Keraton Sumenep

bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di tempat seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan renta yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep sehabis berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati sehabis masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di tempat keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada penggalan belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk program rapat-rapat para pegawanegeri pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya penggalan lantai yang telah dirubah alasannya yaitu rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua periode pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada penggalan gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada penggalan dinding biar tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut laki-laki 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang renta laki-laki dan orang renta wanita raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China sanggup dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil gesekan bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton berjulukan Lauw Piango, yang sehabis meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) yaitu laki-laki berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang ketika pembangunan keraton yaitu orang China, berjulukan Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. kemudian keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, menyerupai Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum kesannya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan semenjak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini sehabis selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur yaitu Taman Lake’, ini berdasarkan Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini kini sudah ditutup alasannya yaitu difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga penggalan belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang langsung untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada kini yaitu peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, sempurna di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang digunakan kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu gotong royong bukan penggalan dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung sempurna di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
--- oOo ---
Taman Sare dan Labang Mesem

Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di penggalan selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain menyerupai dingklik pertemuan, tempat tidur raja, dingklik pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa.
Konon derma yang diberikan raja Sultan Abdurrahman yaitu mengalihbahasakan sebuah prasasti dengan goresan pena Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu berjulukan My Lord, namun alasannya yaitu pengecap orang Madura ketika itu kurang sanggup melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dikenal dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang dijumpai Eartjava Traveler.
Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini digunakan oleh raja dan para bawahannya melaksanakan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu sebagai sentra rencana gerakan perlawanan.
Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak sempurna mempunyai kantor raja alasannya yaitu statusnya hanya Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, dia menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu yaitu Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), alasannya yaitu seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini digunakan raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, alasannya yaitu itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, kalau raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi arahan dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan arahan tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut dongeng beberapa orang, air di Taman Sare ini juga mempunyai khasiat mengakibatkan orang infinit muda.

LABANG MESEM
Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi perihal asal undangan nama Labang Mesem, kesannya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol. Perlambang atas perilaku keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam mendapatkan tamu.
Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini sanggup dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran kalau sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun tiba ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah hingga di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akhir terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang sanggup dinikmati di keraton ini. Tak cukup goresan pena dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling sempurna untuk memuaskan ingin tau hati, hanya dengan tiba dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.-az.alim
--- oOo ---
Bagaimana Mencapai Keraton?

Sangat gampang mencapai Keraton Sumenep, alasannya yaitu letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di sentra kota Sumenep. Demikian halnya untuk hingga ke sentra kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, sentra propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep merupakan campuran dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso berarti capek atau lelah, dan nginep berarti bermalam. Jadi, sehabis kita melaksanakan perjalanan menuju kita ini dianjurkan bermalam. Setidaknya demikian biar keesokan harinya Anda sanggup menikmati kekayaan dan keindahan potensi wisata di daerah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek menyerupai Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang lainnya sanggup menjadi jujukan wisata Anda.-az.alim
*Dimuat di Majalah EJT, April 2007

Diposkan oleh - di 20:15 0 komentar

SEJARAH SUMENEP SEBAGAI IKON JERAJAAN ISLAM DI MADURA

bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di tempat seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan renta yang tak kalah gagah memancarkan kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep sehabis berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati sehabis masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
Bangunan-bangunan di tempat keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada penggalan belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk program rapat-rapat para pegawanegeri pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya penggalan lantai yang telah dirubah alasannya yaitu rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua periode pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada penggalan gentingnya. Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada penggalan dinding biar tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep. Menurut laki-laki 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang renta laki-laki dan orang renta wanita raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China sanggup dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil gesekan bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton berjulukan Lauw Piango, yang sehabis meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) yaitu laki-laki berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang ketika pembangunan keraton yaitu orang China, berjulukan Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. kemudian keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, menyerupai Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum kesannya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan semenjak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini sehabis selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur yaitu Taman Lake’, ini berdasarkan Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini kini sudah ditutup alasannya yaitu difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga penggalan belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang langsung untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada kini yaitu peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, sempurna di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep.
Bangunan yang digunakan kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu gotong royong bukan penggalan dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air. Kehadiran gedung sempurna di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
--- oOo ---
Taman Sare dan Labang Mesem

Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di penggalan selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain menyerupai dingklik pertemuan, tempat tidur raja, dingklik pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa.
Konon derma yang diberikan raja Sultan Abdurrahman yaitu mengalihbahasakan sebuah prasasti dengan goresan pena Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu berjulukan My Lord, namun alasannya yaitu pengecap orang Madura ketika itu kurang sanggup melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dikenal dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang dijumpai Eartjava Traveler.
Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini digunakan oleh raja dan para bawahannya melaksanakan pertemuan. Belanda kemudian menduga gedung itu sebagai sentra rencana gerakan perlawanan.
Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak sempurna mempunyai kantor raja alasannya yaitu statusnya hanya Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, dia menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu yaitu Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), alasannya yaitu seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini digunakan raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, alasannya yaitu itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, kalau raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi arahan dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan arahan tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut dongeng beberapa orang, air di Taman Sare ini juga mempunyai khasiat mengakibatkan orang infinit muda.

LABANG MESEM
Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi perihal asal undangan nama Labang Mesem, kesannya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol. Perlambang atas perilaku keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam mendapatkan tamu.
Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini sanggup dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran kalau sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun tiba ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah hingga di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akhir terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang sanggup dinikmati di keraton ini. Tak cukup goresan pena dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling sempurna untuk memuaskan ingin tau hati, hanya dengan tiba dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.-az.alim
--- oOo ---
Bagaimana Mencapai Keraton?

Sangat gampang mencapai Keraton Sumenep, alasannya yaitu letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di sentra kota Sumenep. Demikian halnya untuk hingga ke sentra kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, sentra propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep merupakan campuran dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso berarti capek atau lelah, dan nginep berarti bermalam. Jadi, sehabis kita melaksanakan perjalanan menuju kita ini dianjurkan bermalam. Setidaknya demikian biar keesokan harinya Anda sanggup menikmati kekayaan dan keindahan potensi wisata di daerah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek menyerupai Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang lainnya sanggup menjadi jujukan wisata Anda.-az.alim
*Dimuat di Majalah EJT, April 2007

Related : Keraton Sumenep

0 Komentar untuk "Keraton Sumenep"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)