Sejarah Indonesia Xii Cuilan 1 Usaha Menghadapi Bahaya Disintegrasi Bangsa

Tahukah kalian bahwa setelah 40 tahun lamanya, gres pertama kali peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, diselenggarakan pada tahun 1948.

Awalnya, peringatan tersebut merupakan usulan Bung Karno semoga pemerintah menyelenggarakannya secara besar-besaran.

Untuk itu, diangkatlah Ki Hajar Dewantara sebagai ketua panitia peringatan. Mengapa peringatan ini dilaksanakan? Ki Hajar Dewantara menjawab hal tersebut, dengan mengatakan:

“Itulah sebenarnja maksud dan tudjuan Bung Karno, ketika ia mengandjurkan supaja hari 20 Mei tahun 1948 dirajakan setjara besar-besaran. Hari itu olehnja dianggap sebagai hari bangunnja rakjat, hari sadarnja serta bangkitnja rasa kebangsaan Indonesia, pada tahun 1908, empat puluh tahun sebelum itu adjakan Bung Karno tadi terbukti sangat ditaati oleh semua golongan rakjat. Mulai golongan-golongan jang berada di luar gerakan politik, hingga dengan partai, mulai jang paling kanan hingga jang paling kiri, ikut serta secara aktif, dan bahu-membahu merajakan hari 20 Mei tahun itu sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”, sebagai Hari Kesatuan Rakjat Indonesia”. (C.S.T. Kansil dan Julianto, 1998)

Jadi, makna peringatan Kebangkitan Nasional sebagaimana dimaksud Bung Karno di atas, ialah untuk memperkuat kesatuan bangsa, khususnya dalam menghadapi Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.

Apalagi di awal tahun itu muncul pula kelompok dengan garis usaha ideologi yang sanggup menghancurkan integrasi bangsa dan ideologi negara Indonesia.

Apalagi pada 1948, Muso gres kembali dari Moskwa dengan memperlihatkan doktrin “Jalan Baru” sebagai taktik usaha bangsa yang berbeda dari taktik yang dijalankan pemerintah Soekarno-Hatta. Ada tiga gagasan yang dikemukakan Muso.

Petama, membentuk Front Nasional untuk menghimpun kekuatan komunis dan nonkomunis di bawah pimpinan PKI. Kedua, mengubah PKI menjadi partai tunggal Marxis-Leninis, dan yang ketiga, menyesuaikan usaha PKI dengan garis usaha Komunis Internasional (Komintern).

Hal ini membuat korelasi antara antara PKI dengan kubu nasionalis (PNI dan Masyumi) kian meruncing.

Pertikaian ideologi yang tajam tersebut berakhir pada pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948.

Sebagai konsekuensi disepakatinya hasil negosiasi Renville, sebanyak 35.000 anggota Tentara Nasional Indonesia juga dipaksa untuk meninggalkan wilayah yang diklaim Belanda menuju kawasan Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta.

Tiga bulan setelahnya, Belanda melancarkan aksi militer dengan menduduki Ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

Presiden dan wakil presiden serta beberapa pejabat tinggi negara ditangkap dan diasingkan ke Bangka.

Meski demikian presiden masih sempat menyampaikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk menjadi ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat. Bahkan Soekarno juga memerintahkan kepada Soedarsono dan LN.

Palar untuk siap mengantisipasi bila suatu ketika terpaksa mendirikan pemerintahan pengasingan di India, meski hal ini karenanya tidak terjadi. Dengan kondisi kritis menyerupai itu maka Republik Indonesia sanggup digambarkan bagai “sebutir telur di ujung tanduk”.

Namun demikian Panglima Besar Soedirman sekeluarnya dari Yogyakarta, eksklusif memimpin pasukannya untuk meneruskan usaha melawan Belanda dengan melaksanakan perang gerilya.

Sementara Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa meneruskan planning pertahanan rakyat yang yang telah disusun oleh Panglima Besar Sudirman, dan dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1.

Salah satu pokoknya ialah menyusupkan pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal ke garis belakang musuh dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Dapat pula dikemukakan kiprah Sultan Hamengku Buwono IX yang telah menyampaikan dukungan fasilitas dan finansial untuk keberlangsungan berjalannya pemerintahan republik yang ditinggalkan para pemimpinnya tersebut.

Menurut Kahin, dua kekuatan inilah yang menjadi sumber perlawanan terhadap Belanda yang pada karenanya memaksa Belanda untuk mengakhiri perang menuju Konferensi Meja Bundar (KMB).

Kedua kekuatan yang digerakan oleh unsur sipil dan tentara yang melaksanakan gerilya menjadi amunisi yang ampuh bagi para diplomat kita yang terus berunding di lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Dengan taktik usaha tersebut di atas dengan menerima tekanan Internasional dan dari Amerika Serikat sendiri yang mengancam akan menghentikan sumbangan Marshall Plan, maka Belanda terpaksa menandatangani perjanjian KMB yang berisi “penyerahan kedaulatan” (souvereniteit overdracht).

Situasi dan kondisi usaha sebagaimana digambarkan di atas itulah yang menjadi makna nilai persatuan dari peringatan kebangkitan nasional ke-40 di tahun 1948, yang menggerakkan usaha bangsa Indonesia yang pantang mengalah dan pada karenanya sanggup mengakhiri upaya Belanda untuk kembali menjajah.

Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan duduk masalah main-main. Tak hanya merupakan masalah di masa lalu.

Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan mustahil terjadi.

Karena itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahayanya proses disintegrasi bangsa apabila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah memperlihatkan hal tersebut.

