Sejarah Kalender Jawa 1 Suro



Masyarakat Jawa pada masa sebelum pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo itu menggunakan kalender Saka Hindu Jawa yang tidak mengenal istilah tahun gres 1 Suro.

Sultan Agung memerintahkan untuk merubah penggunaan sistem kalender dari semula sistem kalender Saka menjadi sistem gres yang mengacu dan mengadopsi sistem kalender Hijriyah dengan beberapa pembiasaan dan modifikasi tertentu.

Penyesuaian dan modifikasi tersebut antara lain yaitu di pinjaman nama bulan. Pada sistem kalender Saka Hindu Jawa nama bulan yang menggunakan nama dari bahasa Sansekerta dirubah dengan nama yang menyerupai dengan nama bulan di sistem kalender Hijriyah atau mengambil sesuatu kejadian yang menonjol terjadi pada dikala bulan tersebut.

Nama bulan pada sistem kalender gres itu, yaitu : Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Selo atau Dulkangidah, Besar atau Dulkijah.

Nama-nama bulan tersebut menyerupai dengan nama bulan di kalender Hijriyah, yaitu : Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadhan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.

Lalu jikalau tahun gres yang pada kalender Saka Hindu Jawa bersamaan dengan dikala hari raya Nyepi yang sekitar bulan Maret pada kalender Masehi, maka di sistem kalender gres tersebut yaitu tanggal 1 Suro, ditepatkan dengan tahun gres di sistem kalender Hijriyah yaitu tanggal 1 Muharram.

Perubahan sistem kalender itu dilakukan oleh Sultan Agung pada hari Jumat Legi yang pada dikala pergantian tahun gres Saka 1555 ketika itu bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Namun, pada pergantian sistem kalender itu tidak mengganti penamaan tahunnya mengikuti tahun Hijriyah, namun tetap meneruskan penamaan tahun Saka Hindu Jawa. Sehingga tahun pertama di sistem kalender gres tersebut menggunakan nama tahun 1555 Jawa.
Tradisi Peringatan 1 Suro

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang sempurna untuk melaksanakan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa dipakai masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi yaitu dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Lelaku malam 1 Suro, sempurna pada pukul 24.00 dikala pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai sentra kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan binatang kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya yaitu para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, lalu diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya menyerupai Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melaksanakan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara menyerupai halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut ajaran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun gres Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya insan harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti insan juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya sanggup dipahami jikalau lalu masyarakat Jawa pantang melaksanakan hajatan ijab kabul selama bulan Suro. Pesta ijab kabul yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.

Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diharapkan biar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam dikala pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang dipakai untuk introspeksi, pasti makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.

sumber :
http://sosbud.kompasiana.com dan mendapat suplemen dari sumber lain

Related : Sejarah Kalender Jawa 1 Suro

0 Komentar untuk "Sejarah Kalender Jawa 1 Suro"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)