Diskusi Misteri Nuswantara



1. Pendahuluan

Tahun 2010 telah terbit buku mengenai Atlantis yang pada dasarnya menyatakan benua yang karam itu ada di Indonesia. Dalam diskusi yang diadakan oleh masyarakat dari salah satu suku bangsa di Indonesia mencuat pernyataan bahwa lokasi turunnya Adam di dunia yakni di Cibinong. Suasana diskusi di tahun 2011 tersebut juga pernah penulis alami pada diskusi-diskusi pada tahun-tahun sebelumnya yang diadakan oleh suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Sebagian secara spesifik menyebut nama Adam, sementara sisanya menyatakan bahwa insan pertama yang hadir di dunia yakni di kawasan suku bangsa tersebut.

Sepanjang pembahasan mengenai Adam, Atlantis, dan Piramida akan disampaikan fakta-fakta arkeologi. Arkeologi yakni ilmu yang mempelajari kebudayaan insan masa kemudian berdasarkan peninggalan-peninggalannya. Peninggalan arkeologi sanggup berupa benda yang sanggup dipindahkan (artefak), misalnya: keramik, alat batu, dan tombak. Peninggalan arkeologi juga sanggup berupa bangunan atau struktur yang tidak sanggup dipindahkan dari lokasinya tanpa merusak tempat kedudukannya, misalnya: benteng, menara, dan rumah. Sementara itu, lokasi peninggalan-peninggalan arkeologi baik di darat maupun di bawah air disebut situs.
Adam, Atlantis, dan Piramida sesungguhnya hanya merupakan tumpuan dari kegelisahan bangsa Indonesia dalam mencari tahu mengenai masa lalunya yang masih belum banyak terungkap. Harapan akan terungkapnya masa lalu—yang diharapkan gemilang—diperlukan untuk melangkah ke depan dengan penuh semangat, kebanggaan, dan kepala tegak. Jelaslah kiranya bahwa pengetahuan perihal masa kemudian antara lain berkhasiat untuk menjawab mengenai jati diri yang selanjutnya dipakai untuk melangkah ke masa depan. Oleh lantaran itu, pada penggalan final goresan pena ini akan menyorot masalah jati diri bangsa Indonesia.

2. Adam
Adam bukan sekedar insan biasa bahkan disebut sebagai insan pertama dan juga menyandang predikat sebagai seorang nabi dari agama besar. Penelitian untuk mencari bukti-bukti mengenai insan pertama tentu saja sangat sulit dilakukan mengingat semakin bau tanah sesuatu, semakin sulit pula mencari buktinya. Hakikat data arkeologi yang terbatas secara kualitas dan kuantitas akan menyulitkan peneliti meskipun teknologi canggih terus berkembang. Kesulitan peneliti akan bertambah apabila resistensi muncul dari kalangan agama yang berpandangan menelusuri jejak insan pertama sanggup dibaca sebagai mewaspadai eksistensi aliran agama.

Adam diakui keberadaannya oleh tiga agama besar di dunia, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Kisah perihal Adam antara lain terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Al-Qur’an. Terdapat beberapa ayat mengenai penciptaan dan ketika Adam hidup di surga. Namun, pada ketika Adam diturunkan ke bumi, tidak secara terang disebutkan lokasi pertama yang dipijaknya. Hal inilah yang mengakibatkan mencuatnya beberapa lokasi yang ditengarai sebagai tempat pertama hadirnya insan pertama di dunia.

Beberapa lokasi telah diajukan oleh aneka macam pihak sebagai tempat turunnya Adam di dunia. Sebagai contoh, berdasarkan penelusuran Al-Maghlouth (2008) sedikitnya terdapat dua pendapat mengenai lokasi pertama yang dipijak oleh Adam di bumi, yakni di penggalan barat daya Asia atau di Jazirah Arab dan di India. Al-Maghlouth lebih meyakini bahwa tempat turunnya Adam di India atau tepatnya di puncak Gunung Everest yang menjadi penggalan dari pegunungan Himalaya. Sementara itu, Abu Khalil mengajukan pendapat bahwa Adam turun di India, akan tetapi tepatnya di Srilanka (2010) (lihat Lampiran 1).

