Perjuangan Pangeran Sambernyawa


   Agar supaya kita sanggup mengerti dan memberi nilai yang sewajarnya  kepada usaha Pan Perjuangan Pangeran Sambernyawa

Peranan dan Politik VOC
Agar supaya kita sanggup mengerti dan memberi nilai yang sewajarnya kepada usaha Pangeran Sambernyawa, sebaiknya kita mengerti terlebih dahulu sistem politik VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie ) ialah Perserikatan Dagang Bangsa Belanda yang beroperasi di Indonesia dalam masa ke 17 Masehi, hingga selesai masa ke 18.Bangsa Indonesia menyebut VOC itu dengan nama Kompeni Belanda atau “ Kompeni “ saja.

Adapun sistem politik Kompeni di Indonesia ( Jawa ) sanggup dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu : Memperkenalkan diri, menghormat dan menghaturkan benda-benda berharga sebagai tanda hormat dan terima kasih kepada yang memegang kekuasaan : Jaman Sunan Amangkurat I di Mataram th. 1645 – 1677 Masehi.

Mencampuri urusan dalam negeri : jaman pemberontakan Trunojoyo th. 1676 – 1681 Masehi.
Mempraktekkan politik “ Memecah belah “ dan memperoleh monopoli perdagangan : Jaman Sunan Amangkurat II th. 1681 – 1703 Masehi.

Menguasai tanah Jawa bertahap : mulai wafatnya Sunan Amangkurat I hingga rebutan Keraton yang pertama ( th. 1704 – 1708 M ) dan perang rebutan Keraton yang kedua ( th. 1719 – 1723 M )

Menguasi tanah Jawa hampir penuh : Jaman Sunan Pakubuwono II samapi masa pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua, th. 1755 dan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran th. 1757 M.
Dalam tingkatan yang kelima tsb, maka semua kerajaan Nasional di Jawa sudah runtuh, daerah-daerahnya menjadi milik kompeni Belanda, dan raja-rajanya menjadi raja-raja peminjam atau Vazal-vazal kompeni Belanda belaka.

Dalam tingkatan kelima itu pula bertahtalah seorang raja setengah Vazal di kerajaan Mataram yang beribu kota Kartasura. Raja ini ialah pilihan kompeni Belanda atas dasar sifat-sifat lemahnya sang raja, yaitu Susuhunan Pakubuwono II bertahta pada th. 1727 – 1749 masehi.
Dalam pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II ini muncullah 2 tokoh nasional yang gagah berani, berpengaruh dan giat lahir batinnya, bisa menggerakkan seluruh tanah Jawa dan Banten hingga Madura dan menciptakan pusing kepala kompeni Belanda selma 10 tahun, terus menerus , dua orang tokoh itu ialah :

Pangeran Mangkubumi, Putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura, yang akhirnya menjadi Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta.
Pengeran Mangkunegara, Sambernyawa, cucu Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura.


Nasib jelek dimasa kecil Pangeran Sambernyawa
Pangeran Sambernyawa itu nama kecilnya R.M Sahid, putera Pangeran Mangkunegara Kendang. Ibunya berjulukan R. Ay. Wulan, puteri Pangeran Blitar.
Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Belio ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Belio dilahirkan dari seorang garwa-selir Amangkurat IV berjulukan R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo yang disebut R. Ay, Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wanagiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura belio disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh lantaran belio dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, hingga wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imagiri, Yogyakarta.

R.M Sahid lahir pada tanggal, 7 April 1726 di Kartasura. Nama Sahid itu pemberian dari neneknda Amangkurat IV, beberapa waktu sebelum wafat. Maksud pemberian nama Sahid itu ialah bahwa Sri Sunan masih menyaksikan lahirnyacucunda yang terakhir dalam masa hidupnya.
Dimasa kecilnya R. Sahid mengalami penderitaan hidup yang sangat berat. Ketika berusia 3 tahun, belio kehilangnya ibunya, lantaran pulang kerahmatullah. Tahun berikutnya belio ditinggalkan oleh ayahnya, lantaran sang ayah atas perintah Pakubuwuno II di Kartasura disingkirkan dari ibu kota kerajaan Mataram ke Betawi, dan 3 tahun kemudian “ Dikendangkan “ ke Kaaspstad seumur hidup. R.M Sahid dan beberapa adinya dibawa ke Keraton sebagai anak piatu, dan menerima pendidikan, perlakuan dan pengalaman yang kesannya menyudutkan belio kepada : prihatin dan sakit hati.

