Descartes (dalam Wahab, 1995: 21) menyatakan bahwa bahasa ialah milik khas manusia. Banyak hebat yang mengemukakan pendapatnya perihal bahasa. Begitu banyaknya pendapat perihal bahasa, Wahab (1995: 5-11) merangkum beberapa kontroversi pandangan tersebut: antara kubu phusis dengan kubu thesis, faham analogi dengan anomali, penganut empirisme dengan penganut rasionalisme, kelompok yang percaya bahwa bahasa berfungsi interaksional dengan yang berfungsi transaksional.
Para antropolog juga terbagi tiga golongan dalam memandang bahasa. Pandangan pertama menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Pandangan kedua menyampaikan bahwa bahasa ialah belahan dari kebudayaan, salah satu unsur kebudayaan. Pandangan ketiga beropini bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, dan ini sanggup berarti dua hal. Hal pertama, bahasa ialah kondisi bagi kebudayaan. Manusia mengenal budaya melalui bahasa. Hal kedua, bahasa ialah kondisi bagi kebudayaan lantaran bahan bahasa sejenis dengan bahan pembentuk kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2001: 24-25).
Terlepas dari kontroversi dan pembagian di atas, dalam komunikasi biasa, saat memberikan pesannya, penyapa selalu dipengaruhi oleh dan harus memperhatikan sistem bahasa dan sistem sosial-budaya. Selain itu, penyapa dipengaruhi oleh kompetensi kebahasaannya. Ketika ingin memberikan pesan, ia harus menentukan bahasa yang sama dengan bahasa yang dikuasai oleh orang yang disapa. Bila orang yang disapa orang Indonesia, penyapa harus memberikan pesannya dalam bahasa Indonesia. Ini pun belum cukup. Penyapa harus memperhatikan kaidah sintaksis, semantik, dan pragmatik yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Sistem sosio-budaya juga harus diperhatikan oleh penyapa. la harus memperhatikan kata-kata yang mempunyai nilai rasa yang berkaitan dengan bahasa yang akan digunakan, contohnya kata-kata tabu yang sanggup menyinggung perasaan orang yang disapa atau masyarakatnya.
Hal ini juga berlaku dalam komunikasi sastra. Ketika sastrawan ingin memberikan pesannya, is harus mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa tersebut harus dimengerti oleh pembacanya. Oleh lantaran itu, bahasa yang digunakan juga berangkat dan bahasa natural, yakni bahasa yang digunakan berkomunikasi sehari-hari. Meskipun demikian, dengan bekal bahasa natural tersebut, sastrawan membuat sendiri bahasa yang sesuai dengan sistem sastra.
Sebagai komunikasi yang timbal balik, sistem bahasa yang diciptakan sastrawan ini harus diterima oleh pembaca dengan cara yang sama. Bila tidak, komunikasi ini sanggup dikatakan gagal. Itulah sebabnya, bahasa sastra bukan bahasa yang melanggar kaidah bahasa natural. tetapi memang mempunyai kaidah tersendiri. Sastrawan dipandang sebagai orang yang mempunyai kreativitas berhahasa yang lebih dibandingkan dengan anggota masyarakatnya (Brown dan Yule, 1986).
Dalam komunikasi biasa, di dalam diri seorang penutur terdapat dua kekuatan: yang satu cenderung ke arah perbedaan individu atau individualisme dan satunya ke arah persamaan antar individu atau konformitas. Individualisme mensyaratkan adanya perbedaan bahasa antara satu individu dengan individu lainnya. Konformitas mensyaratkan adanya pembiasaan bahasa yang digunakan satu individu untuk tunduk pada kaidah bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya (Hudson, 1995: 20).
Seperti yang dikemukakan di atas, pesan yang disampaikan oleh sastrawan kepada pembacanya berbentuk karya sastra. Karya sastra tersebut disampaikan dengan medium bahasa. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra selain harus memenuhi prinsip konformitas, juga bersifat individualisme. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra ialah bahasa yang juga dikenal oleh masyarakat pemakai bahasa itu, bahasa natural. Hanya saja oleh sastrawannya bahasa itu dijadikan menjadi milik yang lebih bersifat individu dengan cara menggali lebih dalam makna, menambah makna, atau mengasingkan dan makna yang digunakan oleh masyarakat. Sastrawan juga sanggup memberikan pemakaian bahasa yang barn. Itulah sebabnya, Waluyo (1990) menyatakan bahwa karya sastra ialah verbal individual pengarang dengan memakai bahasa yang bersifat idiosinkretik. Contohnya, dalam puisi Sapardi Djoko Damono “Aku ingin” berikut:
AKU INGIN
saya ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
saya ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan aba-aba yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Semua formasi kata-kata pada bait puisi di atas dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semua kata-kata yang ada di dalam puisi tersebut tidak ada yang asing dan aneh, menyerupai kata aku, ingin, mencintaimu, dengan, sederhana. Ini memperlihatkan bahwa puisi ini diciptakan oleh Sapardi dengan memperhatikan konformitas. Di nisi lain, Sapardi juga memberikan bahasa yang individual dengan memberikan ungkapan mencintaimu dengan sederhana; kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu; aba-aba yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Ungkapan-ungkapan ini bersifat individual lantaran hanya dimiliki oleh Sapardi.
