Materi Cpns Wacana Kejadian Sejarah Penting Di Indonesia Dan Dunia





Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan medang periode jawa tengah) merupakan kelanjutan dari kerajaan kalingga di jawa tengah sekitar era ke 8 M, yang selanjutnya pindah ke propinsi jawa timur pada era 10. Penyebutan Mataram kuno atau mataram hindu mempunyai kegunaan untuk membedakan kerajaan ini dengan kerajaan mataram islam yang berdiri sekitar era ke 16. Kerajaan ini runtuh pada awal era ke 11.
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Medang
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Medang

Penamaan
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim digunakan untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal semenjak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu, nama yang lazim digunakan untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah ialah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada era ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan
Bhumi Mataram ialah sebutan usang untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, contohnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim digunakan untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.



Sesungguhnya, sentra Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan hingga ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antaralain:
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang kini disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh kini disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, kini disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan terang bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) ialah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan terang apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, berjulukan Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena kesudahannya melarikan diri ke Pakuan, meminta proteksi pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) ialah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta santunan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama istrinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan tempat Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Dari prasasti Canggal, sanggup diperoleh informasi bila Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sekitar era ke-7 M dengan raja yang pertama ialah Sanjaya yang mempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Dinasti yang berkuasa
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Mata uang kerajaan Medang (Emas atau keping tahil Jawa)
Mata uang kerajaan Medang (Emas atau keping tahil Jawa)

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Raja Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan pendapat van Naerssen, pada zaman pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Raja Sanjaya pada tahun 770an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Sejak ketika itu Wangsa Sailendra berkuasa di tanah Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya berjulukan Rakai Pikatan menikahi Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat ijab kabul itu ia sanggup menjadi raja di Medang, dan memindahkan istana kerajaan Medang  ke Mamrati. Hal tersebut dianggap sebagai awal Bangkitan kembali Wangsa Sanjaya.



Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana beropini bahwa daftar tersebut ialah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana ialah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen ihwal kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran hingga dengan Rakai Garung ialah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya gres dimulai semenjak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet M kemudian mengidentifikasi nama Rakai Panunggalan hingga dengan Rakai Garung dengan nama raja-raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, contohnya Dharanindra atau Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan pecahan dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu pada dinasti ketiga yang berkuasa di Medang ialah Wangsa Isana yang gres muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana gres di Tamwlang tahun 929an. Dalam prasastinya, Mpu Sindok menyebutkan bahwa kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Raja-raja yang memimpin Kerajaan Medang
Daftar raja-raja Medang menutur teori Slamet Muljana ialah sebagai berikut:
Sanjaya, (merupakan pendiri Kerajaan Medang)
Rakai Panangkaran, (awal berkuasanya Wangsa Syailendra)
Rakai Panunggalan alias Dharanindra
Rakai Warak alias Samaragrawira
Rakai Garung alias Samaratungga
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, (awal kebangkitan Wangsa Sanjaya)
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Rakai Watuhumalang
Rakai Watukura Dyah Balitung
Mpu Daksa
Rakai Layang Dyah Tulodong
Rakai Sumba Dyah Wawa
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Sri Lokapala (merupaka suami dari Sri Isanatunggawijaya)
Makuthawangsawardhana
Dharmawangsa Teguh, (berakhirnya Kerajaan Medang)
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang menggunakan gelar Sang Ratu, sedangkan raja sesudahnya menggunakan gelar Sri Maharaja.
Candi Prambanan - Peninggalan Kerajaan Medang
Candi Prambanan - Peninggalan Kerajaan Medang

Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama menggunakan gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar orisinil Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga bermetamorfosis Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini sanggup dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu. Jabatan tertinggi sehabis raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang mempunyai peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta. Jabatan sehabis Mahamantri i Hino secara berturut-turut ialah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman kini atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Perkembangan Pemerintahan
Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja berjulukan Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya ialah putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.

Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa pecahan tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.

Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.

Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan mempunyai pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh lantaran itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting ialah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.

Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memperlihatkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur.

Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul duduk kasus dalam keluarga Syailendra, lantaran adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa pecahan utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa pecahan selatan. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa pecahan utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng menggunakan namanama tokoh wayang menyerupai Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.

Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi menyerupai Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.

Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu kesudahannya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Mataram Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang cantik dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.

Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa setelah Balitung ialah Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang menimbulkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya musibah dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini memperlihatkan kalau pada ketika itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan berdasarkan prasasti Mantyasih, raja sehabis Rakai Kayuwangi ialah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan hingga Bali. Pemerintahan Balitung berakhir lantaran terjadi perebutan kekuasaan yang dilancarkan oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan orisinil dari Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, berjulukan Dyah Tulodhong. Tidak diketahui secara niscaya alur terjadinya proses suksesi ini berjalan. Tulodhong kesudahannya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya mempunyai jabatan sebagai pegawai pengadilan.

Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya. Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra bermetamorfosis permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangun kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850, Rakai Pikatan sanggup menyingkirkan anggota Wangsa Sailendra berjulukan Balaputradewa.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan yang telah menyingkirkannya. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan secara bebuyutan pada generasi berikutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai kemudian lintas perdagangan di Asia Tenggara. Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya tiba menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya ialah insiden hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan informasi dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya insiden tersebut tidak sanggup dibaca dengan terang sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016. Raja terakhir Medang ialah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya semenjak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas ketika itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam insiden tersebut, Dharmawangsa tewas. Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah adonan Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan gres sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu berjulukan Airlangga yang mengaku bahwa ibunya ialah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah
Selain mempunyai peninggalan sejarah berupa prasasti yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, Kerajaan Medang (Mataran Kuno) juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu atau Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten,  memperlihatkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.

Candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan Candi Borobudur.

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno dalam bentuk Prasasti:.
Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam abjad Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam abjad Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya
Prasasti Canggal, prasasti ini di temukan di halaman Candi Guning Wukir di wilayah desa Canggal mempunyai angka tahun 732 Masehi. ditulis dengan abjad pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasati ini berisi ihwal kisah pendirian Lingga (atau lambang Syiwa) di wilayah desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya selain itu prasasti ini juga menceritakan bahwa terdapat seorang raja yang memimpin pulau jawa sebelum dirinya yang berjulukan Sanna yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.
Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa tengah, berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut ialah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.

Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram Islam) merupakan kerajaan Islam di tanah Jawa yang berdiri pada era ke-17. Kesultanan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai keturunan penguasa Majapahit. Asal-usul kerajaan Mataram Islam berawal dari suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di 'Bumi Mentaok' yang diberikan untuk Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasa yang diberikannya. Raja berdaulat pertama ialah Sutawijaya (Panembahan Senapati), ia ialah putra Ki Ageng Pemanahan.
Cakupan terluas Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645)
Kerajaan Mataram Islam (Kesultanan Mataram)

Kerajaan Mataram Islam pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan Madura. Kerajaan ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya VOC, namun ironisnya Kerajaan ini malah mendapatkan santunan VOC pada masa selesai menjelang keruntuhan.
Bendera Kerajaan Mataram Islam
Bendera Kerajaan Mataram Islam

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian. Kerajaan ini meninggalkan beberapa jejak sejarah yang sanggup ditemui hingga kini, menyerupai kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Jawa Barat (Pantura), penggunaan hanacaraka, serta beberapa batas manajemen wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.



Masa awal
Setelah Sutawijaya merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya ia kemudian naik tahta dengan gelar Panembahan Senopati. Pada masa itu daerahnya hanya di sekitar Jawa Tengah, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram berada di daerah Mentaok, wilayah nya terletak kira-kira di selatan Bandar Udara Adisucipto kini (timur Kota Yogyakarta). Lokasi keraton pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal kekuasaan diteruskan oleh putranya, yaitu Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.

Baca Juga: Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Medang / Kerajaan Mataram Hindu)
Baca Juga
Pengertian, Sejarah, Latarbelakang & Tujuan Gerakan Non Blok
12 Pahlawan Nasional Yang Berpengaruh Dalam Sejarah & Kemerdekaan Indonesia
8 Pemberontakan di Indonesia yang Paling Membahayakan

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung usang lantaran beliau wafat lantaran kecelakaan ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Setelah itu tahta pindah ke putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro mempunyai penyakit syaraf sehingga tahta nya beralih dengan cepat ke putra sulung Mas Jolang yang berjulukan Mas Rangsang pada masa pemerintahan Mas Rangsang, Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan.

Terpecahnya Mataram
Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered, tidak jauh dari Karta. Pada ketika itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan 'sunan' (berasal dari kata 'Susuhunan' atau 'Yang Dipertuan'). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil lantaran banyak yang tidak puas dan pemberontakan. Pernah terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat untuk berkomplot dengan VOC. Pada tahun 1677 Amangkurat I meninggal di Tegalarum ketika mengungsi sehingga ia dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat tunduk pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak suka dan pemberontakan terus terjadi. Pada tahun 1680 kraton dipindahkan lagi ke Kartasura. lantaran kraton yang usang dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut ialah Amangkurat III (tahun 1703-1708), Pakubuwana I (tahun 1704-1719), Amangkurat IV (tahun 1719-1726), Pakubuwana II (tahun 1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III lantaran ia tidak patuh(tunduk) kepada VOC sehingga VOC menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram mempunyai dua orang raja dan hal tersebut menimbulkan perpecahan internal di Kerajaan. Amangkurat III kemudian memberontak dan menjadi ia sebagai "king in exile" hingga kesudahannya tertangkap di Batavia dan dibuang ke Ceylon.