Alangkah hebatnya bangsa kita sebenarnya. Indonesia ialah negeri yang terdiri atas 17.500 pulau, lebih dari 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 6 agama resmi dan belum termasuk bermacam-macam aliran kepercayaan, serta 737 bahasa.

Kita harus bersyukur pada Tuhan YME, atas keberuntungan bangsa kita yang hingga kini tetap bersatu dalam keberagaman, meskipun banyak sekali masalah konflik dan pergolakan sempat berlangsung di masyarakat.

Hal ini contohnya sanggup dilihat dari potongan gambar info di atas.

Dalam sejarah republik ini, konflik dan pergolakan dalam skala yang lebih besar bahkan pernah terjadi. Bila sudah begitu, lantas siapa pihak yang paling dirugikan?

Tak lain ialah rakyat, bangsa kita sendiri. Karenanya, dalam bab berikut ini akan kau pelajari beberapa pergolakan besar yang pernah berlangsung di dalam negeri akhir ketegangan politik selama rentang tahun 1948–1965.

Tahun 1948 ditandai dengan pecahnya pemberontakan besar pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pemberontakan PKI di Madiun.

Sedangkan tahun 1965 merupakan tahun di mana berlangsung kejadian G30S/ PKI yang berusaha merebut kekuasaan dan mengganti ideologi Pancasila.

Mengapa penting hal ini kita kaji, tak lain semoga kita sanggup menarik hikmah dan peristiwa menyerupai itu tak terulang kembali pada masa kini.

Di sinilah pentingnya kita mempelajari sejarah. Sejarah pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia selama masa tahun 1948-1965 dalam pecahan ini akan dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan:

1. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi. 
Termasuk dalam kategori ini ialah pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan DI/TII, dan kejadian G30S/PKI.

Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme, sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama.

Perlu kalian ketahui bahwa berdasarkan Herbert Feith, seorang akademisi Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (terutama sanggup dilihat semenjak Pemilu 1955) terbagi dalam lima kelompok: nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi), komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis Indonesia/ PSI), dan tradisionalis Jawa (Partai Indonesia Raya/PIR, kelompok teosofis/ kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamong praja).

Pada masa itu kelompokkelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-masing.

2. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan (vested interest). 
Termasuk dalam kategori ini ialah pemberontakan APRA, RMS, dan Andi Aziz. Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok.

Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk laba sendiri.

Mereka juga enggan untuk melepas posisi atau kedudukan yang diperolehnya sehingga sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS, dan Andi Aziz, semuanya bekerjasama dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara

Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau mendapatkan kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi menyerupai ini, konflik pun terjadi.

3. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan. 
Termasuk dalam kategori ini ialah duduk masalah negara federal dan BFO (Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.

Masalah yang bekerjasama dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuk negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

RI menjadi pecahan RIS. Negara-negara federal lainnya contohnya ialah negara Pasundan, negara Madura, Negara Indonesia Timur. BFO sendiri ialah tubuh musyawarah negara-negara federal di luar RI yang dibuat oleh Belanda.

Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin usang tubuh ini makin bertindak netral, tidak lagi semata-mata memihak Belanda. Prokontra perihal negara-negara federal inilah yang kerap juga mengakibatkan pertentangan.

Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan perlawanan yang terjadi akhir adanya ketidakpuasan beberapa kawasan di wilayah Indonesia terhadap kebijakan pemerintahan pusat, yang dinilai tidak adil dan semakin condong ke kiri (komunis).

Sekarang mari kita bahassatu persatu konflik atau pergolakan yang terjadi di Indonesia pada 1948-1965, yang bekerjasama dengan ketiga hal tersebut.

1. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi. 
a) Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama yang didirikan setelah proklamasi.

Meski demikian, PKI bukanlah partai baru, lantaran sudah ada semenjak zaman pergerakan nasional sebelum dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akhir memberontak pada tahun 1926.

Sejak merdeka hingga awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah, yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri.

Hal ini terkait dengan Doktrin Dimitrov, yang menyatakan bahwa gerakan komunis harus bekerja sama dengan kapitalis dalam rangka menghadapi kekuatan fasis.

Namun ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan Februari 1948.

Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso.

Ia membawa info bahwa Doktrin Dimitrov telah diganti dengan Doktrin Zhdanov dimana komunis harus bekerja sama dengan golongan nasionalisprogresif untuk menghadapi golongan kapitalis borjuis.

Muso kemudian membawa PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18 September 1948 (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012).

Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, di mana mereka mempunyai impian ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.

Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI.

Partai ini kemudian mendorong dilakukannya banyak sekali demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatankekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam imbas mereka.

Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah dan membahayakan taktik diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih memperlihatkan keberpihakannya pada Uni Soviet yang komunis.

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan hingga mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak ofensif PKI Muso.

Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan Tentara Nasional Indonesia mulai meletus.

PKI kemudian memusatkan kekuatannya di Madiun. Pada tanggal 18 September 1948, Muso memproklamirkan Republik Soviet Indonesia

Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogjakarta:

“…Saudara-saudara! Camkan benar apa artinja itu: Negara Republik Indonesia jang kita tjintai, hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Sovyet, di bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh Pemerintahan Republik Indonesia.

…Saudara-saudara, camkanlah benar-benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara Republik Indonesia hendak direbut oleh PKI Muso! 

Rakjat jang kutjinta ! Atas nama perdjuangan untuk Indonesia Merdeka, saya berseru kepadamu: “Pada ketika jang begini genting, di mana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan jang sebesar-besarnja dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu ialah pilihan antara dua: ikut Muso dengan PKInja jang akan membawa bangkrutnja impian Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, jang Insya Allah dengan sumbangan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak didjadjah oleh negeri apa pun djuga. 

