Gara-gara Politik, - Saya sebagai anak sekolah merasa terguncang dan murung melihat realita yang terjadi ketika ini. Tidak tau apakah perasaan orang lain sama atau tidak dengan apa yang saya rasakan. Bisa jadi sama atau juga tidak. Mungkin juga hanya saya yang merasakannya. Tentunya dengan alasan-alasan.
Gara-gara politik. Tepat atau tidaknya alasan itu saya tidak tahu. Yang niscaya saya murung lantaran ada hal yang kurang begitu baik terjadi disebabkan oleh sesuatu yang orang-orang suka menyebutnya dengan "politik".
Jujur saja awalnya saya tidak tau apa arti kata politik itu. Setelah mencari di internet, dari aneka macam sumber, saya memiliki kesimpulan bahwa politik itu yaitu proses untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Pemahaman saya gres hingga itu mengenai politik. Itu juga mungkin salah dan sedikit kemungkinan benarnya.
Pemilu kini berdasarkan saya yang masih anak sekolah agak sedikit memilukan. Soalnya pada kudeta edisi kali ini banyak sekali melahirkan sesuatu yang menyedihkan, meskipun wasit belum meniup pluit tanda kudeta dimulai. Tidak sedikit orang yang rela melacurkan persahabatan yang telah usang terjalin, hanya lantaran berbeda pandangan mengenai penerima lomba memperebutkan kekuasaan. Miris sekali, tetapi memang itulah yang terjadi. Saya tidak tebak-tebakan atau mengarang bebas untuk mengungkapkan hal ini, alasannya lantaran saya sendiri mengalaminya.
Pada malam yang sedikit hambar dengan ditemani beberapa gelas minuman berampas, saya berkumpul dengan beberapa sobat untuk mengembangkan dongeng usang dan sedikit tebak-tebakan akan dongeng baru. Malam itu banyak sekali orang yang berbahagia, lantaran pintu gerbang menuju gudang kebaikan akan segera dibuka kembali. Tetapi ada juga orang yang merasa murung akan hal tersebut, lantaran pada ketika itu mereka harus siap-siap kembali untuk bergelut dengan kecapean.
Oh iya, saya yaitu anak sekolah yang biasa-biasa saja memandang perlombaan meraih kekuasaan ini. Tidak ada satu penerima pun yang saya bela mati-matian. Mau si A, mau si B yang nantinya meraih label pemenang tidak terlalu saya anggap penting. Yang terpenting berdasarkan saya yaitu ketika si A atau si B memenangkan perlombaan ini, ia harus sadar terhadap apa saja yang mereka ucapkan ketika ia sedang mengemis dukungan.
Malam itu ada sebuah bencana yang cukup menciptakan hati berdebar, tapi ini bukan lantaran cinta, melainkan emosi tinggi. Bayangkan saja sobat yang tidak disangka-sangka menusuk saya dari arah belakang. Entah apa yang ada di nalar ia ketika malam itu, saya juga harus mengerutkan dahi dengan sekuat tenaga memikirkannya. Mengapa ia sanggup menyerupai itu kepada saya. Padahal, saya tidak menyerupai itu kepadanya.
Setelah beberapa ketika merenung, bertahap saya menemukan akar permasalahannya. Mungkin tatkala saya sedang menikmati penatnya malam di bawah percikan sinar bohlam besar bertiangkan besi dengan dibarengi beberapa gelas minuman berampas dengan teman-teman, ada perkataan yang keluar dari lisan saya yang menyinggungnya. Padahal dialog itu bukan dialog ketika khutbah jum'at yang harus selalu serius lantaran menyangkut sah tidaknya prosesi Ibadah. Obrolan itu hanyalah ocehan-ocehan canda untuk memancing tertawa.
Saya juga lupa apa yang saya katakan ketika saya dan teman-teman sedang bersama dia. Tetapi ia sangat cepat sekali menyimpulkan bahwa saya sudah tidak sejalan dengannya lantaran beda pendekar di ajang perlombaan memperebutkan kekuasaan itu.
Sudahlah lupakan saja dongeng di atas yang semerawut itu.
Percayalah setiap peristiwa niscaya mengandung banyak pelajaran. Tragedi itu juga tentunya banyak memperlihatkan pelajaran. Diantaranya bahwa persahabatan sanggup kalah dengan kepentingan. Tidak perlu kaget ketika ada sahabat menusuk dari belakang, sadari bahwa ia sedang menuhankan kepentingannya.
Tidaklah berdosa apabila kita ingin berpartisipasi untuk perduli terhadap politik, bahkan hal itu sanggup dibilang baik. Tetapi mungkin saja kita selama ini terlalu baper, serius, dan emosional dalam kepedulian itu, mungkin selama ini kita tidak proporsional berpartisipasinya sehingga politik begitu bebas dengan sebebas-bebasnya mengobok-obok ketentraman dan kedamaian kita.
Alangkah baiknya kita cukup meneguk kopi saja dan berperan sebagai penonton saja. Biarkan saja mereka para elite politik yang sudah dahaga kekuasaan laga antara mereka kolam anak kecil, lantaran hanya mereka yang faham permasalahannya. Sebaiknya kita fokus sajalah kepada pekerjaan kita sebagai rakyat yang tidak sedang ikut perlombaan. Kita cukup ngobrol, diskusi dengan hambar dan santai tidak perlu serius dan baper, kita gunakan hak bunyi dalam pemilihan nanti sambil melakukan kewajiban kita sehari-hari menyerupai belajar, mengajar, mendidik dan jangan lupakan ngopi bagi yang sudah candu.
