Pkn Xii Cuilan 4 Dinamika Persatuan Dan Kesatuan Dalam Konteks Nkri

Istilah negara kesatuan sudah sangat sering Anda dengar lantaran nama negara kita ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, istilah negara kesatuan sudah tertanam dalam contoh pikir kita selaku warga negara Indonesia. Akan tetapi, tahukah Anda makna dan karakteristik negara kesatuan?

Menurut C.F Strong dalam bukunya A History of Modern Political Constitution (1963:84), negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu dewan legislatif nasional. Kekuasaan negara dipegang oleh pemerintah pusat.

Pemerintah pusat sanggup menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada tempat berdasarkan hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tetap berada di tangan pemerintah pusat.

Pendapat C.F Strong tersebut sanggup dimaknai bahwa negara kesatuan ialah negara bersusun tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh wilayahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar.

Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan wilayahnya sanggup dijalankan secara langsung.

Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen.

Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan.

Negara kesatuan mempunyai dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi, semua hal diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan tempat hanya menjalankan perintah-perintah dan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat.

Daerah tidak berwewenang membuat peraturan-peraturan sendiri atau mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, dalam negara kesatuan bersistem desentralisasi, tempat diberi kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi, swatantra).

Untuk menampung aspirasi rakyat di daerah, terdapat parlemen daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan tertinggi.

Bagaimana dengan NKRI? Pada ketika ini, Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut sistem desentralisasi melalui prosedur otonomi daerah.

Dengan sistem ini, pemerintah pusat menawarkan sebagian kewenangan pemerintahan kepada tempat otonom (provinsi dan kabupaten kota).

Akan tetapi, ada kewenangan yang tidak diberikan kepada tempat otonom, yaitu kewenangan dalam bidang politik luar negeri, agama, yustisi, pertahanan, keamanan, moneter dan fi skal nasional

Sebagai warga negara yang baik, tentunya Anda harus memahami karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal tersebut penting diketahui untuk makin mempertegas identitas negara Indonesia.

Oleh lantaran itu, pada pecahan ini, Anda akan dibekali pengetahuan mengenai karakteristik NKRI berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

Indonesia semenjak kelahirannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah mempunyai tekad yang sama, bahwa negara ini akan eksis di dunia internasional dalam bentuk negara kesatuan.

Kesepakatan ini tercermin dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menyusun konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang tertinggi dalam negara

Soepomo dalam Sidang BPUPKI, menghendaki bentuk negara kesatuan sejalan dengan paham negara integralistik yang melihat bangsa sebagai suatu organisme.

Hal ini antara lain menyerupai yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin, bahwa kita hanya membutuhkan negara yang bersifat unitarisme dan wujud negara kita tidak lain dan tidak bukan ialah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pembentukan negara kesatuan bertujuan untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara biar menjadi negara yang besar dan kukuh dengan kekuasaan negara yang bersifat sentralistik.

Tekad tersebut sebagaimana tertuang dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang berbunyi “dan usaha pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada ketika yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur”

Perubahan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 mengukuhkan keberadaan Indonesia sebagai negara kesatuan dan menghilangkan keraguan terhadap pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 telah memperkukuh prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak sedikit pun mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara federal.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang merupakan naskah orisinil mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik.”

Pasal yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia yang menjadi sumpah anak bangsa pada 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kukuh setelah dilakukan perubahan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yang dimulai dari adanya ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat yang salah satunya ialah tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk fi nal negara bagi bangsa Indonesia.

Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan ialah bentuk yang ditetapkan semenjak awal berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling sempurna untuk mewadahi inspirasi persatuan sebuah bangsa yang beragam ditinjau dari banyak sekali latar belakang (dasar pemikiran).

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 secara kasatmata mengandung semangat biar Indonesia ini bersatu, baik yang tercantum dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal yang eksklusif menyebutkan perihal Negara

Kesatuan Republik Indonesia dalam lima Pasal, yaitu: Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A dan pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 serta rumusan pasal-pasal yang mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keberadaan lembaga-lembaga dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

Prinsip kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertegas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yaitu “…. dalam upaya membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Karakteristik Negara Kesatuan Indonesia juga sanggup dipandang dari segi kewilayahan.

