Al-Farabi Dan Pemikirannya


Peradaban Islam muncul tidak lepas dari banyak sekali pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam ialah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam ialah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.

Al-Farabi ialah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang semenjak itu terus dibangun dengan tekun.[1] Ia populer dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.[2] Ia termasyhur dikarenakan telah memperkenalkan dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”.[3] Ia memiliki kapasitas ilmu logika yang memadai.[4] Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser.[5]


Biografi dan Pendidikannya
Al-Farabi, nama lengkapnya ialah Abu Muhammad ibn Muhammad IbnTarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.[6] Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab, daerah ia dilahirkan.[7]Al-Farabi memiliki sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara Turki.

Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang menyampaikan bahwa Farabi sanggup berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang beliau kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.[8]

Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai sentra kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia mencar ilmu kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj  dab mencar ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah  ke Harran, sentra kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa usang di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak memakai waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Dalam dunia intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama ialah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan lantaran ia banyak memamhami filsafat Aristoteles.

Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapat sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu. Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi bila dilihat dari segi pemerintahan maka ia juga rugi lantaran kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan, juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.

Karya-karyanya

Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memperlihatkan ulasan-ulasan serta klarifikasi terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka ialah sebagai berikut:
 

Ulasannya terhadap karya Aristoteles

1.    Burhan (dalil),

2.    Ibarat (keterangan),

3.    Khitobah (cara berpidato),

4.    Al-Jadal (argumentasi/berdebat),

5.    Qiyas (analogi),

6.    Mantiq (logika)
 

Ulasannya terhadap karya Plotinus  ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,

Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy wacana ”Maqalah Fin-nafsi”.

Sedangkan karya-karya positif dari al-Farabi lainnya :

a.    Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),

b.    Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),

c.    As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),

d.   Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),

e.    Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),

f.     As Syiasyah (ilmu politik),

g.    Fi Ma’ani Al Aqli,

h.    Ihsho’u Al Ulum (kumpulan banyak sekali ilmu),

i.      At Tangibu ala As Sa’adah

j.      Isbatu Al Mufaraqat,

k.    Al Ta’liqat. 


Pemikirannya wacana Filsafat Emanasi:
Salah satu filsafat al-Farabi ialah teori emanasi yang di dapatnya dari teori Plotinus[10] apabila terdapat satu zat yang kedua setelah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini ialah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) ialah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama menyerupai form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.[11]

Oleh lantaran itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak sanggup timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.

Persoalan di atas, ialah sebuah rasa ingin tau dari al-Farabi lantaran ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah ialah pencipta (Shani, Agent), yang membuat dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo).  Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik wacana emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap aktivis Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang membuat sesuatu dari materi yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah membuat alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam ialah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).

Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 ”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila beliau menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).

Al-Farabi beropini Tuhan sebagai akal, berpikir wacana diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga memiliki substansi. Ia disebut budi pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir wacana wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

a.         Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir wacana dirinya sampai timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),

b.         Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud  IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),

c.         Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,

d.        Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,

e.         Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,

f.          Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,

g.         Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,

h.         Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,

i.           Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.

Wujud yang dimaksud ialah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.[12]

Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah budi dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini diadaptasi dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap budi diharapkan satu planet pula, kecuali budi pertama yang tidak disertai sesuatu planet saat keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa berdasarkan Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauhdan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah budi ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan budi sepuluh yaitu budi bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri budi itu sendiri. Pemikiran budi pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud lantaran Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah budi kedua dan seterusnya.











Referensi : 

Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t

A Qadir, C. Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991

Al-Jisr, Nadim,  Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan Jakarta : Bulan Bintang, 1966, Jilid I

Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005

Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta : Paramadina, 2000






Related : Al-Farabi Dan Pemikirannya

0 Komentar untuk "Al-Farabi Dan Pemikirannya"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)