Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan titik simpulan usaha bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Belanda yang telah ratusan tahun mencicipi kekayaan Indonesia enggan mengakui kemerdekaan Indonesia.
Sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II merasa mempunyai hak atas nasib bangsa Indonesia. Belanda mencoba masuk kembali ke Indonesia dan menancapkan kolonialisme dan imperialismenya.
Sementara kondisi sosial ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan, perangkat-perangkat kenegaraan juga gres dibentuk, Indonesia menyerupai bayi gres lahir masih lemah, tetapi merdeka yakni harga mati.
Berbagai upaya bangsa ajaib untuk menguasai kembali bangsa Indonesia ditentang dengan banyak sekali cara. Pertempuran heroik dengan korban ribuan jiwa terjadi di banyak sekali tempat di Indonesia.
Tidak terhitung dengan terang berapa jumlah korban jiwa dari pertempuran mempertahankan bangsa Indonesia tersebut, bahkan banyak pahlawan tidak dikenal yang berguguran.
Nah, bagaimana kondisi awal Indonesia merdeka dan bagaimana proses usaha bangsa Indonesia berikutnya? Mari kita telusuri melalui kajian di bawah ini!
Belanda yang telah ratusan tahun mencicipi kekayaan Indonesia enggan mengakui kemerdekaan Indonesia.
Sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II merasa mempunyai hak atas nasib bangsa Indonesia. Belanda mencoba masuk kembali ke Indonesia dan menancapkan kolonialisme dan imperialismenya.
Sementara kondisi sosial ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan, perangkat-perangkat kenegaraan juga gres dibentuk, Indonesia menyerupai bayi gres lahir masih lemah, tetapi merdeka yakni harga mati.
Berbagai upaya bangsa ajaib untuk menguasai kembali bangsa Indonesia ditentang dengan banyak sekali cara. Pertempuran heroik dengan korban ribuan jiwa terjadi di banyak sekali tempat di Indonesia.
Tidak terhitung dengan terang berapa jumlah korban jiwa dari pertempuran mempertahankan bangsa Indonesia tersebut, bahkan banyak pahlawan tidak dikenal yang berguguran.
Nah, bagaimana kondisi awal Indonesia merdeka dan bagaimana proses usaha bangsa Indonesia berikutnya? Mari kita telusuri melalui kajian di bawah ini!
Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan banyak sekali insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak lain lantaran masih ada kekuatan ajaib yang tidak rela jikalau Indonesia merdeka. Sebagai pola rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu semoga tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. Di samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga Belanda atau NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berhasil tiba kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi lantaran gres awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar dan menentukan Presiden-Wakil Presiden. Bahkan, untuk menjaga keamanan negara juga telah dibuat TNI
Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Hal ini dipicu lantaran peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah. Permerintah RI sendiri tidak sanggup melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum mempunyai mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang, yaitu De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan, setelah NICA tiba ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah lantaran adanya blokade yang dilakukan NICA. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Inilah yang menimbulkan Jakarta semakin kacau sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Kemudian untuk mengatasi keadaan keuangan, pada 1 Oktober 1946 Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Sementara itu uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah. Struktur kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan, tidak ada lagi diskriminasi. Semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara dalam hal pendidikan, pemerintah mulai menyelenggarakan pendidikan yang diselaraskan dengan alam kemerdekaan. Menteri Pendidikan dan Pengajaran juga sudah diangkat. Kamu tahu siapa Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang pertama di Indonesia?
Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Hal ini dipicu lantaran peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah. Permerintah RI sendiri tidak sanggup melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum mempunyai mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang, yaitu De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan, setelah NICA tiba ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah lantaran adanya blokade yang dilakukan NICA. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Inilah yang menimbulkan Jakarta semakin kacau sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Kemudian untuk mengatasi keadaan keuangan, pada 1 Oktober 1946 Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Sementara itu uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah. Struktur kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan, tidak ada lagi diskriminasi. Semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara dalam hal pendidikan, pemerintah mulai menyelenggarakan pendidikan yang diselaraskan dengan alam kemerdekaan. Menteri Pendidikan dan Pengajaran juga sudah diangkat. Kamu tahu siapa Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang pertama di Indonesia?
Tentu kau masih ingat bagaimana Jepang mengalah kepada Sekutu. Penyerahan Jepang kepada Sekutu tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945 membuat analogi bahwa Sekutu mempunyai hak atas kekuasaan Jepang di banyak sekali wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara yang masuk dalam Sekutu. Belanda yakni salah satu negara yang berada di kelompok Sekutu. Apakah kau masih ingat bagaimana Belanda dikala kalah dan menyerahkan kekuasaan kepada Jepang? Apakah Belanda kembali ke tanah airnya? Setelah Belanda kalah dengan Jepang, mereka melarikan diri ke Australia. Bagaimana kondisi Indonesia setelah Jepang mengalah tanpa syarat kepada Sekutu? Bagi Sekutu dan Belanda, Indonesia dalam masa vacum of power atau kekosongan pemerintahan. Karena itu, kebijaksanaan Belanda yakni kembali berkuasa atas Indonesia mirip sebelum Indonesia direbut Jepang. Dengan kata lain, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Bagi Sekutu, setelah selesai PD II, maka negara-negara bekas jajahan Jepang merupakan tanggung jawab Sekutu. Sekutu mempunyai tanggung jawab perlucutan senjata tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang, dan melaksanakan normalisasi kondisi bekas jajahan Jepang? Bayangan Belanda wacana Indonesia jauh dari kenyataan. Faktanya, rakyat Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan bayangan Belanda dan Sekutu. Karena itu, sanggup diprediksi insiden berikutnya, yakni akan terjadi kontradiksi atau konflik antara Indonesia dengan Sekutu ataupun Belanda. Bagaimana dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk ke Indonesia diboncengi NICA. Mereka masuk melalui beberapa pintu wilayah Indonesia terutama tempat yang merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang mirip Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah PD II, terjadi negosiasi Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isinya wacana pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda, khusus yang menyangkut tempat Sumatra sebagai tempat yang berada di bawah pengawasan SEAC (South East Asia Command). Di dalam negosiasi itu dijelaskan langkahlangkah yang ditempuh sebagai berikut.
a. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. b. Fase kedua, setelah keadaan normal pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu. Setelah diketahui Jepang mengalah pada tanggal 15 Agustus 1945, maka Belanda mendesak Inggris semoga segera mensahkan hasil negosiasi tersebut. Pada tanggal 24 Agustus 1945 hasil negosiasi tersebut disahkan. Berdasarkan Persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk tempat yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command). Untuk melaksanakan isi Perjanjian Potsdam, maka pihak SWPAC di bawah Lord Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan tentara Sekutu di Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 September 1945, wakil Mountbatten, yakni Laksamana Muda WR Patterson dengan menumpang Kapal Cumberland, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam rombongan Patterson ikut serta Van Der Plass seorang Belanda yang mewakili H.J. Van Mook (Pemimpin NICA).
Setelah informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India, yang sering disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai berikut.
a. mendapatkan penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat. b. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu; c. melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya; d. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, membuat ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil; dan e. mengumpulkan keterangan wacana penjahat perang untuk kemudian diadili sesuai aturan yang berlaku. Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tiga divisi, yaitu sebagai berikut. a. Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal D.C Hawthorn. Daerah tugasnya di Jawa belahan barat dan berpusat di Jakarta. b. Divisi India 5 di bawah komando Jenderal E.C Mansergh bertugas di Jawa belahan timur dan berpusat di Surabaya. c. Divisi India 26 di bawah komando Jenderal H.M Chambers, bertugas di Sumatra, pusatnya ada di Medan. Kedatangan tentara Sekutu diboncengi NICA yang akan menegakkan kembali kekuatannya di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap Sekutu dan bersikap anti Belanda. Sementara Christison sebagai pemimpin AFNEI menyadari bahwa untuk menjalankan tugasnya mustahil tanpa proteksi pemerintah RI. Oleh lantaran itu, Christison bersedia berunding dengan pemerintah RI. Selanjutnya, Christison pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan akreditasi secara de facto wacana negara Indonesia. Namun, dalam kenyataannya pernyataan tersebut banyak dilanggarnya. Sebagai bukti akan kita lihat dalam kajian di berikut ini.
a. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. b. Fase kedua, setelah keadaan normal pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu. Setelah diketahui Jepang mengalah pada tanggal 15 Agustus 1945, maka Belanda mendesak Inggris semoga segera mensahkan hasil negosiasi tersebut. Pada tanggal 24 Agustus 1945 hasil negosiasi tersebut disahkan. Berdasarkan Persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk tempat yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command). Untuk melaksanakan isi Perjanjian Potsdam, maka pihak SWPAC di bawah Lord Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan tentara Sekutu di Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 September 1945, wakil Mountbatten, yakni Laksamana Muda WR Patterson dengan menumpang Kapal Cumberland, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam rombongan Patterson ikut serta Van Der Plass seorang Belanda yang mewakili H.J. Van Mook (Pemimpin NICA).
Setelah informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India, yang sering disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai berikut.
a. mendapatkan penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat. b. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu; c. melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya; d. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, membuat ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil; dan e. mengumpulkan keterangan wacana penjahat perang untuk kemudian diadili sesuai aturan yang berlaku. Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tiga divisi, yaitu sebagai berikut. a. Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal D.C Hawthorn. Daerah tugasnya di Jawa belahan barat dan berpusat di Jakarta. b. Divisi India 5 di bawah komando Jenderal E.C Mansergh bertugas di Jawa belahan timur dan berpusat di Surabaya. c. Divisi India 26 di bawah komando Jenderal H.M Chambers, bertugas di Sumatra, pusatnya ada di Medan. Kedatangan tentara Sekutu diboncengi NICA yang akan menegakkan kembali kekuatannya di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap Sekutu dan bersikap anti Belanda. Sementara Christison sebagai pemimpin AFNEI menyadari bahwa untuk menjalankan tugasnya mustahil tanpa proteksi pemerintah RI. Oleh lantaran itu, Christison bersedia berunding dengan pemerintah RI. Selanjutnya, Christison pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan akreditasi secara de facto wacana negara Indonesia. Namun, dalam kenyataannya pernyataan tersebut banyak dilanggarnya. Sebagai bukti akan kita lihat dalam kajian di berikut ini.
Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan banyak sekali reaksi dari masyarakat Indonesia. Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Hal ini menimbulkan banyak sekali upaya penentangan dan perlawanan dari masyarakat. Bagaimana insiden kekerasan akhir kedatangan Sekutu di Indonesia terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini.
a. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang lewat radio wacana sebuah pernyataan dan perintah semoga pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini semakin memperabukan semangat para perjaka Semarang dan sekitarnya untuk melaksanakan perebutan kekuasaan.
Bahkan Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang mengeluarkan pernyataan atau perintah sebagai berikut.
Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional di Jakarta, maka dengan ini kami atas nama rakyat Indonesia mengumumkan sementara aturan-aturan pernerintahan untuk menjaga keamanan umum di tempat Semarang.
1. Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI untuk tempat Semarang mulai berlaku.
2. Terhadap segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan diambil tindakan yang keras.
3. Senjata api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya harus diserahkan kepada polisi.
4. Hanya bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar.
5. Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil tindakan keras.