Baca Juga: Kerajaan Sriwijaya

Kekacauan politik ini gres terselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta (Pada 13 Februari 1755). Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti. Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta merupakan 'ahli waris' dari Mataram.

Peristiwa Penting
Tahun 1558: Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya yang telah mengalahkan Arya Penangsang.
Tahun 1577: Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.


Tahun 1584: Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa gres (raja) di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar". Ia menerima gelar "Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai Senapati Utama Pajang).
Tahun 1587: Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang angin puting-beliung letusan Gunung Merapi. namun Sutawijaya dan pasukannya selamat.
Tahun 1588: Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar 'Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama' yang artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
Tahun 1601: Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" lantaran wafat ketika berburu di hutan Krapyak.
Tahun 1613: Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena Pangeran Aryo sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Tahun 1645: Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
Tahun 1645 - 1677: Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
Tahun 1677: Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I meninggal. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
Tahun 1680: Susuhunan Amangkurat II memindahkan sentra pemerintahan (ibu kota) ke Kartasura.
Tahun 1681: Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
Tahun 1703: Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
Tahun 1704: Atas pertolongan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III kemudian membentuk pemerintahan pengasingan.
Tahun 1708: Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka hingga wafatnya pada 1734.
Tahun 1719: Susuhunan Paku Buwono I meninggal kemudian digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).


Tahun 1726: Susuhunan Amangkurat IV meninggal kemudian digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
Tahun 1742: Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
Tahun 1743: Dengan santunan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian yang sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama Mataran belum melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikan VOC.
Tahun 1745: Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota gres di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
Tahun 1746: Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota gres yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menimbulkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
Tahun 1749: 11 Desember Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram gres ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. pada 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
Tahun 1752: Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di daerah Pesisiran (daerah pantura) mulai dari Banten hingga Madura. Perpecahan Mangkubumi-Raden Mas Said.
Tahun 1754: Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Pada tanggal 23 September, Nota Kesepahaman Hartingh-Mangkubumi. 4 November, Paku Buwana III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
Tahun 1755: 13 Februari menjadi Puncak perpecahan, hal ini ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar 'Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah' atau dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Tahun 1757: Perpecahan kembali melanda Kerajaan Mataram. sehingga muncul Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Sultan Hamengku Buwono I, Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said dan VOC. Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta.
Tahun 1788: wafat nya Susuhunan Paku Buwono III.
Tahun 1792: wafat nya Sultan Hamengku Buwono I wafat.
Tahun 1795: wafat nya KGPAA Mangku Nagara I wafat.
Tahun 1799: dibubarkan nya VOC oleh benlanda
Tahun 1813: Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
Tahun 1830: Akhir perang Diponegoro. Semua daerah kekuasaan Surakarta dan Yogyakarta dirampas Belanda. Pada 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara resmi dikuasai Belanda.
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro.
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro.

Peninggalan kerajaan mataram Islam:
Pasar Kotagede
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa contoh ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada semenjak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini.

Baca Juga: Kerajaan Majapahit

Masjid Agung Negara
Masjid ini dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
Masjid Agung Negara
Masjid Agung Negara

Kompleks Makam Pendiri Kerajaan di Imogiri
Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita sanggup menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini mempunyai ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura mempunyai pintu kayu yang tebal dan dihiasi tabrakan yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.

Sejarah Kerajaan Majapahit - Majapahit merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, berdiri antara tahun 1293 hingga 1500 Masehi. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk, yang berkuasa pada tahun 1350-1389. Kerajaan Majapahit ialah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit pada era XIV
Puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit pada era XIV

Bukti Adanya Kerajaan Majapahit
Tidak banyak bukti fisik dari Kerajaan Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh sejarawan merupakan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno dan Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi. Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai pecahan dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO. kemudian Pararaton berisi cerita, terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa pecahan pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Selain dua sumber diatas terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.



Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan corak bangunan, imbas kebudayaan, candi, seni dan patung. Bahkan ada perguruan tinggi silat berjulukan Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Singapura, Filipina, Selatan Thailand dan Malaysia.

