Haji berdasarkan Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan aliran Syekh Siti Jenar tidak lain ialah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan ngeraga sukma. Dalam arti seseorang bisa pergi ke Makkah kapan saja ia mau. Oleh karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis, yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam spirit insan yang tidak ditempuh dengan hanya memakai bekal rupiah. Hal ini sanggup ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:
Samana ngling Molana Maghribi
Singgih pakanira awangsal
Nora ing Mekah rekeh
Ing Mekah kulon iku
Mekah tiron wastanireki
Watu ingkang kinarya
Pangadhepan iku
Nabi Ibrahim akarya
Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir
Singgih pakanira awangsal
Nora ing Mekah rekeh
Ing Mekah kulon iku
Mekah tiron wastanireki
Watu ingkang kinarya
Pangadhepan iku
Nabi Ibrahim akarya
Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir
Lan tuwan awangsul
Nora ana weruh ing Mekah iki
Alit mila teka ing awayah
Mang tekaa parane
Yen ana sangunipun
Tekeng Mekah tur dadi wali
Nora ana weruh ing Mekah iki
Alit mila teka ing awayah
Mang tekaa parane
Yen ana sangunipun
Tekeng Mekah tur dadi wali
Sangunipun alarang
Dahat dening ewuh
Dudu srepi dudu dinar
Sangunipun kang sura lagaweng pati
Sabar lila ing donya
Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian, Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibentuk sebagai kawasan menghadap ialah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal hingga di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta tulus di dunia).
Dari penuturan suluk wujil tersebut, terperinci bahwa haji ialah olah spiritual untuk mencapai keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan tulus dalam hidup di dunia. Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup tulus ialah hidup tidak tercemar nafsu berebut kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim, 2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji. Untuk sanggup tulus perlu laris atau olah spiritual.
Dahat dening ewuh
Dudu srepi dudu dinar
Sangunipun kang sura lagaweng pati
Sabar lila ing donya
Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian, Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibentuk sebagai kawasan menghadap ialah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal hingga di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta tulus di dunia).
Dari penuturan suluk wujil tersebut, terperinci bahwa haji ialah olah spiritual untuk mencapai keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan tulus dalam hidup di dunia. Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup tulus ialah hidup tidak tercemar nafsu berebut kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim, 2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji. Untuk sanggup tulus perlu laris atau olah spiritual.
Untuk bisa memperoleh laris yang benar, juga diharapkan keberanian dan kesanggupan menentukan jalan yang diyakini benar. Sebagiannya ialah keberanian dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan higienis dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak. Pikiran higienis dari keterikatan dengan kelezatan dunia. Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, mempunyai daya juang, dan tidak gampang mengalah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam usaha hidup yang benar, dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.
Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini. Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain. tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.
Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk Kabah misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibentuk manusia. Kabah yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya alasannya ialah berada di alam spiritual. Kabah diri berada di kedalaman ceruk hati. Oleh balasannya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah, justru di Jawa juga menyediakan banyak aliran spiritual yang kalau ditinggalkan untuk memburu di Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir. Yakni akan kehilangan akal tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk membuat kesejahteraan, ketentraman, dan untuk bisa mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya dilarang meninggalkan akal yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan semua kawasan dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka litaaruf (saling mengenal). Mereka yang bisa mengenal hikmah yang bermacam-macam itu disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.
0 Komentar untuk "Hakekat Haji Berdasarkan Pandangan Syekh Siti Jenar"