Setelah ia mencapai usia remaja, diangkat sebagai pegawai keraton dengan pangkat Mantri Gandek Anom dengan sebutan dan nama R.M Suryakusuma dan diberi “ Gaduhan “ ( hak pakai ) sawah di Ngawen seluasa 50 jung ( =200 pundak ). Dua orang adiknya berjulukan R.M Ambiya dan R.M Sabar juga diangkat menjadi Mantri Gandek Anom berturut-turut dengan gelar dan nama : R.M Martakusuma dan R.M Wiryakusuma, masing-masing diberi gaduhan tanah seluas 100 bahu.


Mulai berjuang
Dengan meningkatnya usia dan kesadarannya, maka R.M suryakusuma ( Sahid ) mencicipi nasibnya yang jelek menjadi berat. Perlakuan tidak adil dan adikara yang dikenakan kepada ayahnya ( almarhum Pangeran Mangkunagara Kendang ) menggigit jantung cowok R.M Suryakusuma. Akhirnya belio mengambil keputusan : mau berontak, menentang pemerintahan Pakubuwono II, untuk merebut potongan dari kerajaan Mataram bagi diri pribadi. Beliau mengambil dua orang pembantu utama yang merupakan pundak kiri dan kanannya, ialah : Wiradiwangsa, pamannya sendiri berassal dari Laroh. Sutawijaya, anak almarhum Tumenggung Wirasuta yang tidak sanggup mengganti kedudukan ayahnya, tetapi mendapatkan banyak uang dan harta benda peninggalan ayahnya.

Pemuda-pemuda Kartasura yang menggabungkan diri pada gerakan R.M Sahid, mula-mula ada 18 orang. Atas nasehat ki Wiradiwangsa, maka R.M Sahid beserta pembantu-pembantunya dan pemudapemuda pengikutnya berpindah ke Tanah Laroh, yaitu asal leluhur R.M sahid dari pihak neneknya berjulukan R. Ayu Sumanarsa. Disini belio menerima simpati dari pihak rakyat sehingga dalam waktu yang tidak usang belio memiliki pengikut banyak sekali. Segera diadakan peraturan secara organisasi usaha yang bai dan praktis, demikian : R.M Sahid menjadi pemimpin utama, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi pepatihnya, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan R.M Sutawijaya menjadi pemimpin pasukan tempur, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Rangga Panambangan.

Pemuda-pemuda berasal dari Kartasura yang semula 18 orang banyaknya, kemudian bertambah menjadi 24 orang, merupakan barisan inti, disebut “ Punggawa “. Namanya digantisemua menjadi nama dengan permulaan : “ Jaya “ contohnya Jaya Panantang, Jaya Pamenang, Jaya Prawira dsb. “ Jaya “ artiny = sakti atau menang.

Tiap hari diadakan latihan perang, cara menyerang, menangkis dan membela diri. Tiap malam diadakan majemuk latihan rohani contohnya : Menyepi ditempat-tempat yang gawat dan keramat, bertirakat, bertarak brata, mohon kepada Tuhan semoga tercapai cita-citanya : ada pula yang merendam diri di sendang atau di dalam lubuk yang angker. Para pengikut R.M Sahid itu semua juga digembleng jiwa dan semangatnya dengan diberi wejangan-wejangan oleh para kyai antara lain oleh kyai Nuriman, modin di Laroh. Dengan demikian para pengikut R.M Sahid dalam waktu beberapa bulan saja sudah merupakan pasukan tempur yang digembleng jiwa raganya, sedang jumlahnya tidak sedikit. Mereka semua bersemangat tinggi, ingin selekas mungkin diajukan ke medan pertempuran. Dan kesempatan yang dinanti-natikan mereka itu segera tiba juga, ialah dengan adanya : Geger Pacina.