…Buruh jang djudjur, tani jang djudjur, perjaka jang djudjur, rakyat jang djudjur, djanganlah menyampaikan sumbangan kepada kaum pengatjau itu. Djangan tertarik siulan mereka! …Dengarlah, betapa djahatnja rentjana mereka itu! (Daud Sinyal, 1996).

Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai yang antikomunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban.

Tetapi pasukan pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak.

Puncaknya ialah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap. Ia karenanya dijatuhi eksekusi mati.

Tokoh-tokoh muda PKI menyerupai Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri.

Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya kejadian Gerakan 30 September 1965.

Ribuan orang tewas dan ditangkap pemerintah akhir pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil alih kekuasaan.

Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari kejadian pemberontakan PKI di Madiun ini bagi sejarah Indonesia kemudian?

Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat semenjak pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata “liar” berhasil didemobilisasi (dibubarkan).

Dari sisi usaha diplomasi,simpatiAS sebagai penengah dalam konflik dan negosiasi antara Indonesia dengan Belanda perlahan menjelma dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga sanggup dilepaskan dari taktik global AS dalam menghadapi ancaman komunisme.

Tetapi hal terpenting lain juga perlu dicatat. Bahwa konflik yang terjadi berdampak pula pada banyaknya korban yang timbul.

Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak dalam kejadian ini juga dimanfaatkan oleh Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk kemudian melancarkan aksi militernya yang kedua pada Desember 1948

b) Pemberontakan DI/TII 
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo.

Ia dulu ialah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perjanjian Renville membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan impian lamanya untuk mendirikan negara Islam.

Salah satu keputusan Renville ialah pasukan RI dari daerah-daerah yang berada di dalam garis van Mook harus pindah ke kawasan yang dikuasai RI.

Divisi Siliwangi dipindahkan ke Jawa Tengah lantaran Jawa Barat dijadikan negara pecahan Pasundan oleh Belanda.

Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah imbas Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo.

Meski awalnya ia memimpin usaha melawan Belanda dalam rangka menunjang usaha RI, namun karenanya usaha tersebut beralih menjadi usaha untuk merealisasikan cita-citanya. Ia kemudian menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di Jawa Barat pada Agustus 1948.

Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TII.

Ini sama saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintah pun bersikap tegas.

Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya terlihat belum dilakukan secara terarah, namun semenjak 1959, pemerintah mulai melaksanakan operasi militer.

Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, di mana tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/ TII berada.

Tujuan taktik ini ialah untuk mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan.

Selain itu diadakan pula operasi tempur dengan target eksklusif basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962.

Ia kemudian dijatuhi eksekusi mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Di Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip, di mana akhir persetujuan Renville kawasan Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan Tentara Nasional Indonesia (Tentara Nasional Indonesia) dan abdnegara pemerintahan.

Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih.

Saat pasukan Tentara Nasional Indonesia kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda melaksanakan aksi militernya yang kedua, sesungguhnya telah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI.

Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di kawasan operasi Tegal dan Brebes.

Namun terjadi ketegangan lantaran banyak sekali duduk masalah antara pasukan Amir Fatah dengan Tentara Nasional Indonesia sering timbul kembali.

Amir Fatah pun semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo tiba menemuinya kemudian mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah.

Sejak itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka antara pasukan Amir Fatah dengan pasukan TNI. Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu lama.

Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir. Desember 1951, ia menyerah.

Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu.

Ia didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang semenjak didirikan memang berkeinginan membuat suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

Meski demikian, dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI pundak membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda.

Wilayah operasional AUI berada di kawasan Kebumen dan kawasan sekitar pantai selatan Jawa Tengah. Namun kolaborasi antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak melaksanakan demobilisasi AUI.

Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu. Pada selesai Juli 1950 Kyai Sumolangu melaksanakan pemberontakan.

Sesudah sebulan bertempur, tentara RI berhasil  menumpas pemberontakan ini. Ratusan pemberontak dinyatakan tewas dan sebagian besar berhasil ditawan.

Sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali.

Ribuan rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami kerusakan berat.

Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah.

Ini ialah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kolaborasi mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak lantaran DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah.

Cakupan wilayah gerakan Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI ialah Kudus, Klaten, hingga Surakarta.

Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.

Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letkol Kahar Muzakkar.

Pada tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akhir ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan.

Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.

Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta.

Setelah legalisasi kedaulatan tahun 1949 ia kemudian ditugaskan ke kawasan asalnya untuk membantu menuntaskan duduk masalah perihal Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana.

KGSS dibuat sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi. Pemerintah ingin semoga kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan reorganisasi tentara kembali.

Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan.

Namun anggota KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, semoga gampang menuntaskan persoalan.

Namun Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya semoga KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta semoga seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin.

Tuntutan ini eksklusif ditolak lantaran pemerintah berkebijakan hanya akan mendapatkan anggota KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi.

Kahar Muzakkar tidak mendapatkan kebijakan ini dan menentukan berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya.

Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai pecahan dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo. Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu usang untuk menumpasnya.

Pemberontakan gres berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.

Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini ialah pemberontakan yang relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai kawasan yang luas dan pergerakan pasukan yang besar.

Meski begitu, pemberontakan berlangsung usang dan berlarut-larut hingga tahun 1963 ketika Ibnu Hajar, pemimpinnya, tertangkap.

Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya sanggup ditelusuri hingga tahun 1948 ketika Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh menjadi tentara yang kuat dan besar lengan berkuasa di wilayah tersebut.

Namun ketika penataan ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah sentra di Jawa, tidak sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa lantaran diantara mereka ada yang harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu.

Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya ialah lantaran diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk memberontak.

Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV ialah Letnan Dua Ibnu Hajar.

Dikenalsebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah.

Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian tenang coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun pecah.

Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar menentukan untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang memperlihatkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan.

Konflik dengan tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap menerima pengampunan.

Namun pengadilan militer menjatuhinya eksekusi mati.

Daerah pemberontakan DI/TII berikutnya ialah Aceh. Ada lantaran dan selesai yang berbeda antara pemberontakan di kawasan ini dengan daerah-daerah DI/TII lainnya.

Di Aceh, pemicu eksklusif pecahnya pemberontakan ialah ketika pada tahun 1950 pemerintah tetapkan wilayah Aceh sebagai pecahan dari propinsi Sumatera Utara.

Para ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik.

Mereka menuntut semoga Aceh mempunyai otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka tak dipenuhi.

Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini ialah Daud Beureuh. Pemerintah sentra kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan.

Wapres M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953) menyempatkan diri ke Aceh untuk menuntaskan duduk masalah ini, namun mengalami kegagalan.

Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melaksanakan kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai pecahan dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.

Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum karenanya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai kawasan istimewa pada tahun 1959.

Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah selesai. Ia menerima pengampunan.

c) Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)
Inilah kejadian yang hingga kini masih menyimpan kontroversi. Utamanya ialah yang bekerjasama dengan pertanyaan “Siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya?”

Setidaknya terdapat tujuh teori mengenai kejadian perebutan kekuasaan G30S tahun 1965 ini:

1) Gerakan 30 September merupakan Persoalan Internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini menyatakan bahwa G30S hanyalah kejadian yang timbul akhir adanya duduk masalah di kalangan AD sendiri. Hal ini contohnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letkol Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup bermewahmewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat menyerupai ini sesungguhnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

2) Dalang Gerakan 30 September ialah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Teori ini berasal antara lain dari goresan pena Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan imbas di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI semoga melaksanakan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan selesai skenario CIA ini ialah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.

3) Gerakan 30 September merupakan Pertemuan antara Kepentingan Inggris-AS.
Menurut teori ini G30S ialah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin perilaku konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia sanggup diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS semoga Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain

4) Soekarno ialah Dalang Gerakan 30 September.
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari perkiraan bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI bersahabat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia semenjak masa revolusi. Ia menyampaikan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

5) Tidak ada Pemeran Tunggal dan Skenario Besar dalam Peristiwa Gerakan 30 September (Teori Chaos).
Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, menyerupai yang disebut Soekarno: “unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.

6) Soeharto sebagai Dalang Gerakan 30 September
Pendapat yang menyatakan bahwa Soeharto ialah dalang Gerakan 30 September antara lain dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya, “Indonesian Tragedy”. Menurut Brian May terdapat kedekatan korelasi antara Letkol. Untung sebagai pemimpin Gerakan 30 September 1965 dengan Mayjen. Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kostrad.

7) Dalang Gerakan 30 September ialah PKI
Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI ialah penanggungjawab kejadian kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya ialah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar lainnya ialah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten.

Teori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai perebutan kekuasaan tanggal 30 September 1965.

Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai kejadian G30S, yang niscaya semenjak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia.

Ia juga menjadi kekuatan penengah di antara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam kontradiksi yang tidak terdamaikan ketika itu: AD dengan PKI. Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara.

Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga duduk masalah ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat korelasi Soekarno dengan PKI kian bersahabat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010).

Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah.

PKI pun semakin ulet melaksanakan mobilisasi massa untuk meningkatkan imbas dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain menyerupai NU dan PNI hingga ketika itu simpel telah dilumpuhkan (Feith, 1998).

Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya para menteri yang mempunyai pandangan politik berbeda dengan mereka.

Di bidang kebudayaan, ketika sekelompok cendekiawan anti-PKI memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI segera mengecam keras.

Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak hingga satu tahun usianya, Manikebu tidak boleh pemerintah. Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul sepertinya malah lebih pelik lagi lantaran bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal.

Hal ini sebagian merupakan akhir dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh acara di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi sepihak.

Aksi ini merupakan upaya mengambil alih tanah milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan berandal desa.

“Setan Desa”menurut versi PKI ini, berdasarkan Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).

Adegan-adegan protes pun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa.

Dalam aksi pengambilalihan tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam kontradiksi yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara.

Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung PNI.

Kondisi ini pada karenanya mengakibatkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan para santri NU.

Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini contohnya tergambar dalam kisah mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi.

Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becak di tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menuntaskan pertikaian harga becak.

Adegan serupa pernah juga terjadi di banyak sekali kota. Ada pula para kepala desa yang sudah renta disidangkan di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999).

Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin usang semakin kuat. Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak jawaban anti PKI dipelopori oleh kelompok perjaka NU, yaitu Ansor.

Hubungan Angkatan Darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas. Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD.

Pada bulan-bulan awal tahun 1965 PKI “menyerang” para pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Maka hingga pertengahan tahun 1965 atau sebelum pecah perebutan kekuasaan di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota sepertinya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan usaha partai yang semakin intensif.

Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AUAL-AK yang dikemukakan oleh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam korelasi antara PKI dan Tentara Nasional Indonesia AD.

Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka.