6. Selanjutnya semua penduduk hendaknya melaksanakan pekerjaannya sehari-hari sebagaimana biasa.
Semarang, 19 Agustus 1945
Kepala Pemerintahan RI Daerah Semarang
Wongsonegoro
Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan permintaan pemerintahan di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan perjaka Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh.
Sementara pimpinan mereka sedang berunding di dalam tangsi untuk membahas mengenai penyerahan senjata.
Perundingan itu berjalan tersendatsendat, tetapi jadinya disepakati penyerahan senjata secara bertahap.
Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para perjaka ke penjara Bulu, Semarang.
Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri dan minta proteksi kepada batalion Kedobutai.
Oleh lantaran itu, tanpa menunggu perintah, para perjaka segera menyerang dan melaksanakan perebutan senjata terhadap Jepang.
Terjadilah pertempuran sengit antara rakyat Indonesia melawan pasukan Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang.
Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang.
Oleh lantaran rakyat menjadi gelisah, dr. Kariadi, kepala laboratorium dinas Purusara Semarang ingin mengecek persediaan air tersebut namun ia dibunuh oleh tentara Jepang.
Hal ini telah menambah sengitnya pertempuran antara para perjaka melawan tentara Jepang.
Para perjaka berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan kemarahan Jepang.
Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha sanggup menguasai tempat Semarang kembali. Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan sebagai berikut.
a. Poros Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat gerakan proteksi pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
b. Poros Tengah, dengan target menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
c. Poros Timur, dengan target menduduki Sekolah Teknik dan mencegah datangnya proteksi BKR dari Demak, Pati, dan Rembang.
Sementara itu, dari pihak Indonesia telah tiba proteksi dari banyak sekali penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, mirip dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan mirip dari Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
Tanggal 17 Oktober 1945, tercapai suatu negosiasi mengenai gencatan senjata yang diadakan di Candi Baru.
Pihak Indonesia juga menyetujui negosiasi tersebut. Sekalipun telah disepakati adanya gencatan senjata, ternyata Jepang masih melanjutkan pertempuran.
Pada tanggal 18 Oktober 1945 (hari kelima), Jepang berhasil mematahkan banyak sekali serangan para pemuda.
Pada hari itu, telah tiba beberapa utusan pemerintah pusat dari Jakarta untuk merundingkan soal keamanan dan perdamaian di Semarang.
Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu, antara lain Kasman Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara lain Jenderal Nakamura. Kemudian, dilanjutkan negosiasi untuk mengatur gencatan senjata.
Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para perjaka tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00.
Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan pada perjanjian itu. Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada gejala semua senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang.
Sementara Jepang telah berkemas-kemas untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul 07.45 terpetik gosip bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang dengan menumpang kapal HMS Glenry.
Mereka terdiri atas pasukan Inggris, termasuk tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang.
Dengan kedatangan tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang.
Untuk mengenang pertempuran Lima Hari di Semarang ini, maka dibangun sebuah monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu Muda.
b. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, kudeta secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan agresi pemogokan.
Mereka memaksa orang-orang Jepang semoga menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia.
Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di tempat itu telah berada di tangan Pemerintahan RI.
Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan Malioboro.
Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah.
Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung. Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melaksanakan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para perjaka terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Rakyat dan para perjaka terdiri dari banyak sekali kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di Yogyakarta.
Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, dengan jaminan anak buahnya tidak disiksa.
Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR meminta semoga Butaico Pingit sanggup mempengaruhi Butaico Kotabaru untuk menyerah.
Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan Yogyakarta.
Dalam pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang dan 32 orang lukaluka. Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka. Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha kudeta meluas.
R.P. Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada di bawah kekuasaan RI.
c. Arek-arek Surabaya untuk Indonesia
Perhatikan gambar tokoh pahlawan berikut ini! Apakah kau mengenal tokoh tersebut? Beliau berjulukan Bung Tomo, terkenal lantaran perjuangannya dalam pertempuran Surabaya pada tahun 1945.
Pertempuran rakyat Surabaya dengan Sekutu terjadi pada tahun 1945 tersebut, menimbulkan ribuan rakyat yang gugur. Karena itulah bangsa Indonesia tetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan
Semangat tempur arek-arek Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu, tidak sanggup dilepaskan dari kemenangannya melawan kekuatan Jepang di Surabaya dan sekitarnya. Arek-arek Surabaya berhasil menyerbu dan menguasai markas Kempetai yang terletak di depan
Kantor Gubernur Surabaya. Semua senjata Kempetai Jepang dilucuti. Pertempuran meluas ke Markas Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu. Markas Jepang ini juga berhasil dikuasai para pejuang.
Gudang peluru di Kedung Cowek juga berhasil direbut oleh arek-arek Surabaya. Pertempuran kudeta terhadap Jepang ini berakhir setelah komandan Angkatan Darat Jepang Jenderal Iwabe mengalah dan menyusul komandan Angkatan Laut Laksamana Shibata. Semua kapal perang dan senjata serta pangkalannya diserahkan kepada pejuang Indonesia.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya.
Brigade ini yakni belahan dari Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn.
Mereka menerima kiprah dari panglima Allied forces for Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu.
Kedatangan mereka diterima oleh pemimpin pemerintah Jawa Timur, Gubernur Suryo.
Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1) Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda.
2) Disetujui kolaborasi antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
3) Akan segera dibuat “Kontak Biro” semoga kolaborasi sanggup terealisasi sebaik-baiknya.
4) Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya.
Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melaksanakan penyergapan ke penjara Kalisosok.
Mereka akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya.
Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital lainnya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara perjaka Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu sanggup dipukul mundur, bahkan hampir sanggup dihancurkan oleh pasukan Indonesia.
Beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.
Melihat kenyataan mirip itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi Presiden Sukarno untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu (Inggris) di Surabaya.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Syarifuddin tiba ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu.
Perdamaian berhasil dicapai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya yakni untuk menjaga keamanan di Surabaya dan sekitarnya.
Karena dirasa perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak, maka dibentuklah Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia mirip Residen Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara lain Mallaby dan Shaw.
Namun, setelah Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran di beberapa tempat.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil, para anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih terjadi kontak senjata. Pada dikala itu, gedung ini diduduki oleh tentara Inggris.
Arek-arek Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut semoga gedung itu dikosongkan. Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada Mallaby itu, membuat arek-arek Surabaya menuntut semoga Mallaby dan tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu sudah mulai gelap.
Ketika itu rombongan Mallaby sedang berada di tempat perhentian trem listrik yang terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30.
Ternyata kendaraan beroda empat yang ditumpangi Mallaby meledak dan ditemukan Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen Mallaby ini memancing kemarahan pasukan Inggris.
Pada tanggal 9 November 1945, Mayjen E.C. Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum semoga pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.
Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari Darat, Laut, dan Udara, apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum itu.
Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “………semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus tiba selambatlambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendera merah putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak 100 m dari tempat berdiri, kemudian mengangkat tangan tanda menyerah.”
Akhirnya pertempuran berkobar di Surabaya. Inggris mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya.
Pada tanggal 10 November 1945, terjadi pertempuran sengit di Surabaya. Salah satu tokoh pemuda, yaitu Sutomo
(Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan semangat juang arek-arek Surabaya.
Pada dikala terjadi pertempuran di Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan rakyat melalui pidato-pidatonya.
Di dalam pidatonya melalui radio yang begitu berapi-api dan selalu dimulai dan diakhiri dengan teriakan takbir, “Allahu Akbar”.
Tokoh lain, contohnya Ktut Tantri, yakni perempuan Amerika yang juga aktif dalam mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan Bung Tomo.
Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota, pada tanggal 9 November 1945 pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4. Kota Surabaya dibagi dalam 3 sektor pertahanan, yaitu Sektor Barat, Tengah dan Timur.
Sektor Barat dipimpin oleh Kunkiyat, Sektor Tengah antara lain dipimpin oleh Marhadi, sedangkan Sektor Timur dipimpin oleh Kadim Prawirodiarjo.
Sementara itu Sukarno memperabukan semangat juang rakyat lewat radio. Sesudah batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin ekplosif.
Kontak senjata pertama terjadi di Perak, yang berlangsung hingga jam 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan pertama.
Gerakan pasukan Inggris disertai dengan pengeboman yang ditujukan pada target yang diperkirakan menjadi tempat pemusatan pemuda.
Surabaya yang telah digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan oleh para perjaka hampir 3 ahad lamanya. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih, walaupun pihak Inggris menggunakan senjata-senjata modern dan berat.
Pertempuran yang terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan.
Markas pertahanan Surabaya dipindahkan ke desa yang terkenal dengan sebutan Markas Kali. Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia dari segala bentuk penjajahan.
Pertempuran di Surabaya telah memperlihatkan begitu heroiknya para pejuang kita untuk melawan kekuatan asing. Untuk mengenang, insiden itu, maka tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
d. Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR dan perjaka Indonesia melawan pasukan Inggris.
Latar belakang dari insiden ini dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang setelah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.
Oleh pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang.
Ternyata mereka diboncengi oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu.
Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden Magelang yang menjelma pertempuran antara TKR dan tentara Sekutu.
Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945.
Mereka mengadakan negosiasi gencatan senjata dan tercapai kata sepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya sebagai berikut.
1) Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melaksanakan kewajibannya melindungi dan mengurus penyelamatan Allied Prisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu);
2) Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi kemudian lintas IndonesiaSekutu; dan
3) Sekutu tidak akan mengakui kegiatan NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melaksanakan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
Pasukan TKR bersama perjaka dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.
Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melaksanakan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur pasukan Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.
Sementara itu, Batalion Imam Adrongi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian disusul 3 batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Suharto, batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalion Sugeng.
Musuh jadinya terkepung.
Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan dengan mengadakan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan Indonesia dari belakang dengan tanktanknya.
Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono. Dengan proteksi resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini, batalion Polisi spesial yang dipimpin Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu.
Di Desa Jambu para komandan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.
Rapat itu menghadirkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di Magelang. Sejak dikala Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor Selatan, sektor Barat dan sektor Timur.
Kekuatan pasukan bertempur secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yaitu Letkol Isdiman gugur.
Setelah mengetahui Isdiman gugur maka pimpinan pasukan TKR Purwokerto Kolonel Sudirman turun pribadi memimpin pasukan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa. Kolonel Sudirman menyodorkan taktik perang Supit Urang.
Taktik ini segera diterapkan. Musuh mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR.
Sejak dikala itu, pimpinan pasukan TKR Purwokerto dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
Pada tanggal 5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan yang terdepan. Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR bergerak menuju target masingmasing.
Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melaksanakan pertempuran.
Pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting lantaran letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka sanggup mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta, Magelang dan Yogyakarta.
Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan yang gemilang. Menyambut kemenangan itu Sudirman yang masih berpakaian perang pribadi mengambil air wudu dan segera melaksanakan sujud syukur seraya berdoa: Ya Allah ya Tuhan, Maha Besar dan Maha Kuasa Engkau.
Engkaulah sumber kekuatan dan kemenangan. Ampunilah hamba-Mu yang lemah dan dhaif ini dan berikan kami kekuatan”.
