Suluk Sunan Bonang Jilid 5, Hakikat Insan Dan Dewa Itu Berbeda



Dalam bait-bait yang telah dikutip sanggup kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan insan itu berbeda. Tetapi lantaran insan ialah citra Tuhan, maka pengetahuan diri; sanggup membawa seseorang mengenal Tuhannya. Pengetahuan diri di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sesungguhnya insan itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi sehabis mati? Pertama-tama, diri yang dimaksud penulis sufi ialah diri
ruhani bukan diri jasmani lantaran ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Quran, surat al-Baqarah, insan dicipta oleh Allah sebagai khalifah-Nya di atas bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya. Itulah hakikat kedudukan insan di muka bumi. Ketiga, perkara dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan Inna li Allah wa inna li Allahi rajiun (Dari Allah kembali ke Allah). 
Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya wacana tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana atau persatuan gaib dalam tasawuf tidak mengisyaratkan kesamaan insan dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.
Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang  dalam mengungkapkan anutan tasawuf dan pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf memakai baik simbol (tamsil) yang diambil dari budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya Islam universal yang dipakai ialah burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Kabah atau rumah Tuhan) berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan Pandawa (dari dongeng Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa insan dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada kesannya mencapai makrifat, yaitu mengenalTuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya. Tasawuf dan Pengetahuan Diri Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri.
 Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah
kecenderungan berpengaruh dari kalbu kepada Yang Satu, lantaran pengetahuan wacana hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu insan (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan penyucian diri, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr). Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu usaha batin untuk menyerah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani insan (diri jasmani). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah da mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati insan sehingga sanggup memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada kesannya sanggup menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melarih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi;). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat jelek yang sanggup memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah semenjak usang ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia masa ke-12 M. Dengan tafakkur,  maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7). Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah wahdat merujuk pada konsep sufi wacana martabat (tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara sedikit demi sedikit dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani hingga ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu saat Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah membuat esensi segala sesuatu (hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya).

Esensi segala sesuatu juga disebut bayangan pengetahuan Tuhan(suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, Aku ialah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu)
untuk dikenal, maka saya mencipta hingga Aku dikenal(Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu
Wahdat dalam suluk ini sanggup diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka'BAH:

secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil ialah serangkaian balasan Sunan Bonang terhadap pertanyaanpertanyaan Wujil wacana aka yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan karakter dan lain-lain. Secara berurutan balasan yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, mencakup pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin dipakai untuk menunjukan perkara ini; (2) Hakikat membisu dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan insan dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi
Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran wacana Mekkah Metafisisik yang merupakan sentra jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrokosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri insan yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam. Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, alasannya ialah dengan melaksanakan salat seseorang sesungguhnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12.

Related : Suluk Sunan Bonang Jilid 5, Hakikat Insan Dan Dewa Itu Berbeda

0 Komentar untuk "Suluk Sunan Bonang Jilid 5, Hakikat Insan Dan Dewa Itu Berbeda"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)