Cerita Suku Dayak


  paling umum digunakan untuk menyebut orang Cerita Suku Dayak

Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang orisinil non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.[15][16] Ini terutama berlaku di Malaysia, alasannya ialah di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat bermacam-macam klarifikasi perihal etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti orisinil atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti sikap yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.[17][18]

Istilah untuk suku penduduk orisinil bersahabat Sambas dan Pontianak ialah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[19] Makara semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk orisinil Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” digunakan meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk orisinil setempat yang berbeda-beda bahasanya[20], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[21] Pada simpulan kurun ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak digunakan dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.[22] Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, ialah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.

Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih sanggup diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa berdasarkan sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans menyampaikan bahwa arti yang paling sempurna ialah orang yang tinggal di hulu sungai.[23] Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban memakai istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.[24] Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk orisinil Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk orisinil itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[25]
Asal mula

Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara ialah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori lebih banyak didominasi ialah yang dikemukakan linguis menyerupai Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia ialah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.

Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan bahari 120 atau 150 meter lebih rendah dari kini dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), insan sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang dikala itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.

Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.[26] Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari kawasan hulu menuju kawasan hilir sungai.

Di kawasan selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi mulut Dayak di kawasan itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[27][28], yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[29] Kejadian tersebut menjadikan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk kawasan pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada dikala efek Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).

Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang populer ialah Lambung Mangkurat berdasarkan orang Dayak ialah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[30] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai tiba ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi ialah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat bersahabat pantai pada tahun 1736.[31]

Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak menjadikan perpindahan penduduk Dayak dan tidak mempunyai efek eksklusif alasannya ialah mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak eksklusif berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak menyerupai piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal kurun V bangsa Tionghoa telah hingga di Kalimantan. Pada kurun XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, sehabis sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah mendapatkan orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah menyerupai piring, cangkir, mangkok dan guci.

Sumber: Wikipedia Indonesia

Related : Cerita Suku Dayak

0 Komentar untuk "Cerita Suku Dayak"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)