Pasal 25A Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menentukan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang”.

Istilah Nusantara dalam ketentuan tersebut dipergunakan untuk menggambakan kesatuan wilayah perairan dan formasi pulau-pulau Indonesia yang terletak di antara Samudra Pasifi k dan Samudra Indonesia serta di antara Benua Asia dan Benua Australia.

Kesatuan wilayah tersebut juga mencakup
1) kesatuan politik;
2) kesatuan hukum;
3) kesatuan sosialbudaya;
4) kesatuan ekonomi serta
5) kesatuan pertahanan dan keamanan.

Dengan demikian, meskipun wilayah Indonesia terdiri atas ribuan pulau, tetapi semuanya terikat dalam satu kesatuan negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Revolusi Kemerdekaan (18 Agustus 1945 hingga dengan 27 Desember 1949)

Pada periode ini, bentuk NRI ialah kesatuan, dengan bentuk pemerintahan ialah republik yang mana presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara.

Sistem pemerintahan yang digunakan ialah sistem pemerintahan presidensial. Dalam periode ini, yang digunakan sebagai pegangan ialah Undang-Undang Dasar 1945.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya belum sanggup dijalankan secara murni dan konsekuen. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia gres saja memproklamasikan kemerdekaannya.

Pada waktu itu, semua kekuatan negara difokuskan pada upaya mempertahankan kemerdekaan yang gres saja diraih dari rongrongan kekuatan abnormal yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Dengan demikian, walaupun Undang-Undang Dasar 1945 telah berlaku, namun yang gres sanggup dibuat hanya presiden, wakil presiden, serta para menteri dan gubernur yang merupakan perpanjangan tanggan pemerintah pusat.

Adapun departemen yang dibuat untuk pertama kalinya di Indonesia terdiri atas 12 departemen. Provinsi yang gres dibuat terdiri atas delapan wilayah yang terdiri atas Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.

Kondisi di atas didasarkan pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI.

Dengan demikian, tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan lantaran pemilihan umum belum diselenggarakan.

Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyerupai MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA belum sanggup diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat dan harus dibuat berdasarkan undang-undang.

Untuk mengatasi hal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 melalui ketentuan dalam pasal IV Aturan Peralihan menyatakan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan pertimbangan Agung dibuat berdasarkan undang-undang dasar ini, segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan proteksi sebuah Komite Nasional. Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksklusif menawarkan kekuasaan yang teramat luas kepada presiden.

Dengan kata lain, kekuasaan presiden meliputi kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif), menjalan kekuasaan MPR dan dewan perwakilan rakyat (legislatif) serta menjalankan kiprah DPA.

Kekuasaan yang teramat besar itu diberikan kepada presiden hanya untuk sementara waktu, supaya penyelenggaraan negara sanggup berjalan.

Oleh lantaran itu PPKI dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan dua ayat Aturan Tambahan yang menegaskan bahwa:

a. Dalam enam bulan setelah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.

b. Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, majelis itu bersidang untuk memutuskan undang-undang dasar.

Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan dalih oleh Belanda untuk menuduh Indonesia sebagai negara diktator lantaran kekuasaan negara terpusat kepada presiden.

Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, maka pemerintah RI mengeluarkan tiga buah maklumat.

a. Maklumat Wapres Nomor X (baca eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar bisa dari Presiden sebelum masa waktunya berakhir (seharusnya berlaku selam enam bulan). Kemudian, maklumat tersebut menawarkan kekuasaan MPR dan dewan perwakilan rakyat yang semula dipegang oleh Presiden kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada dasarnya, maklumat ini ialah penyimpangan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar 1945

b. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, perihal pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai jawaban dari anggapan pada ketika itu bahwa salah satu ciri demokrasi ialah multipartai. Maklumat tersebut juga sebagai upaya biar Dunia Barat menilai bahwa Indonesia ialah negara yang menganut asas demokrasi.

c. Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, yang pada dasarnya mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Maklumat tersebut kembali menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar RI 1945 yang memutuskan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintah Indonesia.

Ketiga maklumat di atas menawarkan efek yang cukup besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.

Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 telah membawa perubahan total dalam sistem pemerintahan negara kita.

Pada tanggal tersebut, Indonesia memulai kehidupan gres sebagai penganut sistem pemerintahan parlementer.

Dengan sistem ini, presiden tidak lagi mempunyai rangkap jabatan, presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.

Kabinet dalam hal ini para menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kepada dewan perwakilan rakyat yang kekuasaannya dipegang oleh BP KNIP.

 Secara konseptual, perubahan ini diperlukan akan bisa mengakomodasi semua kekuatan yang ada dalam negara ini.

Akan tetapi, pada kenyataannya, sistem ini justru membawa bangsa Indonesia ke dalam keadaan yang tidak stabil.

Kabinet-kabinet parlementer yang dibuat simpel sekali dijatuhkan dengan mosi tidak percaya dari DPR.

Sistem pemerintahan parlementer tidak berjalan lama. Sistem tersebut berlaku mulai tanggal 14 November 1945 dan berakhir pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam rentang waktu itu, terjadi beberapa kali pergantian kabinet.

Kabinet yang pertama dipimpin oleh Sutan Syahrir yang dilanjutkan dengan kabinet Syahrir II dan III.

Sewaktu bubarnya kabinet Syahrir III, sebagai jawaban meruncingnya pertikaian antara Indonesia-Belanda, pemerintah membentuk Kabinet Presidensial kembali (27 Juni 1947–3 Juli 1947).

Namun atas desakan dari beberapa partai politik, Presiden Soekarno kembali membentuk Kabinet Parlementer, menyerupai berikut:
a. Kabinet Amir Syarifudin I: 3 Juli 1947-11 November 1947
b. Kabinet Amir Syarifudin II: 11 November 1947-29 Januari 1948
c. Kabinet Hatta I: 29 Januari 1948-4 Agustus 1949
d. Kabinet Darurat (Mr. Sjafruddin Prawiranegara): 19 Desember 1948-13 Juli 1949
e. Kabinet Hatta II: 4 Agustus 1949-20 Desember 1949

Kondisi pemerintahan tidak stabil lantaran kabinet yang dibuat tidak bertahan usang serta rongrongan kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Pemberontakan tersebut menambah catatan kelam sejarah bangsa ini dan rakyat makin menderita.

Periode Negara Kesatuan Republik Indonesia berakhir seiring dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar yang mengubah bentuk negara kita menjadi negara serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Periode ini juga ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan separatis dengan tujuan mendirikan negara gres yang memisahkan diri dari NKRI. Adapun gerakan-gerakan tersebut di antaranya sebagai berikut.

a. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun 1948 Pemberontakan ini terjadi pada tanggal 18 September 1948 yang dipimpin oleh Muso.

Tujuan dari pemberontakan PKI Madiun ialah ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan komunis serta ingin mendirikan Soviet Republik Indonesia.

Pemberontakan PKI Madiun melaksanakan aksinya dengan menguasai seluruh karesidenan Pati. PKI juga melaksanakan pembunuhan dan penculikan ini secara besar-besaran.

Pada tanggal 30 September 1948, pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia yang dibantu oleh rakyat.

Di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto (Panglima Divisi H Jawa Tengah pecahan timur) dan Kolonel Sungkono (Panglima Divisi Jawa Timur) mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan polisi untuk melaksanakan pengejaran dan pencucian di daerah-daerah sehingga Muso dan Amir Syarifuddin berhasil ditembak mati.

b. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Daerah Jawa Barat Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosuwiryo yang mempunyai harapan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Cita-citanya membentuk Negara Islam Indonesia (NII) diwujudkan melalui Proklamasi yang dikumAndangkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat.

Untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo, Pasukan Tentara Nasional Indonesia dan rakyat memakai Operasi Pagar Betis di Gunung Geber. Akhirnya, pada tanggal 4 Juni 1962 Kantosuwiryo berhasil ditangkap dan dijatuhi eksekusi mati.

Federalisme pernah diterapkan di Indonesia pada rentang 27 Desember 1949 hingga dengan 17 Agustus 1950.

Pada masa ini, yang dijadikan sebagai pegangan ialah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949.

