Babad Ganjal Tanah Jawa, Cakrawala Nusantara



Menurut Suyono, dari karya Van Hien, menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai keadaan geologi pulau Jawa sanggup ditemukan  dalam goresan pena kuno Hindu yang menyatakan bahwa Jawa sebelumnya ialah pulau-pulau yang diberi nama Nusa Kendang yang menjadi potongan dari India. Pulau ini merupakan hamparan dari beberapa pulau yang lalu alasannya ialah letusan gunung-gunung berapi dan goyangan dahsyat gempa bumi pulau-pulau itu bersatu. Babad itu menceritakan bahwa pada tahun 296 sehabis Masehi terjadi letusan gunung-gunung berapi yang berada di pulau itu, sehingga gunung yang semula ada menjadi hilang dan memunculkan gunung-gunung berapai yang baru.

148 tahun kemudian. Tepatnya pada 444 sehabis Masehi terjadi gempa bumi yang memisahkan Tembini, kawasan potongan selatan pulau Jawa menjadi pulau tersendiri: Nusa Barung dan Nusa Kambangan. Tahun 1208 pulau Sumtera alasannya ialah suatu petaka gempa juga terpisah dengan pulau Jawa. Begitu juga pada tahun 1254, Madura yang semula berjulukan Hantara mengalami insiden serupa, yang disusul lalu pada 1293 pulau Balu yang terpisah dengan Jawa. 

Adapun para penghuni Pulau Jawa, menyerupai diceritakan dari sumber surat kuno yang tidak beredar, yaitu Serat Asal Keraton Malang berasal dari kawasan Turki, tetapi ada yang menyebut kawasan Dekhan (India). Pada tahun 350 SM, Raja Rum, pemimpin dari wilayah tersebut mengirim perpindahan penduduk sebanyak 20.000 pria dan 20.000 perempuan. Yang dipimpin oleh Aji Keler. Pengiriman ini ialah pengiriman yang kedua, alasannya ialah pengiriman yang pertama mengalami kegaalan dengan kembalinya seluruh utusan ke negeri asal yang terjadi pada tahun 450 SM. Jawa yang dikala itu berjulukan Nusa Kendang ditemukan sebagai pulau yang ditutupi hutan dan dihuni serbagai jenis hewan buas dan tanah datarnya ditumbuhi tumbuhan yang dinamakan Jawi. Karena keseluruhan dataran pulau ini dipenuhi tumbuhan tersebut, maka ia meberi nama pulau ini dengan nama “Jawi”.

Karena nama Jawi masih umum dan mencakup seluruh daratan pulau ini, maka agak sulit menentukan lokasi pendaratan para utusan ini. Akan tetapi, diperkirakan pendaratan itu terjadi di Semampir, yaitu suatu tempat yang akrab dengan Surabaya dikala ini. Gelombang kedua ini juga mengalami kegagalan alasannya ialah yang tersisa dari mereka hanya 40 pasang. Hal ini mendorong Raja untuk mengirim utusan lagi dengan persiapan yang lebih matang dan penyeidaan alat yang lebih lengkap untuk menjaga dari kemungkinan serangan hewan buas menyerupai yang dialami utusan pertama dan kedua. Di samping peralatan pengamanan diri, mereka juga diperlengkapi dengan alat pertanian, sebagai alat bercocok tanam jikalau kelak berhasil menempatinya dengan aman. Sementara itu, untuk mencegah semoga orang-orang supaya tidak melarikan diri, diangkatlah seorang pemimpin dari kalangan mereka yaitu Raja Kanna. Gelombang ketiga ini rupanya berhasil dan hasilnya mereka menyebar ke pedalaman yang terbuka di pulau Jawa. Dari sisi keyakinan, orang-orang gelombang ketiga ini menganut kepercayaan Animisme. Dari sumber lain menyebutkan bahwa penduduk Jawa berasal dari daratan Cina Selatan yang membanjiri pulau ini semenjak 3 ribu tahun SM. Selama 2 ribu tahun lalu terjadi perpindahan penduduk dari tempat yang sama. Penduduk Jawa berdasarkan sumber ini berasal dari gelomnang-gelombang itu. Mereka hidup dari pertanian alasannya ialah sebelumnya sudah mengenal persawahan. 