Bagi para petinggi militer gagasan ini sanggup berarti pengukuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis yang pro-RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini karenanya memang gagal direalisasikan.

PKI kemudian meniupkan isu perihal adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta.

Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist” yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia.

Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melaksanakan kudeta.

Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan dan Jenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini ketika Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun kontradiksi PKI dengan Angkatan Darat kini sepertinya telah mencapai level yang akut. Pada bulan Mei 1965, Pelda.

Sujono yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam kejadian Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut semoga mereka yang terlibat dalam kejadian Bandar Betsy diadili.

Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan, dan Katolik. Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam TaufikAbdullah, ed., 2012: 139). Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat murka kalangan Islam.

Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi kejadian Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau penerima mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah ketika subuh tanpa melepas bantalan kaki yang penuh lumpur kemudian melecehkan Al Quran. Suasana kontradiksi antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965.

Apalagi pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk menyidik Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun tetapkan untuk bergerak.

Dipimpin Letkol Untung, perwira yang bersahabat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.

Jenazah para korban kemudian dimasukkan ke dalam sumur renta di kawasan Lubang Buaya Jakarta. Mereka ialah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jendera

Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.

Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melaksanakan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu: Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono.

Pada info RRI pagi harinya, Letkol. Untung kemudian menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat.

Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, lantaran Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad ketika itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya.

Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini bekerjasama dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi.

Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak bahagia dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.

2. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan.



Pentingnya kesadaran terhadap integrasi bangsa sanggup dihubungkan dengan masih terdapatnya potensi konflik di beberapa wilayah Indonesia pada masa kini.

Kementerian Sosial saja memetakan bahwa pada tahun 2014 Indonesia masih mempunyai 184 kawasan dengan potensi rawan konflik sosial.

Enam di antaranya diprediksi mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi, yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah (cermati wacana di bawah).

Maka, ada baiknya bila kita coba kembali merenungkan apa yang pernah ditulis oleh Mohammad Hatta pada tahun 1932 perihal persatuan bangsa. Menurutnya:

“Dengan persatuan bangsa, satu bangsa tidak akan sanggup dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat banyak sekali paham politik, tetapi jika tiba marabahaya… di sanalah tempat kita memperlihatkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ‘persatuan’ dan menolak ‘persatean’” (Meutia Hatta, mengutip Daulat Rakyat, 1931)

Konflik bahkan bukan saja sanggup mengancam persatuan bangsa. Kita juga harusmenyadari betapa konflik yang terjadi dapatmenimbulkan banyak korban dan kerugian.

Sejarah telah memberitahu kita bagaimana pemberontakanpemberontakan yang pernah terjadi selama masa tahun 1948 hingga 1965 telah menewaskan banyak sekali korban manusia.

Ribuan rakyat mengungsi  dan banyak sekali tempat pemukiman mengalami kerusakan berat. Belum lagi kerugian yang bersifat materi dan psikis masyarakat.

Semua itu hanyalah akan melahirkan penderitaan bagi masyarakat kita sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, cobalah kalian baca wacana berikut ini dan ikutilah isyarat yang diberikan.

Tahukah kalian bahwa jumlah tokoh yang telah diangkat oleh pemerintah sebagai pendekar nasional hingga tahun 2017 ini ialah 173 orang?

Tidak sembarangan orang memang sanggup menyandang secara resmi gelar pendekar nasional. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi.

Salah satu di antaranya ialah tokoh tersebut telah memimpin dan melaksanakan usaha bersenjata atau usaha politik atau usaha dalam bidang lainnya untuk mencapai/ merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Beberapa tokoh di bawah ini merupakan para pendekar nasional yang mempunyai jasa dalam mewujudkan integrasi bangsa Indonesia.

Tidak semua tokoh pendekar sanggup dibahas di sini. Selain jumlahnya yang banyak, mereka juga berasal dari banyak sekali bidang atau kawasan yang berbeda. Untuk pendekar dari daerah, kita akan mengambil hikmah para pejuang yang berasal dari wilayah paling timur Indonesia, yaitu Papua.

Di antara mereka mungkin kalian ada yang belum mengenalnya, padahal sesungguhnya mereka mempunyai jasa yang sama dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Tiga tokoh akan kita bahas di sini, yaitu Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marthen Indey. Keteladanan para tokoh pendekar nasional Indonesia juga sanggup kita lihat dalam bentuk pengorbanan jabatan dan materi dari mereka yang berstatus raja.

Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Syarif Kasim II ialah dua tokoh nasional yang akan dibahas dalam pecahan ini.

Kita akan melihat bagaimana tokoh-tokoh ini lebih mengedepankan keindonesiaan mereka terlebih dahulu daripada kekuasaan atas kerajaan sah yang mereka pimpin, tanpa menghitung untung rugi.

Selain tokoh-tokoh yang berkiprah dalam bidang politik dan usaha bersenjata, kita juga akan mengambil hikmah keteladanan dari tokoh yang berjuang di bidang seni. Nama Ismail Marzuki mungkin telah kalian kenal sebagai pencipta lagu-lagu nasional.

Namun mungkin juga masih ada di antara kalian yang belum mengenal siapa sesungguhnya Ismail Marzuki dan kiprah apa yang ia berikan bagi integrasi Indonesia.

Maka tokoh Ismail Marzuki ini akan juga kita bahas dalam pecahan mengenai keteladanan para tokoh nasional ini.

1) Pahlawan Nasional dari Papua: 
Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marthen Indey 
Posisi Papua dalam sejarah Indonesia setelah kemerdekaan sesungguhnya unik. Papua ialah wilayah di Indonesia yang bahkan setelah RI kembali menjadi negara kesatuan pada tahun 1950 pun, tetap berada dalam kendali Belanda.

