Hanzhalah, Sang Pengantin Langit



Seorang sahabat Nabi yang dimandikan malaikat ketika wafatnya, ketika ia hendak bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Malam hari menyelimuti kota Madinah, bintang-bintang bertaburan membawa keheningan dan ketenangan bagi seluruh alam yang lelah oleh kesibukan siang dan letih oleh aktifitas di muka bumi. Nyanyian sore mengalun meniup lirih kelopak mata untuk memasuki alam mimpi yang indah. Malam membawa kita kepada sebuah perasaan khusus, seolah ala mini milik kita semata. Malam membebaskan ruh seorang mukmin supaya jernih sedikit demi sedikit, sehingga ia pun sanggup menyatu dengan kekhusyuan yang mendalam merenungi penciptanya, bersuci dan bersujud di hadapan-Nya.
Sore itu sama ibarat sore-sore biasanya, tetapi tidak bagi Hanzhalah radhiallahu ‘anhu. Hari ini yaitu hari impiannya, ia mempunyai janji khusus pada sore itu, hari yang telah usang ia nantikan, hari dimana ia berjumpa dengan istri tercinta, Jamilah. Hari ini yaitu hari ketika mereka berdua menjadi pengantin yang penuh bahagia.

Pertemuan Ataukah Perpisahan
Takdir Allah Ta’ala mengantarkan Hanzhalah kepada kebaikan, menikah dengan kekasihnya Jamilah dimana pagi harinya Perang Uhud mengatakan sesuatu antara benci dan cinta. Keengganan berpisah dari kekasihnya dan kerinduan akan pahala syuhada dan gugur di medan jihad meninggikan kalimat Allah. Hanzhalah pun bermalam bersama istrinya, ia tidak tahu niscaya apakah ini pertemuan atau perpisahan bersama sang kekasih.
Betapa manisnya hari itu, betapa indahnya komitmen nikah hari itu. Aroma harum menghiasi detik demi detik, belakang layar apa yang tersembunyi di balik hari itu bagi Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dan istrinya yang dipenuhi kerinduan. Air mata senang pun menetes tak terasa. Ia memeluk sang kekasih ibarat seorang tamu yang hendak pergi, ibarat imajinasi yang dilihatnya, sementara ia tidak memilikinya. Hanzhalah radhiallahu ‘anhu terlihat ibarat langit, bersahabat tapi jauh.
Hanzhalah menyatukan cintanya yang kecil dengan cinta yang besar, biar sanggup memberinya kebesaran dan kehormatan. Dia memeluknya, biar cinta dari langit yang kekal menyatu dengan cinta manusiawinya yang fana, maka masuklah kekekalan dan keadabian. Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengaktifkan perhitungan dan perbandingan emosional itu di hati dan pikirannya. Dia mengambil keputusannya dengan cepat seiring hembusan fajar. Manakala beliau menyimak panggilan jihad, beliau pun keluar dengan segera.
Dalam keadaan junub, tidak menunggu mandi, beliau berdiri di tengah air mata sang kekasih dan kerinduan hati yang haus akan pandangan istri tercinta. Dia bangkit, sementara kerinduan masih berdenyut seiring detak jantungnya. Rindu kepada saat-saat bertemu yang kemudian berlalu begitu saja dan menjelma angan-angan semata.
Hanzhalah berangkat. Dia telah menimbulkan hawa nafsunya ibarat tanah yang terinjak oleh kakinya. Cinta yang besar mengalahkan semuanya. Hanzhalah menang melawan dirinya, Hanzhalah menang atas Hanzhalah.

