri. Makanya, Bunda Peri langsung sangsi.

“Jadwalmu hari ini juga kosong dari rangkaian tour literasi kan?”

Joe mengangguk. Pertanyaan Bunda Peri serasa membuatnya berada di persidangan. Sejenak Joe mengingat, apa adegan ini dibuat oleh penulisnya di luar sana dengan tujuan ada konflik baru. Ah. Mana mungkin itu terjadi, penulisnya sendiri sedang dalam keadaan shock ketika menjumpai Joe.

“Kok malah ngelamun?”

“Mikirin cerita yang akan kubuat nantinya, Bund.”

Bunda berdeham. Kemudian, mata perempuan itu memandang ke taman perumahan yang memiliki beraneka ragam bunga. Joe mengikuti mata itu. Ia sekilas melihat wajah Bunda Peri membuatnya teringat sosok Ibu penulisnya yang begitu teduh. Pembedanya hanya kacamata yang dipakai Bunda Peri. Soal fisik nyaris serupa.

“Apa yang ingin kamu tulis?”

Joe menatap Bunda Peri dengan penuh senyum. Yang dipandang membalas dengan senyuman. Kemudian, Joe segera mengambil tangan Bunda Peri, mencium tangan halus itu, dan menghirup udara yang ada di tangan.

“Entahlah, Bund. Bunda ada saran?”

“Bunda ikut menyaksikan dan menjadi bagian dari perjalanan kisahmu,” sahut Bunda memandang Joe lebih dalam, “Wuiiiiih, penuh lika-liku, suka-duka, senyum dan air mata sedih serta bahagia. Dan, kamu telah melawati itu semua, Anakku.”

Joe terharu mendengar penuturan itu. Ia lalu mengambil tangan Bunda Peri. Dan mencium tangan halus itu lebih dalam lagi.

“Bunda boleh meminta sesuatu?”

Joe mengangguk. Baginya, apa pun yang diminta perempuan peneduh hati itu tak bisa ditolak, bahkan jika memintanya masuk sumur pun akan ia ikuti.

“Bunda ingin kamu jadi anak yang tegar, handal, mumpuni, mandiri, tidak lebay, tidak termehek-mehek, tidak norak, tidak aleman dan tidak gampang terpengaruh oleh kerasnya kehidupan.” Ucap perempuan itu sambil membuang muka ke arah bunga-bunga.

Joe menunduk mendengarkan keinginan Bunda yang sebenarnya kaya akan makna. Keinginan itu sebenarnya juga ada pada dirinya, tetapi sebagai tokoh dalam cerita, ia hanya melakoni tulisan si penulis. Mau atau tidak, ia harus menjalaninya, kecuali penulisnya bisa ancam kembali dan mengubah karakternya sesuai keinginan Bunda Peri pastilah semuanya akan mudah.

“Maafkan aku, Bund.”

Hanya itu yang bisa dilontarkan Joe.

“Kamu itu lelaki, Nak, tetapi Bunda justru kadang membuatmu menjadikan anak manja dan super cengeng. Dan, sekarang Bunda ingin menempa kamu menjadi lelaki yang sejati yang tangguh, mandiri, handal, tegar dan penuh percaya diri. Bisa?”

Joe mengangguk. permintaan Bunda merupakan kewajiban yang harus ia lakukan. Dan, ia akan mengusahakan hal itu semua.

“Bun,”

Perempuan yang dipanggil Joe menoleh, kemudian memeluk Joe dengan perasaan basah tak hanya di matanya, tetapi hatinya. Joe ikut terhanyut dalam suasana yang seperti ini.

“Bunda pergi ya,” tutup perempuan itu, lalu berdiri dari kursi taman itu.

Joe yang masih tampak kaget langsung ikut-ikutan berdiri. Lelaki itu memegang tangan Bunda Peri dan menahan untuk tetap di tempat ini.

“Kabari Bunda dalam suksesmu nanti. Bunda akan selalu merindukanmu.”

Setelah mengucap kata itu, perempuan itu benar-benar meninggalkan Joe sendirian dalam ritmis tangisan. Untungnya, tak lama berselang sejak kepergian Bunda. Kekasih hati Joe juga ke taman. Entah ini suatu kebetulan atau tidak, tapi bagi Joe, kehadiran Dewi membuat sedikit bahagia timbul di hatinya.

“Bunda memintaku untuk menemanimu saat ini. Ia juga menyatakan harapannya kepadaku.” Dewi segera menjelaskan.

Joe menatap perempuan itu. Sekilas senyum kembali bergelanyut di wajahnya.
***

Tahun berganti tahun. Seperti musim yang berganti sesuai masanya. Begitupun dengan Joe. Ia benar-benar berusaha hidup, sekalipun Bunda Peri-nya menghilang tanpa memberitahu akan ke mana dan untuk apa.

Di tahun kelima itu, seusai wisuda pascasarjana. Ia langsung menyunting Dewi yang telah menggengam hatinya. Apalagi, selama menjadi penulis, ia telah mengantongi lebih dari cukup.

Pun, seusai menikah. Ia bersama Dewi berencana berbisnis seputar penerbitan buku, tak jauh dari dunia yang digeluti Joe selama ini.

“Bunda Peri belum ada kabar, Nak?” tanya Ibu sambil menunjukkan kartu undangan yang bertuliskan nama asli Bunda Peri-nya.

Menanggapi pertanyaan ibunya, Joe hanya menggeleng lemah. Di kepalanya, peningnya kumat. “Apa aku harus meminta kepada penulisku ya untuk mempertemukan dengan Bunda?” tanya Joe sambil memijat kepalanya sendiri.

“Maksud kamu?”

Joe meringis. Membuat salah tingkah seketika.

“Tidak, Bu. Tadi aku banyak pikiran. Selain mikirin naskah yang harus segera selesai, kan harus mempersiapkan pernikahan, dan ditambah dengan Bunda Peri yang tak bisa dihubungi. Makanya, jadi ngelantur deh.” Joe langsung beralibi.

Si ibu tak kembali bertanya. Keduanya kembali berfokus ke pekerjaan masing-masing.
***

Hari yang ditunggu telah tiba. Joe bersama Dewi menjadi raja dan ratu dalam sehari semalam. Joe tampak gagah memakai jas berwarna hitam, sedang Dewi memakai kemeja putih yang dimodifikasi menjadi sebuah gaun yang anggun.

Keduanya tampak begitu sempurna dan bahagia. Para undangan yang hadir juga merasakan aura tersebut. Maka, sambil menjamu penonton, keduanya selalu memberikan senyum terbaik.

Sungguh, dalam momen-momen seperti ini. Joe berharap Bunda Peri hadir.

Dan, keinginan itu terjawab. Ketika ia melihat perempuan berwajah teduh itu menggandeng seorang remaja seusainya. Yang tak lain penulisnya sendiri. Sungguh, Joe bahagia sekali. Dan, ia berharap cerita yang ditulis penulisnya tentangnya mendapatkan ending yang bahagia. Bukan sedih, apalagi menggantung tak pasti.

Hanya itu harapannya. Bukankah itu sederhana bagi dan mudah diwujudkan oleh seorang penulis?
26 Juli 2018 16:47


Related : Cerita yang Mengubah Segalanya (Dimuat di Berita Pagi, Edisi 15 September 2018)

0 Komentar untuk "Cerita yang Mengubah Segalanya (Dimuat di Berita Pagi, Edisi 15 September 2018)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)