Kisah Serat Tuhan Ruci



Cerita perihal Ajaran Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara /Arya sena/Bima ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi kiprah gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta, Yosodipuro
berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Seperti apa kisahnya, maka kami informasikan intisarinya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang bergotong-royong adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga yaitu murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian tubuh ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin mustahil teritipu dan terbunuh oleh ajuan Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun bergotong-royong ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada ketika di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa sanggup ditipu secara halus semoga musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jikalau ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian sesudah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, kemudian keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara mereka merayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah hingga di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, kemudian gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, murka dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu lantaran merasa terganggu akhir ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian …….Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas watu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi hingga lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia bangun dibawah pohon beringin.
Tak usang kemudian, Sena mendengar bunyi tak berwujud : “Wahai cucuku yang sedang bersedih,engkau mencari tidak menjumpai, engkau tidak menerima bimbingan yang nyata, perihal kawasan benda yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu”. Diceritakan ketika Sena sudah pasrah….. bunyi itu yang ternyata yaitu dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata memang sedang dieksekusi Hyang Guru. Lalu dikatakan juga semoga untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan semoga kembali ke Astina.Perintah inipun dituruti lagi………
Setibanya di serambi Astina, ketika lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan perihal perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia bergotong-royong hanya diuji, lantaran kawasan air yang dicari, bergotong-royong ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang berpengaruh maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan tiba ke Ngamarta. Setelah mendapatkan klarifikasi dari Darmaputra, Kresna menyampaikan bahwa janganlah Pandawa bersedih, lantaran tipu daya para Kurawa akan menerima tanggapan dengan jatuhnya peristiwa dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang menciptakan para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, lantaran Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana pria dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akibatnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur watu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang gres datang, bahwa ia di tipu semoga masuk ke dalam samudera, angin puting-beliung tiba juga riuh menggelegar, seakan menyampaikan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak bisa masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akibatnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, lantaran sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia usang memandang bahari dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, kemudian ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, semoga air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, lisan bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena hingga hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena galau dan menduga cepat mati, tapi ketika lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di tubuh naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi bahari bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan tiba dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan tuhan berambut panjang, ibarat anak kecil bermain-main di atas laut, berjulukan Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang sanggup di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera tiba ke sini, banyak rintangannya, jikalau tidak mati-matian tentu tak akan sanggup hingga di kawasan ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini mustahil ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, mengembangkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang mempunyai keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah yaitu Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, lantaran gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum terang maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan menjiplak juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang kurang berakal dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan kawasan yang harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci mendapatkan fatwa perihal Kenyataan
“Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun mustahil masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui indera pendengaran kiri. Dan tampaklah bahari luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, kemudian matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu yaitu penghalang hati.
Yang hitam kerjanya murka terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah memperlihatkan nafsu yang baik, segala harapan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning yaitu penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa kawasan tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, yaitu Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut mencicipi bangga dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut mencicipi sakit dan menderita, jikalau berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, tubuh tanpa daya. Itulah yang bisa mencicipi penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui belakang layar zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah menyerah jikalau berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang harapan untuk mati semoga tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami kendala dan kesulitan, tidak sakit, hanya yummy dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya menempel pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi mitra akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak sanggup dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, menerima anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang dipakai untuk memainkan panggungnya.