Khusus duduk masalah Papua, berdasarkan hasil KMB tahun 1949, sesungguhnya akan dibicarakan kembali oleh pemerintah RI dan Belanda “satu tahun kemudian”. Nyatanya hingga tahun 1962, ketika Indonesia karenanya menentukan jalan usaha militer dalam merebut wilayah ini, Belanda tetap berupaya mempertahankan Papua.

Meski demikian, dalam kurun waktu selama itu, bukan berarti rakyat Papua berdiam diri untuk tidak memperlihatkan nasionalisme keindonesiaan mereka.

Berbagai upaya juga mereka lakukan semoga sanggup menjadikan Papua sebagai pecahan dari negara Republik Indonesia. Muncullah tokoh-tokoh yang mempunyai kiprah besar dalam upaya integrasi tersebut, menyerupai Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey

Frans Kaisiepo (1921-1979) ialah salah seorang tokoh yang mempopulerkan lagu Indonesia Raya di Papua ketika menjelang Indonesia merdeka.

Ia juga turut berperan dalam pendirian Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada tanggal 10 Mei 1946. Pada tahun yang sama, Kaisiepo menjadi anggota delegasi Papua dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan, dimana ia sempat menyebut Papua (Nederlands Nieuw Guinea) dengan nama Irian yang konon diambil dari bahasa Biak dan berarti kawasan panas. Namun kata Irian tersebut malah diberinya pengertian lain : “Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands (Kemensos, 2013). Dalam konferensi ini, Frans Kaisiepo juga menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) lantaran NIT tidak memasukkan Papua ke dalamnya. Ia kemudian mengusulkan semoga Papua dimasukkan ke dalam Keresidenan Sulawesi Utara.

Tahun 1948 Kaisiepo ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial Belanda. Setahun setelahnya, ia menolak menjadi ketua delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Konsekuensi atas penolakannya ialah selama beberapa tahun setelah itu ia dipekerjakan oleh pemerintah kolonial di distrik-distrik terpencil Papua.

Tahun 1961 ia mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlans Nieuw Guinea ke negara Republik Indonesia. Wajar bila ia kemudian banyak membantu para tentara pejuang Trikora ketika menyerbu Papua.

Paruh tahun terakhir tahun 1960-an, Kaisiepo berupaya semoga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sanggup dimenangkan oleh masyarakat yang ingin Papua bergabung ke Indonesia.

Proses tersebut karenanya tetapkan Papua menjadi pecahan dari negara Republik Indonesia. Silas Papare (1918-1978) membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) hanya sekitar sebulan setelah Indonesia merdeka.

Tujuan KIM yang dibuat pada bulan September 1945 ini ialah untuk menghimpun kekuatan dan mengatur gerak langkah usaha dalam membela dan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bulan Desember tahun yang sama, Silas Papare bersama Marthen Indey dianggap menghipnotis Batalyon Papua bentukan Sekutu untuk memberontak terhadap Belanda. Akibatnya mereka berdua ditangkap Belanda dan dipenjara di Holandia (Jayapura).

Setelah keluar dari penjara, Silas Papare mendirikan Partai Kemerdekaaan Irian. Karena Belanda tidak senang, ia kemudian ditangkap dan kembali dipenjara, kali ini di Biak. Partai ini kemudian diundang pemerintah RI ke Yogyakarta.

Silas Papare yang sudah bebas pergi ke sana dan bersama dengan teman-temannya membentuk Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta.

Sepanjang tahun 1950-an ia berusaha keras semoga Papua menjadi pecahan dari Republik Indonesia. Tahun 1962 ia mewakili Irian Barat duduk sebagai anggota delegasi RI dalam Perundingan New York antara Indonesia-Belanda dalam upaya penyelesaian masalah Papua.

Berdasarkan “New York Agreement” ini, Belanda karenanya baiklah untuk mengembalikan Papua ke Indonesia. Marthen Indey (1912–1986) sebelum Jepang masuk ke Indonesia ialah seorang anggota polisi Hindia Belanda.

Namun jabatan ini bukan berarti melunturkan perilaku nasionalismenya. Keindonesiaan yang ia miliki justru semakin tumbuh tatkala ia kerap berinteraksi dengan tahanan politik Indonesia yang dibuang Belanda ke Papua.

Ia bahkan pernah berencana bersama anak buahnya untuk berontak terhadap Belanda di Papua, namun gagal. Antara tahun 1945-1947, Indey masih menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan jabatan sebagai Kepala Distrik.

Meski demikian, bahu-membahu kaum nasionalis di Papua, secara sembunyi-sembunyi ia malah menyiapkan pemberontakan.

Tetapi sekali lagi, pemberontakan ini gagal dilaksanakan. Sejak tahun 1946 Marthen Indey menjadi Ketua Partai Indonesia Merdeka (PIM). Ia kemudian memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 Kepala Suku terhadap keinginan Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.

Indey juga mulai terang-terangan menghimbau anggota militer yang bukan orang Belanda semoga melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Akibat kegiatan politiknya yang kian berani ini, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Indey.

Tahun 1962, ketika Marthen Indey tak lagi dipenjara, ia menyusun kekuatan gerilya sambil menunggu kedatangan tentara Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi Trikora.

Saat perang usai, ia berangkat ke New York untuk memperjuangkan masuknya Papua ke wilayah Indonesia, di PBB hingga karenanya Papua (Irian) benar-benar menjadi pecahan Republik Indonesia.