Berdasarkan konstitusi tersebut, bentuk negara kita ialah serikat atau federasi dengan 15 negara bagian. Bentuk pemerintahan yang berlaku pada periode ini ialah republik.

Ciri republik diterapkan ketika berlangsungnya pemilihan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Drs. Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri.

Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini ialah sistem parlementer kabinet semu (quasi parlementer), dengan karakteristik sebagai berikut.

a. Pengangkatan perdana menteri dilakukan oleh Presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya.

b. Kekuasaan perdana menteri masih dicampurtangani oleh Presiden. Hal itu tampak pada ketentuan bahwa Presiden dan menteri-menteri tolong-menolong merupakan pemerintah. Seharusnya, Presiden hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri.

c. Pembentukan kabinet dilakukan oleh Presiden bukan oleh parlemen.

d. Pertanggungjawaban kabinet ialah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun harus melalui keputusan pemerintah.

e. Parlemen tidak mempunyai kekerabatan erat dengan pemerintah sehingga dewan perwakilan rakyat tidak punya efek besar terhadap pemerintah. dewan perwakilan rakyat tidak sanggup memakai mosi tidak percaya kepada kabinet.

f. Presiden RIS mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Selain Presiden dan para menteri (kabinet), negara RIS juga mempunyai Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan sebagai alat perlengkapan negara. Parlemen RIS terdiri atas dua badan, yaitu senat dan DPR. Senat beranggotakan wakil dari negara pecahan yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Setiap negara pecahan diwakili oleh dua orang.

Keputusan untuk menentukan bentuk negara serikat, sebagaimana telah diuraikan di muka, merupakan politik pecah belahnya kaum penjajah.

Hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar, memang mengharuskan Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat.

Bagaimana nasib negara serikat itu? Layaknya bayi yang lahir prematur, kondisi RIS juga seperti itu.

Muncul banyak sekali reaksi dari banyak sekali kalangan bangsa Indonesia menuntut pembubaran Negara RIS dan kembali kepada kesatuan NRI.

Maka pada 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan negara RIS.

Dengan adanya undang-undang tersebut, hampir semua negara pecahan RIS menggabungkan diri dengan NRI yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya mempunyai tiga negara bagian, yaitu NRI, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur

Bagaimana efek kondisi menyerupai itu terhadap RIS sendiri? Kondisi itu mendorong RIS berunding dengan pemerintahan RI untuk membentuk negara kesatuan.

Pada tanggal 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam piagam perjanjian.

Disebutkan pula dalam perjanjian tersebut bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memakai undang-undang dasar gres yang merupakan adonan dua konstitusi yang berlaku, yakni konstitusi RIS dan juga Undang-Undang Dasar 1945 yang menghasilkan UUDS 1950.

Pemerintah Indonesia bersatu ini dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta sebagaimana diangkat sebagai presiden dan wakil presiden pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

Sejak ketika itulah, pemerintah menjalankan pemerintahan dengan memakai Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Pada masa Republik Indonesia Serikat juga terdapat gerakan-gerakan separatis yang terjadi beberapa wilayah Indonesia, di antaranya:

a. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) 
Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.

Gerakan ini didasari oleh adanya kepercayaan rakyat akan datangnya seorang ratu adil yang akan membawa mereka ke suasana kondusif dan tenteram serta memerintah dengan adil dan bijaksana.

Tujuan gerakan APRA ialah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan mempunyai tentara tersendiri pada negara pecahan RIS.

Pada tanggal 23 Januari 1950, pasukan APRA menyerang Kota Bandung serta melaksanakan pembantaian dan pembunuhan terhadap anggota TNI.

APRA tidak mau bergabung dengan Indonesia dan menentukan tetap mempertahankan status quo lantaran jikalau bergabung dengan Indonesia, mereka akan kehilangan hak istimenya.

Pemberontakan APRA juga didukung oleh Sultan Hamid II yang menjabat sebagal menteri negara pada Kabinet RIS.

Pemberontakan APRA berhasil ditumpas melalui operasi militer yang dilakukan oleh Pasukan Siliwangi.

b. Pemberontakan Andi Azis di Makassar 
Pemberontakan di bawah pimpinan Andi Aziz ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950.