Surya Majapahit: Lambang Kerajaan Majapahit
Surya Majapahit: Lambang Kerajaan Majapahit

Baca Juga
Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan PKI Madiun
Pengertian, Sejarah, Latarbelakang & Tujuan Gerakan Non Blok
12 Pahlawan Nasional Yang Berpengaruh Dalam Sejarah & Kemerdekaan Indonesia
Berdirinya Majapahit
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling besar lengan berkuasa di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang berjulukan Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan murka dan kemudian memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Arca Harihara, Setengah Dewa Siwa dan Dewa Wisnu. Patung ini menggambarkan Raja Kertarajasa (Raden Wijaya), raja pertama Majapahit
Arca Harihara, Setengah Dewa Siwa dan Dewa Wisnu. Patung ini menggambarkan Raja Kertarajasa (Raden Wijaya), raja pertama Majapahit

Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu Kertanegara) lari ke Madura. Atas santunan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto).

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memperlihatkan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang tiba menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya mengalah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat di atas disambut dengan bahagia hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut.



Ketika tentara Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu menyerang Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan berhasil mengusirnya. pasukan mongol secara kalang-kabut kalah dan mundur lantaran mereka berada di negeri asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson biar sanggup pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal niscaya yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit merupakan hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melaksanakan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, biar ia sanggup mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah janjkematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan kemudian dieksekusi mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya merupakan Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni menentukan mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada ketika pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang memperlihatkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan populer di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit hingga janjkematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan santunan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Sumber ini memperlihatkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.



Namun, batasan alam dan ekonomi memperlihatkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut sepertinya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga mempunyai relasi dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma pecahan selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan lantaran didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memperlihatkan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan kesudahannya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda sanggup dibinasakan secara kejam. Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melaksanakan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah tersebut disinggung dalam Pararaton tetapi tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai sentra mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, yang meliputi Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di banyak sekali daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan eksklusif oleh kerajaan Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan akreditasi kedaulatan Majapahit atas mereka.

Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah janjkematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang. Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada banyak sekali pulau dan kadang kala menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya ialah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada ketika inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki tempat ini.

Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada era ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akhir konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk merupakan putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga mempunyai seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini kesudahannya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 hingga 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah membuat komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, menyerupai di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai mempunyai pijakan di pantai utara Jawa.



Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 hingga 1447. Ia merupakan putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akhir krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian meninggal pada 1466 dan diganti oleh Singhawikramawardhana. kemudian tahun 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan ia mengangkat dirinya sendiri sebagai raja Majapahit.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim sudah mulai memasuki Nusantara. Pada selesai era ke-14, imbas Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada ketika bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan gres yang berdasarkan Islam muncul, yaitu Kesultanan Malaka. Di pecahan kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan era ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Tahun 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan cara memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu maupun Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya era dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1518. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon ialah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini ialah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut ialah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Raden Patah yang ketika itu merupakan adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala santunan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.

Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, lantaran penguasa Demak ialah keturunan Kertabhumi. Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melaksanakan perebutan kekuasaan ke Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Prabu Udara meminta santunan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak melaksanakan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan sanksi dari Demak akhir selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal era ke-16 kesudahannya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah lantaran ia merupakan putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M. Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di pecahan barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, tempat Bromo dan Semeru.

Perkembangan politik
Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut.
Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antaranggota keluarga raja. Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari ijab kabul tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota. Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa mempunyai dua putri, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun kedua putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa ialah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.

Memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang hingga Blambangan. Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana menimbulkan kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Ia wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Sumping (Blitar) sebagai Syiwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca perwujudannya ialah Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan dalam satu arca. Penggantinya ialah Jayanegara.

Pemerintahan Jayanegara
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akhir kepemim- pinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai berikut.
Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini sanggup dipadamkan pada tahun 1309.
Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311.
Pemberontakan Juru Demung (1313) disusul Pemberontakan Gajah Biru.
Pemberontakan Nambi pada tahun 1319. Nambi ialah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
Pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini ialah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Bedander. Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti sanggup dipadamkan.

Namun, meskipun banyak sekali pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru meninggal akhir dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang berjulukan Tanca. Ia kemudian dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.

Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh lantaran Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit kemudian diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328 – 1350) yang menjalankan pemerintahan dibantu oleh suaminya (Kertawardhana). Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini sanggup dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada ketika itu gres saja diangkat menjadi Patih Daha.

Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun takhta pada tahun 1350 lantaran Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya ialah putranya yang berjulukan Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun dengan gelar Rajasanegara. Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.

Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan mempunyai wilayah yang sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada ketika itu hampir sama dengan luas negara Republik Indonesia sekarang. Namun, sepeninggal Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami kemunduran. Kondisi Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat pada tahun 1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu per satu daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.