2) Para Raja yang Berkorban Untuk Bangsa: 
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Syarif Kasim II
Saat Indonesia merdeka, di Indonesia, masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih menentukan untuk meleburkan kerajaan mereka ke dalam negara Republik Indonesia.

Hal ini sanggup terjadi tak lain lantaran dalam diri para raja dan rakyat di kawasan mereka telah tertanam dengan begitu kuat rasa kebangsaan Indonesia. Meski demikian tak semua raja mau bergabung dengan negara kesatuan RI.

Sultan Hamid II dari Pontianak misalnya, bahkan pada tahun 1950-an lebih menentukan berontak hingga turut serta dalam planning pembunuhan terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski karenanya mengalami kegagalan.

Dalam pecahan ini, kita akan mengambil teladan dua orang raja yang menentukan untuk melawan Belanda dan bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta dan Sultan Syarif Kasim II dari kerajaan Siak
 
Sultan Hamengku Buwono IX (1912-1988).

Pada tahun 1940, ketika Sultan Hamengku Buwono IX dinobatkan menjadi raja Yogyakarta, ia dengan tegas memperlihatkan perilaku nasionalismenya.

Dalam pidatonya ketika itu, ia mengatakan: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya ialah dan tetap ialah orang Jawa.”(Kemensos, 2012) Sikapnya ini kemudian diperkuat manakala tidak hingga 3 ahad setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan Kerajaan Yogjakarta ialah pecahan dari negara Republik Indonesia.

Dimulai pada tanggal 19 Agustus, Sultan mengirim telegram ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas terbentuknya Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Tanggal 20 Agustus besoknya, melalui telegram kembali, Sultan dengan tegas menyatakan berdiri di belakang Presiden dan Wapres terpilih. Dan karenanya pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan amanat bahwa:

1) Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan ialah kawasan istimewa dari Republik Indonesia.

2) Segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.

3) Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat eksklusif dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung jawab kepada Presiden RI.

Melalui telegram dan amanat ini, sangat terlihat perilaku nasionalisme Sultan Hamengku Buwono IX. Bahkan melalui perbuatannya.

Sejak awal kemerdekaan, Sultan menyampaikan banyak fasilitas bagi pemerintah RI yang gres terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Markas TKR dan ibukota RI misalnya, pernah berada di Yogjakarta atas saran Sultan.

Bantuan logistik dan proteksi bagi kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia tatkala perang kemerdekaan berlangsung, juga ia berikan. Sultan Hamengku Buwono IX juga pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa setelah aksi militer Belanda II berlangsung.

Belanda rupanya ingin memisahkan Sultan yang mempunyai imbas besar itu dengan Republik. Bukan saja bujukan, Belanda bahkan juga hingga mengancam Sultan. Namun Sultan Hamengku Buwono IX malah menghadapi ancaman tersebut dengan berani.

Meskipun berstatus Sultan, Hamengku Buwono IX dikenal pula sebagai pribadi yang demokratis dan merakyat.

Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Cerita yang dikisahkan oleh SK Trimurti dan diolah dari buku “Takhta Untuk Rakyat” berikut ini, menggambarkan hal tersebut. Trimurti ialah istri Sayuti Melik, pengetik naskah teks proklamasi:

Pingsan Gara-Gara Sultan 
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Saat itu, SK Trimurti hendak pulang menuju ke rumahnya. Penasaran dengan kerumunan orang di jalan, iapun singgah. 

Ternyata ada wanita pedagang yang jatuh pingsan di depan pasar. Uniknya, yang membuat warga berkerumun bukanlah lantaran wanita yang jatuh pingsan tadi, melainkan penyebab mengapa wanita tersebut jatuh pingsan. 

Cerita berawal ketika wanita pedagang beras ini memberhentikan sebuah jip untuk ikut menumpang ke pasar Kranggan. Sesampainya di Pasar Kranggan, ia kemudian meminta sopir jip untuk menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan bersiap untuk membayar jasa, sang sopir dengan halus menolak pemberian itu. 

Dengan nada emosi, wanita pedagang ini menyampaikan kepada sopir jip, apakah uang yang diberikannya kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sopir tersebut malah segera berlalu. Seusai kejadian, seorang polisi tiba menghampiri dan bertanya kepada si wanita pedagang : "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?" “Sopir ya sopir. Aku ndak perlu tahu namanya. Dasar sopir aneh," jawab wanita pedagang beras dengan nada emosi.

"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." jawab polisi. Seketika, wanita pedagang beras tersebut jatuh pingsan setelah mengetahui jika sopir yang dimarahinya lantaran menolak mendapatkan uang imbalan dan membantunya menaikkan dan menurunkan beras dagangan, ialah rajanya sendiri! (Tahta Untuk Rakyat, Atmakusumah (ed), 1982).

Kisah tersebut menggambarkan betapa Sultan Hamengku Buwono IX bukan saja berpikir dan bertindak bagi utuhnya kesatuan bangsa.

Dalam hal kecil, ia bahkan melaksanakan perbuatan teladan berupa keharusan menyatunya seorang pemimpin dengan rakyatnya.

Sultan Syarif Kasim II (1893-1968). Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun 1915 ketika berusia 21 tahun. Ia mempunyai perilaku bahwa kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda.

Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun kerap bertentangan dengan keinginan Belanda. Ketika info proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga ke Siak, Sultan Syarif Kasim II segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta, menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu usaha RI. Ini ialah nilai uang yang sangat besar.