Kekacauan tersebut terjadi lantaran adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal. Mereka mendesak Negara Indonesia Timur (NIT) segera menggabungkan diri dengan RI.

Sementara itu, terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya negara federal. Keadaan ini menimbulkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan.

Pada ketika yang sama, dikirim pasukan untuk melaksanakan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.

Pada tanggal 15 April 1950, Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT, Sukawati.

Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melaksanakan pendaratan di Sulawesi Selatan.

Pada 21 April 1950, pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.

c. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) 
Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang menolak terhadap pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memproklamasikan negara Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950.

Mereka ingin merdeka dan melepaskan diri dan wilayah Republik Indonesia lantaran menganggap Maluku mempunyai kekuatan secara ekonomi, politik, dan geografi s untuk berdiri sendiri.

Penyebab utama munculnya Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) ialah persoalan pemerataan jatah pembangunan tempat yang dirasakan sangat kecil, tidak sebanding dengan tempat di Jawa.

Pemberontakan ini sanggup diatasi melalui ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur).

Melalui ekspedisi militer, beberapa wilayah penting sanggup dikuasai menyerupai Maluku, Ambon, dan sekitarnya, sehingga beberapa anggotanya banyak yang melarikan diri ke negeri Belanda.

Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950 hingga dengan 5 Juli 1959)

Pada periode ini, Indonesia memakai Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 (UUDS 1950) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950.

UUDS RI 1950 merupakan perubahan dari Konstitusi RIS yang diselenggarakan sesuai dengan Piagam Persetujuan antara pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950.

Bentuk negara Indonesia pada periode ini ialah kesatuan yang kekuasaannya dipegang oleh pemerintah pusat. Hubungan dengan tempat didasarkan pada asas desentralisasi.

Bentuk pemerintahan yang diterapkan ialah republik, dengan kepala negara ialah seorang presiden yang dibantu oleh seorang wakil presiden. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali mengisi dua jabatan tersebut.

Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini ialah sistem pemerintahan parlementer dengan memakai kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Alat-alat perlengkapan negara meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.

Pada ketika mulai berlakunya UUDS RI 1950, dibuat Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang merupakan adonan anggota dewan perwakilan rakyat RIS ditambah ketua dan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan anggota yang ditunjuk oleh presiden

Praktik sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada masa berlakunya UUDS 1950 ini ternyata tidak membawa bangsa Indonesia ke arah kemakmuran, keteraturan dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu antara 1950-1959 telah terjadi 7 kali pergantian kabinet.

a. Kabinet Natsir: 6 September 1950–27 April 1951
b. Kabinet Sukirman: 27 April 1951–3 April 1952
c. Kabinet Wilopo: 3 April 1952–30 Juli 1953
d. Kabinet Ali Sastroamidjojo I: 30 Juli 1953–12 Agustus 1955
e. Kabinet Burhanudin Harahap: 12 Agustus 1955–24 Maret 1956. Pada masa kabinet ini, Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh 28 partai. Pemilu dilaksanakan atas dasar Undangundang Pemilu Nomor 7 tahun 1953. Pemilu 1955 dilaksanakan selama dua tahap, yaitu pada tanggal 29 September 1955 untuk menentukan anggota parlemen dan tanggal 15 Desember untuk menentukan anggota konstituante.

f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II: 24 Maret 1956–9 April 1957.
g. Kabinet Djuanda (karya): 9 April 1957–10 Juli 1959.

Hal yang menimbulkan kondisi negara kacau pada periode ini ialah tidak berhasilnya tubuh konstituante menyusun undang-undang dasar yang baru.

Keadaan ini memancing persaingan politik dan menimbulkan kondisi ketatanegaraan bangsa Indonesia menjadi tidak menentu.

Kondisi yang sangat membahayakan bangsa dan negara ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengajukan rancangannya mengenai konsep demokrasi terpimpin dalam rangka kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Terjadi perdebatan yang tiada ujung pangkal sementara disisi lain kondisi negara makin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Kondisi tersebut mendorong presiden untuk memakai wewenangnya yakni mengeluarkan Dekret Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, yang berisi di antaranya sebagai berikut.
a. Pembubaran konstituante
b. Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
c. Pembentukan MPR dan DPA sementara.

