Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa nasihat bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan perdagangannya dari Malaka ke Aceh. Dengan demikian, perdagangan di Aceh semakin ramai.
Hal ini telah mendorong Aceh bermetamorfosis bandar dan pusat perdagangan.
Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan mirip di pantai timur Sumatera sebelah utara.
Bahkan Aceh kemudian bisa mengendalikan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, mirip di Barus, Tiku, dan Pariaman.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar (1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan daerah pantai barat Sumatera.
Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di daerah pantai Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagangpedagang asing.
Pedagang-pedagang gila mirip dari Perancis, Inggris, Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan
Aceh harus minta izin kepada Aceh. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. Oleh lantaran itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh.
Kembali Portugis tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.
Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada.
Tindakan Portugis ini tidak sanggup dibiarkan.
Aceh yang ingin berdaulat dan tetap sanggup mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di Sumatera, merencanakan untuk melaksanakan perlawanan.
Sebagai persiapan Aceh melaksanakan langkah-langkah antara lain:
1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit;
2) mendatangkan pertolongan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa hebat dari Turki pada tahun 1567; dan
3) mendatangkan pertolongan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah aneka macam pertolongan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka.
Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng Formosa. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini sanggup digagalkan.
Sebagai tindakan jawaban pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga sanggup digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan laba dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu sanggup melaksanakan monopoli.
Oleh lantaran itu, VOC harus bersaing dengan Portugis dan harus menerima izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap dominasi dan para pedagang asing.
Terkait dengan ini para pedagang Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601.
Dalam surat dipenuhi dengan kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat Aceh.
Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan Portugis, dan juga dicantumkan tawaran pertolongan untuk mengusir orangorang Portugis.
Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Dengan surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan Portugis, sanggup mendapatkan kehadiran para pedagang Belanda.
Bahkan pada tahun 1607 Aceh mengatakan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku di pantai Barat Sumatera.
Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap mempunyai pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi orang asing.
Oleh lantaran itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan gila semakin meningkat.
Bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan korelasi dan menolak kehadiran VOC.
Iskandar Muda yaitu raja yang gagah berani dan bercitacita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka.
Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang sudah berkuasa di Batavia.
Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang sanggup mengangkut 600-800 prajurit.
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.
Sementara itu untuk mengamankan daerahnya yang semakin luas mencakup Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.
Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting mirip di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.
Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan.
Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda.
Namun, serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk.
Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Portugis sanggup diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 1641, sehabis VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.
Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan perdagangannya dari Malaka ke Aceh. Dengan demikian, perdagangan di Aceh semakin ramai.
Hal ini telah mendorong Aceh bermetamorfosis bandar dan pusat perdagangan.
Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan mirip di pantai timur Sumatera sebelah utara.
Bahkan Aceh kemudian bisa mengendalikan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, mirip di Barus, Tiku, dan Pariaman.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar (1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan daerah pantai barat Sumatera.
Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di daerah pantai Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagangpedagang asing.
Pedagang-pedagang gila mirip dari Perancis, Inggris, Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan
Aceh harus minta izin kepada Aceh. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. Oleh lantaran itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh.
Kembali Portugis tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.
Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada.
Tindakan Portugis ini tidak sanggup dibiarkan.
Aceh yang ingin berdaulat dan tetap sanggup mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di Sumatera, merencanakan untuk melaksanakan perlawanan.
Sebagai persiapan Aceh melaksanakan langkah-langkah antara lain:
1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit;
2) mendatangkan pertolongan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa hebat dari Turki pada tahun 1567; dan
3) mendatangkan pertolongan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah aneka macam pertolongan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka.
Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng Formosa. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini sanggup digagalkan.
Sebagai tindakan jawaban pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga sanggup digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan laba dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu sanggup melaksanakan monopoli.
Oleh lantaran itu, VOC harus bersaing dengan Portugis dan harus menerima izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap dominasi dan para pedagang asing.
Terkait dengan ini para pedagang Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601.
Dalam surat dipenuhi dengan kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat Aceh.
Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan Portugis, dan juga dicantumkan tawaran pertolongan untuk mengusir orangorang Portugis.
Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Dengan surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan Portugis, sanggup mendapatkan kehadiran para pedagang Belanda.
Bahkan pada tahun 1607 Aceh mengatakan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku di pantai Barat Sumatera.
Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap mempunyai pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi orang asing.
Oleh lantaran itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan gila semakin meningkat.
Bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan korelasi dan menolak kehadiran VOC.
Iskandar Muda yaitu raja yang gagah berani dan bercitacita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka.
Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang sudah berkuasa di Batavia.
Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang sanggup mengangkut 600-800 prajurit.
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.
Sementara itu untuk mengamankan daerahnya yang semakin luas mencakup Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.
Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting mirip di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.
Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan.
Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda.
Namun, serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk.
Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Portugis sanggup diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 1641, sehabis VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.
Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate.
Tidak usang berselang orangorang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak
Persaingan itu semakin tajam sehabis Portugis berhasil menjalin komplotan dengan Ternate dan Spanyol akrab dengan Tidore.
Semua ini tidak terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan dan menanamkan kekuasaannya di Maluku.
Mereka sering memanfaatkan kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang membuat perpecahan di lingkungan istana.
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis.
Penyebab perang ini lantaran kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore.
Tentu saja Tidore tidak sanggup mendapatkan tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis.
Dalam perang ini Portugis menerima dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis menerima kemenangan.
Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku bernafsu terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan.
Maka, masuk akal bila sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat. Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera diakhiri.
Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian tenang antara Portugis dan Spanyol.
Perjanjian tenang dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina.
Dengan demikian sehabis ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat.
Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melaksanakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Kedudukan Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun.
Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua hingga Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis.
Portugis mulai kewalahan dan mengatakan negosiasi kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun mendapatkan seruan Portugis.
Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu tipu muslihat Portugis.
Pada ketika negosiasi sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Demi laba ekonomi Portugis telah merusak sendisendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun).
Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar.
Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis.
Akhirnya Portugis sanggup didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon.
Pada tahun1605 Portugis sanggup diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur
Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melaksanakan tindakan kejam dan otoriter kepada rakyat.
Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi.
Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said.
Sementara perlawanan secara gerilya terjadi mirip di Jailolo.