Kemenangan pertempuran Ambarawa ini cepat menyebar ke pos-pos pertahanan TKR, bahkan hingga ke dapur-dapur umum. Hal ini semakin menambah semangat juang pada pejuang di medan tempur.
Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin terkenal sebagai komandan dan pimpinan TKR. Kemenangan ini juga memperlihatkan bahwa Republik Indonesia masih mempunyai pasukan yang berpengaruh yaitu pasukan TKR dan rakyat yang menolak kembalinya penjajah di bumi pertiwi Indonesia. Untuk mengenang pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan Hari Infanteri. Di Ambarawa juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.
e. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan.
Pemerintahan RI Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Medan, mirip Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan lainnya, lantaran menghormati kiprah mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan.
Sehari setelah mendarat, tim dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan.
Ternyata kelompok itu pribadi dibuat menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu, maka tampaklah perubahan perilaku dari bekas tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak lantaran merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara impulsif oleh para pemuda.
Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang digunakan oleh salah seorang yang ditemuinya.
Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda Insiden ini menjalar ke banyak sekali kota mirip Pematang Siantar dan Brastagi.
Sementara itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 dibuat TKR Sumatra Timur dengan pimpinannya Ahmad Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan terhadap bekas Giyugun dan Heiho ke Sumatra Timur.
Panggilan ini menerima sambutan luar biasa dari mereka. Di samping TKR, di Sumatra Timur terbentuk juga badan-badan usaha yang semenjak 15 Oktober 1945 menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur dan kemudian berganti nama menjadi Pesindo.
Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, Inggris memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan Republik dengan cara memperlihatkan ultimatum kepada bangsa Indonesia semoga menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Hal ini dilakukan pula oleh Kelly terhadap perjaka Medan pada tanggal 18 Oktober1945.
Sejak dikala itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak Inggris. Demikian pula pasukan Sekutu mulai melaksanakan aksi-aksi terornya, sehingga timbul rasa permusuhan di kalangan pemuda.
Patroli-patroli Inggris tidak pernah merasa aman, lantaran pemerintah Republik Indonesia tidak memperlihatkan jaminan keamanan.
Meningkatnya korban di pihak Inggris menimbulkan mereka memperkuat kedudukannya dan menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di banyak sekali sudut pinggiran kota Medan. Tindakan pihak Inggris itu merupakan tantangan bagi para pemuda.
Pihak Inggris bersama NICA melaksanakan agresi pencucian terhadap unsur-unsur Republik yang berada di kota Medan.
Para perjaka membalas aksi-aksi tersebut, setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan, bahkan seringkali terjadi tembak menembak. Pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha menghancurkan konsentrasi TKR di Trepes.
Selanjutnya TKR menculik seorang perwira Inggris dan menghancurkan beberapa truk. Dengan insiden ini Jenderal Kelly kembali mengancam para perjaka semoga menyerahkan senjata mereka. Barang siapa yang nyata-nyata melanggar akan ditembak mati.
Daerah yang ditentukan yakni kota Medan dan Belawan. Perlawanan terus memuncak, pada bulan April 1946 tentara Inggis mulai berusaha mendesak pemeintah RI ke luar kota Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar.
Dengan demikian Inggris berhasil menguasai kota Medan. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area.
Pertemuan tetapkan dibentuknya satu komando yang berjulukan “Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area” yang dibagi atas 4 sektor dan bermarkas di Sudi Mengerti (Trepes). Di bawah komando inilah mereka meneruskan usaha di Medan Area.
f. Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para perjaka untuk merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang Pindad) dan berlangsung terus hingga kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada 17 Oktober 1945.
Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA melaksanakan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran.
Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia.
Namun, semangat juang rakyat dan para perjaka yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan usaha semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran terjadi.
Pada bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin panglima TKR, Aruji Kartawinata.
Dewan usaha ini terdiri atas wakil-wakil TKR dan banyak sekali kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum semoga para pejuang menyerahkan senjata dan mengosongkan Bandung Utara.
Ternyata ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para perjaka melaksanakan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung di bawah Sekutu.
Penculikan juga sering terjadi. Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Dalam suasana yang demikian itu, Majelis Dewan Perjuangan tidak sabar menunggu reaksi dari pemerintah. Majelis yang terdiri dari banyak sekali kesatuan ini tetapkan untuk melancarkan perlawanan.
Pada malam hari tanggal 24 - 25 November 1945 rakyat Bandung melancarkan serangan terhadap posisi-posisi Sekutu dan NICA. Tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum.
Isi ultimatum itu yakni semoga TRI mengosongkan seluruh kota Bandung dan mundur ke luar kota dengan jarak 11 km. Untuk menghindari penderitaan rakyat dan kehancuran kota Bandung, maka Pemerintah RI menyetujui untuk melaksanakan pengosongan kota Bandung.
Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi menginstruksikan rakyat untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946.
Malam harinya bangunan-bangunan penting mulai dibakar dan ditinggalkan mengungsi ke Bandung Selatan oleh sekitar 200.000 warganya. Kota Bandung yang terbakar ini juga disaksikan oleh istri Otto Iskandardinata yang masih menunggu kabar kepastian hilangnya sang suami.
Warga mengungsi dengan membawa barang seadanya, sebagian mengatur perjalanan ke pengungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen kota, sebagian memperabukan gedung-gedung penting, bahkan meledakkan bangunanbangunan besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya gudang mesiu yang diledakkan oleh Mohammad Toha yang gugur bersama ledakan. Tengah malam kota Bandung yang terbakar telah ditinggalkan.
Menyisakan kenangan usaha Bandung Lautan Api. Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars Halo Halo Bandung diciptakan.