Pada periode ini juga terjadi beberapa gerakan separatis di tempat di antaranya:

a. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) 
1) Daerah Sulawesi Selatan: Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pemberontakan ini disebabkan oleh Kahar Muzakar yang menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam Iingkungan APRlS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan berkeinginan untuk menjadi pimpinan dan APRIS.

Pada tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bersama dengan pasukannya melarikan diri ke hutan dan pada tahun 1952 ia mengumumkan bahwa Sulawesi Selatan menjadi pecahan dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakar mengalami kesulitan lantaran tempat persembunyian mereka berada di hutan yang ada di tempat pegunungan. Akan tetapi, pada bulan Februari 1965 berhasil ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kahar Muzakar ditembak mati.

2) Daerah Aceh: Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh yang merupakan mantan Gubernur Aceh. Pemberontakan ini disebabkan oleh status Aceh yang semula menjadi tempat istimewa diturunkan menjadi tempat keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara.

Kebijakan pemerintah tersebut ditentang oleh Daud Beureuh sehingga pada tanggal 21 September 1953, ia mengeluarkan maklumat perihal penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.

Pemerintah Republik Indonesia memberantas pemberontakan ini di Aceh dengan kekuatan senjata atau operasi militer dan melaksanakan musyawarah dengan rakyat Aceh, sehingga pada tanggal 17-28 Desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan melalui musyawarah tersebut, berhasil dicapai penyelesaian secara damai.

3) Daerah Kalimantan Selatan: Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar yang menamakan gerakannya dengan sebutan Kesatuan Rakyat yang Tertindas.

Pada tahun 1954, lbnu Hajar secara resmi bergabung dengan Negara Islam Indonesia dan ditunjuk sebagai panglima tertinggi TIM (Tentara Islam Indonesia). Pada tahun 1963, pemerintah Indonesia berhasil menumpas pemberontakan ini, Ibnu Hajar dan anak buahnya berhasil ditangkap dan dijatuhi eksekusi mati.

b. Pemberontakan PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta) 
Pemberontakan PRRI/Permesta terjadi di Sulawesi yang disebabkan oleh adanya kekerabatan yang kurang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hal itu dikarenakan jatah keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak sesuai anggaran yang diusulkan.

Hal tersebut menimbulkan dampak ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Selanjutnya, dibuat gerakan dewan berikut.
1) Dewan Banteng di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2) Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin oleh Letkol M. Simbolon.
3) Dewan Garuda di Sumatra Selatan.
4) Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan.
5) Dewan Manguhi di Sulawesi Utara dipimpin oleh Letkol Ventje Samual.

 Puncak pemberontakan ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat. Isi ultimatum tersebut ialah menyatakan bahwa Kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam.

Setelah mendapatkan ultimatum tersebut, pemerintah pusat bertindak tegas dengan cara memberhentikan secara tidak hormat Achmad Husein dan melaksanakan operasi militer pada tanggal 12 Februari 1958.

Di bawah pimpinan KSAD, A. H. Nasution membekukan komando tempat militer Sumatra Tengah serta mengadakan operasi militer adonan yang diberi nama Operasi 17 Agustus yang berhasil menghancurkan gerakan separatis tersebut.

Namun, pada tanggal 15 Februari 1955, terjadi proklamasi PRRI yang berisi bahwa tempat Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah memutuskan kekerabatan dengan pemerintah pusat.

Untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan PRRI, pemerintah pusat melancarkan operasi Sapta Marga dan berhasil melumpuhkan agresi dilakukan PRRI/Permesta.

Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah membawa kepastian di negara Indonesia.

Negara kita kembali memakai Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara yang berkedudukan sebagai asas penyelenggaraan negara.

