Siklus hidup seseorang rasanya sama saja, tak ada yang spesial. Mulai dari dilahirkan, sekolah, kemudian kerja, menikah, punya anak, dan berakhir di kuburan dengan kematian. Sekalipun terkadang, kematian bisa hadir saat seseorang itu masih hidup. Itulah yang Joe rahasakan, ia seperti menemui kematian.
Kematian ketika di tempat tinggalnya, pajak begitu tinggi untuk kalangan penulis yang diibaratkan sama dengan artis. Belum lagi, kematian akibat persaingan yang begitu ketat. Hingga beberapa buku Joe yang dulu sering masuk rak bestseller malah menjadi buku yang dijual dengan harga miring, bahkan yang lebih parah masuk dalam kategori yang paling banyak dibajak.
Seandainya Joe bisa mengubah keadaan ini, pasti ia akan mengubah. Tetapi, ia tak memiliki kekuatan untuk itu. Pikiran atas kematian itu sebenarnya sering dipikirkan Joe, akhir-akhir ini. Dan, entah mengapa sekarang pikiran itu benar-benar menguasai pikirannya. Makanya, ia aras-arasan menulis tak seperti biasanya.
Ketika situasi seperti ini, ia berharap bisa bertemu Bunda Peri sebagai pemantik cerita. Maka, ia memejamkan mata. Dan ketika membuka mata, ia melihat perempuan nomor dua di hatinya itu. Sungguh, Joe langsung menampakkan rona-rona kebahagiaan. Ia pun segera mendatangi Bunda yang masih berada di depan gerbang rumahnya. Kemudian, menggandeng tangan perempuan cantik itu.
“Bunda, apa kabar?”
“Bunda baik, Nak. Dewi ada?”
Joe langsung menggeleng, lalu menyampaikan jika Dewi sedang ikut arisan permata bersama ibu-ibu muda lainnya. Mendengar penyampaian Joe, Bunda Peri langsung menampakkan rona meringis. Dari sana, ia mengetahui jika Bunda Peri tak suka atas penyampaiannya. Walaupun begitu, Joe tak berani mengonfirmasi pikirannya itu.
“Bunda masuk dulu ya?”
Perempuan itu menggangguk dan segera masuk ke ruang tamu. Lalu, Joe membiarkan perempuan itu sendiri.
“Baru saja aku memikirkan Bunda, eh langsung tergapai.”
Perempuan berwajah teduh itu tak langsung menjawab. Hanya senyum yang dilukiskan di wajah. Pertanda jika ia memiliki keinginan yang sama dengan Joe.
“Sebenarnya, ada yang kupikirkan, Bun?”
“Tentang pajak dan bukumu yang malah masuk dalam deretan buku yang paling banyak dibajak.”
“Bukan.” Elak Joe, “bukan itu saja maksudnya.”
Bunda ketawa kecil atas jawaban anak asuhnya itu.
“Soal itu aku akan cerita nanti. Sekarang, aku butuh penjelasan Bunda. Mengapa ke pesta pernikahanku sama lelaki itu? Siapa dia, Bun?”
Sungguh pertanyaan seperti itu benar-benar tidak penting, tetapi Joe perlu menanyakan. Sebab jika Bunda Peri tamu keadaan dunia yang ditinggali. Berarti perempuan itu harus siap jika seandainya cerita ini mengalami kehilangan satu per satu atau secara keseluruhan tokohnya.
“Karena dia bilang kamu mau menikah dan ngajak Bunda ke pernikahanmu. Bunda mana bisa menolak.” Ungkap Bunda.
Kini, Joe tak lagi ingin menyanggah lagi. Sebab memang Bunda itu belum tahu kalau ia akan menikah, apalagi tak ada undangan karena Bunda yang pergi tak meninggalkan alamat baru.
“Ia cerita apa saja?”
“Cerita kalau kita ini tokoh rekaannya.”
Joe tak merasa kesusahan lagi memikirkan hal imajinatif dan dunia asli yang berbeda jauh. Makanya, ia tak ingin mempermasalahkan.
“Bunda capek, Nak. Bunda ngampung istirahat ya!”
Joe mengangguk dan kembali menggandeng tangan Bunda menuju kamar tamu di lantai dua. Selepas itu, ia menyilangkan selimut dan mencium kening Bunda.
***
Aku merasa capek dengan keadaan ini, mau melanjutkan cerita tetapi rasanya chemistry belum terasa. Pun, untuk mengakhiri kisah Joe belum bagus-bagus amat. Malah, ending-nya belum jelas.
Tetapi, aku sudah letih dengan aktivitas menulis yang benar-benar menyita pikiran. Padahal, awalnya aku menulis karena seperti butuh media untuk berekspresi. Lambat laun menulis menjadi kecanduan. Hingga aku bertemu Joe. Dan terjadilah kisah yang tak diinginkan.
“Udah kelar ceritanya?” tanya Balu yang sudah menyelesaikan tidurnya.
