Kisah Unik Mencari Buku Kuno (The Real Book Lover)



Hamba yang lemah, penulis buku ini berkata, “Pada masa-masa mencari ilmu, saya hidup kekurangan menyerupai para penuntut ilmu lainnya. Aku membeli buku-buku yang sanggup saya beli dengan menyisihkan uang sakuku yang tak seberapa, baik dengan cara kontan maupun cicilan kalau memungkinkan.

Suatu hari saya melihat sebagian buku langka yang sangat penting bagiku. Aku berhasrat memilikinya, akan tetapi saya sedang dalam kemiskinan yang sangat. Sehingga tidak ada jalan untuk membelinya. Hati dan pikiranku tidak damai karenanya. Maka, saya menjual syal warisan dari bapakku, semoga Allah merahmatinya, di Pasar Al-Harraj, kemudian saya membeli buku-buku tersebut. Setelah membelinya, hati dan pikiranku menjadi tenang. Aku sangat bahagian sanggup membeli dan memilikinya. Kebahagiaanku itu melupakan diriku dari lenyapnya syal milikku. Segala puji bagi Allah.
Terkadang saya bernadzar kepada Allah untuk menunaikan shalat sekiat rakaat kalau saya mendapat buku tertentu. Aku pernah mengalami suatu insiden dalam urusan berburu buku. Aku mencatatnya di sini alasannya yaitu keunikannya, berikut ini kisahnya:
Ketika saya masih di Kairo menjadi mahasiswa pada Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, syaikh kami, Al-Allamah Imam Muhammad Zahid Al-Kautsari mewasiatkan kepadaku di sela-sela saya mengikuti kajian-kajiannya, semoga saya mempunyai buku Fath Babil Inayah bi Syarh Bukuin Nuqayah, karya Al-Allamah Syaikh Ali Al-Qari. Ia berulang-ulang mendorongku dengan sangat semoga saya mendapat buku tersebut, alasannya yaitu ia mengetahui bahwa saya penggemar buku-buku langka yang bermanfaat. Aku menduga bahwa buku ini dicetak di India. Aku tinggal di Kairo selama 6 tahun hingga saya menuntaskan kuliahku. Selama itu pula saya bertanya wacana buku tersebut. Aku mencarinya di semua perpustakaan yang saya perkirakan buku itu ada padanya. Akan tetapi, saya tidak menemukan isu atau jejak apa pun tentangnya.
Ketika saya pulang ke kotaku Halb, saya terus mencari buku tersebut di setiap kota yang saya kunjungi atau perpustakaan yang saya datangi. Karena saya menduganya dicetak di India, sementara ia termasuk buku-buku fiqih ulama Hanafi, maka saya bertanya kepada para penjual buku-buku cetakan India dalam duduk kasus fiqih Hanafi secara Umum. Siapa tahu saya berhasil mendapatkannya dengan cara ini, alasannya yaitu sanggup jadi mereka tidak mengetahui namanya. Di Damaskus terdapat banyak penjual buku kuno yang, tentunya mereka mengenali banyak buku kuno yang berharga. Mereka juga mempunyai banyak koleksi buku-buku kuno tersebut. Hanya saja mereka telah meninggikan harganya dan mempersulit penjualannya. Di antara mereka yaitu Sayyid Azzat Al-Qushaibati dan bapaknya, Syaikh Hamdi As-Safarjali, dan Sayyid Ahmad Ubaid.
Aku bertanya kepada Sayyid Azzat Al-Qaushaibati wacana buku Fath Babil Inayah yang merupakan cetakan India. Ia menjawab, “Buku itu ada padaku.” Ia mengeluarkan buku Al-Binayah bi Syarhil Hidayah, karya Imam Al-Aini yang dicetak di India semenjak satu masa yang lalu, yaitu tahun 1293 H, dalam 6 jilid yang sangat besar sekali. Buku ini termasuk buku-buku langka lagi berharga yang saya cari. Maka, saya membelinya dengan harga yang tidak mahal. Pasalnya, ia bukanlah buku yang saya maksudkan di awal, yang saya sebutkan namanya.