Sejak berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Kabinet yang dibuat pada tanggal 9 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja yang terdiri atas:

a. Kabinet Inti, yang terdiri atas seorang perdana menteri yang dijabat oleh Presiden dan 10 orang menteri.

b. Menteri-menteri ex offi cio, yaitu pejabat-pejabat negara yang lantaran jabatannya diangkat menjadi menteri. Pejabat tersebut ialah Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian Negara, Jaksa Agung, Ketua Dewan Perancang Nasional dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung

c. Menteri-menteri muda sebanyak 60 orang. Pada periode ini muncul fatwa di kalangan para pemimpin bangsa Indonesia, yang dipelopori Presiden Soekarno, yang memandang bahwa pelaksanaan demokrasi liberal pada periode yang kemudian hasilnya sangat mengecewakan.

Sebagai jawaban dari kekecewaan tersebut, presiden Soekarno mencetuskan konsep demokrasi terpimpin.

Pada mulanya, inspirasi demokrasi terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat akal dalam permusyawaratan/perwakilan.

Namun, usang kelamaan, bergeser menjadi dipimpin oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Maka, risikonya segala sesuatunya didasarkan kepada kepemimpinan penguasa dalam hal ini pemerintah

Pelaksanaan pemerintahan pada periode ini, meskipun berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi kenyataanya banyak terjadi penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berikut ini ialah beberapa penyimpangan selama pelaksanaan demokrasi terpimpin.

a. Membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilu dan menggantikannya dengan membentuk dewan perwakilan rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang anggotannya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

b. Membentuk MPR sementara yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

c. Penetapan Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS.

d. Membentuk Front Nasional melalui Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959 yang anggotanya berasal dari banyak sekali organisasi kemasyarakatan dan organisasi sosial politik yang ada di Indonesia.

e. Terjadinya pemerasan dalam penghayatan Pancasila.

Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperas menjadi tiga unsur yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini diperas lagi menjadi satu unsur yang disebut Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom (nasionalis, agama dan komunisme).

Gagasan Nasakom inilah yang memberi peluang bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal tersebut dimasukkan dalam UU RI Nomor 18 Tahun 1965 perihal Pemerintah Daerah.

Semua unsur Nasakom termasuk di dalamnya PKI harus diperhatikan dalam penunjukan unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Jadi, bila di suatu tempat hanya ada seorang tokoh PKI, ia harus diikutsertakan sebagai pimpinan DPRD apabila ia menjadi anggota DPRD di satu daerah.

Hal inilah yang membuat PKI mendapatkan posisi yang strategis bahkan dominan.

Karena merasa mempunyai posisi yang kuat, PKI melaksanakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 yang menewaskan tujuh orang perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, risikonya jatuh pada tahun 1966.

Jatuhnya Soekarno menandai berakhirnya masa Orde Lama dan digantikan oleh kekuatan baru, yang dikenal dengan sebutan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Ia muncul sebagai pemimpin Orde Baru yang siap untuk membangun kembali pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.

Prioritas utama yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru bertumpu pada pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional yang mantap.

Ekses dari kebijakan tersebut ialah digunakannya pendekatan keamanan dalam rangka mengamankan pembangunan nasional.

Oleh lantaran itu jikalau terdapat pihak-pihak yang dinilai mengganggu stabilitas nasional, pegawanegeri keamanan akan menindaknya dengan tegas. Sebab jikalau stabilitas keamanan terganggu maka pembangunan ekonomi akan terganggu.

Jika pembangunan ekonomi terganggu maka pembangunan nasional tidak akan berhasil. Selama memegang kekuasaan negara, pemerintahan Orde Baru tetap menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Adapun kelebihan dari sistem pemerintahan Orde Baru:

a. Perkembangan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang pada tahun 1968 hanya 70 dolar Amerika Serikat dan pada 1996 telah mencapai lebih dari 1.000 dolar Amerika Serikat.

b. Suksesnya aktivitas transmigrasi.

c. Suksesnya aktivitas Keluarga Berencana.

d. Sukses memerangi buta huruf. Akan tetapi dalam perjalanan pemerintahannya, Orde Baru melaksanakan beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Beberapa penyimpangan konstitusional yang paling menonjol pada masa Pemerintahan Orde Baru sekaligus menjadi kelemahan sistem pemerintahan Orde Baru ialah sebagai berikut:

a. Bidang ekonomi: Penyelengaraan ekonomi tidak didasarkan pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Terjadinya praktik monopoli ekonomi. Pembangunan ekonomi bersifat sentralistik, sehingga terjadi jurang pemisah antara pusat dan daerah. Pembangunan ekonomi dilandasi oleh tekad untuk kepentingan individu.

