Faktor-Faktor Runtuhnya Rezim Orde Baru



Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui jadwal reformasi.
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto antara lain sebagai berikut :

1. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda Asia, yang dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Akibat krisis ini organisasi perbankan kita menjadi awut-awutan yang hingga kini belum sanggup di konsolidasi kembali. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika tetap di dalam tingkat yang amat rendah, sehingga harga-harga keperluan umum, terutama sembako, dalam hitungan rupiah tetap tinggi.
Krisis yang melanda Indonesia juga disebabkan lantaran praktek KKN. Istilah KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) ialah istilah yang paling terkenal yang disuarakan oleh kaum reformis untuk segera diberantas. Kolusi diantara penguasa pada masa ORBA dengan para pengusaha hanya menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan rakyat hanya mendapatkan akhir jelek dari praktek tersebut. Demikian juga, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah menguras sumber ekonomi negara sehingga uang yang seharusnya dipakai untuk kemakmuran rakyat tidak hingga kepada sasarannya. Adapun nepotisme ialah praktek penguasa yang lebih mementingkan anggota keluarga atau golongan untuk memperoleh jabatan serta kesempatan-kesempatan dalam dunia usaha. Penderitaan rakyat akhir krisis ekonomi dibaca dengan baik oleh kelompok intelektual terutama mahasiswa.
Dampak yang ditimbulkan dari krisis ekonomi ialah pada ketersediaan cadangan devisa. Setelah mengalami beberapa kegagalan untuk melaksanakan stabilisasi nilai tukar, maka cadangan devisa negara merosot dari sekitar 20 milyar dollar AS pada pertengahan 1997 menjadi sekitar 14 milyar pada pertengahan 1998. Hal ini juga merupakan dampak dari memburuknya neraca modal Indonesia terhadap penurunan arus modal masuk secara drastis maupun melonjaknya arus modal keluar.


2. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998
Untuk sanggup mencermati pergerakan mahasiswa sanggup dibedakan menjadi empat periode. Periodisasi ini dibuat dengan mendasarkan pada momen-momen penting dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 yaitu : tanggal Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998, Insiden berdarah Universitas Trisakti 12 Mei dan mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Periode pertama ialah periode sebelum 1 Maret 1998. Pada awal periode itu, isu yang ditampilkan belumlah menyangkut substansi reformasi melainkan sebatas pada kondisi positif dikala itu seperti: kelaparan di Irian Jaya, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, menuntut pemerintah untuk menurunkan harga-harga barang, dan menindak penimbun sembilan materi pokok (sembako). Contonya ialah agresi 150 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang melaksanakan mimbar bebas di kampus Baranangsiang pada hari Rabu, 3 Desember 1997 dengan poster-poster yang dipajang bertuliskan: Berantas Korupsi dan Kolusi, Tindak Tegas Mega Koruptor di BI, Tindak Tegas Pembakaran Hutan, Tindak Tegas Aborsi Sampai ke Akar-akarnya. Pada hari Senin 12 Januari 1998 sebanyak 24 orang mahasiswa IPB Bogor mendatangi balaikota Bogor dengan mempermasalahkan merebakknya gambar-gambar porno yang terpasang disejumlah bioskop dan maraknya praktik prostitusi di beberapa tempat di wilayah Bogor. Aksi-aksi demo tersebut bersifat lokal sporadis dan belum mempunyai dampak berantai kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya, baik yang dari satu perguruan tinggi ataupun ke perguruan tinggi lainnya. Di samping jumlah partisipan yang cenderung terdiri atas sebagian kecil mahasiswa dari satu perguruan tinggi, aksi-aksi ini belum mempunyai sebuah kerangka dan jadwal agresi yang terjadwal.
Periode kedua ialah 12 Maret 1998-12 Mei 1998. setelah sempat reda selama hampir satu minggu, mahasiswa kembali melaksanakan demonstrasi. Isi-isu yang dimunculkan pada periode ini berkenaan dengan kredibelnya kabinet Pembangunan VII lantaran dinilai sarat dengan nepotisme dan koncoisme. Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan mahasiswa dalam melaksanakan agresi di dalam kampus. Keinginan mahasiswa untuk berdemonstrasi di luar kampus sudah tentu memicu bentrokan dengan pegawanegeri keamanan. Salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang mengakibatkan diliburkannya kampus dari acara akademik semenjak 29 April hingga 7 Mei 1998. Aksi ini sempat disebut sebagai agresi yang paling beringas yang melibatkan agresi saling melempar kerikil antara mahasiswa dan aparat, penembakan gas air mata, pembakaran 2 motor pegawanegeri keamanan dan lain sebagainya. Dalam periode ini isu-isu lain yang muncul ialah mengenai obrolan yang diprakarsai oleh ABRI dan insiden penculikan para aktivis. Sebagaian besar mahasiswa dari perguruan tinggi yang telah mapan menyerupai UGM, UI, IKIP Bandung, IAIN, dan Unpad tidak hadir dalam obrolan tersebut.
Periode ketiga, periode ini ditandai dengan terjadinya insiden peristiwa Trisakti tanggal 12 Mei 1998, dimana ribuan mahasiswa Trisakti melaksanakan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia dikala itu yang telah terpilih berulang kali semenjak awal Orde Baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis semenjak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi mereka dihadang oleh pegawanegeri kepolisian yang mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan menimbulkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit lantaran terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melaksanakan pengerusakan di kawasan Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan pegawanegeri yang menembak mati mahasiswa.
Periode keempat, Soeharto kesudahannya mengalah pada tuntutan rakyat yang menghendaki beliau tidak menjadi Presiden lagi, namun sepertinya tak semudah itu reformasi dimenangkan oleh rakyat Indonesia lantaran ia meninggalkan dingklik kepresidenan dengan menyerahkan secara sepihak tampuk kedaulatan rakyat begitu saja kepada Habibie. Ini mengundang perdebatan aturan dan penolakan dari masyarakat. Bahkan dengan tegas sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa Habibie bukan Presiden Indonesia. Mereka tetap bertahan di gedung DPR/MPR hingga kesudahannya diserbu oleh tentara dan semua mahasiswa digusur dan diungsikan ke kampus-kampus terdekat. Paling banyak yang menampung mahasiswa pada dikala penyelamatan tersebut ialah kampus Atmajaya Jakarta yang terletak di Semanggi.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang spesial untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali lantaran mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pencucian pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