Dari hal-hal di atas, sanggup dikatakan bahwa bahasa sastra ialah bahasa yang khas. Menurut Aminuddin (1987: 90-94), kekhasan ini sanggup dilihat dan sudut sastrawan dan bahasa yang digunakannya. Dan segi sastrawan, komunikasi sastra mempunyai ciri sebagai berikut. Pertama, komunikasi itu mengalami deotomatisasi, lantaran ide, pesan, wahana kebahasaan tidak sanggup begitu saja diperoleh, melainkan harus diolah, sehingga pengujarannya tidak sanggup berlangsung begitu saja. Kedua, komunikasi itu tidak mempunyai kepastian kekerabatan dengan penanggap. Terakhir, penutur memberikan gagasan secara tidak langsung.
Dari segi bahasa yang digunakan, kekhasan bahasa tampak pada ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, bahasa sastra bersifat polisemantis dan multifungsional. Kedua, bahasa sastra merupakan wujud sistem dari sistem, lantaran bahasa sastra dilandasi sistem bahasa natural dan sistem kode dalam konvensi sastra. Ketiga, dalam kadar tertentu, khususnya puisi, bahasa sastra memperlihatkan adanya pemadatan struktur kebahasaan, pengayaan makna, variasi pola struktur. Keempat, bahasa sastra mengandung konotasi makna yang bersifat individual.
Dalam komunikasi sastra, selain harus memerhatikan sistem bahasa, sastrawan juga masih harus memerhatikan sistem sosio-budaya. Meskipun kreativitas dijunjung tinggi dan meskipun sastrawan mempunyai licentia poetica, sastrawan tetap harus memerhatikan sistem sosiobudaya masyarakat (bahasa dan sastra) pembacanya. Licentia poetica ialah kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan, untuk mencapai suatu efek.
Di Indonesia, masalah cerpen Kipanjikusmin “Langit Makin Mendung” merupakan referensi ketidakpekaan sastrawan terhadap sistem sosiobudaya masyarakat di Indonesia. Dalam cerpen tersebut, Tuhan digambarkan sebagai seorang yang sudah tua, berkacamata, gelenggeleng kepala. Nabi Muhammad dan Jibril digambarkan berubah menjadi menjadi burung yang turun ke bumi. Semua ini terang menyinggung perasaan umat Islam. Di Inggris, Salman Rusdi juga pernah menerima kecaman dari negara Islam lantaran novelnya Ayat-Ayat Setan.
Dalam berkomunikasi, sastrawan juga harus memerhatikan sistem sastra. Ketika sastrawan ingin memberikan pesannya dalam bentuk puisi maka kata-kata, lambang, simbol, ungkapan, dan bentuk pesannya akan berbeda jikalau sastrawan menyampaikannya dalam bentuk drama, roman, novel. ataupun cerpen. Demikian juga jikalau is ingin menentukan cerita, jikalau ingin menentukan kisah detektif, akan berbeda dengan kisah tragedi. Contoh ini masih sanggup ditambah dalam aneka macam kasus.
Dengan redaksi yang berbeda dan dalam lingkup komunikasi bahasa tulis, Pappas (1990) mengemukakan bahwa untuk berkomunikasi, penutur dipengaruhi skematanya. Skemata ialah pengorganisasian individual dari apa yang diketahui seseorang. Kartomihardjo (1992: 23) menambahkan bahwa skemata merupakan struktur pengetahuan tingkat tinggi yang kompleks. Skemata berisi (1) apa yang diketahui seseorang perihal sesuatu dan hubungannya dengan yang lain dalam konteks dan (2) ukuran dan karakteristik sesuatu.
Ada tiga jenis skemata: skemata isi, skemata linguistik, dan skemata formal. Skemata isi ialah latar pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam kaitannya dengan topik yang dibicarakan dalam suatu teks (wacana) dan pengalaman perihal realitas yang diangkat dalam teks (wacana). Skemata linguistik ialah pengetahuan penutur perihal aspekaspek kebahasaan. Skemata formal ialah pengetahuan perihal struktur organisasi teks (wacana).
Bila dikaitkan dengan pembahasan di atas, denah linguistik berkaitan dengan pengetahuan sastrawan perihal sistem bahasa; denah formal berkaitan dengan pengetahuan sastrawan perihal sistem sastra; sedangkan denah isi bekerjasama dengan pengetahuan sastrawan perihal sistem sosial-budaya (dan realitas).
Pustaka
Pengantar Teori Sastra Oleh Wahyudi Siswanto
0 Komentar untuk "Asal Mula Sastra Dan Bahasa"