b. Bidang Politik: Kekuasaan berada di tangan forum eksekutif. Presiden sebagai pelaksana undang-undang kedudukannya lebih mayoritas dibandingkan dengan forum legislatif. Pemerintahan bersifat sentralistik, banyak sekali keputusan disosialisasikan dengan sistem komando. Tidak ada kebebasan untuk mengkritik jalannya pemerintahan. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) biasa terjadi yang tentunya merugikan perekonomian negara dan kepercayaan masyarakat.

c. Bidang hukum: Perundang-undangan yang mempunyai fungsi untuk membatasi kekuasaan presiden kurang memadai, sehingga kesempatan ini memberi peluang terjadinya praktik KKN dalam pemerintahan. Supremasi aturan tidak sanggup ditegakan lantaran banyaknya oknum penegak aturan yang cenderung memihak pada orang tertentu sesuai kepentingan. Hukum bersifat kebal terhadap penguasa dan konglomerat yang erat dengan penguasa.

Segala penyimpangan yang disebutkan di atas menimbulkan negara Indonesia terjerembab pada suatu keadaan krisis multidimensional.

Kondisi yang mencemaskan ini telah membangkitkan gerakan reformasi menumbangkan rezim otoriter. Maka pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri.

Sebagai gantinya, B.J Habibie yang ketika itu menjabat sebagai wakil presiden, dilantik sebagai Presiden RI yang ketiga.

Masa jabatan Presiden B.J Habibie berakhir setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh sidang Umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999

Periode ini disebut juga kala reformasi.

Gejolak politik di kala reformasi semakin mendorong usaha penegakan kedaulatan rakyat dan bertekad untuk mewujudkan pemerintahan yang higienis dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menghancurkan kehidupan bangsa dan negara.

Memasuki masa reformasi, bangsa Indonesia bertekad untuk membuat sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi.

Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:
a. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau direktur dan
b. jaminan atas hak asasi insan dan hak-hak warga negara.

Berdasarkan hal itu, salah satu bentuk reformasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia ialah melaksanakan perubahan atau amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diperlukan sanggup terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada hakikatnya tidak mengubah sistem pemerintahan Indonesia.

Baik sebelum maupun setelah perubahan, sistem pemerintahan Indonesia tetap presidensial. Tetapi perubahan tersebut telah mengubah kiprah dan hubungan presiden dan DPR.

Jika dulu presiden mempunyai peranan yang dominan, bahkan dalam praktiknya sanggup menekan lembaga-lembaga negara yang lain, sekarang Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 memberi kiprah yang lebih proporsional (berimbang) terhadap lembaga-lembaga negara.

Begitu pula kontrol terhadap kekuasaan presiden menjadi lebih ketat. Selain itu, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia.

Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah maka Undang-Undang Dasar NRI 1945 terdapat pembatalan dan penambahan lembaga-lembaga negara.

Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan perubahanperubahan fundamental dalam ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UndangUndang Dasar 1945, yaitu:
a. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2)).
b. MPR merupakan forum bikameral, yaitu terdiri dari anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota DPD (Pasal 2 ayat (1)).
c. Presiden dan Wapres dipilih eksklusif oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1)).
d. Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sanggup dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7).
e. Pencantuman hak asasi insan (Pasal 28A-28J).
f. Penghapusan DPA sebagai forum tinggi negara.
g. Presiden bukan mandataris MPR.
h. MPR tidak lagi menyusun GBHN.
i. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) (Pasal 24B dan 24C).
j. Anggaran pendidikan minimal 20% (Pasal 31 ayat (4)).
k. Negara kesatuan dihentikan diubah (Pasal 37 ayat (5)).
1. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus.

Related : Pkn Xii Cuilan 4 Dinamika Persatuan Dan Kesatuan Dalam Konteks Nkri

0 Komentar untuk "Pkn Xii Cuilan 4 Dinamika Persatuan Dan Kesatuan Dalam Konteks Nkri"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)