3. Krisis Politik yang Terjadi di Indonesia
Kekerasan politik yang berdimensi rasial sesungguhnya bukanlah hal yang gres di dalam sejarah politik di Tanah Air kita, baik sebelum maupun setelah proklamasi kemerdekaan. Kejadian-kejadian yang dilaporkan secara luas akhir-akhir ini berkaitan dengan agresi kerusuhan sebelum, selama, dan setelah jatuhnya rezim Orde Baru sebetulnya telah dikhawatirkan oleh banyak pihak akan muncul. Meskipun demikian, tak pernah dibayangkan bahwa kekerasan politik yang berwarna rasial itu akan berlangsung sedemikian mengerikan, khususnya terjadi pembunuhan serta perkosaan terhadap warga etnis Tionghoa. Tak pelak lagi, kekerasan politik rasial merupakan salah satu perkara yang senantiasa menyatu pada kehidupan politik selama ia tidak diselesaikan secara terbuka, proporsional, dan rasional. ORBA yang dibuat menyusul tumbangnya rezim Orde Lama dibawah Soekarno, secara formal menyatakan ingin melaksanakan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan konstitusional, termasuk dalam perkara kekerabatan antara kelompok secara umum dikuasai dan minoritas. Dalam perkembangannya selama 32 tahun, ORBA ternyata masih melaksanakan kesalahan-kesalahan yang sama dan bahkan dalam kaitan dengan perkara rasial terjadi yang lebih besar.

4. Faktor Sosial


1. Meningkatnya Angka Kemiskinan.
Kenaikan angka penduduk miskin yang melonjak dengan pesat disebabkan oleh beberapa hal :
-Menurunnya pendapatan riil penduduk diperkirakan untuk periode 1997-1998 terjadi penurunan pendapatan riil rata-rata sebesar 10-14% dalam nilai konstan.
-Naiknya jumlah pengangguran, terutana di kota-kota besar mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok miskin dengan asumsi sekitar 15 juta orang pada tahun 1998.
-Kenaikan inflasi, terutama untuk kelompok pangan yang jauh lebih tinggi dari tingkat inflasinya sendiri. Diperkirakan untuk harga beras telah meningkat hampir 200%. Hal ini mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat desa maupun kota dan mendorong mereka dalam kelompok hidup miskin.