Tahun 2014 kini saja angka tersebut setara dengan Rp. 1,47 trilyun. Kesultanan Siak pada masa itu memang dikenal sebagai kesultanan yang kaya.

Tindak lanjut berikutnya, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.

Ia juga segera mengadakan rapat umum di istana serta mengibarkan bendera Merah-Putih, dan mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya semoga turut memihak republik. Saat revolusi kemerdekaan pecah, Sultan aktif mensuplai materi makanan untuk para laskar.

Ia juga kembali menyerahkan kembali 30% harta kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bagi kepentingan perjuangan. Ketika van Mook, Gubernur Jenderal de facto

Hindia Belanda, mengangkatnya sebagai “Sultan Boneka” Belanda, Sultan Syarif Kasim II tentu saja menolak. Ia tetap menentukan bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Atas jasanya tersebut, Sultan Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.

3) Mewujudkan Integrasi Melalui Seni dan Sastra: Ismail Marzuki
Ismail Marzuki (1914–1958). Dilahirkan di Jakarta, Ismail Marzuki memang berasal dari keluarga seniman. Di usia 17 tahun ia berhasil mengarang lagu pertamanya, berjudul “O Sarinah”. Tahun 1936, Ismail Marzuki masuk perkumpulan musik Lief Java dan berkesempatan mengisi siaran musik di radio.

Pada ketika inilah ia mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu barat untuk kemudian membuat lagu-lagu sendiri. Lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki itu sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya terhadap tanah air.

Latar belakang keluarga, pendidikan dan pergaulannyalah yang menanamkan perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap penderitaan bangsanya.

Ketika RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947 misalnya, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif dalam orkes radio tetapkan keluar lantaran tidak mau bekerja sama dengan Belanda.

Ketika RRI kembali diambil alih republik, ia gres mau kembali bekerja di sana.

Lagu-lagu Ismail Marzuki yang sarat dengan nilai-nilai usaha yang menggugah rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa, antara lain “Rayuan Pulau Kelapa” (1944), “Halo-Halo Bandung” (1946) yang diciptakan ketika terjadi kejadian Bandung Lautan Api, “Selendang Sutera” (1946) yang diciptakan pada ketika revolusi kemerdekaan untuk membangkitkan semangat juang pada waktu itu dan “Sepasang Mata Bola” (1946) yang menggambarkan harapan rakyat untuk merdeka.

Meskipun mempunyai fisik yang tidak terlalu sehat lantaran mempunyai penyakit TBC, Ismail Marzuki tetap bersemangat untuk terus berjuang melalui seni. Hal ini memperlihatkan betapa rasa cinta pada tanah air begitu tertanam kuat dalam dirinya.


Opu Daeng Risaju
“Kalau hanya lantaran adanya darah darah biru mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melaksanakan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah darah biru itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina jika saya diperlakukan tidak sepantasnya.”(Opu Daeng Risaju, Ketua PSII Palopo 1930)

Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Opu Daeng Risaju, seorang tokoh pejuang wanita yang menjadi penggagas gerakan Partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda waktu itu, ketika Datu Luwu Andi Kambo membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri urusanmu, selain lantaran dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga jika engkau diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para anggota Dewan Hadat pun turut terhina.

Karena itu, kasihanilah kami, tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra, hal 133). Namun Opu Daeng Risaju, rela menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara selama 3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak sanggup mendapatkan aktivitasnya. Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar dari cengkraman penjajahan membuat beliau rela mengorbankan dirinya. Nama kecil Opu Daeng Risaju ialah Famajjah.

Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu memperlihatkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu.

Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan bersahabat dari keluarga Kerajaan Luwu. Sejak kecil, Opu Daeng Risaju tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan.

Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju ialah seorang yang “buta huruf” latin, beliau sanggup membaca dengan cara berguru sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah umum.

Setelah cendekia balig cukup akal Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah.

Opu Daeng Risaju mulai aktif di organisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang pedagang asal Sulawesi Selatan yang pernah usang bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang PSII di Pare-Pare.

Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibuat pada tanggal 14 Januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau).

Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan kawasan afdeling Masamba).

Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melaksanakan tindakan menghasut rakyat atau mengembangkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkang terhadap pemerintah.

Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan eksekusi penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.

Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam mengembangkan PSII.

Walaupun sudah menerima tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan maupun pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di wilayahnya maupun di tingkat nasional.

Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII.

Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki. Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa ternyata mengakibatkan perilaku tidak bahagia dari pihak kerajaan.

Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Dia dianggap telah melaksanakan pelanggaran dengan melaksanakan kegiatan politik.

Oleh anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan akhlak dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar aturan (Majulakkai Pabbatang).

Anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda menuntut semoga Opu Daeng Risaju dijatuhi eksekusi dibuang atau diselong.

Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju, menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi eksekusi penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934.

Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melaksanakan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.

Opu Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh perjaka sebagai perilaku penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia.

Ia banyak melaksanakan mobilisasi terhadap perjaka dan menyampaikan doktrin usaha kepada pemuda.

Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya. Opu Daeng Risaju ditangkap dalam persembunyiannya.

Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo.

Selama di penjara Opu Daeng mengalami penyiksaan yang kemudian berdampak pada pendengarannya, ia menjadi tuli seumur hidup.

Setelah legalisasi kedaulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke ParePare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare.

Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.

Related : Sejarah Indonesia Xii Cuilan 1 Usaha Menghadapi Bahaya Disintegrasi Bangsa

0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xii Cuilan 1 Usaha Menghadapi Bahaya Disintegrasi Bangsa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)