Kebudayaan
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit tiba ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk tempat ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara eksklusif dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk eksklusif oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas. Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan populer dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung ihwal Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim ketika itu.

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.
Gapura Bajang Ratu, salah satu gerbang masuk di ibu kota Majapahit.

"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari tabrakan halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo cantik beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

"..Raja [Jawa] mempunyai bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini mempunyai istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan pecahan dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."
Gambaran Majapahit berdasarkan Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Kristen di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, kemudian mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan banyak sekali rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat glamor dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain merupakan Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang semenjak era ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin aneh ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan mahir menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diharapkan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit biar sanggup digunakan dalam acara ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak sanggup dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.
Celengan zaman Majapahit, era 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)
Celengan zaman Majapahit

Beberapa citra mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa ketika itu dikumpulkan dari banyak sekali data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat bahtera penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa). Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan banyak sekali macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada semenjak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit. Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada ketika itu ialah lada, garam, kain, dan burung abang tua, sedangkan komoditas impornya ialah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari adonan perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Kristen Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan komplemen emas, perak, dan permata.

Kemakmuran Majapahit diduga lantaran dua faktor.
Faktor pertama; lembah sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun banyak sekali infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah.
Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari Khmer, China, Siam dan India. Pajak khusus dikenakan pada orang aneh terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melaksanakan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit mempunyai pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun banyak sekali tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
Uang Gobog Majapahit
Uang Gobog Majapahit

Struktur pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan di Majapahit, raja dianggap sebagai penjelmaan yang kuasa dan memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Roda pemerintahan dijalankan raja dibantu oleh putra raja, kerabat raja, dan beberapa pejabat pemerintah. Sebelum menduduki jabatan raja, putra mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai raja muda (Rajakumara atau Yuwaraja). Contohnya, sebelum dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk lebih dahulu diangkat sebagai Rajakumara yang berkedudukan di Jimna. dalam struktur pemerintahannya Majapahit mempunyai struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.

Raja dibantu oleh dewan pertimbangan kerajaan atau Bhatara Saptaprabu. Tugas forum ini ialah memperlihatkan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota dewan ini merupakan para sanak saudara raja. Untuk masalah-masalah keagamaan, raja dibantu oleh dewan yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa ri Kasainan bertugas menangani urusan agama Syiwa dan Dharmadyaksa ri Kasogatan bertugas menangani urusan agama Buddha. Para pejabat keagamaan ini dibantu oleh tujuh Dharma Upapati, yaitu Sang Panget i Tirwan, i Kandamulri, i Mangkuri, i Paratan, i Jambi, i Kandangan Rase, dan i Kandangan Atuha. Selain sebagai pejabat keagamaan, mereka juga merupakan kelompok cendekiawan.

Tiga forum pemerintahan tingkat atas di Majapahit sebagai berikut.
Sapta Prabu, merupakan sebuah dewan kerajaan. Anggota dewan ini ialah keluarga raja yang bertugas mengurusi soal keluarga raja, penggantian mahkota, dan urusan-urusan negara yang bekerjasama dengan kebijaksanaan negara.
Dewan Menteri Besar, mendapatkan perintah raja. Anggotanya berjumlah lima orang dan dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Dewan ini bertugas mengepalai urusan tata negara merangkap urusan angkatan perang dan kebijaksanaan.
Dewan Menteri Kecil, melanjutkan perintah raja. Beranggotakan tiga orang dan bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan raja.

Raja Majapahit juga dibantu oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Biasanya yang diangkat untuk menduduki jabatan ini ialah putra raja. Mahamenteri i Hino mempunyai kedudukan paling tinggi lantaran di samping mempunyai relasi erat dengan raja, ia juga sanggup mengeluarkan prasasti-prasasti. Para mahamenteri ini dibantu oleh para Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat tinggi kerajaan yang merupakan tubuh pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri atas lima orang, yaitu Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut Sang Panca ri Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.

Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat akrab raja mempunyai kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat aturan keagamaan
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini sanggup dikatakan sebagai perdana menteri yang bahu-membahu raja sanggup ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari, terdiri atas beberapa tempat tertentu di pecahan timur maupun pecahan tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang biasah disebut Paduka Bhattara yang mempunyai gelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini merupakan gelar tertinggi ningrat kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat akrab raja. Tugas mereka ialah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat akrab raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
Watek: dikelola oleh wiyasa,
Kuwu: dikelola oleh lurah,
Wanua: dikelola oleh thani,
Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi ketika pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara pecahan di luar negeri juga termasuk dalam bulat imbas Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini ialah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah pecahan timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat akrab raja.

Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara eksklusif dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya mempunyai penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk komplotan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.