2. Kelompok Rawan Pangan.
Melihat lebih dalam lagi ke dalam distribusi kemiskinan yang digolongkan sebagai keluaraga pra sejahtra dan sejahtra meningkat menjadi hampir 17,5 juta. Kelompok masyarakat rawan pangan yang naik secara drastis ini disebabkan oleh kombinasi antara krisis ekonomi yang menurunkan daya beli dan faktor alam yang tidak menguntungkan. Hasil estimasi secara konservatif yang dilakukan oleh World Food Program yang dilakukan di 35 wilayah DATI II di 15 provinsi membuktikan bahwa 7,5 juta orang dari sekitar 19,5 juta populasi di wilayah tersebut akan mengalami perkara rawan pangan.Kemiskinan sewenang-wenang sangat erat kaitanya dengan maslah rawan pangan dan kekurangan gizi. Masalah rawan pangan sebagain besar menimpa perempuan dan anak-anak.

3. Meledaknya Angka Pengangguran
Tingkat pengangguran diperkirakan mencapai 15 juta orang atau sekitar 16,5% dari angkatan kerja pada pertengahan 1998. Angka ini terperinci lebih rendah dari angka sebelumnya. Hal ini diperburuk lagi mengingat perkara sebetulnya terletak pada semi pengangguran yang jauh lebih besar dari angka pengangguran dan merupakan indikasi kearah kelompok penduduk miskin. Hal ini terutama terjadi di perkotaan, dimana sebagaian besar pengangguran biasanya tetap melaksanakan pekerjaan tetapi dengan beban kerja yang sangat ringan dan upah yang minim. Pada tahun 1996 diperkirakan sekitar 37% dari pekerja sebetulnya berada dalam kondisi semi pengangguran dan angka ini diperkirakan lebih besar lagi pada situasi krisis menyerupai ini.
4. Menurunnya Murid Sekolah
Konsekuensi dari menurunnya pendapatan riil ialah menurunnya tingkat registrasi sekolah. Hal ini terutama desebabkan oleh tekanan kepada anak untuk membantu mencari nafkah terutama bagi keluarga miskin. Pada tahun 1998/1999 diperkirakan menjadi kenaikan murid putus sekolah dari sekitar 2,6% menjadi 5,7% untuk murid SD atau kenaikan sebesar 119,2%. Sedangkan untuk murid Sekolah Menengah Pertama naik 5,1% menjadi 13,3% atau kenaikan sebesar 125%. Secara sewenang-wenang diperkirakan sekitar 17,5 juta murid usia sekolah akan putus sekolah untuk mencari penghasilan serta 400 ribu murid sekolah tidak sanggup melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Bahkan jikalau dilakukan pembatalan uang sekolah, kenaikan murid usia sekolah diperkirakan akan tidak meningkat drastis lantaran semakin tingginya biaya-biaya kesempatan (opportunity cost) di lapangan kerja.

5. Mutu Kesehatan
Di bidang kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah telah mengakibatkan kenaikan drastis harga obat-obatan, vaksin, kontrasepsi. Survei kecil yang dilakukan di Jakarta dan Jawa Barat mengatakan kenaikan harga obat rata-rata hampir tiga kali lipat. Sedemikian parahnya perkara kelangkaan obat sehingga beberapa sentra kesehatan tutup. Lebih parah lagi, menurunnya tingkat pendapatan riil mengakibatkan daya beli kelompok penduduk miskin untuk mendapatkan akomodasi kesehatan berkurang. Kondisi yang sama terjadi pada golongan wanita, terutama perempuan hamil yang akan mempertinggi resiko kematian bayi akhir buruknya sarana kesehatan. Berita-berita di surat kabar menyatakan bahwa bertambah banyak jumlah pasien yang menentukan keluar dari rumah sakit lantaran kurang dan mahalnya obat-obatan.