Kemudian saya bertanya kepada Syaikh Hamdi As-Safarjali wacana buku tersebut. Darinya saya mengetahui bahwa buku itu dicetak di Qazan, sebuah kota di Rusia, dan sebagaimana dikatakan bahwa ia lebih langka daripada kibrit ahmar (emas merah). Sepanjang hidup Syaikh dan kesibukannya dengan buku-buku, ia hanya memegang satu set dari buku tersebut. Ia telah menjualnya kepada Al-Allamah Al-Kautsari dengan harga paling mahal yang tidak terbayangkan. Pada ketika itu juga saya mengetahui nama kota di mana buku tersebut dicetak. Harapanku untuk mendapatkannya semakin menipis!
Tatkala Allah memberiku kesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke rumah-Nya yang mulia pada tahun 1376 H. Pada ketika memasuki Mekah Al-Mukarramah, saya berkeliling menanyakan buku tersebut di perpustakaan-perpustakaan yang ada di sana, dengan harapan, saya sanggup mendapatkannya. Apalagi di sini banyak orang yang tiba dari penjuru negeri, berharap mereka mempunyai inforamsi, namun ternyata belum ada hasil.
Kemudian inayah Allah membawaku kepada seorang kolektor buku kuno yang terletak di sudut sebuah pasar sederhana di Mekah Al-Mukarramah. Ia yaitu Syaikh Mushthafa bin Muhammad Asy-Syinqithi, semoga Allah menyeleamatkannya. Aku membeli beberapa buku darinya. Aku bertanya kepadanya – dengan penuh keputusasaan – wacana buku tersebut. Ia menyampaikan kepadaku, “Buku itu ada padaku selama satu minggu. Aku membelinya dari warisan seorang ulama Bukhara. Lalu, saya menjualnya kepada seorang pria dari Bukhara pula, ia termasuk ulama dari kawasan Thasyqand, dengan harga yang tidak mengecewakan tinggi.” Aku hampir tak mempercayainya, hingga ia menjelaskan ciri-cirinnya dengan klarifikasi yang pertanda bahwa ia benar-benar mengetahui buku tersebut. Memang itulah buku yang saya buru dan saya cari semenjak beberapa tahun terakhir ini.
Aku bertanya, “Siapa ulama Thasyqand yang membeli buku tersebut?” Si kolektor buku kuno itu mulai mengingat-ingat. Lalu, ia menyebut sebuah nama keapdaku, yaitu Syaikh Inayatullah Ath-Thasyqandi. Aku bertanya, “Di mana ia tinggal, atau tempat kerjanya, atau di mana saya sanggup menemuinya?” Ia menjawab, “Aku tidak mengetahui sedikit pun wacana hal itu.” Aku bertanya lagi, “Bagaimana saya bertanya tentangnya?” Ia menjawab, “Tidak tahu.” Pada ketika itu keputusasaanku untuk mendapatkannya atau untuk bertemu dengan pembeli semakin bertambah.
Setelah itu saya pergi bertanya wacana Syaikh Inayatullah kepada setiap orang Bukhara yang saya lihat di Masjidil Haram, atau pasar-pasar Mekah. Aku pergi ke madrasah-madrasah dan perkumpulan-perkumpulan yang katanya ada orang-orang Bukhara di sana, untuk menanyakan wacana Syaikh dari Bukhara tersebut. Bahkan, saya hingga pergi ke komplek-komplek perumahan yang ada di luar Mekah, ketika ada yang menyampaikan kepadaku bahwa di sana ada orang-orang Bukhara. Namun, pertemuan dengan syaik yang saya harapkan tidak kunjung terwujud? Berapa banyak orang-orang Bukhara yang berjulukan Inayatullah di Mekah Al-Mukarramah?