Kemudian monumen pun didirikan di lapangan Tegalega. Sineas pun tak luput menjadikan insiden tersebut dalam film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan Api” karya Alam Rengga Surawijaya.
Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra juga mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua wacana Bandung Lautan Api.
g. Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, hingga pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang dikala itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar menerima kiprah dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional Indonesia.
Sementara itu, para perjaka Sulawesi memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru.
Atas inisiatif Manai Shopian dan kawan-kawan, dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat itu tentara Sekutu dengan cepat sanggup menguasai Indonesia belahan Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk memberikan gosip proklamasi ke penjuru Sulawesi menerima halangan dari tentara Sekutu.
Para perjaka mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok perjaka yang terdiri dari bekas Kaigun, Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya.
Akibat insiden itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan perjaka dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng.
Bahkan Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua. Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mulamula gosip diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh tentara Jepang.
Saat itu yang bertugas memimpin Heiho yakni Idie Heiso dan Sudamitsu Heiso. Sementara gosip proklamasi gres diketahui oleh rakyat Muna, dikala Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari.
Di Buton gosip proklamasi diterima rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari orang-orang Jepang yang tiba ke Makassar. Mula-mula gosip itu diterima di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi).
Di Sulawesi Tengah, gosip proklamasi diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat.
Berita itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara Heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu menyampaikan “Bangsa Indonesia sudah merdeka”. Di Manado, gosip proklamasi pertama kali diterima di markas besar tentara Jepang yang berkedudukan di Minahasa.
Di Markas itu terdapat alat-alat sarana komunikasi yang mempekerjakan tenaga Indonesia diantaranya yakni A.S. Rombot. Saat itu, Rombot sedang menerima kiprah untuk mendapatkan gosip Domei dari Tokyo. Pada dikala itulah gosip wacana proklamasi yang disebarkan di seluruh penjuru dunia itu diketahuinya, tepatnya pada 18 Agustus 1945.
Berita itu diterimanya bersamaan dengan gosip kapitulasi Jepang dan perintah genjatan senjata. Segera setelah bertugas Rombot mengontak W.F. Sumati yang dikala itu sebagai daidancho boo ei Teisintai di Tondano.
Kedua tokoh itu kemudian memberikan gosip proklamasi itu ke tokoh-tokoh nasionalis. Berita itu kemudian disebarkan ke Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo.
Setelah gosip proklamasi kemerdekaan tersebar keseluruh penjuru Sulawesi, semenjak itu pula bendera merah putih mulai berkibar menjadi lambang Indonesia merdeka. Cita-cita yang sudah usang diinginkan oleh rakyat pun terwujud. Di Sulawesi Tenggara misalnya, bendera merah putih dikibarkan pada 17 September 1945 dengan dipimpin oleh D. Andi Kasim.
Di Lasusua bendera merah putih dikibarkan pada 5 Oktober 1945 yang dihadiri oleh kepala distrik Patampanua dan beberapa pimpinan perjaka RI dari Luwu.
Sementara itu, pada 14 Februari 1946, B.W. Lapian sebagai pemimpin sipil pada dikala itu memimpin pasukan perjaka bersama Letkol. Ch. Taulu dan Serda S.D. Wuisan merobek belahan biru pada bendera Belanda di tangsi militer Belanda, di Teling, Menado. Peristiwa heroik itu menandai berkibarnya bendera merah putih.
h. Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi adonan dan pertempuran bahari pertama semenjak berdirinya negara Republik Indonesia. insiden itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 3 Maret 1946.
Hal ini dimaksudkan Bali sebagai kerikil loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga sanggup dijadikan penghubung ke arah Australia.
Dengan perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin usaha yang sudah hingga di Jawa berusaha mencari proteksi dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Markadi atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk.
Pasukan itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Markadi sebelumnya bertugas mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, lantaran makin lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.
Kondisi itu mendorong Letjen. Urip Sumoharjo di Markas Besar TRI Yogyakarta untuk tetapkan memperkuat TRI Sunda Kecil dengan proteksi senjata dan amunisi kepada I Gusti Ngurah Rai.
Untuk itulah Pasukan M berperan penopang Pasukan Sunda Kecil di bawah Pimpinan Ngurah Rai. Pasukan ini juga dilengkapi pasukan sandi yang disebut CIS (Combat Intelligent Section) yang terdiri dari para pelajar.
Disiapkanlah tiga pasukan untuk memblokade pasukan Belanda. Pasukan angkatan bahari dipimpin oleh Kapten Makardi dan Waroka.
Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Operasi itu direncanakan melalui tiga titik pendaratan. Pasukan Waroka mendarat di Pantai Gerokgak dan Celuk Bawang.
Pasukan Markadi mendarat di antara Cupel dan Candi Kusuma, Jembrana dan Pasukan I Gusti Gurah Rai mendarat di Pantai Yeh Kuning.
Operasi belakang layar itu ditujukan untuk mendapatkan informasi intelijen yang akurat. Pasukan diberangkatkan dari Muncar Banyuwangi dengan target tempat Kuning dan terus ke Munduk Malang. Penyeberangan dilaksanakan malam hari.
Rombongan ini dalam penyeberangannya di tengah bahari dipergoki oleh patroli Belanda dan pribadi menembaki ke arah rombongan pasukan Ngurah Rai.
Akibatnya Cokorde Rai Gambir dan Cokorde Dharma Putra gugur. Sebagian berhasil mendarat di Yeh Kuning dan sebagian lagi di bawah Ngurah Rai kembali ke Muncar.
Keesokan harinya tanggal 4 April 1946, rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya menuju Munduk Malang.
Gelombang ketiga, Pasukan M sebagai induk pasukan berangkat pada tanggal 4 April 1946 malam hari. Mereka berangkat dari pelabuhan Banyuwangi dengan berkekuatan empat peleton. Sasarannya akan mendarat di tempat Candikusuma.