Namun aneka macam serangan itu selalu sanggup dipatahkan oleh kekuatan VOC yang mempunyai organisasi serta peralatan senjata lebih lengkap.
Rakyat terus mengalami penderitaan akhir kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian gres dengan penguasa Tidore.
Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang gres diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya yaitu Pangeran Nuku).
Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat.
Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).
Pangeran Nuku menerima dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera.
Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah.
Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat. Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bahu-membahu melawan VOC.
Pangeran Nuku juga menerima dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan maritim Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram Timur.
Para pedagang Seram Timur ini mempunyai kemandirian dan militansi yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga menerima dukungan dari armada Inggris (EIC).
Belanda kewalahan dan tidak bisa membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda.
Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore hingga simpulan hayatnya (tahun 1805).
Tidak usang berselang orangorang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak
Persaingan itu semakin tajam sehabis Portugis berhasil menjalin komplotan dengan Ternate dan Spanyol akrab dengan Tidore.
Semua ini tidak terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan dan menanamkan kekuasaannya di Maluku.
Mereka sering memanfaatkan kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang membuat perpecahan di lingkungan istana.
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis.
Penyebab perang ini lantaran kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore.
Tentu saja Tidore tidak sanggup mendapatkan tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis.
Dalam perang ini Portugis menerima dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis menerima kemenangan.
Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku bernafsu terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan.
Maka, masuk akal bila sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat. Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera diakhiri.
Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian tenang antara Portugis dan Spanyol.
Perjanjian tenang dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina.
Dengan demikian sehabis ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat.
Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melaksanakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Kedudukan Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun.
Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua hingga Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis.
Portugis mulai kewalahan dan mengatakan negosiasi kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun mendapatkan seruan Portugis.
Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu tipu muslihat Portugis.
Pada ketika negosiasi sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Demi laba ekonomi Portugis telah merusak sendisendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun).
Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar.
Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis.
Akhirnya Portugis sanggup didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon.
Pada tahun1605 Portugis sanggup diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur
Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melaksanakan tindakan kejam dan otoriter kepada rakyat.
Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi.
Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said.
Sementara perlawanan secara gerilya terjadi mirip di Jailolo.
Namun aneka macam serangan itu selalu sanggup dipatahkan oleh kekuatan VOC yang mempunyai organisasi serta peralatan senjata lebih lengkap.
Rakyat terus mengalami penderitaan akhir kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian gres dengan penguasa Tidore.
Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang gres diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya yaitu Pangeran Nuku).
Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat.
Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).
Pangeran Nuku menerima dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera.
Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah.
Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat. Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bahu-membahu melawan VOC.
Pangeran Nuku juga menerima dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan maritim Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram Timur.
Para pedagang Seram Timur ini mempunyai kemandirian dan militansi yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga menerima dukungan dari armada Inggris (EIC).
Belanda kewalahan dan tidak bisa membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda.
Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore hingga simpulan hayatnya (tahun 1805).
Sultan Agung yaitu raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan.
Cita-cita Sultan Agung antara lain:
(1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan
(2) mengusir kekuasaan gila dari bumi Nusantara.
Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang eksistensi kekuatan VOC di Jawa.
Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melaksanakan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.
Kebijakan monopoli itu juga sanggup membawa penderitaan rakyat. Oleh lantaran itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.
Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC;
2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka; 3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram; dan
4) eksistensi VOC di Batavia telah mengatakan bahaya serius bagi masa depan Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia.
Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen.
Pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.
Pasukan Mataram berusaha membangun pospos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi.
Akibatnya pertempuran antara kedua pihak tidak sanggup dihindarkan.
Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan mirip pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa.
Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari aneka macam tempat.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di aneka macam tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga sanggup memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram.
Tumenggung Baureksa gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian, serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang gres saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua.
Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan materi masakan mirip di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia.
Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya.
Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC.
Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras.
Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia.
Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.
Pada ketika pengepungan Benteng Bommel, terpetik info bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629.
Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melaksanakan penyerangan.
Dalam situasi yang kritis ini pasukan VOC semakin murka dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram.
Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, kesannya sanggup menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram.
Pasukan Mataram semakin melemah dan kesannya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan.
Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain.
Namun, di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram.
Sebagai teladan pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, pribadi diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan. Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan.
Namun, semangat dan harapan untuk melawan dominasi gila terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya.
Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram.
Sementara itu, tentara VOC sendiri bergotong-royong merasa khawatir dan segan terhadap kekuatan militer Mataram.
Sultan Agung yang cerdas itu kemudian memakai kemampuan diplomasi. Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung.
Hal ini buktikan dengan pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram.
Sementara VOC menerima imbalan diizinkan untuk melaksanakan perdagangan di pantai utara Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melaksanakan monopoli.
Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh rajaraja pengganti Sultan Agung.
Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga kesannya berhasil dikendalikan oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan akrab dengan VOC.
Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap otoriter kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.
Oleh lantaran itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul aneka macam perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya
Cita-cita Sultan Agung antara lain:
(1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan
(2) mengusir kekuasaan gila dari bumi Nusantara.
Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang eksistensi kekuatan VOC di Jawa.
Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melaksanakan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran.
Kebijakan monopoli itu juga sanggup membawa penderitaan rakyat. Oleh lantaran itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.
Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC;
2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka; 3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram; dan
4) eksistensi VOC di Batavia telah mengatakan bahaya serius bagi masa depan Pulau Jawa.
Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia.
Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen.
Pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.
Pasukan Mataram berusaha membangun pospos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi.
Akibatnya pertempuran antara kedua pihak tidak sanggup dihindarkan.
Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan mirip pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa.
Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari aneka macam tempat.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di aneka macam tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga sanggup memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram.
Tumenggung Baureksa gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian, serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang gres saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua.
Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan materi masakan mirip di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia.
Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya.
Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC.
Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras.
Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia.
Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.
Pada ketika pengepungan Benteng Bommel, terpetik info bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629.
Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melaksanakan penyerangan.
Dalam situasi yang kritis ini pasukan VOC semakin murka dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram.
Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, kesannya sanggup menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram.
Pasukan Mataram semakin melemah dan kesannya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan.
Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain.
Namun, di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram.
Sebagai teladan pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, pribadi diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan. Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan.
Namun, semangat dan harapan untuk melawan dominasi gila terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya.
Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram.
Sementara itu, tentara VOC sendiri bergotong-royong merasa khawatir dan segan terhadap kekuatan militer Mataram.
Sultan Agung yang cerdas itu kemudian memakai kemampuan diplomasi. Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung.
Hal ini buktikan dengan pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram.
Sementara VOC menerima imbalan diizinkan untuk melaksanakan perdagangan di pantai utara Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melaksanakan monopoli.
Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh rajaraja pengganti Sultan Agung.
Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga kesannya berhasil dikendalikan oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan akrab dengan VOC.
Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap otoriter kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.
Oleh lantaran itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul aneka macam perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya
Banten mempunyai posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional.
Oleh lantaran itu, semenjak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619.
Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh lantaran itu, rakyat Banten sering melaksanakan serangan-serangan terhadap VOC.
Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia yaitu cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu alFath Abdulfatah.
Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan VOC di Batavia.
Beberapa kebijakannya contohnya mengundang para pedagang Eropa lain mirip Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan korelasi dagang dengan negara-negara Asia mirip Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.
Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh lantaran itu, untuk melemahkan tugas Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melaksanakan blokade.
Jung-jung Cina dan kapalkapal dagang dari Maluku dihentikan oleh VOC meneruskan perjalanan menuju Banten.
Sebagai jawaban Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia.
Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melaksanakan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC.
Akibatnya korelasi antara Banten dan Batavia semakin memburuk.
Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan mirip Benteng Noordwijk.
Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diperlukan VOC bisa bertahan dari aneka macam serangan dari luar dan mengusir para penyerang tersebut.
Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun jalan masuk irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa hingga Pontang.
Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, jalan masuk irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun jalan masuk air/irigasi. Oleh lantaran jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).
Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan.
Di tengah-tengah mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji.
Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya.
Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji biar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan hingga kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mewaspadai ayah dan saudaranya.
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya.
Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah kontradiksi yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat.
(1) Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC,
(2) monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina,
(3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
(4) pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai.
Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang gres berpusat di Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC.
Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta pertolongan tentara VOC. Datanglah pertolongan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack.
Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa sanggup dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Benteng Tirtayasa juga dikepung tentara VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa kesannya berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.
Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor.
Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat. Sultan Ageng ditawan di Batavia hingga wafatnya pada tahun 1692.
Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam.
Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing.
Hal ini terbukti sehabis Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung.
Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa.
Pada bulan November 1750 adonan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa.
Ki Tapa ini antara lain juga menerima dukungan seorang pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus.
Perlawanan Ki Tapa ini semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh lantaran itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan adonan yang jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus.
Pasukan Ki Tapa sanggup didesak oleh VOC.
Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus sanggup meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.
Oleh lantaran itu, semenjak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619.
Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh lantaran itu, rakyat Banten sering melaksanakan serangan-serangan terhadap VOC.
Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia yaitu cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al- Ma’ali Ahmad yang wafat pada 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu alFath Abdulfatah.
Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan VOC di Batavia.
Beberapa kebijakannya contohnya mengundang para pedagang Eropa lain mirip Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan korelasi dagang dengan negara-negara Asia mirip Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.
Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh lantaran itu, untuk melemahkan tugas Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melaksanakan blokade.
Jung-jung Cina dan kapalkapal dagang dari Maluku dihentikan oleh VOC meneruskan perjalanan menuju Banten.
Sebagai jawaban Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia.
Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melaksanakan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC.
Akibatnya korelasi antara Banten dan Batavia semakin memburuk.
Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan mirip Benteng Noordwijk.
Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diperlukan VOC bisa bertahan dari aneka macam serangan dari luar dan mengusir para penyerang tersebut.
Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun jalan masuk irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa hingga Pontang.
Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, jalan masuk irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun jalan masuk air/irigasi. Oleh lantaran jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).
Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan.
Di tengah-tengah mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji.
Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya.
Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji biar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan hingga kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mewaspadai ayah dan saudaranya.
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya.
Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah kontradiksi yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat.
(1) Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC,
(2) monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina,
(3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
(4) pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai.
Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang gres berpusat di Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC.
Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta pertolongan tentara VOC. Datanglah pertolongan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack.
Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa sanggup dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Benteng Tirtayasa juga dikepung tentara VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa kesannya berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.
Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor.
Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat. Sultan Ageng ditawan di Batavia hingga wafatnya pada tahun 1692.
Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam.
Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing.
Hal ini terbukti sehabis Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung.
Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa.
Pada bulan November 1750 adonan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa.
Ki Tapa ini antara lain juga menerima dukungan seorang pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus.
Perlawanan Ki Tapa ini semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh lantaran itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan adonan yang jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus.
Pasukan Ki Tapa sanggup didesak oleh VOC.
Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus sanggup meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.
Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara.
Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja.
Banyak para pedagang gila yang tinggal di kota itu. Misalnya, orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di kota itu.
Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka dan akrab kepada siapa saja tanpa hak istimewa.
Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan membuat tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua insan dan maritim yaitu milik bersama.”
Dengan prinsip keterbukaan dan kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang. Makassar dengan pelabuhan Somba Opu mempunyai posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.
Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya.
Sebagai teladan kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya singgah dulu di Bandar Somba Opu.
Begitu pula barang dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga melaksanakan bongkar muat di Somba Opu.
Dengan melihat tugas dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang strategis, VOC berusaha keras untuk sanggup mengendalikan Gowa.
VOC ingin menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan. Untuk itu VOC harus sanggup menundukkan Kerajaan Gowa.
Berbagai upaya untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melaksanakan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal lantaran perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan gampang bergerak di antara pulau-pulau, yang ada.
Bahkan dengan memakai perahu-perahu tradisional mirip padewakang, palari, sope dan yang sudah begitu terkenal bahtera pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan Nusantara.
VOC pun merasa kesulitan untuk memburu dan menangkap perahu-perahu tersebut.
Oleh lantaran itu, ketika kapal-kapal VOC sedang patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan provokatif itu.
Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli di Gowa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC.
Benteng pertahanan mulai dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Gowa mulai dikoordinasikan.
Semua dipersiapkan untuk melawan kesewenangwenangan VOC. Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Gowa.
Politik devide et impera mulai dilancarkan. Misalnya VOC menjalin korelasi dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang berjulukan Aru Palaka.
