Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau mencakup Sumatera Barat, bab barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bab barat Jambi (Kerinci, Bungo), bab utara Bengkulu (Mukomuko), bab barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), sampai Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian semenjak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada final kurun ke-18, susila dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta susila masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi sesudah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan susila budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato susila mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan kurun ke-19, teladan pendidikan dan pengembangan insan di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga semenjak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau mempunyai masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain berguru mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian semenjak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada final kurun ke-18, susila dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta susila masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi sesudah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan susila budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato susila mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan kurun ke-19, teladan pendidikan dan pengembangan insan di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga semenjak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau mempunyai masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain berguru mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan bebuyutan dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan berdasarkan hukum Islam.
Harta pusaka tinggi yaitu harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum mempunyai hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.
Harta pusaka tinggi dilarang diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya sanggup dilakukan sesudah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi sanggup juga di gadaikan kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi alasannya yaitu empat hal:
- Gadih gadang indak balaki (perawan renta yang belum bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
- Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus mayat yang harus segera dikuburkan.
- Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
- Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Referensi : Wikipedia
0 Komentar untuk "Potret Nusantara, Sejarah Budaya Minangkabau"