Nusantara, ialah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini ialah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori itu masuk ke dalam bulat imbas Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai relasi diplomatik luar negeri:
Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu memperlihatkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa aneh ialah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka Satata sanggup dianggap sebagai aliansi Majapahit, lantaran kerajaan aneh di luar negeri menyerupai China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melaksanakan relasi luar negeri dengan kedua bangsa ini.

Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba menyerupai ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh sentra atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan sanggup tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut. Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya mempunyai pemimpin orisinil penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan sentra di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, menyerupai Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.

Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit.

Para penguasa Majapahit ialah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada selesai era ke-13. Berikut ialah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
Raden Wijaya (Gelar: Kertarajasa Jayawardhana) 1293 - 1309
Kalagamet (Sri Jayanagara) 1309 - 1328
Sri Gitarja (Tribhuwana Wijayatunggadewi) 1328 - 1350
Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) 1350 - 1389
Wikramawardhana 1389 - 1429
Suhita (Dyah Ayu Kencana Wungu) 1429 - 1447
Kertawijaya (Brawijaya I) 1447 - 1451
Rajasawardhana (Brawijaya II) 1451 - 1453
Purwawisesa atau Girishawardhana (Brawijaya III) 1456 - 1466
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa (Brawijaya IV) 1466 - 1468
Bhre Kertabumi (Brawijaya V) 1468 - 1478
Girindrawardhana (Brawijaya VI) 1478 - 1498 Patih Udara 1498 - 1518


Sriwijaya (disebut juga Srivijaya; dalam bahasa Thailan: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") merupakan kemaharajaan maritim yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi imbas di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar era ke-8 Masehi.
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar era ke-8 Masehi.

Letak Kerajaan
Merupakan kerajaan yang berdiri di Sumatra pada era ke-7. Pendirinya ialah Dapunta Hyang, Sriwijaya mempunyai sebutan Kerajaan Nasional I lantaran imbas kekuasaannya meliputi hampir seluruh Nusantara dan negara-negara di sekitarnya. Letaknya sangat strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi di Sumatra Selatan hingga ke Selat Malaka (merupakan jalur perdagangan India – Cina pada ketika itu), Selat Sunda, Selat Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaka.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.



Catatan sejarah
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari era ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling renta mengenai Sriwijaya juga berada pada era ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang.

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibuat kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya hingga tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa acuan Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.



Baca Juga
Pengertian, Contoh dan Dampak Chauvinisme, Lengkap Penjelasan
Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan PKI Madiun
Pengertian, Sejarah, Latarbelakang & Tujuan Gerakan Non Blok
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah bahtera kuno yang diperkirakan ada semenjak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala bahtera kuno itu sudah hilang dan sebagian papan bahtera itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping bahtera yang terdiri dari pecahan lunas, 14 papan bahtera yang terdiri dari pecahan tubuh dan pecahan buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang bekerjasama dengan temuan perahu, menyerupai tembikar, keramik, dan alat kayu.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada era ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi acuan oleh kaum nasionalis untuk memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.



Sriwijaya disebut dengan banyak sekali macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan ihwal adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melaksanakan observasi dan beropini bahwa sentra Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang memperlihatkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini ialah buatan manusia.

Namun sebelumnya Soekmono beropini bahwa sentra Sriwijaya terletak pada tempat sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak hingga ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), Namun yang niscaya pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

1) Berita dari Cina
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina. Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya ialah negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha. Pelayarannya maju lantaran kapal-kapal India singgah di sana dan ditutupnya Jalan Sutra oleh bangsa Han. Buddhisme di Sriwijaya dipengaruhi Tantraisme, namun disiarkan pula aliran Buddha Mahayana. I-Tsing juga menyebutkan bahwa Sriwijaya telah menaklukkan daerah Kedah di pantai barat Melayu pada tahun 682 – 685.

Berita Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) ialah kerajaan Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun informasi sumber dari dinasti Sung menyebutkan bahwa utusan Cina sering tiba ke San-fo-tsi. Diyakini bahwa yang disebut San-fo-tsi itu ialah Sriwijaya.

2) Berita dari Arab
Berita Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh menyampaikan bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia menyampaikan bahwa Zabag lebih akrab dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) lantaran banyak menghasilkan emas.

3) Berita dari India
Prasasti Leiden Besar yang ditemukan oleh raja-raja dari dinasti Cola menyebutkan adanya pemberian tanah Anaimangalam kepada biara di Nagipatma. Biara tersebut dibuat oleh Marawijayattunggawarman, keturunan keluarga Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya dan Kataka.

Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Hal ini merupakan wujud penghargaan lantaran Raja Sriwijaya ketika itu, Balaputradewa, mendirikan vihara di Nalanda. Selain itu, prasasti Nalanda juga menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa sebagai raja terakhir dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa meminta kepada Raja Nalanda untuk mengakui hak-haknya atas dinasti Syailendra.

4) Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya ialah prasasti- prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno:
Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 Saka (683 M) ditemukan di tepi Sungai Tatang, akrab Palembang.
Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684 M) ditemukan di sebelah barat Pelembang.


Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686 M) ditemukan di Bangka. Prasasti ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang membawa keruntuhan kerajaan tersebut, terlihat dari bunyi: "Menghukum bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya."
Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan mempunyai wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga memuat penaklukan Jambi.
Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun). Prasasti ini menyebutkan bahwa negara Sriwijaya berbentuk kesatuan dan menegaskan kedudukan putra-putra raja: Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra mahkota kedua), dan Rajakumara (tidak berhak menjadi raja).
Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M) ditemukan di Tanah Genting Kra. Prasasti ini memuat kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra (Melayu) oleh Sriwijaya
Prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun) ditemukan di Lampung berisi penaklukan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada era ke-7.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu

Dari sumber-sumber sejarah tersebut sanggup disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendiri Kerajaan Sriwijaya ialah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang berkedudukan di Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta Hyang berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi. Ketiga, Sriwijaya semula tidak berada di sekitar Pelembang, melainkan di Minangatwan, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Setelah berhasil menaklukkan Palembang, barulah sentra kerajaan dipindah dari Minangatwan ke Palembang.

Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai kerajaan Sriwijaya yang ditemukan. Kerajaan ini menjadi sentra perdagangan serta merupakan negara bahari. Beberapa mahir memperdebatkan tempat yang menjadi sentra pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, selain itu kemungkinan besar Sriwijaya biasah memindahkan sentra pemerintahannya, namun tempat yang menjadi ibukota tetap diperintah secara eksklusif oleh penguasa.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada semenjak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit ialah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para mahir beropini bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di era ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi pecahan kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai pecahan selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, insiden ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akhir serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa ialah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.



Ekspansi Sriwijaya ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan kerajaan ini mengendalikan dua sentra perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja serta Thailand. Pada era ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, hingga raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan relasi dengan Sriwijaya pada era yang sama. Di selesai era ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 hingga 835. Tidak menyerupai Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melaksanakan perluasan militer, tetapi lebih menentukan untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Agama
Sebagai sentra pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melaksanakan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi sentra pembelajaran agama Buddha. Selain informasi diatas, terdapat informasi yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang mencar ilmu agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta populer di Sriwijaya.
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, era ke-7 hingga ke-8 M.
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, era ke-7 hingga ke-8 M.

Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang mencar ilmu serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik pedoman sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.

Pengunjung yang tiba ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu pedoman Buddha aliran Buddha Hinayana dan Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang selesai era ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam membuatkan Buddha Vajrayana di Tibet menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijaya nagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun era ke-7 hingga era ke-9, sehingga secara eksklusif turut serta membuatkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar sentra perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan pecahan dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya imbas Sriwijaya.

"... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang mencar ilmu dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk mencar ilmu Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Gambaran Sriwijaya berdasarkan I Tsing.

Budaya
Berdasarkan banyak sekali sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra era ke-7 menyerupai Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati insiden penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak era ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya banyak sekali prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, menyerupai yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan banyak sekali suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, lantaran bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak ketika itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar era ke-9 M.
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar era ke-9 M.

Meskipun disebut mempunyai kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah ketika kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; menyerupai Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak menyerupai candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari kerikil andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Beberapa arca bersifat Budhisme, menyerupai banyak sekali arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar era ke-8 hingga ke-9).

Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditas menyerupai kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan proteksi dari Kaisar China untuk sanggup berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan maritim dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi dan sering kali memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di tempat sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya ialah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup imbas Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud ialah armada Sriwijaya, lantaran ketika itu wangsa Sailendra di Jawa ialah pecahan dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan maritim Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar era ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini ialah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda ialah ciri khas bahtera bangsa Austronesia dan bahtera bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur sanggup jadi merupakan jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam melaksanakan pelayaran antar pulaunya.

Selain menjalin relasi dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tempat Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak perempuan berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

Pada paruh pertama era ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan laba dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.

Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai lantaran adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih menunggu penelitian hingga sekarang.

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga

Majumdar beropini dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menimbulkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka beropini bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan tempat Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin relasi diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti. Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan ialah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi undangan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang sanggup menjelaskan pedoman dan aturan Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).