Setelah menerima dukungan Aru Palaka, pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Gowa.
Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara.
Mereka terdiri atas tentara VOC, orang-orang Ambon, dan orang-orang Bugis Bone yang di pimpin oleh Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Gowa.
Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa.
Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari aneka macam penjuru.
Beberapa serangan VOC berhasil ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan adonan disertai peralatan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin.
Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang sanggup diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Gowa.
Hasanuddin kemudian dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya antara lain sebagai berikut.
1) Gowa harus mengakui hak monopoli VOC.
2) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Gowa.
3) Gowa harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, lantaran isi perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Gowa atau Makassar.
Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenangwenangan VOC itu.
Namun perlawanan ini segera sanggup dipadamkan oleh VOC. Bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC.
Benteng itu kemudian oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam. Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, VOC memang berhasil mengendalikan tugas politik Kerajaan Gowa.
Tetapi VOC tidak bisa mengendalikan dan memaksakan monopoli perdagangan di perairan Indonesia Timur.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya itu justru melahirkan diaspora perdagangan bagi orang-orang Bugis-Makassar. Mereka tidak menghiraukan monopoli yang dipaksakan VOC.
Dengan prinsip bebas berdagang mereka menyelundup ke aneka macam kota dan pelabuhan untuk berdagang termasuk perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Artinya VOC gagal dalam mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang BugisMakassar.
Heather Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan perdagangan di perairan Indonesia Timur yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar itu, karena:
(1) ketidakmungkinan membatasi perdagangan yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis yang sulit terpantau sehingga gampang untuk melaksanakan penyelundupan dagang,
(2) VOC mempunyai kelemahan dalam pemasaran, lantaran mengejar laba yang tinggi dan tidak bisa membangun jaringan dengan pasar lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal, dan
(3) keterlibatan VOC dalam pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut, sementara para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produkproduk maritim ini.
Akhirnya VOC tidak bisa bersaing dengan pedagang Cina dan pribumi (Singgih Tri Sulistiyono, “Pasang Surut Jaringan Makasar Hingga Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa. Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja.
Banyak para pedagang gila yang tinggal di kota itu. Misalnya, orang Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda. Mereka diizinkan membangun loji di kota itu.
Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka dan akrab kepada siapa saja tanpa hak istimewa.
Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan membuat tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua insan dan maritim yaitu milik bersama.”
Dengan prinsip keterbukaan dan kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang. Makassar dengan pelabuhan Somba Opu mempunyai posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.
Pelabuhan Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya.
Sebagai teladan kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka sebelumnya singgah dulu di Bandar Somba Opu.
Begitu pula barang dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga melaksanakan bongkar muat di Somba Opu.
Dengan melihat tugas dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang strategis, VOC berusaha keras untuk sanggup mengendalikan Gowa.
VOC ingin menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan. Untuk itu VOC harus sanggup menundukkan Kerajaan Gowa.
Berbagai upaya untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melaksanakan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal lantaran perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan gampang bergerak di antara pulau-pulau, yang ada.
Bahkan dengan memakai perahu-perahu tradisional mirip padewakang, palari, sope dan yang sudah begitu terkenal bahtera pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan Nusantara.
VOC pun merasa kesulitan untuk memburu dan menangkap perahu-perahu tersebut.
Oleh lantaran itu, ketika kapal-kapal VOC sedang patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan provokatif itu.
Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli di Gowa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC.
Benteng pertahanan mulai dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Gowa mulai dikoordinasikan.
Semua dipersiapkan untuk melawan kesewenangwenangan VOC. Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Gowa.
Politik devide et impera mulai dilancarkan. Misalnya VOC menjalin korelasi dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang berjulukan Aru Palaka.
Setelah menerima dukungan Aru Palaka, pimpinan VOC, Gubernur Jenderal Maetsuyker memutuskan untuk menyerang Gowa.
Dikirimlah pasukan ekspedisi yang berkekuatan 21 kapal dengan mengangkut 600 orang tentara.
Mereka terdiri atas tentara VOC, orang-orang Ambon, dan orang-orang Bugis Bone yang di pimpin oleh Aru Palaka. Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Gowa.
Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa.
Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari aneka macam penjuru.
Beberapa serangan VOC berhasil ditahan pasukan Hasanuddin. Tetapi dengan pasukan adonan disertai peralatan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin.
Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang sanggup diduduki oleh pasukan Aru Palaka. Hal ini menandai kemenangan pihak VOC atas kerajaan Gowa.
Hasanuddin kemudian dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya antara lain sebagai berikut.
1) Gowa harus mengakui hak monopoli VOC.
2) Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Gowa.
3) Gowa harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, lantaran isi perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Gowa atau Makassar.
Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenangwenangan VOC itu.
Namun perlawanan ini segera sanggup dipadamkan oleh VOC. Bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC.
Benteng itu kemudian oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam. Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, VOC memang berhasil mengendalikan tugas politik Kerajaan Gowa.
Tetapi VOC tidak bisa mengendalikan dan memaksakan monopoli perdagangan di perairan Indonesia Timur.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya itu justru melahirkan diaspora perdagangan bagi orang-orang Bugis-Makassar. Mereka tidak menghiraukan monopoli yang dipaksakan VOC.
Dengan prinsip bebas berdagang mereka menyelundup ke aneka macam kota dan pelabuhan untuk berdagang termasuk perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Artinya VOC gagal dalam mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang BugisMakassar.
Heather Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan perdagangan di perairan Indonesia Timur yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar itu, karena:
(1) ketidakmungkinan membatasi perdagangan yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis yang sulit terpantau sehingga gampang untuk melaksanakan penyelundupan dagang,
(2) VOC mempunyai kelemahan dalam pemasaran, lantaran mengejar laba yang tinggi dan tidak bisa membangun jaringan dengan pasar lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal, dan
(3) keterlibatan VOC dalam pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut, sementara para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produkproduk maritim ini.
Akhirnya VOC tidak bisa bersaing dengan pedagang Cina dan pribumi (Singgih Tri Sulistiyono, “Pasang Surut Jaringan Makasar Hingga Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Ambisi untuk melaksanakan monopoli perdagangan dan menguasai aneka macam daerah di Nusantara terus dilakukan oleh VOC.
Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau.
