Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam SulukWujil yaitu cermin beserta pasangannya gambar atau bayangbayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa memakai tamsil cermin, contohnya Ibn `Arabi. Sufi kala ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menandakan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati insan supaya Dia sanggup melihat sebagian dari citra Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan anekaragam. Yang banyak di alam
kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di kawasan diam-diam erat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7). Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian ia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana ia menghilang? (bait 81). Melalui teladan tiba dan perginya bayangan dari cermin, Wujil sekarang tahu bahwa Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada Sang Guru membenarkan tanggapan sang murid. Lantas Sunan Bonang menandakan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan)
yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada ilahi selain Allah). Yang dinafikan yaitu selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan yaitu Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan spesialis tasawuf ke sentra renungan yang berjulukan Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi kala ke-12 M, contohnya berpandapat bahwa Kabah yang di Mekkah, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Kabah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai sentra perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain kala ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam sentra perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan kawasan pertemuan insan dengan Tuhan, dan juga bukan kawasan insan menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang mempunyai penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan kawasan sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati bahu-membahu merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan kawasan suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa simpulan (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan,Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melaksanakan perjalanan semenjak muda sehingga renta renta. Mereka tidak akan hingga ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan sanggup hingga di Mekkah dan malahan sehabis itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi diam-diam dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin,
serta mempunyai kehalusan akal pekerti dan menjauhi keseangan duniawi. Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jikalau orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jikalau melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak yaitu utara, sangat indah pemandangannya. Dan jikalau ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan menyerupai ekor
burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melaksanakan shalat di sana, maka Ka`bah sanggup menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga.
Wujil menjadi damai setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi ia tetap merasa gila dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang. Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahsia Yang Satu orang harus melaksanakan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melaksanakan kekearsan ragawi.
0 Komentar untuk "Suluk Sunan Bonang Jilid 7 ( Dimana Makkah Dan Esensi Cermin )"