Geger Pacina
Pada bulan juli 1742 M terjadilah kejadian “ geger Pacina “ dikaraton Kartasura. Dalam waktu satu malam saja istana Kartasura sudah sanggup direbut oleh pasukan Cina-Jawa dibawh pimpinan R.M Garendi, cucu Sunan Amangkurat Mas III yang telah diasingkan oleh kompeni Belanda ke pulai Sailan pada tahun 1708 M. R.M Garendi tersebut oleh para pengikutnya diangkat sebagai raja Mataram yang syah, dengan gelar dan nama Sunan Amangkurat IV.

Sunan Pakubuwono melarikan diri, mengungsi ke Ponorogo. Dari sini ia minta dukungan kompeni di Jakarta. Bala dukungan segera tiba dari Madura dibawah pimpinan P. Cakraningrat IV. Dalam bulan Desember 1742 Sunan Kuning, demikian nama julukan Sunan Amangkurat V, beserta semua pengikutnya diusir dari keraton Kartasura, kemudian berpindah ke desa Randulawang, tempat Mataram.


Bergabung dengan Sunan Kuning.
RM. Said dengan seluruh pasukannya bergabung dengan Sunan Kuning untuk mempraktekkan kecakapannya berperang bahkan diangkat menjadi panglima tentara Sunan Kuning bahkan diberi gelar Panglima Prang Wadana (April 1743). mso-ansi-language:PT-BR">Kala itu usia ia 17 tahun.

Pada sat Sunan Kuning dikecar tentara Kompeni dan terpaksa bergeser kedaerah Keduang – Ponorogo – Madiun – Caruban. R.Said mengikuti perjalanan Sunan Kuning kemudian berpisah di Caruban kemudian Sunan Kuning bergerak ke Jawa Timur bergabung dengan keturunan Untung Suropati namun tak usang kemudian mengalah pada Kompeni dan berakhirlah geger pacinan tersebut.


Adapun P. Prang Wardana ternyata memiliki harapan lain dari Caruban ia menuju ke barat menuju tempat Sukowati dimana oleh masyarakat setempat dia diangkat sebagai pimpinan dengan gelar Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Senopati Ing Ngalogo Sudibianing Prang. Lalu bergerak terus ke Panambangan melalui Jati Rata, Mateseh dan Segawe. Namun disini ia tidak berpengaruh menghadapi serangan pasukan P. Mangkubumi atas perintah Paku Buwono II yang telah bertahta di Kartasura.

Dalam tebang giyanti (Pujangga Yasadipura I), ketika RM. Sahid menobatkan diri sebagai raja Jawa dengan gelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat, serta duduk disinggasana dan dihadapan bala tentaranya tersambar petir dan terkena dampar tahtanya hingga remuk ia jatuh pingsan diatas lantai namun tidak wafat hal ini tidak masuk logika jikalau ada seorang duduk diatas dingklik kemudian disambar petir seharusnya ia pun ikut hancur. Dalam kejadian tersebut Kyai Tumenggung Kuda Nawarsa segera menolongnya dan mengatakan mengapa ini bisa terjadi, yaitu : kesombongan ia atas pemberian gelar raja Jawa yang bahwasanya belum selayaknya disandang dengan kenyataan inilah dia berganti gelar Pangeran Arya Mangkunegoro (1746).

Kejadian tersebut disusul dengan kejadian dimana markas besarnya di Panembangan diserbu dan diduduki Kompeni yang dipimpin Mayor Van Hohendorff serta patih Pringgolaya dari Paku Buwono II bahkan begeser ke Ngepringan – Pideksa – Tirtamaya – Keduang - Girimarta – Nggabayan – Druju – Matesih – hingga hingga didesa padepokan Samakaton bahkan waktu di tempat Ngepringan sang pangeran hampir terbunuh bahkan sempat berpisah dari keluarga dan pasukannya mendaki bukit dan turun gunung bersama Kyai Kuda Nawarsa dan Kyai Surawijaya. Di Pedepokan Samakaton tinggal 2 pertapa abang beradik namanya Ki Ajar Adisana dan Ki Ajar Adirasa. Beliau mencar ilmu pada keduanya dan diberi wejangan yang pada dasarnya :

