“Sul,” sapa Joni, membuyarkan lamunanku.
“Sul .. loe pikir gue bisul, panggil gue Sam,” jawabku ketus.
“Ya ... Sam, loe itu masih pacaran sama Mirna, kan?” tanyanya.
“So apa masalahnya?”
“Eng... enggak saja, soalnya kalian sudah lama tak jalan beriringan, ada masalah ya?” tanyanya lagi.
“Baik-baik saja kali, cuma dia lagi fokus sama kuliahnya.”
***
Rutinitas yang kian mendera membuatku sejenak melupakan Mirna, untuk memikirkan tugas kuliah saja sudah membuat beban pikiran ini berat, apalagi masalah cinta yang tak berhubungan dengan dunia kampus.
Mataku melirik sebuah lembaran di mading. Aku terkejut bukan kepalang, oh Mirna... ternyata kamu sekarang terpilih menjadi duta bahasa. Syukurlah, kataku di dalam hati. Pikiranku terus menerka-nerka, perubahan apalagi yang akan dia lakukan. Akankah aku bertambah jauh dengannya.
Kembali kulirik mading, di situ juga terdapat info lomba menulis dengan tema “Cinta”, langsung kuambil Blackberry untuk memotret info lomba tersebut. Ya, aku harus ikut. Kataku menyemangati diri.
***
Aku langsung berucap syukur ketika mengetahui teman-teman kuliah banyak yang peduli dengan mengingat hari lahirku yang ke-20. Mereka banyak yang mengirimi SMS, BBM, dan WA untuk mengucapkan selamat. Selain itu, Ibu menjadi orang pertama yang mengucapkan doa penuh keselamatan padaku.
“Sam ... selamat ulang tahun, ya, Nak. Semoga Allah senantiasa memudahkan jalanmu, semoga bertambah pintar dan semakin sukses ke depannya,” harap Ibu sembari mencium keningku.
“Makasih ya, Bu,” jawabku sembari membalas sebuah kecupan di kening Ibu.
“Nak, Ibu punya sesuatu untukmu,” ucap Ibu sembari memberikan kado yang ukurannya tidak terlalu besar.
Di kado tersebut terdapat tiga hadiah, pertama novel yang selama ini aku impikan, kedua sebuah cerpen tulisan Ibu, dan sebuah surat langsung dari goresan tangan indahnya.
“Ibu, ini cerpen tentangku?” tanyaku.
“Iya, Nak. Ibu yakin kamu bisa wujudkan impianmu menjadi penulis.”
“Terima kasih, Ibu. Semoga saja Allah memudahkanku menjadi penulis.”
“Oh iya Mirna apa kabar?” tanya Ibu.
“Dia sedang sibuk, Bu. Dia lagi ngurusin hal-hal yang akan dipresentasikan selama proses pertemuan duta bahasa nasional.”
“Oalah, dia udah ngucapin?” tanya Ibuku menyelidik.
“Be.. be.. sudah, maksudnya, Bu.”
“Oh syukurlah, ya wis tetap semangat menulisnya, ya. Kamu pasti bisa, Nak. Bismillah. Keep spirit!”
Aku mengangguk tanda setuju.
Aku sangat bangga dengan Ibu. Ia telah aktif menjadi penulis sejak remaja, tulisannya melalang buana ke media-media. Sementara aku? Mengikuti event-event lomba saja, keseringan gagal.
“Sam ... buah cinta yang tiada tara, di usiamu yang semakin dewasa, semoga Allah senantiasa menambah tingkat kesabaranmu dalam menghadapi hidup. Teruslah menulis, libatkanlah Allah dalam tulisanmu, karena sesungguhnya Dia-lah Sang Pemberi Ide. Dulu ketika Ibu remaja, Ibu tak menangis meskipun gagal-gagal terus dalam ikut lomba menulis. Kini ketika Ibu melihat kamu yang gagal untuk kesekian kalinya, Ibu malah sedih sekali. Jika Ibu menjadi juri di lomba-lomba yang sering kamu ikuti, mungkin Ibu sudah memberi tanda merah yang begitu banyak. Ejaan, diksi, alur, bahkan sudut pandang kamu selalu membuat kesalahan. Belajarlah, Nak. Ibu yakin kamu bisa, terus semangat dalam menulis, ya. Salam cinta tiada tara.”