Pada tahun 100 SM terjadi lagi perpindahan penduduk keempat yang terdiri dari kaum Hindu-Waisya. Mereka itu ialah para petani dan pedagang yang alasannya ialah permasalahan keyakinan mereka meninggalkan India. Warga pindahan kelompok keempat ini menetap di kawasan Pasuruan dan Probolinggo. Kemudian mereka secara perlahan menciptakan koloni-koloni di potongan selatan pulau Jawa yang pusatnya terletak di Singosari. Ketika di Singosari, siapa yang memimpin tidak jelas, tetapi ada naskah yang menyatakan adanya Ratu yang memegang kekuasaan di kawasan Kedi, namya Nyai Kedi. Singgasana kerajaan ini berada di Kediri. Pada tahun 900 sehabis M, keturunan Hindu-Waisya dimasukkan dalam kerajaan Mendang yang juga dinamakan Kamulan. Nama lain untuk Mendang dan Kamulan ini ialah Ngastina atau Gajah Huiya. Sedang raja yang memerintah di sana ialah Prabu Jayabaya. Dalam sejarah, kerajaan dengan rajanya yang menguasai seluruh wilayah Jawa Timur pada tahun 1019-1049 ialah Airlangga. Ia lalu diganti Jaya Baya yang memerintah pada tahun 1135-1157 M. Di bawah kekuasaan Jaya Baya, Mpu Sedah menerjemahkan sebagian Epos India Mahabarata ke dalam Bahasa Jawa engan nama Baratayuda. Jaya Baya dikenal sebagai pemaklum ramalan-ramalan yang akan terjadi di pulau Jawa. Jayabaya lalu memindahkan kerajaannya itu ke Kediri dan memberinya nama gres yaitu Doho. Raja Jayabaya ini dikenal sebagai ilmuan yang ramalan-ramalannya banyak terbukti terjadi di lalu hari. Ia meramalkan apa yang akan terjadi di pulau Jawa hingga tahun 2074 M.

Ada dongeng lain, bahwa pada tahun 78 sehabis Masehi ada seorang utusan dari kerajaan Astina, namanya Aji Saka. Astina ialah nama lain dari Gujarat. Nama Astina juga masuk dalam dongeng pewayangan yang beredar di masyarakat Jawa. Kemudian, Aji Saka di utus untuk menilik apa yang ada dan terjadi pada kepulauan di Nusantara. Sesampai di pulau tersebut, ia mendarat di potongan timur pulau Jawa yang dikala tiu masih berjulukan Nusa Kendang. Kemudian Aji Saka menaklukkan kerajaan Mendang dan mengusir sang raja yang berjulukan Dewata Cengkar. Tetapi lalu Aji Saka dikalahkan oleh Daniswara, putra Dewata Cengkar. Karena kalah, Aji Saka kembali ke Astina. Tahun 125 M, Aji Saka kembali lagi bersama gelombang perpindahan orang-orang Budha dan pada dikala itulah ia berhasil menaklukkan kerajaan Mendang. Setelah kemenangan itu Aji Saka memindahkan sentra kerajaan ke Purwodadi. 

Bersamaan dengan datangnya Aji Saka, dimulailah Babad Jawa dan perhitungan Tahun Jawa. Dari Babad-babad itu diketahui, setelah tahun 125 M pertumbuhan penduduk semakin cepat oleh perpindahan kaum Budha. Para pendatang ini lalu menempat di pantai selatan pulau Jawa yang berjulukan Barung dan Tembini. Sebagaimana disebutkan di atas, pada tahun 444 M terjadi gempa bumi dahsyat yang lalu memecah pulau Jawa. Pantai potongan selatan terbagi dua, yaitu Nusa Barung yang berada di akrab Puger Kulon dan Nusa Kambangan yang berada di akrab Cilacap. 

Sebagaimana disebutkan dalam buku Suyono, secara berturut-turut perpindahan penganut Budha ke pulau Jawa terjadi sebagai berikut:                                             Tahun 157 M. Yang menetap di kawasan Jepara.
     Tahun 163 M. Yang menetap di kawasan Tegal dan Banyumas.
     Tahun 174 M. Yang menetap di kawasan Tengger.
     Tahun 193 M. Yang menetap di kawasan Kedu.
     Tahun 216 M. Yang menempati kawasan Madiun.
     Tahun 252 M. Yang menempati kawasan Yogyakarta.
     Tahun 272 M. Yang menempati kawasan Kediri.
     Tahun 295 M. Yang menempati kawasan Ngawi dan Bojonegoro.
     Tahun 312 M. Yang menempati kawasan Kudus.
1  Tahun 314 M. Yang menempati kawasan Mojokerto.
     Tahun 424 M. Yang menempati kawasan Surakarta. 