Ditinjau dari ilmu arkeologi, sejauh ini tidak terdapat bukti-bukti berupa peninggalan Adam termasuk juga lokasi tempatnya bermukim. Hal ini berbeda jikalau dibandingkan dengan nama-nama sesudah Adam yang juga disebutkan di dalam kitab suci. Ibrahim, contohnya meninggalkan bukti arkeologi berupa bangunan Ka’bah (lihat Lampiran 2). Periode hadirnya Adam ke dunia yang cukup bau tanah tentu menyulitkan ditemukannya buki-bukti arkeologi ketimbang Ibrahim yang periodenya lebih muda. Seperti telah disampaikan, dengan semakin berjalan dan bertambahnya waktu, semakin banyak pula peninggalan arkeologi yang rusak bahkan musnah tidak tersisa. Kondisi inilah yang yang membuka peluang berkembangnya beberapa pendapat yang memakai sumber non-arkeologi. Kendati demikian, adanya bukti arkeologi untuk nama-nama sesudah Adam—seperti yang disebutkan di dalam kitab suci—membuka kemungkinan yang besar bahwa dikemudian hari akan ditemukan bukti arkeologi mengenai Adam. Hanya saja tidak sanggup diketahui berapa usang yang dibutuhkan untuk menemukan bukti-bukti tersebut.

Kisah mengenai Adam khususnya dan kisah mengenai insan pertama di dunia pada umumnya mungkin terdapat di aneka macam belahan dunia dan Indonesia turut serta di dalamnya. Sebagai tumpuan yakni masyarakat Baduy di Banten dan masyarakat Kampung Kuta di Jawa Barat. Patut diperhatikan bahwa orang luar umumnya menyebut istilah Baduy, padahal masyarakat tersebut menamakan dirinya “Urang Kanekes” atau Orang Kanekes. Orang Kanekes tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten (Danasasmita dan Djatisunda, 1986). Orang Kanekes mengakui Yang Maha Kuasa dengan nama Batara Tunggal. Batara Tunggal membuat keturunan, salah satunya yakni Batara Cikal yang sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam. Adam dan keturunannya yakni Orang Kanekes mempunyai kiprah bertapa untuk menjaga harmoni dunia. Sementara itu, masyarakat Kampung Kuta di Desa Karang Paninggal Kecamatan Tambak Sari Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat mempunyai legenda tersendiri mengenai insan pertama di bumi. Manusia pertama yakni Amurama Raksabima Kalijaga. Nama tersebut berarti “Ibu dan Bapak yang memelihara bumi sejagad” (Akbar, 2010).


3. Atlantis
Atlantis yakni sebuah kata yang menjadi magnet para peneliti masa silam dan para pencari harta karun. Para pencari harta karunlah yang terutama tidak berhenti menyibak misteri Atlantis, lantaran mencari bagaikan berjudi yakni bayangan pundi-pundi emas yang sangat memikat hati. Atlantis ditengarai sebagai suatu wilayah yang pernah jaya pada sekitar 11.600 tahun yang lalu. Peristiwa geologi pada sekitar periode tersebut cukup baik terekam dalam lapisan-lapisan tanah. Akan tetapi, fakta arkeologi dari periode tersebut masih sangat minim. Hal inilah yang membuat segalanya masih mungkin terjadi. Sampai sejauh ini ratusan bahkan mungkin ribuan lokasi di aneka macam negara yang disebut-sebut sebagai Atlantis, contohnya di aneka macam lokasi di Laut Tengah, Samudra Atlantis, Samudra Pasifik, dan Samudra Hindia. Arysio Santos, spesialis geologi dan fisikawan nuklir, melalui buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found (2010) menyebut bahwa Atlantis berada di Indonesia.