Aku mengangguk. Kemudian, mengganti posisi Balu yang tidur-tiduran. Sedangkan, lelaki itu sibuk dengan komputer yang berisi naskahku.
“Kok gini ending-nya?”
“Itu, memang ceritanya belum kelar. Sebentar saja ya! Sebab menulis tidak dengan cara instan.”
Balu mengangguk. Tak ada pertanyaan atau protes lagi kepadaku.
Kemudian, waktu berubah sedemikian cepat. Berlalu tanpa kepastian. Juga cerita tentang Joe yang belum kusentuh sama sekali. Apalagi, kini rutinitas kembali ke perkuliahan benar-benar menyita pikiran. Mulai dari tugas membaca karya sastra angkatan lama, lalu menganalisisnya, hingga urusan organisasi yang benar-benar membuatku semakin sibuk.
Di tengah itu, aku sesekali membaca kisah Joe berulang-ulang, kali saja ada perubahan cerita seperti dulu. Hanya saja hasil yang kuperoleh, Joe The Series itu benar-benar tak hidup lagi kisahnya. Tak ada yang berubah. Barangkali, karena penulisnya yang sedang tak semangat menulis hingga tokoh rekaan itu juga kehilangan nyawa cerita.
“Kamu nggak nulis lagi?” tanya Ibu melalui telepon.
“Nggak, Bu.” Jawabku sambil memandang dinding indekos yang berisi serangkaian agenda bulan ini.
“Berarti nggak ada pemasukan?”
“Tidak.”
Kemudian hening. Dari pertanyaan ibu, aku menyangka jika perempuan itu sedang kesulitan ekonomi. Hingga tidak bisa mengirim uang padaku.
“Menulislah, Nak. Bukan karena uang, tapi kamu perlu berekspresi.”
Aku mengangguk tanpa suara sambil memikirkan perkataan ibu yang tepat sekali. Tetapi, untuk menulis rasanya bukan hal mudah. Mau menulis naskah lain, Joe takut protes. Apa aku harus menyelesaikan kisah Joe terlebih dahulu? Hingga tak merasa selingkuh ketika mengerjakan naskah lain.
“Nak...,”
“Iya, Bu. Aku akan menulis.”
Seusai percakapan itu, Ibu memilih menutup telepon. Kepalaku pening seketika. Segera kucuci muka. Dan memilih tiduran di kasur. Hanya saja, bayangan wajah ibu membuatku ingin cepat-cepat menulis. Maka sebagai pancingan, aku membaca empat cerpen di sebuah situs online dengan berbagai macam tema. Usai itu, membaca kembali tulisan terakhir tentang Joe. Sekitar lima belas menit kemudian, aku sudah mendapatkan inspirasi untuk melanjutkan kisah ini:
Bunda Peri tidur. Joe menemani perempuan yang begitu dicintainya itu setelah ibu. Lelaki itu melihat keteduhan yang terlalu di wajah Bunda Peri. Ia juga melihat Bunda Peri tersenyum dalam tidurnya. Seolah-olah perempuan itu sedang bertemu dengan malaikat dalam mimpinya.
Perlahan tapi pasti, lelaki itu meninggalkan Bunda Peri yang terlelap dalam tidurnya. Sebelumnya, ia memberikan kecupan di kening Bunda Peri dan membisikkan kata, “Selamat istirahat, Bund. Mimpi indah.”
Dan ketika kembali ke rumah tamu, Joe langsung menjumpai wajah istrinya bersama ibunya sendiri. Joe tersenyum, rasanya kebahagiaan yang ia sempurna. Sungguh, Joe tak perlu risau lagi jika harus bertemu kematian. Sekalian, kematian itu begitu mencekik lehernya akibat pajak kepada penulis yang begitu tinggi di negeri impiannya. Ia juga tak takut jika tak bisa menghidupi Dewi, sebab ia bukan hanya sekadar penulis, tetapi juga writerpreuner yang sukses. Buktinya, ia telah membuat tokoh buku dan penerbitan, kedua usaha itu dikelola bersama dengan Dewi. Sekaligus usaha itu bisa menunjang gaya hidup Dewi yang begitu glamor.
“Nak?”
Ibu memanggilnya. Joe tersenyum menatap ibu. Lelaki itu menepis segala pikiran jauh-jauh dari kepalanya. Dan memilih mendekatkan diri pada ibu.
“Ibu kok merasa telah bertemu dengan kematian ya?”
Sebuah pertanyaan itu tak disangka keluar dari mulut ibu. Joe tercengang bukan kepalang. Nyatanya, bukan hanya ia yang serasa bertemu kematian, tetapi ibu juga.
“Bagaimana bisa, Bu?”
Ibu langsung bercerita jika di rumah kecil Joe, ibu tak lagi menjumpai tetangga. Semuanya hilang bak ditelan bumi. Perempuan baik itu menjadi takut bukan kepalang. Lalu, memilih pergi ke rumah Joe saat ini. Pun, menuju tempat ini ternyata ibu hanya perlu menaiki bus tanpa supir dan penumpang lainnya. Meski takut, perempuan baik itu harus segera sampai di rumah.