" Dari Raja sekalian para raja yang juga ialah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun ialah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tumbuhan pengecap buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan pedoman Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Peristiwa ini pertanda bahwa Sriwijaya telah menjalin relasi diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya memperlihatkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari banyak sekali hukum, budaya, dan adat-istiadat dari banyak sekali rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya ketika itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akhir pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, relasi antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan kesudahannya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga bekerjasama akrab dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi jelek setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melaksanakan penyerangan pada era ke-11. Kemudian relasi ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada tempat sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi pecahan dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi akrab Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan

Masa kejayaan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa tempat strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada era ke-9 Sriwijaya telah melaksanakan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan ihwal Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya ialah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya ialah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari spesialis dari Bangsa Persia yang berjulukan Abu Zaid Hasan yang menerima keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis sebetulnya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) mempunyai tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan. Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang era ke-10, akan tetapi pada selesai era ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan maritim gres dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, lantaran negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada demam isu semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa lantaran negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song biar Tiongkok memberi proteksi kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja gres Jawa tersebut ialah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada kesudahannya gagal lantaran Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup lantaran pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di tempat Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala santunan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan biar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, Terletak di Muara Takus).

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat tanggapan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah insiden Mahapralaya, yaitu insiden hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menimbulkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Masa Kemunduran
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, yang merupakan raja dari dinasti Chola di India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah yang sebelumnya menjadi koloni Sriwijaya, dan berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh kekuasaan Sriwijaya berada dalam imbas dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola tetap memperlihatkan peluang kepada raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa dengan syarat tetap tunduk kepadanya.

Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, hingga muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan gres yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari tempat Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Jawa pecahan barat. Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina memperlihatkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini memperlihatkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada era ke-11.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat besar lengan berkuasa dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa beliau menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha. Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata ialah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di tempat Laut Cina Selatan. Hal ini lantaran dalam Pararaton telah disebutkan Malayu.

Secara garis besar Kerajaan Sriwijaya mundur semenjak era ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan bahtera sulit merapat.
Letak Palembang yang makin jauh dari laut menimbulkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai sentra perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep sanggup menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya mempunyai angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia pecahan timur dan Sriwijaya di pecahan barat.
Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menimbulkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas sentra Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada perjuangan penyerangan terhadap Sriwijaya, namun gres sebatas perjuangan mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya ialah pendudukan oleh Majapahit dalam perjuangan membuat kesatuan Nusantara (1377).

Struktur pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, sanggup dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting ihwal kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

Kadātuan sanggup bermakna tempat dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai tempat yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang sanggup dianggap sebagai tempat kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu tempat inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan tempat yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang sanggup bermaksud tempat pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu tempat otonom dari bhūmi yang berada dalam imbas kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam bulat raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan banyak sekali jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut ialah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an tabiat wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) menyampaikan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Raja yang memerintah
Dari era ke-7 hingga ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di bawah ini, yaitu:
Dapunta Hyang Sri Jayanasa (671)
Sri Indravarman Che-li-to-le-pa-mo (702)
Rudra Vikraman Lieou-t’eng-wei-kong (728)
Maharaja Wisnu Dharmmatunggadewa (760)
Dharanindra Sanggramadhananjaya (775)
Samaragrawira (782)
Samaratungga (792)
Balaputradewa (835)
Sri Udayadityavarman Se-li-hou-ta-hia-li-tan (960)
Hie-tche (Haji) (980)
Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa (988)
Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi (1008)
Sumatrabhumi (1017)
Sangramavijayottungga (1025)
Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo (1079)
Rajendra II (1100)
Rajendra III (1156)
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183-1286)
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286-1293)
Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa (1347)
Warisan sejarah
Penemuan kemaharajaan Sriwijaya ini ditemukan pertama kali oleh Coedès pada tahun 1920-an yang telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk kemaharajaan yang terdiri atas komplotan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Pada era ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan ningrat Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin ialah bahasanya. yang Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di tempat pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung yang digunakan di banyak sekali bandar dan pasar di tempat Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan hingga pada era ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber pujian dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber pujian nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, menyerupai lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang membuat kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya. Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama nama dalam banyak sekali hal misal nama jalan di banyak sekali kota, maupun nama universitas, nama perusahaan, dan nama di kemiliteran.

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

TULISANN

Daftar Pustaka
DAFTARPUSTAKA


Related : Materi Cpns Wacana Kejadian Sejarah Penting Di Indonesia Dan Dunia

0 Komentar untuk "Materi Cpns Wacana Kejadian Sejarah Penting Di Indonesia Dan Dunia"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)