“Pertama yakni Atlantis Lemuria yang bekerjsama (Ibu yang Perawan) yang terletak di Indonesia dan dihancurkan oleh peristiwa Toba pada 75 ribu tahun yang lalu. Kedua yakni Atlantis yang bekerjsama (Putra) dihancurkan oleh letusan Krakatau pada 11.600 tahun kemudian di final Zaman Es Pleistosen (Santos, 2010: 99).
Sejak terbitnya buku itu, aneka macam media massa di Indonesia turut mengangkat pemberitaan mengenai Atlantis. Plato, filsuf yang lahir tahun 427 Sebelum Masehi, menyebut Atlantis di dalam dua dialog, yakni Timaeus dan Critias. Ia menyatakan bahwa Atlantis mempunyai peradaban yang tinggi dan masyarakatnya kaya raya, namun mengalami peristiwa dan alhasil tenggelam. Karya Plato inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk berlomba-lomba mencari ‘benua yang hilang’, ‘peradaban yang terpendam’, dan ‘emas Atlantis’. Sampai pada tahap ini bekerjsama patut dipertanyakan apakah obrolan Plato tersebut yakni terutama pada penggalan yang menyebut Atlantis yakni fiksi atau atau nonfiksi. Ketidakjelasan status literatur tentu saja akan membuat penelitian menjadi tidak terang alasan dan berpotensi besar untuk tidak mencapai sasaran. Santos juga menyadari hal tersebut, namun tetap mengunakan karya Plato tersebut.

“Sebenarnya pakar-pakar di bidang ini belum bersepakat apakah Atlantis pernah ada atau tak lebih dari khayalan Plato belaka: dongeng moral yang dibentuk Plato sebagai latar belakang etis bagi republik khayalan yang ideal, yang ia kemukakan dalam karya-karya lainnya, khususnya yang berjudul Republik.” (Santos, 2010: 10).
Santos mencoba memperlihatkan pernyataan-pernyataan untuk meyakinkan pembaca bahwa pernyataan Plato mengenai Atlantis yakni benar-benar ada. Santos menyebut telah memakai data-data dari aneka macam disiplin ilmu. “Ini berarti Plato tahu persis apa yang ia bicarakan dan ia memang tidak mengarang-ngarang cerita. Belum usang ini, kenyataan perihal bencana-bencana klimatis dan geologis berdampak global tersebut telah diakui para pakar di bidang ini dan disiplin-disiplin terkait, seperti: arkeologi, antropologi, paleoantropologi, paleontology, evolusi, klimatologi, dan sebagainya” (Santos, 2010: 14).
 
Buku ini dari sudut pandang arkeologi mengandung cukup banyak kelemahan, meski penulisnya menyebut kata arkeologi berulang-ulang kali. Sebagai tumpuan yakni sebagai berikut.
“Kami sendiri terang-terangan telah menemukan beberapa artefak arkeologis di laut-laut dangkal di wilayah Indonesia. Beberapa temuan itu difoto dari luar angkasa oleh satelit pengintai NASA dan NOAA. Beberapa lainnya diamati dari permukaan air dengan peralatan-peralatan lokal.” (Santos, 2010: 51).
Pernyataan Santos tersebut di atas, tidak dijabarkan lebih lanjut di dalam buku ini dan tidak dilengkapi dengan foto atau gambar artefak arkeologis yang dimaksud. Oleh lantaran itu, pembaca tidak sanggup mengetahui artefak apa yang dimaksud, termasuk juga tidak sanggup diketahui sejauh mana pengetahuan Santos mengenai artefak arkeologis.

Contoh lain yang menyebut kata arkeologi di dalam buku karya Santos yakni kalimat-kalimat berikut ini.
Berdasarkan temuan berupa artefak yang sangat kuno, menyerupai padi-padian dan perkakas, para arkeolog Cina dan peneliti lainnya memperlihatkan bahwa bertanam padi telah berlangsung di Timur Jauh semenjak 15 ribu tahun kemudian menyerupai di Korea dan sebagainya, mungkin lebih awal dari masa itu, dan itu berarti berlangsung pada Zaman Es Peleistosen juga. Kita akan membicarakan masalah penting ini lebih lanjut dalam goresan pena panjang lebar berikutnya.” (Santos, 2010: 57)

Pernyataan Santos tersebut di atas, sama sekali tidak menyebutkan sumber bacaan. Teknik penulisan tanpa menyebut sumber atau literatur membuat buku ini sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tulisan panjang lebar yang diketengahkan Santos juga ternyata tidak membahas hal tersebut dan hingga final buku ini tidak diketahui sumber atau literatur yang dipakai Santos.