Kyai guru tersebut menunjuk kesalahan Pangeran Mangkubumi atas kesombongannya
Kedua ia menerima eksekusi dai Ilahi
Beliau harus bertobat secara mendalam
Beliau hendaknya mencontoh Panembahan Senopati Ing Ngelogo Mataram dan pada Pamannya Pangeran Mangkubumi
Beliau diuji menjalankan laris – dan bertapa selam 7 hari-malam tanpa makan dan minum seorang diri di Gunung Mangadeg.
Menurut Babat Giyanti dalam pertapaannya terjadi sesuatu keajaiban yaitu menerima pusaka secara mistik berupa satu tombak vaandel yang berjulukan Kyai Buda dan satu kerangka tambur berjulukan Kyai Slamet yang mengatakan simbol kejayaan.

Dibagian lain Pujangga Yasadipura I memaknakan fenomena di Samakaton ini dengan mengkiaskan maksud pendidikan moral – mental yaitu :
1. satu Samakaton 2. Adisana 3. Adirasa 4. Mangadeg 5. Vaandel(tombak) 6. Kerangka tambur, artinya ialah :
Samakaton artinya kesemua hal sanggup terlihat apabila insan mau tiba menyepi ditempat yang indah, yaitu
Adisana artinya tempat yang indah, apabila insan berani laris menyepi di tempat yang indah itu akan mendapatkan rasa ynag indah pula yang akhirnya menyebabkan kemurnian dihati nuraninya

3. Adirasa artinya rasa yang indah.
Dalam hal 1, 2, 3 tersebut diatas kenyataannya apabila insan sanggup bangun (mangadeg – mendirikan Imannya) kepada Yang Maha Kuasa menyerupai tegaknya vaandel tersebut.
Tombak atau Vaandel simbol kejayaan apabila ditambahkan dengan rasa suci, sunyi, kosong, kang Hamengku Hana (ada) yang dinisbatkan dengan :
Kerangka tambur diguning Mangadeg tersebut.
Setelah mendapatkan ilafat baik tersebut ia menuju ke markas besar pamannya (Pangeran Mangkubumi dai Jekawal – Sragen Utara ) untuk menggabungkan diri dan memohon proteksi pamannya walaupun dalam perjalannya menemui banyak kesukaran lantaran ada pengumuman dari kompeni yang apabila sanggup menangkapnya hidup atau mati akan menerima hadiah pangkat dan uang. Dikisahkan dalam pertemuan dengan pamannya tersebut ia diterima baik oleh pamannya bahkan diberikan dukungan seperangkat senjata dan prajurit untuk kembali kemarkasnya di tempat Gumantar.

Pangeran mangkubumi ialah adik Paku Buwana II yang berlainan ibu yang pada ketika itu memenuhi usul Paku Buwono II untuk membasmi peberontakan RM. Sahid dan Martapura. Untuk sementara Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan walaupun harus meloloskan RM. Sahid. Hal ini menimbullkan konflik dari dalam dimana PB II yang tadinya menjanjikan tanah Sukowati bagi yang sanggup menangkap RM. Sahid akhirnya mengingkari janjinya lantaran kelicikan Patihnya sendiri yaitu Pringgolaya. Dikarenakan lantaran ini Mangkubumi pada 19 Mei 1746 meninggalkan karaton Surakarta dan memberontak yang pada akhirnya mendirikan kerajaan diYogykarta dan menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Demikian riwayat singkat Rm. Sahid yang kemudian dikenal dengan nama Adipati mangkunegoro I atau Pangeran Samber Nyawa ia memegang tampuk pimpinan Kadipaten Mangkunegaran mulai tahun 1757 hingga wafatnya 1795 jenasahnya dimakamkan di Mangadeg dan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran ini diperingati dengan sangkalan : MULAT SARIRA NGRASA WANI = berarti tahun Jawa 1682, bersamaan dengan tahun Masehi 1757. Nama julukan Pangeran Adipati Mangkunegara I ialah Sambernyawa. Nama yang terakhir ini ialah nama Pedang pusaka Mangkunagaran, yang sangat ampuh dan tajam, sempurna sekali untuk menyambar nyawa musuh.

Sumber: karatonsurakarta.com

Related : Perjuangan Pangeran Sambernyawa

0 Komentar untuk "Perjuangan Pangeran Sambernyawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)