Cinta Adalah Air Mata… Cinta Adalah Emosi
Hanzhalah sang mujahid, sang pengantin satu malam telah berdiri menenteng senjata menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusun barisan pasukan, menyusun barisan hati untuk dijual di jalan Allah. Hanzhalah turun ke pasar nirwana dan peperangan pun mulai berkecamuk.
Di awal perang, kemenangan pun sudah tampak dalam genggaman. Akan tetapi manakala para pemanah beranjak dari pos mereka, manakala penjual menjelma pembeli maka timbangan peperangan pun berbalik. Orang-orang musyrik merangsek maju dengan barisannya yang kuat. Hanzhala masih terus mengambarkan cintanya yang besar kepada Allah, dan beliau benar-benar menciptakan kita malu. Dia maju ke arah Abu Sufyan bin Harb, mematahkan kaki kudanya dan menciptakan Abu Sufyan terpelanting jatuh ke tanah. Dalam situasi ibarat itu, datanglah Syaddan bin Aswad untuk menolong Abu Sufyan dari Hanzhalah. Maka Syaddad pu berhasil membunuh sang pemiliki hati yang suci dengan sebilah tombak yang menghantam badan Hanzhalah.
Hanzhalah radhiallahu ‘anhu pergi meninggalkan kita, meninggalkan darah yang harum, meninggalkan pelajaran perihal pengorbanan seorang hamba kepada Allahu Subhanahu wa Ta’ala. Membangunkan jiwa kita yang tertidur dan melecut semangatnya. Mengajarkan bagaimana menunggang kuda-kuda syahadah dan membuang kuda-kuda khayalan.

Hujan Rindu dari Langit
Perang telah usai, para mujahidin berjejer menyaksikan saudara-saudara mereka yang telah membeli nirwana dengan jiwa-jiwa mereka. Mereka mencari sahabat-sahabat mereka yang telah gugur. Hati yang selalu menunggu janji langit sedang mencari hati yang mendahuluinya ke langit. Tangan mereka meraba-raba jasad Hanzhalah yang berlumur darah. Mereka herang dengan tetesan air yang melekat di dahinya, menetes dari ujung rambutnya mengingatkan pada air mata Jamilah yang bersedih.
Tetesan air yang masih menjadi misteri tak terpecahkan oleh para sahabat. Seandainya mereka tidak mendegat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Aku melihat para malaikat memandikan Hanzhalah bin Abu Amir di antara langit dan bumi dengan embun di dalam bejana-bejana perak.”
Kabilah Aus, kabilah Hanzhalah, selalu membanggakannya. Mereka berkata, “Di antara kami terdapat seseorang yang dimandikan malaikat, dialah Hanzhalah bin Abu Amir. Di antara kami terdapat seseorang yang jasadnya dilindungi oleh lebah, dialah Ashim bin Tsabit. Di antara kami terdapat orang yang kesaksiannya disamakan dengan kesaksian dua orang, dialah Khuzaimah bin Tsabit. Dan di antara kami terdapat orang dimana arasy Allah Maha Rahman bergoncang sebab kematiannya, yaitu Saad bin Muadz.”

Kenangan Sang Kekasih
Jamilah terus mereguk kenangan akan pertemuan singkat yang terpatri dalam jiwanya. Senandung kasih abadi merek berdua mustahil dilupakan wanginya, masih tercium di daerah tidurnya. Wajahnya terpampang di atap kamarnya. Setelah kedua matanya tenteram dengan cahaya maut syahid suaminya, beliau masih membayangkan melihatnya di negeri langit.
Jamilah masih menceritakan kepada para tetangga bahwa beliau melihat Hanzhalah sesaat sebelum malam pernikahannya. Bagaimana mimpi itu sanggup menjadi kenyataan. Jamilah bermimpi melihat langit terbelah untuk Hanzhalah, maka beliau masuk dan sehabis itu langit pun menutup lagi.
Sepertinya mimpi ini menghakhawatirkan Jamilah. Dia melihat mimpi itu membawa awan kelam dan ketakutan. Hingga beliau meminta kepada empat orang kaumnya untuk menjadi saksi bahwa Hanzhalah telah benar-benar menikah dengannya. Siapa sangka bahwa mimpi yang beliau takutkan membawa keburukan dan jadinya beliau berantisipasi dari fitnah dan tuduhan ternyata justru membawa kabar gembira dari langit dan mengatakan kepadanya predikat istri seorang syuhada.

referensi: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf

Related : Hanzhalah, Sang Pengantin Langit

0 Komentar untuk "Hanzhalah, Sang Pengantin Langit"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)