Pada penggalan Bibliografi dari buku karya Santos dicantumkan beberapa buku atau sumber tertulis yang oleh Santos dikategorikan sebagai “Arkeologi dan Egyptology” dan “Arkeoastronomi” Berdasarkan judul-judul dan nama penulisnya, terlihat tidak terkait dengan arkeologi Indonesia. Selain itu, buku ini tidak satu pun memakai sumber-sumber hasil penelitian para jago arkeologi khususnya prasejarah Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang telah diakui reputasinya secara internasional. Oleh lantaran itu, sanggup dipastikan bahwa Santos mengutip pendapat yang tidak terang sumbernya dan tidak terang kapasitas penulisnya.

Meskipun berdasarkan pengukuhan Santos, buku ini berdasarkan hasil riset selama 30 tahun, namun terdapat kalimat-kalimat yang sangat melemahkan pendapat-pendapatnya. Pertama yakni pada penggalan Pengantar Penerbit yang diberi judul Pusat Peradaban Atlantis yang Hilang itu Ternyata Indonesia, pada halaman 5 tertulis:
“Keinginan terbesar Prof. Santos yakni mengunjungi Indonesia. Namun hal itu tidak pernah kesampaian hingga final wafatnya. Ia wafat tak usang sesudah ia menuntaskan bukunya ini.”
Secara ilmiah, pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa peneliti belum ke lokasi penelitiannya, sehingga Santos di buku ini tidak sanggup memberikan kenyataan atau fakta arkeologi di Indonesia. Berikut ini pernyataan Santos yang memperlihatkan bahwa ia tidak mempunyai fakta arkeologi, meskipun ia yakin akan menemukan kelak di kemudian hari.

“Tinggalan-penelitian ini begitu terang terlihat sehingga kami kini tengah mengatur sebuah ekspedisi kelautan menuju tempat temuan-temuan ini berada supaya kami sanggup mengamati mereka lebih dekat.” (Santos: 2010: 51)
Seperti telah disebutkan, Santos tidak menjelaskan tinggalan atau temuan-temuan yang dimaksud, sehingga pembaca hanya diajak percaya pada pernyataan Santos namun tidak ada fakta arkeologinya. Ekspedisi kelautan yang Santos sebutkan juga tidak disebutkan hasilnya. Berdasarkan uraian di buku ini, sepertinya ekspedisi tersebut belum dilakukan, namun impian Santos yakni sebagai berikut:
“Kedalaman temuan-temuan arkeologis ini juga harus benar dan semestinya terletak di kedalaman sekitar 50 meter, kedalaman yang cocok untuk penanggalan yang benar yang diperlihatkan dengan kenaikan permukaan laut.” (Santos, 2010: 53).

Perlu ditegaskan bahwa berita-berita mengenai Atlantis di aneka macam belahan dunia, termasuk di Indonesia sejauh ini belum didukung oleh fakta arkeologi. Oleh lantaran itu, buku karya Santos lebih sempurna disebut sebagai sebuah usulan ketimbang sebagai laporan hasil penelitian. Sebagian kalangan boleh sependapat dengan usulan tersebut, sebagian lain sanggup menyatakan bahwa usulan tersebut tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan tidak layak untuk diteruskan menjadi sebuah penelitian. Kalangan yang oke dengan usulan setebal 677 halaman ini tentu saja harus melaksanakan penelitian dan menuliskannya supaya sanggup diuji oleh kalangan ilmuwan dan sanggup dibaca oleh masyarakat umum.