Penerima fatwa dan nasehat ini dihentikan menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, lantaran nasehat merupakan benih. Namun jikalau ditemui fatwa contohnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan sanggup tumbuh, maka jikalau insan bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, semoga menjadi terang penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi tubuh Sukma Jernih, segala tingkah laris akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini lantaran diri manusia, dalam segala akad janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup infinit selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melakukan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara sesudah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, mendapatkan dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :”Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, lantaran kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai memberikan ajarannya, Wrekudara tidak galau dan semua sudah dipahami, kemudian kembali ke alam kemanusiaan, bangga hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara kemudian mengingat, banyak yang didengarnya perihal tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, menduga sudah benar, akibatnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, ibarat mengharapkan kemuliaan, namun akibatnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, final hidup seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, menduga sanggup mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jikalau memberi fatwa tidak jauh kawasan duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah insan hidup usahakan sanggup ibarat wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat yaitu pikiran, bumi sebagai kawasan berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh proteksi jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak absurd bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan ketika ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada tuhan yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, kemudian Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.
atas seruan kaum kurawa
durna memasang tipu daya untuk melenyapkan bima
dengan menugasinya mencari tirta-prawita-adi
sebagai sarana pembuka pengetahuan sejati
yang bertempat di hutan tibrasara di gunung candramuka
setelah mengirim barisan-pendem untuk mencelakakan arya sena suyudana pulang ke permaisuri banowati dan putrinda leksmanawati
sementara sangkuni dan kurawa lengkap berangkat berkuda
pada ketika yang sama di saptapratala,
batara anantaboga dan dewi suparti mendapatkan sasmita dewata
bahwa bima menantu mereka akan mendapatkan cobaan
sang dewi suparti segera silih warna sebagai naga
berangkat untuk membantu sang menantu
di perjalanan bersua para kurawa dan bertempur,
namun para kurawa segera menyimpang jalan
naga jelmaan segera melanjutkan langkah
dan bertapa di gua sigrangga
di sapta arga, resi abyasa sedang dihadap arjuna dan para punakawan
melaporkan bahwa arya sena hendak dicelakakan danghyang durna
abyasa menyuruhnya mencegah, namun bila berkeras,
doakanlah semoga semua langkahnya membawa hasil sepadan
di tengah rimba dalam perjalanan pulang,
arjuna cs bertemu sepasang macan, sang kesara dan sang kesari,
macan ditewaskan badhar menjadi batara brahma dan dewi saraswati
brahma memberi wangsit bahwa bima akan memperoleh nugraha
brahma dan isteri kembali makahyangan
yudistira bima nakula sadewa dan kresna di amarta
kresna ikut menahan bima semoga membatalkan niatnya
namun bima berkeras bahwa mencari tirta adi di gunung candramuka
yaitu bukti baktinya pada bapa guru durna
serta demi mengejar pemahaman inti pengetahuan sejati
arjuna tiba dan melaporkan semua yang diketahuinya
sena tetap tidak bisa ditahan dan pamit berangkat
i gunung candramuka sang sena bertindak membabibuta
segala bukit watu dan pohon besar dibongkar berantakan
namun apa yang dicari tetap tak bersua juga
rukmuka dan rukmakala, sepasang raksasa di gunung candramuka
murka melihat arya sena membongkar hutan semena-mena
pertarungan tak terelakkan dan kedua raksasa musnah
kembali ke wujud semula: hyang indra dan hyang bayu
yang memperlihatkan ajian jalasengara dan senjata ekal druwendra
kemampuan memasuki air tanpa kesulitan (jalasengara)
kedua batara memberi wisikan pula
bahwa bergotong-royong seruan durna hanyalah tipu daya
namun semua perjuangan yang dilakukan secara bersungguh-sungguh
senantiasa akan berbuah sepadan
sang bima segera kembali ke astina
untuk menanyakan pada sang guru
sekembali di astina, durna memberitahu
bahwa kiprah terdahulu hanyalah penguji tekad muridnya
kawasan yang bergotong-royong yaitu di tengah samudra
bima segera kembali ke amarta untuk pamit kedua kalinya
di amarta kembali semua kadang menahan kepergian bima
namun sekali lagi bima tak bisa ditahan dan berangkat segera
sesampai di gua sigrangga bima disambar oleh naga suparti
bertempur sejenak naga kalah dan kembali ke wujud aslinya
kemudian membisikkan perihal tipu daya durna
namun jangan menurunkan semangat bukti bakti sang menantu
semoga tetap memperoleh nugraha atasnya
sang sena diminta segera meneruskan ke samudera
kemudian lenyaplah sang dewi
dan byar, arya sena sudah berada di tepian samodera
engan benak hanya terisi satu tujuan
menaati seruan guru durna
sang bima mencebur ke tengah samudera
ombak menyaput hingga ke leher dan kepala
melongo sejenak sang bima membayangkan ancaman maut
namun teringat pada aji jalasengara sumbangan dewata
seekor naga raksasa, sang nemburnawa, tiba menghadang
pertarungan di air menciptakan seisi samudera bergolak
namun akibatnya sang naga tewas oleh kuku pancanaka
samudera kembali hening tenteram
sunyi
tak usang kemudian tampaklah seorang anak bajang di atas air
melambai pada bima semoga menghampir
kemudian mewejang dengan aneka macam ilmu sejati
penguak segala belakang layar alam semesta
usai mewejang musnahlah sang dewaruci
dan sang sena sudah kembali berada di alam nyata
kembali ke amarta
di tepi samodra menunggu arya sangkuni dan para kurawa
menduga sudah tewaslah sang tonggak pandawa
melihat munculnya sang bima para kurawa maju mengerubut
bima berhasil menghindar, hendak segera kembali ke amarta
para kurawa segera membuntuti mengejar
murung yang melela di amarta sirna seketika
oleh munculnya arya bima yang sehat tak kurang suatu apa
wajahnya tampak bersinar cemerlang oleh cahaya surgawi
kerusuhan di belakangnya oleh ulah para kurawa
segera berhasil dipadamkan oleh sang bima
kurawa bubar acak-acakan tanpa sisa
bima segera memberikan segala yang dialaminya
pada kresna dan kadang pandawa
semua berbahagia
keceriaan alam telah kembali mewarnai istana amarta
sang bima telah menemukan segala yang dikehendakinya
pengetahuan perihal hakekat hidup sejati.

Sumber : Berbagai Sumber, Cerita rakyat tresno budoyo.

Related : Kisah Serat Tuhan Ruci

0 Komentar untuk "Kisah Serat Tuhan Ruci"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)