Sementara Dewi juga mengeluhkan kalau teman-teman arisannya mendadak hilang satu per satu. Tak hanya anggota arisan saja, tetapi keluarga mereka juga ikut hilang. Satu per satu, tanpa jejak. Belum lagi, toko buku dan penerbitan yang kehilangan pegawai satu per satu.
Membayangkan itu semua, Joe benar-benar pusing. Ia memejamkan mata dan berbicara dalam hati kepada penulisnya. Meminta semua bisa kembali seperti dulu. Tetapi, Joe tidak menemukan jawaban.
“Dewi dan Ibu perlu tahu Bunda Peri ada di sini sekarang.”
“Kok kami tidak bertemu,” tanggap Ibu. Dilanjutkan pertanyaan Dewi, “di mana Bunda sekarang?”
“Di kamar sedang istirahat.” Jelas Joe.
Dan tanpa aba-aba, Ibu dan Dewi segera menuju kamar tamu yang dimaksud Joe. Hanya saja, di sana tak ada seorang pun. Sungguh keduanya, berprasangka jika Joe mengada-ngada.
“Ada kan Bunda Peri-nya?” tanya Joe ketika melihat Ibu dan Dewi.
Kedua perempuan itu menjawab dengan gelengan kepala. Akibat itu, Joe langsung panik dan naik ke lantai dua. Dan benar saja, Bunda Peri-nya mendadak hilang, tak membekas.
Joe langsung memandang ke langit kamar seolah-olah menatap penulisnya.
“Aku akan mendatangimu dan meminta pertanggungjawabanmu.”
***
Aku menghentikan laju tangan yang menari di papan keyboard laptop. Kemudian sesak benar-benar menimpaku tanpa permisi terlebih dahulu. Sejenak aku berpikir untuk segera menghentikan semua ini.
Maka, aku melanjutkan kisah:
Hujan datang begitu lebat seolah mengartikan kehilangan Bunda Peri yang direnggut tanpa alasan. Saat itu pula, kilat menyambar menambah suasana semakin dramatisir.
Ibu dan Dewi langsung berteriak ketakutan, apalagi tiba-tiba air menerobos ke dalam rumah. Keduanya langsung naik ke lantai dua dan menemukan Joe yang tampak kacau dengan prasangka kehilangan Bunda.
“Joe, lihat itu!” tunjuk Ibu ke arah jendela.
Joe bangkit, demi menjaga perasaan ibunya. Sebab kalau ia tak mendengar suara ibunya, pastilah Bunda Peri akan memarahinya. Hanya saja, ia benar-benar tak percaya dengan yang dilihatnya. Di mana air sudah hampir menyentuh lantai dua rumahnya.
Kekacauan itu berharap segera berlalu. Joe komat-komit tak jelas. Istri dan ibunya memandangi dengan kebingungan. Dan tak lama berselang. Air benar-benar menerjang tembok lantai dua. Menghanyutkan segala yang ada.
Joe masih sadar ketika mendapatkan hantaman air itu. Ia pun berusaha untuk tetap hidup. Tak lagi memikirkan kedua perempuan yang dicintainya. Tetapi, keinginan hanyalah keinginan dan tak semua menjadi kenyataan. Apalagi, kini air semakin tinggi. Menenggelamkan semua yang ada. Tak hanya rumah Joe, tetapi air membuat kematian dalam cerita.
***
Akhirnya, aku menyelesaikan kisah ini dengan cepat. Setelah itu, aku segera menyimpan dan mengirimnya ke sebuah media massa. Usai mengirim naskah lanjutan serial Joe ini, tiba-tiba hujan datang bersama petir. Kemudian, berhasil menerobos indekos dan menenggelamkan semua yang ada. Mulai dari sepeda motor beberapa teman indekos, sekaligus penghuninya.
Saat itu, hanya aku satu-satunya yang ada. Makanya, aku berusaha berenang keluar dari indekos. Pun, di luar suasana lebih menyeramkan. Air telah menyentuh tinggi kelapa. Aku berteriak dalam ketinggi air. Berharap ada bantuan. Saat itu, ada tangan yang menyentuh kakiku. Memaksaku tenggelam dalam harapan.
Tangan itu pula yang menyeretku ke dalam dunia imaji yang aku ciptakan. Membuatku mati bersama tokoh-tokoh rekaan yang kuciptakan sendiri.
Catatan Penting:
Cerita tentang penulis dan tokohnya yang hidup ini aslinya terdiri dari enam episode. Cerpen ini sendiri merupakan episode yang keenam. Sebelumnya, episode kedua dari cerita bersambung ini telah dimuat di Berita Pagi dengan judul “Cerita yang Mengubah Segalanya”. Walaupun cerita ini bersambung, pembaca masih bisa mengikuti cerita ini tanpa perlu runtut sesuai episodenya.
0 Komentar untuk "Kematian Cerita (Dimuat di Kabar Madura Edisi 22 Februari 2019)"