4. Piramida
Beberapa gunung di Jawa Barat yang selama ini disebut sebagai gunung, satu tahun belakangan ini ditengarai oleh beberapa pihak ternyata merupakan piramida dan umurnya lebih bau tanah daripada piramida di Mesir. Gunung-gunung yang disebut piramida tersebut antara lain yakni Gunung Sadahurip, Gunung Haruman, Gunung Kaledong dan Gunung Lalakon. Sedikitnya terdapat dua pihak yang melansir gosip mengenai piramida dan sesuatu yang diduga buatan insan di dalam gunung-gunung tersebut, yakni Tim Turangga Seta dan Tim Katastropik Purba yang diinisiasi Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Tim Turangga Seta menyatakan didukung oleh jago geologi dan di aneka macam media online menyerupai detiknews menyatakan memakai menyan dan menerima pemberian dari alam mistik untuk menemukan piramida di dalam Gunung Lalakon. Tim Katastropik Purba juga didukung oleh para jago geologi yang memakai geolistrik dan georadar dan hasilnya terdapat kemungkinan buatan insan (manmade) di Gunung Sadahuri.


Pada kesempatan ini akan dibahas secara khusus mengenai Gunung Sadahurip atau yang di media massa disebut sebagai Piramida Garut yang terletak di Desa Sukahurip Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan di Gunung Sadahurip, gunung tersebut mempunyai bentuk yang cukup menyerupai dengan bentuk piramida. Namun demikian, jikalau dicermati secara seksama dari aneka macam arah, bentuk tersebut tidak simetris. Oleh lantaran itu, bentuk gunung itu sendiri tidak sanggup dikatakan sebagai bentuk piramida. Sementara itu, hasil kajian literatur terhadap karya para arkeolog pada masa penjajahan Belanda dan arkeolog sesudah Indonesia merdeka tidak menyebutkan adanya piramida atau bangunan karya insan masa kemudian di Gunung Sadahurip Garut. Vademekum Benda Cagar Budaya yang diterbitkan oleh Direktorat Peninggalan Purbakala tidak memuat peristilahan piramida.

Buku peristilahan tersebut memuat nama-nama benda cagar budaya yang telah ditemukan di Indonesia (2009). Sementara itu, peninggalan berupa bangunan atau struktur yang cukup banyak ditemukan di Indonesia yakni bangunan berundak atau punden berundak dan candi, contohnya Punden Berundak Gunung Padang dan Candi Borobudur. Pengamatan awal yang penulis lakukan di lapangan yakni di Gunung Sadahurip juga tidak memperlihatkan bukti-bukti arkeologi atau tidak ada peninggalan insan dari periode ratusan atau ribuan tahun lalu.

Berdasarkan uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa bangunan karya insan masa kemudian berupa piramida tidak terdapat di Gunung Sadahurip. Sampai sejauh ini tidak ada fakta arkeologi yang berujung pada kesimpulan bahwa Gunung Sadahurip yakni bangunan piramida. Kesimpulan tersebut sanggup berubah jikalau dilakukan penelitian arkeologi lebih lanjut. Penelitian yang dimaksud yakni survey permukaan yang seksama dan sistematis. Jika hasil survey menemukan beberapa bukti awal, maka sanggup dilanjutkan dengan penggalian atau ekskavasi arkeologi untuk menggali gunung tersebut.

Piramida yakni salah satu pilihan bentuk bangunan atau struktur buatan manusia. Hal ini mempertegas bahwa tidak semua bangsa harus mempunyai bangunan berbentuk piramida. Bentuk lain sanggup pula dibangun oleh suatu bangsa, contohnya bentuk memanjang menyerupai Tembok Besar Cina atau bentuk elips menyerupai Colloseum Italia. Ada atau tidaknya bentuk piramida bukanlah masalah utama. Persoalan yang patut diangkat yakni mengapa tidak ada peradaban yang signifikan di nusantara pada sekitar tahun 20.000 Sebelum Masehi hingga dengan awal Masehi. Pernyataan tersebut sanggup berarti tidak ada peradaban—sistem pengetahuan, teknologi, dan organisasi sosial—yang spektakuler di nusantara. Pernyataan tersebut juga sanggup berarti peradaban yang spektakuler masih belum tersingkap dari dalam tanah dan air Indonesia. Periode itulah yang penulis sebut sebagai masa gelap atau ruang kosong dalam sejarah kebudayaan Indonesia yang perlu segera diisi dengan aneka macam penelitian dari aneka macam disiplin ilmu.