Saat fajar menyingsing, rombongan Pasukan M dipergoki oleh dua motorboat Belanda yang sedang berpatroli.
Terjadilah pertempuran antara Pasukan M melawan patroli Belanda. Dengan taktik melekat pada motorboat Belanda, Pasukan M sulit untuk ditembaki Belanda.
Sebaliknya, Pasukan M sanggup melemparkan granat-granat tangan ke dek motorboat. Akhirnya, satu motorboat Belanda terbakar dan karam serta yang satunya melarikan diri.
Setelah berhasil menghancurkan patroli Belanda, Pasukan memerintahkan untuk putar haluan kembali ke Banyuwangi, lantaran arus bahari yang berpengaruh dan kapal Markadi sendiri berlobang-lobang. Dalam perang ini, pihak Pasukan M gugur dua orang, yakni Sumeh Darsono dan Sidik.
Keesokan harinya, Pasukan M kembali berlayar menuju Bali dan mereka berhasil melaksanakan pendaratan di Klatakan, Melaya, dan Candikusuma. Sesampainya di Bali dilakukan koordinasi dan dibuat MGGSK (Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil).
Kemudian pada bulan Juli 1946, juga terjadi pendaratan pasukan tempur yang dipimpin oleh Kapten Saestuhadi.
Setelah itu terjadilah pertempuran di banyak sekali daerah. Mula pertama pasukan MGGSK dihadang oleh pasukan Belanda di Klatakan. Terjadilah pertempuran sengit. Pasukan MGGSK terdesak dan pemimpin yang gugur, antara lain Kapten Saestuhadi, Kapten Suryadi, dan Letnan Nurhadi.
Selanjutnya, Pasukan M melaksanakan penyerangan ke banyak sekali daerah, antara lain, di Gilimanuk Cekik, Penginuman, Candikusuma, Cupek, Negara, Sarikuning, Pulukan, Gunungsari, Klatakan, Munduk Malang, Tabanan, dan Celukan Bawang.
Untuk mengenang usaha pasukan kita yang gugur dalam operasi lintas laut, maka di tempat Cekik, Gilimanuk didirikan monumen yang dinamakan Monumen Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.
a. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang lewat radio wacana sebuah pernyataan dan perintah semoga pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini semakin memperabukan semangat para perjaka Semarang dan sekitarnya untuk melaksanakan perebutan kekuasaan.
Bahkan Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang mengeluarkan pernyataan atau perintah sebagai berikut.
Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional di Jakarta, maka dengan ini kami atas nama rakyat Indonesia mengumumkan sementara aturan-aturan pernerintahan untuk menjaga keamanan umum di tempat Semarang.
1. Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI untuk tempat Semarang mulai berlaku.
2. Terhadap segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan diambil tindakan yang keras.
3. Senjata api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya harus diserahkan kepada polisi.
4. Hanya bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar.
5. Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil tindakan keras.
6. Selanjutnya semua penduduk hendaknya melaksanakan pekerjaannya sehari-hari sebagaimana biasa.
Semarang, 19 Agustus 1945
Kepala Pemerintahan RI Daerah Semarang
Wongsonegoro
Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan permintaan pemerintahan di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan perjaka Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh.
Sementara pimpinan mereka sedang berunding di dalam tangsi untuk membahas mengenai penyerahan senjata.
Perundingan itu berjalan tersendatsendat, tetapi jadinya disepakati penyerahan senjata secara bertahap.
Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para perjaka ke penjara Bulu, Semarang.
Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri dan minta proteksi kepada batalion Kedobutai.
Oleh lantaran itu, tanpa menunggu perintah, para perjaka segera menyerang dan melaksanakan perebutan senjata terhadap Jepang.
Terjadilah pertempuran sengit antara rakyat Indonesia melawan pasukan Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang.
Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang.
Oleh lantaran rakyat menjadi gelisah, dr. Kariadi, kepala laboratorium dinas Purusara Semarang ingin mengecek persediaan air tersebut namun ia dibunuh oleh tentara Jepang.
Hal ini telah menambah sengitnya pertempuran antara para perjaka melawan tentara Jepang.
Para perjaka berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin meningkatkan kemarahan Jepang.
Pada hari kedua dan ketiga Jepang berusaha sanggup menguasai tempat Semarang kembali. Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan sebagai berikut.
a. Poros Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat gerakan proteksi pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
b. Poros Tengah, dengan target menguasai markas AMRI di Hotel Du Pavillon.
c. Poros Timur, dengan target menduduki Sekolah Teknik dan mencegah datangnya proteksi BKR dari Demak, Pati, dan Rembang.
Sementara itu, dari pihak Indonesia telah tiba proteksi dari banyak sekali penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, mirip dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan mirip dari Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
Tanggal 17 Oktober 1945, tercapai suatu negosiasi mengenai gencatan senjata yang diadakan di Candi Baru.
Pihak Indonesia juga menyetujui negosiasi tersebut. Sekalipun telah disepakati adanya gencatan senjata, ternyata Jepang masih melanjutkan pertempuran.
Pada tanggal 18 Oktober 1945 (hari kelima), Jepang berhasil mematahkan banyak sekali serangan para pemuda.
Pada hari itu, telah tiba beberapa utusan pemerintah pusat dari Jakarta untuk merundingkan soal keamanan dan perdamaian di Semarang.
Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu, antara lain Kasman Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara lain Jenderal Nakamura. Kemudian, dilanjutkan negosiasi untuk mengatur gencatan senjata.
Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para perjaka tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00.
Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan pada perjanjian itu. Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada gejala semua senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang.