Lebih lanjut, pada tahun 450 M terjadi lagi perpindahan penduduk dari India yang mendiami tanah yang terletak antara sungai Cisadane dan Citarum, di Jawa Barat. Para pendatang itu menganut agama Whisnu. Setelah beberepa usang tinggal di tempat tersebut, lalu mereka membentuk kerajaan sendiri dan menentukan seorang raja sebagai pemimpinnya. Rajanya yang dipilij ialah Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah dan berani alasannya ialah ambisinya untuk menaklukan kerajaan-kerajaan lain di tanah Sunda. Meskipun tidak semuanya berhasil dengan kemenangan, Purnawarman dikenal sebagai raja pertama yang memimpin wilayah cukup luas di pulau Jawa. 


Peralihan penduduk selanjutnya terjadi pada tahun 643 M yang dilakukan oleh Kusuma Citra, keturunan Jaya Baya. Pada masa Kusuma Citra inilah Nama Astina dirubah menjadi kerajaan Gujarat atau Kujrat. Saat Kusuma Citra menjadi raja, ada suatu ramalan bahwa kerajaannya akan musnah, karenanya ia berkeinginan berpengaruh untuk memindahkan kerajaannya ke Pulau Jawa. Oleh adanya impian itu, ia mengirim sejumlah 5.000 penduduk yang beragama Budha dengan pemimpin putranya Awab. Penduduk yang dikirim oleh Kusuma Citra itu terdiri dari Jalma Tani, Jalma Undagi, Jalma Udang Dudukan, Jalma Pangiarik, dan Jalma Prajurit. Pendaratan pertama di potongan barat tidak berhasil, lalu mengubah haluan ke potongan timur dan berhasil mendarat di sana. Awab sebagai pemimpin lalu mendirikan kerajaan gres yang diberi nama Mendang Kamulan. Kemudian Awab tetapkan dirinya sebagai raja dengan gelar Brawijaya Sewala Cala. 


Sejarah tanah Jawa selanjutnya sanggup ditemukan dalam Babad-babad yang menceritakan kelahiran kerajaan-kerajaan di Jawa. Namun demikian, sejarah tersebut penuh dengan mitos dan sepertinya kurang sanggup diterima alasannya ialah versinya yang amat beragam. Terlebih ada motif tertentu dari seroang raja memerinth seroang Mpu atau pujangga untuk menyusun silsilahnya hingga kepada nabi Adam yang dimaksudkan untuk semakin mentahbiskan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi. Penegasan silsilah itu dimaksudkan untuk semakin memperteguh kewibawaannya di mata khalayak rakyat. Cerita itu sulit diterima kebenarannya alasannya ialah tidak diperkuat dengan bukti terjadinya insiden namun demikianlah adanya dikala itu. 


Memang mengenai Jawa sanggup ditemukan aneka macam goresan pena sebagai bukti, akan tetapi bukti yang didapat isinya samar-samar. Sehingga hanya memperkuat insiden tertentu saja. Pada dikala ini, sebagaimana yang banyak disebutkan dalam beberapa sumber, sejarah Jawa dimulai dari kedatangan Aji Saka tahun 78 atau 125 M. Kemudian, dalam buku Etika Jawa, Franz Magnis menyebutkan asal-usul penduduk Jawa berasal dari perpindahan penduduk dari Melayu yang berasal dari Cina Selatan yang dimulai semenjak tahun 3.000 SM. Ia beropini demikian sesuai dengan apa yang dikatakan oleh J.H. Kerm dalam buku “Linguistic Materials for the determination of the Century of Origin of the Malay People”.


Sumber: Ahmad Khalil. ISLAM JAWA Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. Malang: UIN-Malang Press. 2008.
Franz Magnis. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia. 2003

Related : Babad Ganjal Tanah Jawa, Cakrawala Nusantara

0 Komentar untuk "Babad Ganjal Tanah Jawa, Cakrawala Nusantara"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)