Soekarno Dan Anjingnya

Sukarno pernah memelihara anjing. Kisahnya ia jadikan tamsil dalam tulisannya perihal Islam.
UNTUK edisi Maulid April 1940, redaksi Pandji Islam meminta Sukarno menulis artikel perihal Maulid Nabi Muhammad Saw. Dia memenuhi seruan itu dan menulis artikel berjudul “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara.”
Sukarno membuka dan menutup tulisannya dengan tamsil yang mengejutkan:
Pada suatu hari, anjingnya menjilat air di panci bersahabat sumur. Anak angkatnya, Ratna Djuami berteriak, “Papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Sukarno menjawab, “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”
Ratna melamun sebentar, lalu ia bertanya, “Tidakkah Nabi bersabda bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?”
Sukarno menjelaskan, “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak sanggup memerintahkan orang menggunakan sabun dan kreolin.”
Ketika menjalani pembuangan di Bengkulu, Sukarno mempunyai dua ekor anjing jenis Dachshund pemberian seorang perjaka Belanda, Jimmy, anak Residen Bengkulu. Anjing tersebut sebagai tanda terimakasih atas privat bahasa Jawa yang diberikan Sukarno.
“Ah, saya benar-benar sayang pada anjing-anjing itu. Mereka tidur di kamarku. Aku memanggil mereka dengan mengetuk-ngetukkan lidahku. ‘Tuktuktuk’ dan alasannya saya tidak memberinya nama, mereka dikenal sebagai Ketuk Satu dan Ketuk Dua,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Ketika kecil, Sukarno juga merawat dan tidur bersama anjingnya. “…aku tidur dengan Kiar, blasteran fox terrier dengan sejenis anjing Indonesia –aku tidak tahu persis jenisnya,” kata Sukarno masih dalam otobiografinya. “Penganut agama Islam umumnya tidak menyukai anjing, tetapi saya mengaguminya.”
Tidak hanya itu, Sukarno juga dengan berani mengakibatkan dongeng anjingnya “Ketuk yang menjilat air di panci” sebagai perumpamaan dalam tulisannya untuk menawarkan bahwa “Islam is progress, Islam itu kemajuan; dan kemajuan tersebut menghasilkan ciptaan baru.”
Sebagai masyarakat yang terus berubah, Sukarno menekankan bahwa “kini bukan masyarakat onta tetapi masayarakat kapal udara.” Sukarno juga mengecam orang-orang yang berislam dengan cara menonjolkan penampilan, menyerupai berjubah dan menggenggam tasbih, tetapi royal mengkafirkan pengetahuan dan inovasi dari Barat. Ini yang dimaksud oleh Sukarno sebagai “mengambil debu dan bukan apinya Islam.”
Tulisan Sukarno tersebut, berdasarkan Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, salah satu di antara artikel-artikel Sukarno yang dimaksudkan sebagai suatu upaya menuju modernisasi Islam di Indonesia. Artikel yang menawarkan “interpretasi-interpretasi yang merdeka” tersebut terang saja mendapat penentangan, salah satunya dari Mohammad Natsir.
Bagi ulama muda yang dikagumi Sukarno alasannya pengetahuannya itu, tamsil yang sepertinya polos itu, membuka peluang untuk menawarkan ancaman yang terkandung dalam cara berpikir "merdeka" dalam agama. Natsir tidak menyangkal manfaat berpikir yang bebas dari tradisi. Dia mengakui bahwa dengan berpikir merdeka, akidah sanggup diperkukuh dan banyak tahayul yang menempel belakangan pada agama sanggup dihilangkan. Tetapi, “akal merdeka zonder (tanpa) disiplin mengakibatkan chaos yang centang perenang –vrijheid zonder gezag is anarchie (kemerdekaan tanpa otoritas ialah anarki).”

referensi: historia

Related : Soekarno Dan Anjingnya

0 Komentar untuk "Soekarno Dan Anjingnya"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)