Peradaban yang spektakuler masih sangat mungkin pernah terdapat di Indonesia mengingat di Indonesia pernah terdapat insan purba dari periode sekitar 2 juta tahun lalu. Periode tersebut kurang lebih sama dengan insan purba yang terdapat di Cina. Selanjutnya Cina mempunyai peradaban besar yang salah satunya yakni Tembok Besar Cina. Sementara itu, pada periode yang sama dengan pembuatan Tembok Besar Cina, di Indonesia sejauh ini belum ditemukan peradaban berupa bangunan yang monumental. Manusia purba sejauh ini tidak pernah ditemukan di Mesir dan Yunani. Namun demikian, di kedua lokasi tersebut telah ditemukan peradaban-peradaban spektakuler. Sementara itu, pada periode yang sama dengan pembuatan piramida Giza dan kuil Parthenon, di Indonesia belum ditemukan peradaban yang kurang lebih setara dengan kedua bangunan megah tersebut.

Sejarah penghunian insan di Indonesia tergolong lebih bau tanah dibandingkan yang lainnya. Akan tetapi, masih banyak rentang waktu yang belum terungkap di Indonesia. Dengan kata lain, kiprah insan Indonesia yang tergolong lebih awal hadir di dunia masih banyak yang belum diketahui hingga ketika ini. Perlu ditegaskan sekali lagi, kurun waktu yang relatif belum banyak terungkap yakni periode sekitar 20.000 hingga 1600 tahun yang kemudian atau lazim disebut Masa Prasejarah. Pada periode tersebut telah terdapat penelitian contohnya mengenai Austronesia dan Proto Sejarah, namun rekonstruksi kebudayaan yang telah disusun masih banyak menyisakan tanda tanya. Kurun waktu yang relatif telah banyak diketahui yakni sejarah penghunian insan pada sekitar 1600 tahun yang kemudian atau sekitar tahun 400 Masehi hingga dengan kini ini atau Masa Sejarah yakni masa ketika insan telah mengenal huruf/tulisan.


5. Gegar Jati Diri
Mencuat dan berkembangnya hal-hal terkait Adam, Atlantis, dan Piramida di Indonesia serta mungkin beberapa hal lainnya, patut pula ditilik sebagai suatu fenomena budaya bangsa Indonesia. Istilah yang cocok untuk menjelaskan fenomena tersebut mungkin yakni krisis identitas atau berdasarkan istilah penulis yakni gegar jati diri. Gegar jati diri terjadi dalam aneka macam sendi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, gegar berarti guncang atau goyang dan jati diri berarti identitas. Gegar jati diri berikut inilah yang mengakibatkan geger yang berarti riuh ramai tidak karuan, gempar, heboh, atau ribut. Geger akan bertambah apabila bersentuhan dengan kekuasaan yang cenderung rentan menjadi politik identitas.


Gegar sanggup terjadi lantaran kenyataan ketika ini Indonesia yakni negara dengan salah satu penduduk dan luas wilayah terbesar di dunia. Namun demikian, ketika ini sanggup dikatakan Indonesia belum menjadi negara terpandang di dunia, sehingga julukan negara berkembang menempel sedemikian erat dan terkesan lebih nyaman disematkan dibandingkan predikat sebagai negara tidak maju. Catatan hitam dijajah oleh bangsa lain selama ratusan tahun tidak sanggup dipungkiri lagi dan menjadi salah satu alasannya yakni insan Indonesia menjadi rendah diri. Fakta arkeologi memperlihatkan bahwa sebelum dijajah oleh bangsa lain, kebudayaan Indonesia telah maju dan bahkan lebih maju dibandingkan bangsa yang kemudian menjadi penjajah Indonesia (Akbar, 2010a; Akbar, 2011: 148). Namun, sepertinya fakta tersebut dirasakan belum cukup oleh sebagian pihak, sehingga kalangan ini terus berusaha menelusuri masa silam untuk mencari kejayaan Indonesia di masa lalu. Salah satu harapannya yakni bangsa Indonesia tidak merasa rendah diri lagi dan punya semangat untuk menjadi bangsa yang maju.

