Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah mempunyai perilaku spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut keyakinan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebetulnya adalah: masyarakat Jawa ketika itu telah mempunyai keyakinan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh cita-cita supaya menerima perlindungan, dan juga berharap supaya tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep gres wacana kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang bangun memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai tuhan atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, sebab raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi pribadi dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laris spiritual khusus menyerupai semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa efek besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja ialah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut mengakibatkan beralihnya agama masyarakat sebab beralihnya agama raja, disamping tugas aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat gaib (mysticism) sanggup sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga sebab tugas sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada banyak sekali latihan spiritual, menyerupai dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya sanggup dicapai dengan laris (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menimbulkan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di sini ngelmu lebih bersahabat dengan aliran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu batin, sebab dijalani dengan mujahadah / laris spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laris spiritual yang sering dilakukan ialah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).
Referensi : Babad tanah Jawa, Berbagai sumber
0 Komentar untuk "Spiritualitas Jawa"