Pencarian yang terus-menerus membawaku kepada Syaikh Abdul Qadir Ath-Thasyqandi Al-Bukhari As-Sa’athi di kompleks perumahan Jarwal di pinggiran Mekah. Aku bertanya kepadanya wacana Syaikh Ath-Thasyqandi. Ternyata ia mengenalnya dan menyebutkan nama aslinya kepadaku, yaitu Syaikh Mir Inayah Ath-Thasyqandi. Hanya saja ia tidak mengetahui tempat tinggalnya atau di mana sanggup bertemu dengannya. Pada ketika itu, saya benar-benar frustasi untuk bertemu dengan Syaikh yang mempunyai buku Fath Babil Inayah.
Pada ketika thawaf di Ka’bah yang agung, semoga Allah menambah kemuliaan dan keagungannya, saya selalu memohon kepada Allah Ta’ala semoga membimbingku kepada orang yang kutuju dan memudahkanku mempunyai buku tersebut. Aku terus mengulang-ulang doa dan permintaanku berkali-kali. Satu ahad telah berlalu – dan Allah Maha Mengetahuinya –, sementara pikiranku tidak pernah wacana terkait dengan pencarianku terhadap buku tersebut dan pemiliknya.
Sampai pada suatu hari, ketika saya berjalan di Pasar Pintu Ziyadah dari pintu-pintu Masjidil Haram, seorang pedagang Damaskus yang usang tinggal di Mekah melihatku. Ia berjulukan Abu Arab. Ia mempunyai tempat berdagang di sana sebelum ekspansi Al-Haram. Ia pun memanggilku ke tempat berdagangnya ketika melihatku berpenampilan dan berpakaian ala negeri Syam. Ia menanyakan kepadaku wacana negeri Syam dan penduduknya. Aku balik bertanya kepadanya – ia yaitu seorang saudagar dari kota Damaskus, Syam – alasannya yaitu saya benar-benar menginginkan buku itu, yakni wacana syaikh dari Bukhara tersebut! Ia menyampaikan kepadaku bahwa menantu Syaikh itu yaitu suami dari anak perempuannya, yang ada di kios depan itu. Ia orang yang paling tahu tentangnya. Demi Allah, saya hampir-hampir tak mempercayainya hal itu alasannya yaitu saking senang dan gembiranya.
Aku segera pergi menemui si menantu Syaikh itu, kemudian bertanya kepadanya wacana sang Syaikh. Ia merasa heran, dan balik bertanya kepadaku, “Apa yang membuatmu bertanya wacana dia dan hendak menemuinya?” Kujawab, “Lebih dari seminggu ini, saya terus mencari sang Syaikh. Tunjukkanlah kepadaku di mana beliau, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Ia menawarkan kepadaku rumah sang Syaikh yang berada di kompleks perumahan Al-Misfalah, di samping Qahwas Saqifah. Aku segera pergi menemui sang Syaikh berkali-kali, baik siang maupun malam, hingga saya sanggup bertemu dengannya. Akhirnya, ia rela menjual buku tersebut kepadaku sesuai harga yang ia pilih dan ia inginkan. Bagiku, itu merupakan salah satu kebahagiaan sepanjang hidupku.
Allah telah memberiku nikmat, sehingga saya sanggup menerbitkan juz pertama dari buku tersebut disertai revisinya. Aku memohon kepada Allah semoga tetap memberiku nikmat, sehingga saya sanggup menerbitkan sisanya dengan karunia dan kemuliaan-Nya.
Aku tutup pembahasan ini dengan menampilkan dua dongeng secara komplit. Mayoritas pembahasan sebelumnya, telah tercakup dalam dua dongeng ini. Oleh alasannya yaitu itu, saya mencantukannya di simpulan lembaran-lembaran buku ini, alasannya yaitu kedua dongeng tersebut telah masuk dalam secara umum dikuasai pembahasan sebelumnya.

referensi: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Cetakan:1: 2008

Related : Kisah Unik Mencari Buku Kuno (The Real Book Lover)

0 Komentar untuk "Kisah Unik Mencari Buku Kuno (The Real Book Lover)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)