Gegar sanggup terjadi lantaran hasil riset puluhan tahun dari para ilmuwan dan peneliti umumnya tidak hingga ke masyarakat luas. Hal ini sanggup pula dibaca sebagai kurangnya sosialisasi hasil penelitian yang bekerjsama juga merupakan tanggung jawab ilmuwan dan peneliti serta institusinya. Seringkali terjadi hasil penelitian menumpuk di institusi dan pada ketika suatu kasus mencuat, masyarakat ‘dipersalahkan’ lantaran tidak mengetahui bahwa kasus tersebut telah dipecahkan bertahun-tahun sebelumnya oleh para ilmuwan dan peneliti. Seakan-akan ‘kesalahan’ justru ada di tangan masyarakat yang tidak berusaha mencari hasil riset para ilmuwan dan peneliti.

Gegar sanggup terjadi lantaran sebagian ilmuwan dan peneliti menganggap gosip media massa baik cetak maupun elektronik terutama melalui internet kurang ilmiah. Sistem penilaian hasil karya penelitian yang disampaikan dalam bentuk gosip terkenal juga menerima nilai yang rendah dibandingkan penulisan buku dan jurnal dengan bahasa ilmiah. Akibatnya ruang-ruang pemberitaan di media justru diisi oleh aneka macam pihak yang kapasitas dan otoritasnya berbeda, sementara ilmuwan dan peneliti justru sibuk berkutat di instansinya masing-masing. Pada ketika instansi resmi atau yang sesuai bidangnya dengan hati-hati dan seksama membuat laporan ilmiah yang cukup memakan waktu, sepanjang waktu itu pula masyarakat telah dibanjiri informasi dari pihak-pihak lain yang secara luwes dan cepat melaksanakan update status dan memberikan opini dengan segera.

Gegar sanggup terjadi lantaran sebagian peneliti masih menganggap ilmunya paling relevan untuk menuntaskan suatu masalah. Sementara itu, masalah-masalah umumnya merupakan masalah multidimensional yang harus diselesaikan bahu-membahu oleh banyak pihak. Perkembangan riset interdisipliner dan multidisipliner patut disambut gembira, meskipun sebagian kalangan mungkin mengkategorikannya sebagai riset yang tidak sesuai disiplin atau berdasarkan istilah penulis yakni riset indisipliner. Namun, patut juga diwaspadai efek posmodernisme yang berlebihan dalam memaknai objektivitas ilmu pengetahuan. Saat ini cukup banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan ilmuwan yang tidak sesuai dengan bidang dan kapasitasnya. Dengan banyaknya sumber bacaan yang gampang diakses, memudahkan pula para peneliti mengambil data, metode, dan teori dari ilmu lain kemudian menggunakannya secara longgar dan dalam tempo yang cepat untuk penelitiannya. 

Patut diingat bahwa data, metode, dan teori dari suatu ilmu diajarkan, dilatih, dan dipraktekkan dalam jangka waktu tertentu yang umumnya tidak singkat, diawasi dengan seksama oleh seperangkat parameter, dan dijaga serta dievaluasi oleh instansi dan pihak-pihak yang berpengalaman pada bidang ilmu tersebut. Atmosfir ilmiah itulah yang hendaknya tidak diterabas secara serampangan. Suasana saling menghargai antar-berbagai pihak perlu dibangun dan kolaborasi lintas ilmu serta lintas sektor perlu dijalin.

Gegar sanggup terjadi lantaran ilmuwan dan peneliti tergolong lambat mengambil tindakan terhadap gosip yang berkembang di masyarakat. Keengganan akan semakin bertambah apabila pihak-pihak yang tidak berkompeten atau di luar institusi resmi yang mengangkat gosip tersebut terlebih dahulu. Berita alhasil terkadang dikategorikan sebagai fiksi. Sementara itu, gosip yang memuat aneka macam hal mengenai pengetahuan dikategorikan sebagai ilmu semu (pseudo science) yakni metodenya dianggap tidak lazim sehingga hasilnya tidak sanggup dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. 