Kerajaan-kerajaan kecil mirip Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh ambisi monopoli dan tindakan otoriter VOC.
Oleh lantaran itu, beberapa kerajaan mulai melancarkan perlawanan.
Salah satu contohnya perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC.
Setelah berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka.
Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang berjulukan Raja Indra Pahlawan.
Itulah sebabnya semenjak dewasa Raja Indra Pahlawan sudah mempunyai kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.
Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat.
Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang berjulukan Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini juga mempunyai naluri mirip ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka.
Raja Muhammad Abdul Jalil Muzafar menunjuk Raja Indra Pahlawan sebagai pimpinan perangnya. Pada tahun 1751 perang berkobar antara Kerajaan Siak melawan VOC.
Sebagai seni administrasi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju Siak.
VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri, Kampar, hingga Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak.
Kapalkapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan pukulan bagi Siak.
Oleh lantaran itu, Kerajaan Siak segera mempersiapkan kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC.
Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra Pahlawan dan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali.
Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya.
Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar.
Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu.
Namun banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan pertolongan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina.
Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk mundur kembali ke Siak.
Sultan Siak bersama para panglima dan penasihatnya mengatur siasat baru. Mereka sepakat bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya.
Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara mengatakan hadiah kepada Belanda.
Oleh lantaran itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. VOC oke dengan seruan tenang ini.
Perundingan tenang diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada ketika negosiasi gres mulai justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah VOC.
Sultan segera memberi aba-aba pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda di loji itu.
Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengusir VOC dari Malaka.
Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan.
Oleh lantaran itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh”.
Di samping menguasai Malaka, VOC juga mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau.
Kerajaan-kerajaan kecil mirip Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar semakin terdesak oleh ambisi monopoli dan tindakan otoriter VOC.
Oleh lantaran itu, beberapa kerajaan mulai melancarkan perlawanan.
Salah satu contohnya perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723 – 1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC.
Setelah berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka.
Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan puteranya yang berjulukan Raja Indra Pahlawan.
Itulah sebabnya semenjak dewasa Raja Indra Pahlawan sudah mempunyai kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.
Dalam suasana konfrontasi dengan VOC itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah wafat.
Sebagai gantinya diangkatlah puteranya yang berjulukan Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746 -1760). Raja ini juga mempunyai naluri mirip ayahandanya yang ingin selalu memerangi VOC di Malaka.
Raja Muhammad Abdul Jalil Muzafar menunjuk Raja Indra Pahlawan sebagai pimpinan perangnya. Pada tahun 1751 perang berkobar antara Kerajaan Siak melawan VOC.
Sebagai seni administrasi menghadapi serangan Raja Siak, VOC berusaha memutus jalur perdagangan menuju Siak.
VOC mendirikan benteng pertahanan di sepanjang jalur yang menghubungkan Sungai Indragiri, Kampar, hingga Pulau Guntung yang berada di muara Sungai Siak.
Kapalkapal dagang yang akan menuju Siak ditahan oleh VOC. Hal ini merupakan pukulan bagi Siak.
Oleh lantaran itu, Kerajaan Siak segera mempersiapkan kekuatan yang lebih besar untuk menyerang VOC.
Sebagai pucuk pimpinan pasukan dipercayakan kembali kepada Raja Indra Pahlawan dan Panglima Besar Tengku Muhammad Ali.
Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya.
Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752 – 1753). Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar.
Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu.
Namun banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan pertolongan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina.
Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk mundur kembali ke Siak.
Sultan Siak bersama para panglima dan penasihatnya mengatur siasat baru. Mereka sepakat bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya.
Sultan diminta berpura-pura berdamai dengan cara mengatakan hadiah kepada Belanda.
Oleh lantaran itu, siasat ini dikenal dengan “siasat hadiah sultan”. VOC oke dengan seruan tenang ini.
Perundingan tenang diadakan di loji di Pulau Guntung. Pada ketika negosiasi gres mulai justru Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahah VOC.
Sultan segera memberi aba-aba pada anak buah dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda di loji itu.
Loji segera dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan membawa kemenangan, sekalipun belum berhasil mengusir VOC dari Malaka.
Siasat perang ini tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan.
Oleh lantaran itu, atas jasanya Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar: “Panglima Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh”.
Sejak kurun ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan korelasi dagang ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya ke Batavia.
Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang tiba ke Jawa.
VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya.
Ternyata kota Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk mengadu nasib di kota ini. Orang-orang Cina yang tiba ke Jawa tidak semua yang mempunyai modal.
Banyak di antara mereka termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri.
Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia. Akhirnya VOC mengeluarkan kebijakan membatasi imigran Cina.
Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus mempunyai surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”.
Apabila tidak mempunyai surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina.
Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut. Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit (Rds.2,-) per orang.
Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit.
Akibatnya banyak yang tidak bisa mempunyai surat izin tersebut. VOC bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak mempunyai surat izin bermukim ditangkap.
Tetapi mereka banyak yang sanggup melarikan diri keluar kota. Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan eksistensi VOC di Batavia.
Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan kejadian ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melaksanakan pemberontakan.
Oleh lantaran itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan melaksanakan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melaksanakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah.
Orang-orang Cina yang berhasil meloloskan diri kemudian melaksanakan perlawanan di aneka macam daerah, contohnya di Jawa Tengah.
Salah satu tokohnya yang terkenal yaitu Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan kiprahnya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan kekacauan yang meluas di aneka macam tempat terutama di daerah pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina ini menerima pertolongan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut.
Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura sanggup diserang sehingga jatuh banyak korban.
VOC segera meningkatkan kekuatan tentara dan persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu sanggup dipadamkan.
Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan kesannya melaksanakan negosiasi tenang dengan VOC.
Sikap Pakubuwana II yang demikian ini telah menambah panjang barisan orang-orang yang kecewa dan sakit hati di lingkungan kraton.
Kondisi ini pula yang telah mendorong VOC kemudian melaksanakan intervensi politik di lingkungan istana.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya ke Batavia.
Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang tiba ke Jawa.
VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya.
Ternyata kota Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk mengadu nasib di kota ini. Orang-orang Cina yang tiba ke Jawa tidak semua yang mempunyai modal.
Banyak di antara mereka termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri.
Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia. Akhirnya VOC mengeluarkan kebijakan membatasi imigran Cina.
Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus mempunyai surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”.
Apabila tidak mempunyai surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina.
Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut. Biaya untuk mendapatkan surat izin itu yang resmi dua ringgit (Rds.2,-) per orang.
Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi penyelewengan dengan membayar lebih mahal, tidak hanya dua ringgit.
Akibatnya banyak yang tidak bisa mempunyai surat izin tersebut. VOC bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak mempunyai surat izin bermukim ditangkap.
Tetapi mereka banyak yang sanggup melarikan diri keluar kota. Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan eksistensi VOC di Batavia.
Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan kejadian ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melaksanakan pemberontakan.
Oleh lantaran itu, para serdadu VOC mulai beraksi dengan melaksanakan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melaksanakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah.
Orang-orang Cina yang berhasil meloloskan diri kemudian melaksanakan perlawanan di aneka macam daerah, contohnya di Jawa Tengah.
Salah satu tokohnya yang terkenal yaitu Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan kiprahnya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan kekacauan yang meluas di aneka macam tempat terutama di daerah pesisir Jawa.
Perlawanan orang-orang Cina ini menerima pertolongan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut.
Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura sanggup diserang sehingga jatuh banyak korban.
VOC segera meningkatkan kekuatan tentara dan persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu sanggup dipadamkan.
Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan kesannya melaksanakan negosiasi tenang dengan VOC.
Sikap Pakubuwana II yang demikian ini telah menambah panjang barisan orang-orang yang kecewa dan sakit hati di lingkungan kraton.
Kondisi ini pula yang telah mendorong VOC kemudian melaksanakan intervensi politik di lingkungan istana.
Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi.
Perlawanan ini dipimpin oleh ningrat kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.
Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan akrab dengan kaum penjajah.
Pada ketika pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan VOC.
Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan dan melaksanakan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah dampak Kerajaan Mataram juga semakin berkurang.
Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para ningrat kerajaan.
Terlebih lagi VOC melaksanakan intervensi dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya aneka macam perlawanan contohnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said yaitu putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar.
Pada usia 14 tahun Raden Mas Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo.
Karena merasa sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Akibat permohonan ini Mas Said justru menerima cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung.
Mas Said merasa sakit hati dengan perilaku keluarga kepatihan.
Muncullah niat untuk melaksanakan perlawanan terhadap VOC yang telah membuat kerajaan kacau lantaran banyak kaum bangwasan yang bekerja sama dengan VOC.
Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC.
Raden Masa Said diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan.
Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan.
Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja gres dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang.
Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa.
Perlawanan Mas Said cukup berpengaruh lantaran menerima dukungan dari masyarakat sehingga menjadi bahaya yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram.
Oleh lantaran itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang sanggup memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).
Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II.
Pangeran Mangkubumi yaitu adik dari Pakubuwana II. Singkat dongeng Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said.
Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan raja tidak boleh ingkar).
Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak jadi mengatakan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi.
Terjadilah kontradiksi antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain.
Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan.
Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi.
Dia menganggap pejabat VOC secara pribadi telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana.
Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan dalam politik pemerintahan kerajaan.
Hal ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara tuanya Pakubuwana II yang mau didikte oleh VOC.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC.
Untuk memperkokoh komplotan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan.
Raden Mas Said bergerak di kepingan timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati.
Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di kepingan barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang).
Diberitakan pada ketika itu Pangeran Mangkubumi mempunyai 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat berpengaruh dan meluas di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kemenangan demi kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan pasukan Mangkubumi. Di tengah-tengah berkecamuknya perang di aneka macam tempat, terdengar info bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras.
Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera tiba ke istana kerajaan.
Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian.
Dalam kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van Hohendorft. Isi perjanjian ini sangat menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, lantaran Pakubuwana II telah menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC.
Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 yang isinya antara lain sebagai berikut.
1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC.
2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah bencana besar. Karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, kesannya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak gila (VOC).
Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlu diketahui bahwa pada ketika perjanjian antara Pakubuwana II dengan VOC ditandatangani, Pakubuwana II dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, sementara VOC juga belum mengangkat raja yang baru.
Mataram dalam keadaan vakum.
Dalam keadaan vakum ini, oleh para pengikutnya Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri Susuhunan Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer.
Karena penobatan Pangeran Mangkubumi ini bertempat di Desa Kabanaran, maka Pangeran Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan atau Sultan Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. Kemenangan demi kemenangan diperoleh Pangeran Mangkubumi dan juga Mas Said.
Sebagai teladan pasukan Mangkubumi berhasil menghancurkan De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu.
Dari Kedu pasukan Mangubumi bergerak ke utara dan berhasil menguasai daerah Pekalongan dan beberapa daerah pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan perlawanan Mangkubumi dan Mas Said mulai frustrasi dan putus asa.
Oleh lantaran itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan diri. Ia digantikan oleh Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku Gubernur Jenderal VOC digantikan oleh Jacob Mosel.
Kedua pejabat VOC yang gres ini berusaha keras untuk menuntaskan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Cara negosiasi mulai dipikirkan secara serius untuk mengakhiri perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada gejala mau berakhir.
Oleh lantaran itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan mediator seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, kesannya Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC.
Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti.
Isi pokok perjanjian itu yaitu bahwa Mataram dibagi dua.
Wilayah kepingan barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang kepingan timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer.
Namun peperangan dalam bentuk lain tidak sanggup dipadamkan mirip perlawanan budaya yang tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”.
Perlawanan budaya dengan konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang hingga Indonesia merdeka.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir sehabis tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Perlawanan ini dipimpin oleh ningrat kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.
Pada uraian terdahulu sudah disinggung bahwa beberapa raja Mataram pasca Sultan Agung merupakan raja-raja yang lemah bahkan akrab dengan kaum penjajah.
Pada ketika pemerintahan Pakubuwana II terjadi persahabatan dengan VOC.
Bahkan, VOC semakin berani untuk menekan dan melaksanakan intervensi terhadap jalannya pemerintahan Pakubuwana II. Wilayah dampak Kerajaan Mataram juga semakin berkurang.
Persahabatan antara Pakubuwana II dengan VOC ini telah menimbulkan kekecewaan para ningrat kerajaan.