Isi surat dari Ibu langsung kubaca. “Ya Allah, mungkin Ibu tak ingin mengoreksi tulisanku. Bertujuan agar aku bisa belajar dengan sendirinya dan insya Allah aku akan bisa memperbaiki tulisan ini agar menjadi kebanggaan Ibu.” Kataku dengan suara nyaris tak terdengar oleh siapapun.
***
Assalamualaikum wr wb
Selamat ulang tahun, Sam. Mohon maaf aku menjadi orang yang telat memberi ucapan ini. Ponselku hilang dan akun jejaring sosialku dibajak orang. Sebab kesalahanku yang sering tidak meng-log out Facebook dari handpohe. Tapi, semua masalah itu tak perlu kau pikirkan? Sekarang aku baik-baik saja. Facebook, Twitter, dan Email sudah bisa kugunakan lagi. Semua ini berkat seorang teman yang membantu.
Sam ... lelaki yang menjadikan hidupku semakin berwarna.
“Bagiku jika diibratkan antara perempuan yang memakai kerudung dengan tidak memakai kerudung itu seperti mutiara dan bunga. Perempuan yang tidak menggunakan kerudung itu seperti bunga, jika kita memandang bunga. Bunga tampak indah, namun bunga itu mudah layu, harganya juga murah karena di mana-mana dapat kita temukan bunga. Sedangkan perempuan yang menggenakan kerudung itu ibarat mutiara. Memang mutiara itu tidak secantik bunga dan jika mencarinya itu membutuhkan waktu dan perjuangan. Mencarinya itu di dasar laut diantara tiram dan karang. Namun, ketika kita mendapatkannya, mutiara tersebut bisa kita jual dengan harga yang tinggi. Lebih tinggi dari bunga dan yang paling penting mutiara itu tidak layu. Intinya perempuan yang menggenakan kerudung itu lebih indah dibanding yang tidak menggunakan kerudung karena mereka telah menutup auratnya dari orang-orang yang tidak berhak melihanya. Dan seorang perempuan akan terlihat tambah cantik apabila mengenakan kerudung karna kecantikannya memancar dari kedalaman hatinya.”
Kata-kata itu terasa sejuk ketika aku mengingatnya. Terima kasih Sam atas nasihatmu, Sam. Kini aku telah menutup auratku dari orang yang tidak berhak melihatnya. Aku juga berpikir untuk mengakhiri hubungan kita, mohon maaf sebelumnya, Sam. Aku tak ingin kita masuk dalam jurang cinta semu. Ingatkah kamu akan puisi yang pernah kamu bacakan di pembukaan ospek. “Ya Allah, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu,” begitu larik yang pernah kamu bacakan. Sebuah puisi karangan Syifaul Qulub yang menarik hati. Aku takut, Sam. Jika cinta ini nantinya lebih dari cinta pada Sang Pencipta.
Aku yakin kamu paham. Aku sama sekali tak ingin menjauh darimu. Biarlah cinta ini kita pendam saja, seperti seorang penulis yang ingin memberi kejutan di setiap akhir novelnya. Cinta ini nantinya akan bertemu dalam hubungan halal yang bernama rumah tangga, insya Allah.
Wassaamualaikum wr wb.
Tertanda
Mirna Lesmana
Aku terpaku di layar monitor laptop, jadi inilah alasan Mirna menjauhiku, ia sama sekali tak mengkhianatiku. Ya Allah begitu cepat perubahan pada diri Mirna, namun aku senang atas hal ini. Dan aku pun siap atas keputusannya,
Aku pun langsung menarikan jemari untuk membalas surat elektronik ini.
Waalaikum salam, Mirna.
Pertama-pertama aku sangat berterima kasih atas ucapanmu. Maafkan hati ini yang telah berprasangka jika kamu sudah melupakanku. Maafkan aku juga yang tak bisa mengerti kondisimu saat ini.
Hal yang tak pernah terbesit dalam benakku, kamu masih ingat percakapan di ujung senja itu. Perempuan, kerudung, bunga, dan mutiara itu. Aku takjub dengan perubahanmu.
