Kerajaan Mataram Kuno merupakan kelanjutan dari kerajaan kalingga di jawa tengah sekitar kala ke 8 M, yang selanjutnya pindah ke Provinsi Jawa Timur pada kala 10.
Penyebutan Mataram kuno atau mataram hindu mempunyai kegunaan untuk membedakan kerajaan ini dengan kerajaan mataram islam yang berdiri sekitar kala ke 16.
Kerajaan ini runtuh pada awal kala ke 11.
Penamaan
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim digunakan untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal semenjak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim digunakan untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yaitu Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada kala ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
Daftar Pustaka
Penyebutan Mataram kuno atau mataram hindu mempunyai kegunaan untuk membedakan kerajaan ini dengan kerajaan mataram islam yang berdiri sekitar kala ke 16.
Kerajaan ini runtuh pada awal kala ke 11.
Penamaan
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim digunakan untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal semenjak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim digunakan untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yaitu Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada kala ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
Bhumi Mataram yaitu sebutan usang untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri.
Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, contohnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang.
Istilah Mataram kemudian lazim digunakan untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, sentra Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan hingga ke daerah Jawa Timur sekarang.
Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antaralain:
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu.
Sementara itu, Tamwlang kini disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh kini disebut Megaluh.
Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, kini disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, contohnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang.
Istilah Mataram kemudian lazim digunakan untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, sentra Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan hingga ke daerah Jawa Timur sekarang.
Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antaralain:
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
- Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
- Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
- Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu.
Sementara itu, Tamwlang kini disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh kini disebut Megaluh.
Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, kini disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan terang bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) yaitu Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan terang apa nama kerajaannya.
Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, berjulukan Sanna.
Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara wanita Sanna.
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M.
Sena karenanya melarikan diri ke Pakuan, meminta proteksi pada Raja Tarusbawa.
Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) yaitu sahabat baik Sanna.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.
Sanjaya, anak Sannaha saudara wanita Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta derma Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama istrinya.
Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan daerah Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan.
Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Dari prasasti Canggal, sanggup diperoleh informasi jikalau Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sekitar kala ke-7 M dengan raja yang pertama yaitu Sanjaya yang mempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan terang apa nama kerajaannya.
Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, berjulukan Sanna.
Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara wanita Sanna.
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M.
Sena karenanya melarikan diri ke Pakuan, meminta proteksi pada Raja Tarusbawa.
Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) yaitu sahabat baik Sanna.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.
Sanjaya, anak Sannaha saudara wanita Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta derma Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama istrinya.
Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan daerah Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan.
Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Dari prasasti Canggal, sanggup diperoleh informasi jikalau Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sekitar kala ke-7 M dengan raja yang pertama yaitu Sanjaya yang mempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Raja Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu pemikiran Siwa.
Berdasarkan pendapat van Naerssen, pada zaman pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Raja Sanjaya pada tahun 770an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Sejak dikala itu Wangsa Sailendra berkuasa di tanah Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya berjulukan Rakai Pikatan menikahi Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra.
Berkat janji nikah itu ia sanggup menjadi raja di Medang, dan memindahkan istana kerajaan Medang ke Mamrati.
Hal tersebut dianggap sebagai awal Bangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan.
Sementara itu Slamet Muljana beropini bahwa daftar tersebut yaitu daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana yaitu Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya.
Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen wacana kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran hingga dengan Rakai Garung yaitu anggota Wangsa Sailendra.
Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya gres dimulai semenjak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”.
Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet M kemudian mengidentifikasi nama Rakai Panunggalan hingga dengan Rakai Garung dengan nama raja-raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, contohnya Dharanindra atau Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan belahan dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu pada dinasti ketiga yang berkuasa di Medang yaitu Wangsa Isana yang gres muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’.
Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana gres di Tamwlang tahun 929an. Dalam prasastinya, Mpu Sindok menyebutkan bahwa kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Raja Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu pemikiran Siwa.
Berdasarkan pendapat van Naerssen, pada zaman pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Raja Sanjaya pada tahun 770an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Sejak dikala itu Wangsa Sailendra berkuasa di tanah Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya berjulukan Rakai Pikatan menikahi Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra.
Berkat janji nikah itu ia sanggup menjadi raja di Medang, dan memindahkan istana kerajaan Medang ke Mamrati.
Hal tersebut dianggap sebagai awal Bangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan.
Sementara itu Slamet Muljana beropini bahwa daftar tersebut yaitu daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana yaitu Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya.
Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen wacana kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran hingga dengan Rakai Garung yaitu anggota Wangsa Sailendra.
Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya gres dimulai semenjak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”.
Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet M kemudian mengidentifikasi nama Rakai Panunggalan hingga dengan Rakai Garung dengan nama raja-raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, contohnya Dharanindra atau Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan belahan dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu pada dinasti ketiga yang berkuasa di Medang yaitu Wangsa Isana yang gres muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’.
Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana gres di Tamwlang tahun 929an. Dalam prasastinya, Mpu Sindok menyebutkan bahwa kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Daftar raja-raja Medang menutur teori Slamet Muljana yaitu sebagai berikut:
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang menggunakan gelar Sang Ratu, sedangkan raja sesudahnya menggunakan gelar Sri Maharaja.
- Sanjaya, (merupakan pendiri Kerajaan Medang)
- Rakai Panangkaran, (awal berkuasanya Wangsa Syailendra)
- Rakai Panunggalan alias Dharanindra
- Rakai Warak alias Samaragrawira
- Rakai Garung alias Samaratungga
- Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, (awal kebangkitan Wangsa Sanjaya)
- Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
- Rakai Watuhumalang
- Rakai Watukura Dyah Balitung
- Mpu Daksa
- Rakai Layang Dyah Tulodong
- Rakai Sumba Dyah Wawa
- Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
- Sri Lokapala (merupaka suami dari Sri Isanatunggawijaya)
- Makuthawangsawardhana
- Dharmawangsa Teguh, (berakhirnya Kerajaan Medang)
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang menggunakan gelar Sang Ratu, sedangkan raja sesudahnya menggunakan gelar Sri Maharaja.
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama menggunakan gelar Ratu.
Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin".
Keduanya merupakan gelar orisinil Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja.
Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga bermetamorfosis Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali.
Hal ini sanggup dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi setelah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino.
Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang mempunyai peluang untuk naik takhta selanjutnya.
Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta. Jabatan setelah Mahamantri i Hino secara berturut-turut yaitu Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan.
Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja.
Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.
Mungkin semacam perdana menteri pada zaman kini atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama menggunakan gelar Ratu.
Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin".
Keduanya merupakan gelar orisinil Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja.
Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga bermetamorfosis Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali.
Hal ini sanggup dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi setelah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino.
Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang mempunyai peluang untuk naik takhta selanjutnya.
Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta. Jabatan setelah Mahamantri i Hino secara berturut-turut yaitu Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan.
Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja.
Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.
Mungkin semacam perdana menteri pada zaman kini atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja berjulukan Sanna.
Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya.
Raja Sanjaya yaitu putra Sanaha, saudara wanita dari Sanna.
Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu).
Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa belahan tengah.
Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.
Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna.
Sanjaya kemudian melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri.
Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga).
Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan mempunyai pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya.
Oleh alasannya yaitu itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Rakyat hidup makmur.
Mata pencaharian penting yaitu pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci.
Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.
Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah menawarkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.
Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan.
Prasasti Kalasan juga membuktikan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran.
Raja Panangkaran kemudian memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas.
Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat.
Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.
Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul problem dalam keluarga Syailendra, alasannya yaitu adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).
Hal ini mengakibatkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno.
Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa belahan utara.
Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa belahan selatan.
Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa belahan utara.
Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo.
Kompleks Candi Dieng menggunakan namanama tokoh wayang ibarat Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.
Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi ibarat Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur.
Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.
Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu karenanya bersatu kembali.
Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga.
Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan.
Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa menciptakan benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan.
Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko.
Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno wilayahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar.
Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu.
Pada pemerintahan Balitung bidang-bidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan.
Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang bagus dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran.
Raja yang berkuasa setelah Balitung yaitu Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang mengakibatkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya petaka dan bahaya dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.
Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya.
Raja Sanjaya yaitu putra Sanaha, saudara wanita dari Sanna.
Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu).
Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa belahan tengah.
Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.
Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna.
Sanjaya kemudian melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri.
Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga).
Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan mempunyai pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya.
Oleh alasannya yaitu itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Rakyat hidup makmur.
Mata pencaharian penting yaitu pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci.
Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.
Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah menawarkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.
Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan.
Prasasti Kalasan juga membuktikan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran.
Raja Panangkaran kemudian memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas.
Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat.
Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.
Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul problem dalam keluarga Syailendra, alasannya yaitu adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).
Hal ini mengakibatkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno.
Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa belahan utara.
Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa belahan selatan.
Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa belahan utara.
Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo.
Kompleks Candi Dieng menggunakan namanama tokoh wayang ibarat Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.
Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi ibarat Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur.
Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.
Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu karenanya bersatu kembali.
Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga.
Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan.
Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa menciptakan benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan.
Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko.
Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno wilayahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar.
Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu.
Pada pemerintahan Balitung bidang-bidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan.
Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang bagus dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran.
Raja yang berkuasa setelah Balitung yaitu Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang mengakibatkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya petaka dan bahaya dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra.
Hal ini memperlihatkan kalau pada dikala itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.
Sedangkan berdasarkan prasasti Mantyasih, raja setelah Rakai Kayuwangi yaitu Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan hingga Bali.
Pemerintahan Balitung berakhir alasannya yaitu terjadi perebutan kekuasaan yang dilancarkan oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan orisinil dari Sanjaya.
Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, berjulukan Dyah Tulodhong. Tidak diketahui secara niscaya alur terjadinya proses suksesi ini berjalan.
Tulodhong karenanya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya mempunyai jabatan sebagai pegawai pengadilan.
Hal ini memperlihatkan kalau pada dikala itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.
Sedangkan berdasarkan prasasti Mantyasih, raja setelah Rakai Kayuwangi yaitu Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan hingga Bali.
Pemerintahan Balitung berakhir alasannya yaitu terjadi perebutan kekuasaan yang dilancarkan oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan orisinil dari Sanjaya.
Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, berjulukan Dyah Tulodhong. Tidak diketahui secara niscaya alur terjadinya proses suksesi ini berjalan.
Tulodhong karenanya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya mempunyai jabatan sebagai pegawai pengadilan.
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra.
Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra bermetamorfosis permusuhan ketika Wangsa Sanjaya berdiri kembali memerintah Medang.
Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850, Rakai Pikatan sanggup menyingkirkan anggota Wangsa Sailendra berjulukan Balaputradewa.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan yang telah menyingkirkannya.
Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan secara bebuyutan pada generasi berikutnya.
Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai kemudian lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa.
Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya tiba menyerangnya.
Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra bermetamorfosis permusuhan ketika Wangsa Sanjaya berdiri kembali memerintah Medang.
Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850, Rakai Pikatan sanggup menyingkirkan anggota Wangsa Sailendra berjulukan Balaputradewa.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan yang telah menyingkirkannya.
Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan secara bebuyutan pada generasi berikutnya.
Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai kemudian lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa.
Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya tiba menyerangnya.
Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Mahapralaya yaitu insiden hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan info dalam prasasti Pucangan.
Tahun terjadinya insiden tersebut tidak sanggup dibaca dengan terang sehingga muncul dua versi pendapat.
Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang yaitu Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya semenjak ia naik takhta tahun 991.
Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas dikala itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya.
Dalam insiden tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah gabungan Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan gres sebagai kelanjutan Kerajaan Medang.
Pangeran itu berjulukan Airlangga yang mengaku bahwa ibunya yaitu keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Tahun terjadinya insiden tersebut tidak sanggup dibaca dengan terang sehingga muncul dua versi pendapat.
Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang yaitu Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya semenjak ia naik takhta tahun 991.
Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas dikala itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya.
Dalam insiden tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah gabungan Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan gres sebagai kelanjutan Kerajaan Medang.
Pangeran itu berjulukan Airlangga yang mengaku bahwa ibunya yaitu keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Selain mempunyai peninggalan sejarah berupa prasasti yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, Kerajaan Medang (Mataran Kuno) juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu atau Buddha.
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, memperlihatkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan Candi Borobudur.
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, memperlihatkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan Candi Borobudur.
- Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam abjad Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
- Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam abjad Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya
- Prasasti Canggal, prasasti ini di temukan di halaman Candi Guning Wukir di wilayah desa Canggal mempunyai angka tahun 732 Masehi. ditulis dengan abjad pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasati ini berisi wacana dongeng pendirian Lingga (atau lambang Syiwa) di wilayah desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya selain itu prasasti ini juga menceritakan bahwa terdapat seorang raja yang memimpin pulau jawa sebelum dirinya yang berjulukan Sanna yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.
- Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa tengah, berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut yaitu daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.
Daftar Pustaka
https://edu.paperplane-tm.site/search?q=kerajaan-mataram-kuno-kerajaan-medang
0 Komentar untuk "Materi Cpns Wacana Kerajaan Mataram Kuno"