Terlebih lagi VOC melaksanakan intervensi dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini mendorong munculnya aneka macam perlawanan contohnya perlawanan Raden Mas Said.
Raden Mas Said yaitu putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar.
Pada usia 14 tahun Raden Mas Said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo.
Karena merasa sudah berpengalaman, Raden Mas Said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Akibat permohonan ini Mas Said justru menerima cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung.
Mas Said merasa sakit hati dengan perilaku keluarga kepatihan.
Muncullah niat untuk melaksanakan perlawanan terhadap VOC yang telah membuat kerajaan kacau lantaran banyak kaum bangwasan yang bekerja sama dengan VOC.
Hal ini merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC.
Raden Masa Said diikuti R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa) pergi keluar kota untuk menyusun kekuatan.
Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan.
Oleh para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja gres dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang.
Hingga kini sebutan Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa.
Perlawanan Mas Said cukup berpengaruh lantaran menerima dukungan dari masyarakat sehingga menjadi bahaya yang serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram.
Oleh lantaran itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang sanggup memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).
Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana. Ia dengan pengikutnya terus melancarkan perlawanan terhadap VOC dan juga pihak kerajaan.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menakar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II.
Pangeran Mangkubumi yaitu adik dari Pakubuwana II. Singkat dongeng Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said.
Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali (perkataan raja tidak boleh ingkar).
Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak jadi mengatakan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi.
Terjadilah kontradiksi antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain.
Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan.
Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi.
Dia menganggap pejabat VOC secara pribadi telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana.
Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan dalam politik pemerintahan kerajaan.
Hal ini sekaligus untuk protes menolak kebijakan saudara tuanya Pakubuwana II yang mau didikte oleh VOC.
Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Kedua pihak bersepakat untuk bersatu melawan VOC.
Untuk memperkokoh komplotan ini, Raden Mas Said dijadikan menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk membagi wilayah perjuangan.
Raden Mas Said bergerak di kepingan timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowati.
Sedangkan Pangeran Mangkubumi konsentrasi di kepingan barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan, dekat Plered (termasuk daerah Yogyakarta sekarang).
Diberitakan pada ketika itu Pangeran Mangkubumi mempunyai 13.000 prajurit, termasuk 2.500 prajurit kavaleri.
Perpaduan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said sangat berpengaruh dan meluas di hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kemenangan demi kemenangan mulai diraih oleh pasukan Mas Said dan pasukan Mangkubumi. Di tengah-tengah berkecamuknya perang di aneka macam tempat, terdengar info bahwa pada tahun 1749 Pakubuwana II sakit keras.
Pakubuwana II sangat mengharapkan kehadiran pimpinan VOC untuk segera tiba ke istana kerajaan.
Melihat kondisi Pakubuwana II yang mulai tidak menentu dan sangat lemah itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff memerintahkan Gubernur Semarang Gijsbert Karel Van Hogendorp (1762-1834) untuk secepatnya menemui Pakubuwana II dan menyodorkan perjanjian.
Dalam kondisi Pakubuwana II sakit keras ini tercapailah Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang sangat penting antara Pakubuwana II dengan pihak VOC yang diwakili oleh Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut, Baron van Hohendorft. Isi perjanjian ini sangat menyakitkan rakyat dan para punggawa kerajaan, lantaran Pakubuwana II telah menyerahkan Kerajaan Mataram kepada VOC.
Perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 yang isinya antara lain sebagai berikut.
1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC.
2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah bencana besar. Karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, kesannya oleh para pewarisnya harus diserahkan begitu saja kepada pihak gila (VOC).
Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlu diketahui bahwa pada ketika perjanjian antara Pakubuwana II dengan VOC ditandatangani, Pakubuwana II dinyatakan bukan lagi Raja Mataram, sementara VOC juga belum mengangkat raja yang baru.
Mataram dalam keadaan vakum.
Dalam keadaan vakum ini, oleh para pengikutnya Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan sebutan Sri Susuhunan Pakubuwana, tetapi sebutan ini kurang begitu populer.
Karena penobatan Pangeran Mangkubumi ini bertempat di Desa Kabanaran, maka Pangeran Mangkubumi lebih terkenal dengan nama Susuhunan atau Sultan Kabanaran.
Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Pangeran Mangkubumi. Kemenangan demi kemenangan diperoleh Pangeran Mangkubumi dan juga Mas Said.
Sebagai teladan pasukan Mangkubumi berhasil menghancurkan De Clerq dan pasukannya di daerah Kedu.
Dari Kedu pasukan Mangubumi bergerak ke utara dan berhasil menguasai daerah Pekalongan dan beberapa daerah pesisir lainnya.
Van Hogendorp yang diberi tanggung jawab oleh VOC untuk memadamkan perlawanan Mangkubumi dan Mas Said mulai frustrasi dan putus asa.
Oleh lantaran itu, Van Hogendorp kemudian mengundurkan diri. Ia digantikan oleh Nicolas Hartingh. Begitu juga Van Imhoff selaku Gubernur Jenderal VOC digantikan oleh Jacob Mosel.
Kedua pejabat VOC yang gres ini berusaha keras untuk menuntaskan perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Cara negosiasi mulai dipikirkan secara serius untuk mengakhiri perlawanan tersebut.
Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada gejala mau berakhir.
Oleh lantaran itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan mediator seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, kesannya Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC.
Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti.
Isi pokok perjanjian itu yaitu bahwa Mataram dibagi dua.
Wilayah kepingan barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang kepingan timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Giyanti ini sering dinamakan dengan “Palihan Negari”.
Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer.
Namun peperangan dalam bentuk lain tidak sanggup dipadamkan mirip perlawanan budaya yang tercermin dalam budaya Jawa yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja”.
Perlawanan budaya dengan konsep dan kepercayaan “Dewa-Raja” bahkan terus berkembang hingga Indonesia merdeka.
Sementara perlawanan Mas Said berakhir sehabis tercapai Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas Said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
1. Perang Tondano
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 yaitu perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan kurun XIX. Perang pada permulaan kurun XIX ini terjadi akhir dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi cowok untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufk Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)
a) Perang Tondano I (1808)
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC.
Pada ketika datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah hingga di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang juga berbagi agama Kristen.
Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Nasrani di tanah Minahasa yaitu Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang.
Tetapi mulai kurun XVII korelasi dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC.
Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari dampak Spanyol.
Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa.
Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas berdagang mulai tersingkir lantaran ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina.
VOC berusaha memaksakan kehendak biar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC.
Hal ini lantaran VOC sangat membutuhkan beras untuk melaksanakan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara.
Orangorang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.
Untuk melemahkan orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan.
Akibatnya fatwa sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.
Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian mengatakan ultimatum yang isinya antara lain:
(1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC,
(2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi lantaran genangan air Sungai Temberan.
Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal lantaran ultimatumnya tidak diperhatikan.
Pasukan VOC kesannya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi duduk kasus dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada yang membeli.
Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC biar membeli hasilhasil pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh VOC.
Berakhirlah Perang Tondano I.
Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan gres di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).
b) Perang Tondano II (1809)
Perang Tondano II bergotong-royong sudah terjadi ketika memasuki kurun ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang menerima mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Daendels memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.
Mereka yang dipilih yaitu dari sukusuku yang mempunyai keberanian berperang.
Beberapa suku yang dianggap mempunyai keberanian yaitu orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa.
Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung
(Ukung yaitu pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Belanda menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim ke Jawa.
Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak oke dengan jadwal Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial.
Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Mereka memusatkan acara perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu yaitu Ukung Lonto.
Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap jadwal pengiriman 2.000 cowok Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa biar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orangorang Minahasa di Tondano Minawanua.
Belanda kembali menerapkan seni administrasi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano, sedangkan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat.
Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar.
Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melaksanakan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.
Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melaksanakan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan.
Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu mirip tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya.
Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri.
Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif.
Begitu juga serangan yang dari danau tidak bisa mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terdengar info kapal Belanda yang paling besar karam di danau.
Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan hingga Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan, mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda.
Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus mengatakan perlawanan.
Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha m e m p e r t a h a n k a n n y a . P a r a pejuang itu menentukan mati dari pada mengalah kepada penjajah.
2. Perang Pattimura (1817)
Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur”. Kekayaan yang diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu, senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa.
Namun tidak hanya memburu kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melaksanakan monopoli perdagangan.
Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan bebas yang telah usang berkembang di Nusantara.
Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku relatif lebih tenang lantaran Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku.
Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para cowok Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris.
Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat.
Dengan demikian, beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas.
Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, sementara itu para cowok akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku.
Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan perilaku besar kepala dan perilaku otoriter dari Residen Saparua.
Suatu ketika Belanda memesan bahtera orambai kepada nelayan. Setelah selesai bahtera diserahkan kepada Belanda.
Tetapi Belanda tidak mau membayar bahtera itu dengan harga yang pantas.
Mereka menuntut biar pemerintah bersedia membayar bahtera orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas.
Bahkan bahtera orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Padahal orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapalkapal Belanda di Maluku.
Belanda sama sekali tidak menghargai jasa orangorang Maluku. Oleh lantaran itu, para pembuat bahtera mengancam akan
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 yaitu perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan kurun XIX. Perang pada permulaan kurun XIX ini terjadi akhir dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi cowok untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufk Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)
a) Perang Tondano I (1808)
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC.
Pada ketika datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah hingga di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang juga berbagi agama Kristen.
Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Nasrani di tanah Minahasa yaitu Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang.
Tetapi mulai kurun XVII korelasi dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC.
Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari dampak Spanyol.
Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa.
Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas berdagang mulai tersingkir lantaran ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina.
VOC berusaha memaksakan kehendak biar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC.
Hal ini lantaran VOC sangat membutuhkan beras untuk melaksanakan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara.
Orangorang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.
Untuk melemahkan orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan.
Akibatnya fatwa sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung.
Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian mengatakan ultimatum yang isinya antara lain:
(1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC,
(2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi lantaran genangan air Sungai Temberan.
Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal lantaran ultimatumnya tidak diperhatikan.
Pasukan VOC kesannya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi duduk kasus dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada yang membeli.
Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC biar membeli hasilhasil pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh VOC.
Berakhirlah Perang Tondano I.
Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan gres di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).
b) Perang Tondano II (1809)
Perang Tondano II bergotong-royong sudah terjadi ketika memasuki kurun ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang menerima mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Daendels memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.
Mereka yang dipilih yaitu dari sukusuku yang mempunyai keberanian berperang.
Beberapa suku yang dianggap mempunyai keberanian yaitu orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa.
Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung
(Ukung yaitu pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Belanda menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim ke Jawa.
Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak oke dengan jadwal Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial.
Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Mereka memusatkan acara perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu yaitu Ukung Lonto.
Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap jadwal pengiriman 2.000 cowok Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa biar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orangorang Minahasa di Tondano Minawanua.
Belanda kembali menerapkan seni administrasi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano, sedangkan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat.
Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar.
Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melaksanakan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.
Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melaksanakan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan.
Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua.
Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu mirip tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya.
Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri.
Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif.
Begitu juga serangan yang dari danau tidak bisa mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terdengar info kapal Belanda yang paling besar karam di danau.
Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan hingga Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan, mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda.
Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus mengatakan perlawanan.
Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha m e m p e r t a h a n k a n n y a . P a r a pejuang itu menentukan mati dari pada mengalah kepada penjajah.
2. Perang Pattimura (1817)
Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur”. Kekayaan yang diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu, senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa.
Namun tidak hanya memburu kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melaksanakan monopoli perdagangan.
Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan bebas yang telah usang berkembang di Nusantara.
Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffles keadaan Maluku relatif lebih tenang lantaran Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku.
Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para cowok Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris.
Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat.
Dengan demikian, beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas.
Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, sementara itu para cowok akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku.
Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan perilaku besar kepala dan perilaku otoriter dari Residen Saparua.
Suatu ketika Belanda memesan bahtera orambai kepada nelayan. Setelah selesai bahtera diserahkan kepada Belanda.
Tetapi Belanda tidak mau membayar bahtera itu dengan harga yang pantas.
Mereka menuntut biar pemerintah bersedia membayar bahtera orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas.
Bahkan bahtera orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Padahal orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapalkapal Belanda di Maluku.
Belanda sama sekali tidak menghargai jasa orangorang Maluku. Oleh lantaran itu, para pembuat bahtera mengancam akan
0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xi Cuilan 2 Perang Melawan Kolonialisme Dan Imperialisme"