Kedua, aku salut akan sikapmu. Sungguh aku sangat sayang padamu, tapi jika kamu ingin melepas tali ini. Aku siap juga untuk menunggumu dalam hubungan atap yang halal.
Semoga engkau dalam keadaan baik-baik saja di sana dan dalam lindungan-Nya.
Wassalam
Tertanda
Samsul Bahtiar
Aku tersenyum puas membalas E-mail Mirna, setelah itu meng-klik salah satu grup menulis di Facebook yang membuat terkejut bukan kepalang. Bagaimana tidak? Ternyata cerpen yang kukirim menjadi pemenang ketiga. Dan aku akan mendapatkan sebuah paket buku senilai dua ratus ribu rupiah serta voucher penerbitan tiga ratus ribu.
Tak henti-hentinya aku berucap syukur, jalanku untuk menerbitkan buku sudah di depan mata. Meskipun menerbitkannya secara indie. Tapi, aku tak kehilangan semangat untuk terus dan terus menulis.
***
Dua tahun bukan waktu yang singkat kujalani semua ini dengan indah, bahkan sangat indah. Kini hari-hari kuisi dengan kegiatan yang bermanfaat mulai dari menjadi pemateri seminar, temu pembaca, acara bedah buku, dan acara lain yang berhubungan dengan dunia literasi.
Meskipun kegiatanku begitu padat, tapi tak pernah merasa letih. Terlebih Ibu selalu memotivasi untuk terus melaksankan kegiatan-kegiatan tersebut, namun sayang harapannya agar aku cepat menikah, tak kulaksanakan.
Mirna, bagaimana kabarmu? Tanyaku dalam batin.
“Untuk selanjutnya pemateri kedua, Mas Samsul Bahtiar. Beliau akan membahas tentang fiksi remaja Islam. Kepada beliau disilahkan,” kata moderator menghentikan lamunanku.
“Dalam menulis ada tiga langkah yakni menulis, menulis, dan menulis. Tak ada cara lain menulis selain menulis itu sendiri. Di setiap tulisan yang akan kita buat haruslah mengandung manfaatnya. Setiap penulisan fiksi Islami, kita tak harus mengutip hadits atau ayat Alquran yang terpenting adalah isi ceritanya mengandung unsur-unsur islami, seperi pada penulisan novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lain-lain,” terangku.
“Demikianlah materi yang disampaikan oleh Mas Samsul, setelah diskusi ini saya akan membuka dua sesi pertanyaan dan di setiap sisi ada tiga penanya.”
Langsung banyak telunjuk yang mewanai gedung rektorat Universitas Paku Alam ini. Sesi pertama selesai. Moderator membuka sesi kedua kedua, tak disangka penanya di sesi ini jauh lebih banyak. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati sebuah hadiah dari salah satu peserta di penghujung acara seminar.
Kubaca cerpen yang ditulis dengan tinta emas ini. Kuingat masa silam yang kurajut bersamanya. “Aku tak tahu, mengapa hal ini terjadi? Kau tak pernah memberi kabar padaku, begitu pun diriku yang tak pernah memberi kabar padamu. Tapi ketika dua hati telah berjumpa di setiap penghujung istikaharah. Aku semakin yakin, bahwa di ujung sana kau pasti menunggu. Selama napas ini terus berjalan, selama itu pula aku akan menunggumu untuk meminangku. Cerpen ini kutulis dengan cinta, karena dengan cerpen ini aku bisa mengatakan jika aku masih mencintaimu.”
“Selamat dan sukses ya!” sapa seorang perempuan di belakangku.
“Mirna,” jawabku pelan.
“Ya Allah, ini cerpenmu, ya?”
“Iya dan itu untukmu.”
“Insya Allah aku siap untuk meminangmu.”
“Dan kita akan menjalin hubungan rumah tanga penuh dengan tulisan indah. Kuingin melahirkan bibit-bibit penulis unggul Indonesia. Agar mereka semua bisa mengatakan cinta dengan cerita cinta di bumi Indonesia.” []
Situbondo, 2013
0 Komentar untuk "Katakan Cinta dengan Cerita Cinta Dimuat di Analisa Medan Secara Bersambung Edisi 28 Juli dan 4 Agustus 2019"