Dewasa ini pembangunan di negeri ini berlangsung sangat intensif. Berbagai proyek perumahan, vila, real estate, perhotelan, taman, mall-mall, dan fasilitas-fasilitas yang lain semakin hari semakin meningkat. Tentunya dari pembangunan tersebut membutuhkan banyak sekali material materi bangunan ibarat bata, pasir, semen, besi, dan masih banyak lagi.
Salah satu material materi bangunan yang dipandang penting dan bersifat urgen yakni bata merah. Dahulu bata merah hanya diproduksi dengan cara tradisional oleh para petani bata. Biasanya perusahaan dikelola oleh perorangan dan terbatas pada skala lokal saja, alasannya yakni tak mungkin sanggup menjangkau skala regional atau skala nasional, mengingat biaya ongkos yang terlalu mahal dibandingkan dengan biaya produksi. Namun, semakin berkembangnya tahun, bata merah kini berubah menjadi menjadi bata press dan batako yang diproduksi oleh perusahaan skala besar.
Banyak banyak sekali project pembangunan disuplai dari perusahaan bata yang memiliki kapasitas bata sangat besar. Tentunya hal itu menjadi bahaya bagi para petani bata tradisional, mengingat eksistensi semakin tersaingi oleh perusahaan dengan skala besar. Kini petani bata tradisional hanya bisa mensuplai bata terbatas pada project-project skala kecil dari banyak sekali pembangunan rumah masyarakat.
Biaya Produksi Semakin Mahal
Sebenarnya kualitas bata tradisional lebih baik dan berpengaruh dibandingkan dengan bata modern yang diproduksi oleh perusahaan. Hal tersebut dikarenakan bahan-bahan yang dipakai untuk memproduksi bata tradisional sangat alami dan mengandalkan dari banyak sekali limbah pertanian. Bahan-bahan tersebut antara lain ibarat dedek (kulit padi), grejen (serpihan kayu), dan sinar matahari.
Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi ketika ini, banyak sekali materi pembuatan bata tradisional mengalami peningkatan harga yang signifikan. Dari situlah eksistensi petani bata tradisional semakin menurun tingkat produksinya, dan tersaingi oleh perusahaan bata skala besar. Selain itu, biaya tenaga kerja juga semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan biaya hidup di negeri ini yang semakin mahal sehingga mau tidak mau ongkos pegawai (karyawan) harus naik.
Bata tradisional yang lebih mengandalkan sinar matahari untuk mengeringkan bata basah, terkadang mengalami ketidakpastian. Mengingat di Indonesia beriklim tropis, yang mana dalam satu tahun terdapat demam isu penghujan dan demam isu kemarau. Saat demam isu kemarau tiba, pengeringan bata berlangsung sangat cepat, alasannya yakni ditopang oleh sinar matahari yang terus-menerus. Namun, sayangnya harga bata tradisional ketika demam isu kemarau malahan anjlok. Beda halnya ketika demam isu penghujan tiba, harga bata tradisional melambung tinggi alasannya yakni sedikit perusahaan bata yang berhasil produksi. Hal tersebut dikarenakan hujan yang berlangsung intensif, sehingga proses pengeringan berlangsung lambat.
Minim Generasi Penerus
Kini perusahaan bata masih dikelola oleh orang-orang lama, minim generasi penerus. Anak jaman kini lebih menentukan kerja instan dan ringan, mereka umumnya jarang yang mau bekerja di sawah, apalagi bekerja sebagai petani bata yang terkesan berat. Berbagai jenjang pendidikan, mereka tempuh untuk mencapai derajat yang setinggi-tingginya, dengan impian biar bisa bekerja di kantoran kelak. Namun, sayangnya persaingan tenaga kerja di negeri ini semakin ketat alasannya yakni setiap tahun banyak sekali Universitas selalu menghasilkan lulusan sarjana. Akibatnya tingkat pengangguran tak bisa dielakkan.
Sebenarnya lapangan pekerjaan tidak hanya terbatas pada industri dan kantor saja, melainkan di bidang pertanian masih terbuka lebar untuk meniti karir, ibarat berwirausaha sebagai petani bata tradisional yang memiliki prospek yang manis di masa yang akan datang. Sayangnya, sangat sedikit dari generasi penerus yang mau terjun di bidang wirausaha. Lalu bagaimanakah keberlanjutan pertanian bata tradisional dimasa yang akan datang? mungkin hanya zaman yang bisa menjawabnya.
0 Komentar untuk "Tantangan Petani Bata Tradisional Di Kala Globalisasi"