Keadaan Bangsa Indonesia Pada Era Reformasi
Era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada dikala presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial Asia yang mengakibatkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto dikala itu mengakibatkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan banyak sekali organ agresi mahasiswa di banyak sekali wilayah Indonesia. B. J. Habibie yang menjadi Wapres dan sebelumya menjabat sebagai Mentri Riset dan Teknologi, menggantikannya sebagai Presiden baru. Jatuhnya pilihan kepada B. J. Habibie merupakan suatu hal yang kontroversial. Habibie sesungguhya mewarisi suatu pemerintahan yang mengalami kerusakan total serta bersifat multidimensioal baik dalam segi moniter, ekonomi, sosila, politik, dan juga mental (Amin Rais, 1998: 29). Proyek pujian Habibie, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) masalnya, sering menjadi target kritik lantaran diduga telah menyalahgunakan anggaran negara (Hikam, Muhamad, 1999: 71). Pemerinthan Soeharto semakin disorot setelah bencana Triaakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto kesudahannya menentukan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 tepatnya pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, banyak mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Hal ini sanggup dilihat dari munculnya kala reformasi yang mengalami perubahan-perubahan menyerupai berikut ini:
1. Dalam Bidang Ekonomi
Dalam perdebatan-perdebatan mengenai ekonomi, sering diperdebatkan apakah ekonomi menjadi prasyarat keamanan ataukah sebaliknya keamanan menjadi prasyarat hidupnya ekonomi. Apabila ekonomi rusak dan keluarga-keluarga dalam masyarakat mustahil memenuhi kebutuhanya, pelanggaran-pelanggaran aturan amat sukar dicegah. Tetapi, kalau keadaan umum tidak kondusif kegiatan-kegiatan ekonomi niscaya terganggu, bahkan mungkin buat sementara terhenti. Keamanan umum di Indonesia dalam satu tahun setelah Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden mengalami banyak gangguan, sedangkan ekonomi umum belum bisa berdiri kembali dari pukulan berat oleh krisis moneter. Nilai rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa bulan setelah pergantian tahun 1998 hingga 1999 relatif stabil tetapi pada tingkat yang tinggi antara Rp. 7.000 dan Rp. 8.000 sehingga belum sanggup membantu ibi-ibu rumah tangga dari kelas rendah yang penghasilan kerjanya dalam rupiah belum cukup untuk mengejar harga sembako yang tetap tinggi. Karena keadaan ekonomi yang demikian, jumlah anak jalanan dan preman tidak berkurang, tetapi malah bertambah. Para petani pangan juga banyak yang mengeluh lantaran tingginya harga pupuk dan lantaran saingan harga beras dari luar negeri yang sanggup masuk ke Indonesia dengan bebas pajak atau dengan pajak yang rendah.

2. Dalam Bidang Politik
Suasana politik setelah berhentinya Presiden Soeharto penuh dengan kejadian-kejadian yang menimbulkan putus asa dikalangan Pemerintah, ABRI, partai-partai politik dan masyarakat umum. Di antara kejadian-kejadian itu sanggup disebut beberapa yang membawakan disintegrasi politik berkepanjangan, contohnya naiknya Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto, pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan, timbulnya partai-partai politik baru, usulan kepada rakyat Timor-Timur untuk mendapatkan otonomi luas atau kemerdekaan, gerakan di Irian Jaya dan Aceh untuk mendirikan negara merdeka gres lepas dari Republik Indonesia; Rencana Pemilu 1999 dan pencalonan Preseden. Disamping itu, hampir setiap hari orang Jakarta dan kota besar lainnya sanggup membaca di surat kabar, majalah atau tabloid wacana politik pemerintahan Soeharto yang merugikan negara dan rakyat lantaran bertentangan dengan sistem demokrasi.

3. Dalam Bidang Sosial
Sejak Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 hingga satu tahun kemudian keadaan sosial di indonesia selalu diganggu oleh banyak sekali insiden yang meresahkan masyarakat banyak. Jumlah kemiskinan yang setahun kemudian mencuat samapi 100 juta belum mengatakan tanda-tanda menurun. Jumlah penganggur sebagai korban PHK tidak kurang dari tujuh juta, dengan kebanyakan di antara mereka bermukim di kota-kota besar.
Banyaknya jumlah penduduk miskin dan korban PHK, banyak keluarga terpaksa mengurangi makan sehari-hari atau menentukan maknan yang berkualitas gizi rendah, juga buat anak-anak di anak-anak sepuluh tahun yang sedang sangat membutuhkan masukan gizi yang cukup sebagai landasan kesehatan tubuh mereka. Dikhawatirkan, kalau kekurangan gizi berlangsung lebih usang generasi anak-anak dikemudian hari akan menjadi generasi anak-anak yang lemah. Kekurangan gizi yang berkepanjangan tidak hanya mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan tubuh anak, akan tetapi juga intelegensi atau daya pikir mereka. Selain itu, tanda-tanda sosial yang menarik perhatian ialah di bidang keamanan dan ketertiban umum. Tahun 1999, kepolisian RI secara organisatoris dan operasional dipisahkan dari angkatan-angkatan bersenjata. Istialah ABRI tidak lagi berlaku dan diganti dengan Tentara Nasional Indonesia yang mencakup angkatan darat, maritim dan udara. Di samping itu, kepolisian RI berdiri sendiri meskipun secara administratif tetap di bawah pimpinan Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Referensi: Muhammad Rezki Rasyak

Related : Faktor-Faktor Runtuhnya Rezim Orde Baru

0 Komentar untuk "Faktor-Faktor Runtuhnya Rezim Orde Baru"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)