Perlulah kita ingat bahwa ketika kita berselisih pendapat, kemungkinannya tidak hanya kau salah saya benar ataupun sebaliknya. Ada kemungkinan lain yaitu saya dan kau sama-sama salah dan kebenarannya entah ada dimana.
Gara-gara politik. Tepat atau tidaknya alasan itu saya tidak tahu. Yang niscaya saya murung lantaran ada hal yang kurang begitu baik terjadi disebabkan oleh sesuatu yang orang-orang suka menyebutnya dengan "politik".
Jujur saja awalnya saya tidak tau apa arti kata politik itu. Setelah mencari di internet, dari aneka macam sumber, saya memiliki kesimpulan bahwa politik itu yaitu proses untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Pemahaman saya gres hingga itu mengenai politik. Itu juga mungkin salah dan sedikit kemungkinan benarnya.
Pemilu kini berdasarkan saya yang masih anak sekolah agak sedikit memilukan. Soalnya pada kudeta edisi kali ini banyak sekali melahirkan sesuatu yang menyedihkan, meskipun wasit belum meniup pluit tanda kudeta dimulai. Tidak sedikit orang yang rela melacurkan persahabatan yang telah usang terjalin, hanya lantaran berbeda pandangan mengenai penerima lomba memperebutkan kekuasaan. Miris sekali, tetapi memang itulah yang terjadi. Saya tidak tebak-tebakan atau mengarang bebas untuk mengungkapkan hal ini, alasannya lantaran saya sendiri mengalaminya.
Pada malam yang sedikit hambar dengan ditemani beberapa gelas minuman berampas, saya berkumpul dengan beberapa sobat untuk mengembangkan dongeng usang dan sedikit tebak-tebakan akan dongeng baru. Malam itu banyak sekali orang yang berbahagia, lantaran pintu gerbang menuju gudang kebaikan akan segera dibuka kembali. Tetapi ada juga orang yang merasa murung akan hal tersebut, lantaran pada ketika itu mereka harus siap-siap kembali untuk bergelut dengan kecapean.
Oh iya, saya yaitu anak sekolah yang biasa-biasa saja memandang perlombaan meraih kekuasaan ini. Tidak ada satu penerima pun yang saya bela mati-matian. Mau si A, mau si B yang nantinya meraih label pemenang tidak terlalu saya anggap penting. Yang terpenting berdasarkan saya yaitu ketika si A atau si B memenangkan perlombaan ini, ia harus sadar terhadap apa saja yang mereka ucapkan ketika ia sedang mengemis dukungan.
Malam itu ada sebuah bencana yang cukup menciptakan hati berdebar, tapi ini bukan lantaran cinta, melainkan emosi tinggi. Bayangkan saja sobat yang tidak disangka-sangka menusuk saya dari arah belakang. Entah apa yang ada di nalar ia ketika malam itu, saya juga harus mengerutkan dahi dengan sekuat tenaga memikirkannya. Mengapa ia sanggup menyerupai itu kepada saya. Padahal, saya tidak menyerupai itu kepadanya.
Setelah beberapa ketika merenung, bertahap saya menemukan akar permasalahannya. Mungkin tatkala saya sedang menikmati penatnya malam di bawah percikan sinar bohlam besar bertiangkan besi dengan dibarengi beberapa gelas minuman berampas dengan teman-teman, ada perkataan yang keluar dari lisan saya yang menyinggungnya. Padahal dialog itu bukan dialog ketika khutbah jum'at yang harus selalu serius lantaran menyangkut sah tidaknya prosesi Ibadah. Obrolan itu hanyalah ocehan-ocehan canda untuk memancing tertawa.
Saya juga lupa apa yang saya katakan ketika saya dan teman-teman sedang bersama dia. Tetapi ia sangat cepat sekali menyimpulkan bahwa saya sudah tidak sejalan dengannya lantaran beda pendekar di ajang perlombaan memperebutkan kekuasaan itu.
Sudahlah lupakan saja dongeng di atas yang semerawut itu.
Percayalah setiap peristiwa niscaya mengandung banyak pelajaran. Tragedi itu juga tentunya banyak memperlihatkan pelajaran. Diantaranya bahwa persahabatan sanggup kalah dengan kepentingan. Tidak perlu kaget ketika ada sahabat menusuk dari belakang, sadari bahwa ia sedang menuhankan kepentingannya.
Tidaklah berdosa apabila kita ingin berpartisipasi untuk perduli terhadap politik, bahkan hal itu sanggup dibilang baik. Tetapi mungkin saja kita selama ini terlalu baper, serius, dan emosional dalam kepedulian itu, mungkin selama ini kita tidak proporsional berpartisipasinya sehingga politik begitu bebas dengan sebebas-bebasnya mengobok-obok ketentraman dan kedamaian kita.
Alangkah baiknya kita cukup meneguk kopi saja dan berperan sebagai penonton saja. Biarkan saja mereka para elite politik yang sudah dahaga kekuasaan laga antara mereka kolam anak kecil, lantaran hanya mereka yang faham permasalahannya. Sebaiknya kita fokus sajalah kepada pekerjaan kita sebagai rakyat yang tidak sedang ikut perlombaan. Kita cukup ngobrol, diskusi dengan hambar dan santai tidak perlu serius dan baper, kita gunakan hak bunyi dalam pemilihan nanti sambil melakukan kewajiban kita sehari-hari menyerupai belajar, mengajar, mendidik dan jangan lupakan ngopi bagi yang sudah candu.
Perlulah kita ingat bahwa ketika kita berselisih pendapat, kemungkinannya tidak hanya kau salah saya benar ataupun sebaliknya. Ada kemungkinan lain yaitu saya dan kau sama-sama salah dan kebenarannya entah ada dimana.
0 Komentar untuk "Gara-Gara Politik"