Contoh pseudo science contohnya kejadian banjir besar yang secara tiba-tiba menenggelamkan peradaban Indonesia di masa kemudian dan letusan sebuah gunung yang daya rusaknya mencakup seluruh Indonesia. Pada dasarnya Pseudo science jikalau dipandang sisi positifnya, maka akan menjadi cikal-bakal ilmu pengetahuan (proto science). Ilmu pengetahuan akan terus berkembang jikalau ilmuwan terus ‘gelisah’ dan selalu mencari tahu dan proses ini sanggup saja diawali oleh aneka macam pikiran asing dan wangsit liar diikuti dengan asumsi, dugaan, dan hipotesa. Asumsi, dugaan, dan hipotesa yang ditindaklanjuti dengan penelitian yang seksama dan mendalam sanggup mengubah ilmu pengetahuan yang ada ketika ini atau sanggup menjadikan revolusi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus membuka diri terhadap aneka macam kemungkinan, namun selama proses penelitian masih berlangsung, tetap harus dibedakan antara dugaan dan kenyataan.

6. Penutup

Proses penghunian insan di muka bumi telah berlangsung cukup lama. Para ilmuwan dan peneliti telah mencoba mencatat sejarah penghunian insan berikut pencapaian-pencapaiannya. Catatan-catatan tersebut masih jauh dari lengkap dan masih terbuka kemungkinan untuk direvisi sesuai dengan hasil-hasil penelitian terbaru. Bukti-bukti peninggalan masa kemudian masih banyak yang terpendam di dalam tanah atau berada di bawah air dan sebagian yang telah terangkat masih belum tuntas dikaji. 

Penelitian arkeologi di aneka macam belahan dunia masih sangat mungkin menemukan hal-hal gres yang spektakuler dan monumental, termasuk pula di Indonesia.
Kendala penelitian arkeologi di Indonesia tergolong cukup besar. Pertama yakni belum banyaknya penelitian dibandingkan luasnya wilayah Indonesia. Kedua yakni arkeologi dan ilmu-ilmu perihal masa kemudian masih dipandang kurang penting untuk membangun bangsa dan menjawab persoalan-persoalan negara. Bahkan budaya riset secara umum belum terbangun dengan baik di Indonesia. Ketiga yakni lokasi Indonesia yang rawan musibah (catastrophe), sehingga bukti-bukti arkeologi lebih gampang hancur dan sulit untuk dilacak lagi keberadaannya. Terdapat kemungkinan bahwa bukti-bukti peradaban masa kemudian di Indonesia selain lantaran faktor manusia, sebagian besar telah hancur jawaban faktor alam, contohnya kondisi lingkungan tropis dan lantaran terletak di zona cincin api.  

Kendala di atas hendaknya sanggup ditanggapi sebagai tantangan. Tantangan pertama yakni meningkatkan penelitian di Indonesia yang salah satunya yakni dengan memandang secara positif gegar jati diri dan secara khusus media massa harus dilibatkan secara intensif sebagai wadah sosialisasi. Tantangan kedua yakni meminta arkeologi dan ilmu-ilmu perihal masa kemudian untuk memperlihatkan pentingnya pengetahuan masa kemudian untuk kehidupan masa kini dan masa nanti. Tantangan ketiga yakni semua pihak dan semua disiplin ilmu bekerja bahu-membahu melaksanakan penelitian lebih cepat lantaran berkejaran dengan peristiwa yang sewaktu-waktu sanggup terjadi dan memusnahkan bukti-bukti peradaban masa silam di Indonesia, termasuk juga sanggup memusnahkan kehidupan masa kini yang tengah kita jalani.



Referensi; Dr. Ali Akbar ( Arkeolog indonesia )

Related : Diskusi Misteri Nuswantara

0 Komentar untuk "Diskusi Misteri Nuswantara"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)