Al-Farabi saat menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), memakai pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia beropini bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai alasannya pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya mempunyai dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud yaitu wujudnya dihentikan tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya yaitu sama dan satu. Ia yaitu Wujud yang tepat selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilan lantaran Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan bermetamorfosis Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, tidak mungkin terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) lantaran rentetan alasannya akhir itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.[15]
Filsafat ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud yaitu agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi yaitu insan mirip insan lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh insan lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi yaitu utusan Allah yang mengemban kiprah keagamaan. Nabi yaitu utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh alasannya itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah yaitu wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) berdasarkan kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan kecerdikan fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia yaitu seorang tokoh yahudi yang menciptakan karya-karya ihwal keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sesungguhnya tidak diharapkan insan lantaran Tuhan telah mengaruniakan insan kecerdikan tanpa terkecuali. Akal insan sanggup mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan sanggup pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, mendapatkan suruhan dan larangan-Nya. Kedua, anutan agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam kisah khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang sanggup mendapatkan kerikil bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan duduk perkara yang luar biasa. Orang yang non-Arab terperinci saja heran dengan balaghah al-Qur’an, lantaran mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad yaitu Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih mempunyai kegunaan membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.[16]
Pendapat yang telah diungkapkannya yaitu pendapat yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam anutan Islam, al-Qur’an yaitu Wahyu Ilahi yang merupakan sumber ide yang benar, sanggup diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi yaitu utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi berdasarkan al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang berpengaruh dan saat bekerjasama dengan Akal Fa’al sanggup mendapatkan visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain yaitu limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi yaitu Jibril. Sementara itu, filosof sanggup berkomunikasi dengan Allah melalui kecerdikan perolehan yang telah terlatih dan berpengaruh daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat aneh murni dari Akal kesepuluh.”[17]
Pendapat al-Farabi di atas memperlihatkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi kalau hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, lantaran antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari aturan alam lantaran sumber aturan alam dan mukjizat sama-sama berasal dari kecerdikan Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk bekerjasama dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya lantaran pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah kisah dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya pribadi dari Allah, melalui mediator Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh insan lainnya. Ada sebagian insan yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa bekerjasama dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya saat tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, insan yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa bekerjasama dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Penjelasan di atas yaitu sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof yaitu dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, lantaran keduanya sanggup bekerjasama dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diharapkan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.[18]
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A. Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof lantaran pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, alasannya selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka ihwal cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi sanggup naik ke alam atas melalui pikiran, lantaran ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, kawasan mendapatkan perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi sanggup bekerjasama dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan berdasarkan Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan sanggup bekerjasama dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak gampang diperoleh, alasannya setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sesungguhnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan diam-diam tertentu. Boleh jadi berdasarkan pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari semenjak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas menyampaikan demikian.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi sanggup terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk insan biasa kadang terdengar oleh Nabi mirip suara lonceng.
Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia menciptakan sebuah kesimpulan bahwa Nabi yaitu seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.
Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan menciptakan karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam duduk perkara filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi beropini bahwa insan yaitu makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan insan tidak bisa memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa pemberian atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memperlihatkan kepada insan akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di alam abadi nanti.[19] Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
i. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat tepat yaitu masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri insan unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[20] Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat tepat besar (gabungan banyak bangsa yang setuju untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat tepat sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat tepat kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota).[21]
ii. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum tepat yaitu masyarakat yang kehidupannya kecil mirip masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan yaitu keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang tepat (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan mirip satu anggota badan insan yang lengkap. Jika salah satu organ badan sakit, maka badan yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini yaitu fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam badan manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini yaitu fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam badan manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan mempunyai kecerdikan mustafad yang sanggup berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.[22]
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan talenta dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing mempunyai talenta dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya hingga golongan terendah.[23]
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat imajinasi semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum hingga pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya yaitu semoga insan hidup dalam satu pemerintahan sanggup mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia. [24]
Al-Farbi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara yaitu Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang mempunyai sifat-sifat yang bersahabat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat.[25]
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat lantaran pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang jelek yaitu menyerupai orang yang sakit lantaran kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang jelek tersebut banyak macamnya, contohnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi memperlihatkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan kawasan tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melaksanakan impian masing-masing.[26]
Dari pembahasan tersebut, sanggup disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya menunjukan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan mirip al-Ghazali.terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam lainnya.
Referensi:
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t
A Qadir, C. Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991
Al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan Jakarta : Bulan Bintang, 1966, Jilid I
Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005
Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta : Paramadina, 2000
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam Jakarta : Bulan Bintang,1984
Madkur, Ibrahim, Fi Falsafat al-Islamiyah wa Manhaj wa Tatbiquh, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
0 Komentar untuk "Mengenal Anutan Al-Farabi"