Sementara Jepang telah berkemas-kemas untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul 07.45 terpetik gosip bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang dengan menumpang kapal HMS Glenry.
Mereka terdiri atas pasukan Inggris, termasuk tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang.
Dengan kedatangan tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang.
Untuk mengenang pertempuran Lima Hari di Semarang ini, maka dibangun sebuah monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu Muda.
b. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, kudeta secara serentak dimulai pada tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan agresi pemogokan.
Mereka memaksa orang-orang Jepang semoga menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia.
Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di tempat itu telah berada di tangan Pemerintahan RI.
Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan Malioboro.
Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah.
Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung. Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melaksanakan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para perjaka terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Rakyat dan para perjaka terdiri dari banyak sekali kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di Yogyakarta.
Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, dengan jaminan anak buahnya tidak disiksa.
Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR meminta semoga Butaico Pingit sanggup mempengaruhi Butaico Kotabaru untuk menyerah.
Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan Yogyakarta.
Dalam pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang dan 32 orang lukaluka. Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka. Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha kudeta meluas.
R.P. Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada di bawah kekuasaan RI.
c. Arek-arek Surabaya untuk Indonesia
Perhatikan gambar tokoh pahlawan berikut ini! Apakah kau mengenal tokoh tersebut? Beliau berjulukan Bung Tomo, terkenal lantaran perjuangannya dalam pertempuran Surabaya pada tahun 1945.
Pertempuran rakyat Surabaya dengan Sekutu terjadi pada tahun 1945 tersebut, menimbulkan ribuan rakyat yang gugur. Karena itulah bangsa Indonesia tetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan
Semangat tempur arek-arek Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu, tidak sanggup dilepaskan dari kemenangannya melawan kekuatan Jepang di Surabaya dan sekitarnya. Arek-arek Surabaya berhasil menyerbu dan menguasai markas Kempetai yang terletak di depan
Kantor Gubernur Surabaya. Semua senjata Kempetai Jepang dilucuti. Pertempuran meluas ke Markas Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu. Markas Jepang ini juga berhasil dikuasai para pejuang.
Gudang peluru di Kedung Cowek juga berhasil direbut oleh arek-arek Surabaya. Pertempuran kudeta terhadap Jepang ini berakhir setelah komandan Angkatan Darat Jepang Jenderal Iwabe mengalah dan menyusul komandan Angkatan Laut Laksamana Shibata. Semua kapal perang dan senjata serta pangkalannya diserahkan kepada pejuang Indonesia.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya.
Brigade ini yakni belahan dari Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn.
Mereka menerima kiprah dari panglima Allied forces for Netherlands East Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu.
Kedatangan mereka diterima oleh pemimpin pemerintah Jawa Timur, Gubernur Suryo.
Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1) Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda.
2) Disetujui kolaborasi antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
3) Akan segera dibuat “Kontak Biro” semoga kolaborasi sanggup terealisasi sebaik-baiknya.
4) Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya.
Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melaksanakan penyergapan ke penjara Kalisosok.
Mereka akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya.
Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital lainnya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara perjaka Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu sanggup dipukul mundur, bahkan hampir sanggup dihancurkan oleh pasukan Indonesia.
Beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.
Melihat kenyataan mirip itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi Presiden Sukarno untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu (Inggris) di Surabaya.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Syarifuddin tiba ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu.
Perdamaian berhasil dicapai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya yakni untuk menjaga keamanan di Surabaya dan sekitarnya.
Karena dirasa perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak, maka dibentuklah Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia mirip Residen Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara lain Mallaby dan Shaw.
Namun, setelah Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran di beberapa tempat.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil, para anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih terjadi kontak senjata. Pada dikala itu, gedung ini diduduki oleh tentara Inggris.
Arek-arek Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut semoga gedung itu dikosongkan. Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada Mallaby itu, membuat arek-arek Surabaya menuntut semoga Mallaby dan tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu sudah mulai gelap.
Ketika itu rombongan Mallaby sedang berada di tempat perhentian trem listrik yang terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30.
Ternyata kendaraan beroda empat yang ditumpangi Mallaby meledak dan ditemukan Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen Mallaby ini memancing kemarahan pasukan Inggris.
Pada tanggal 9 November 1945, Mayjen E.C. Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum semoga pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.
Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari Darat, Laut, dan Udara, apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum itu.
Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “………semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus tiba selambatlambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendera merah putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak 100 m dari tempat berdiri, kemudian mengangkat tangan tanda menyerah.”
Akhirnya pertempuran berkobar di Surabaya. Inggris mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya.
Pada tanggal 10 November 1945, terjadi pertempuran sengit di Surabaya. Salah satu tokoh pemuda, yaitu Sutomo
(Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan semangat juang arek-arek Surabaya.
Pada dikala terjadi pertempuran di Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan rakyat melalui pidato-pidatonya.
Di dalam pidatonya melalui radio yang begitu berapi-api dan selalu dimulai dan diakhiri dengan teriakan takbir, “Allahu Akbar”.
Tokoh lain, contohnya Ktut Tantri, yakni perempuan Amerika yang juga aktif dalam mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan Bung Tomo.
Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota, pada tanggal 9 November 1945 pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4. Kota Surabaya dibagi dalam 3 sektor pertahanan, yaitu Sektor Barat, Tengah dan Timur.
Sektor Barat dipimpin oleh Kunkiyat, Sektor Tengah antara lain dipimpin oleh Marhadi, sedangkan Sektor Timur dipimpin oleh Kadim Prawirodiarjo.
Sementara itu Sukarno memperabukan semangat juang rakyat lewat radio. Sesudah batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin ekplosif.
Kontak senjata pertama terjadi di Perak, yang berlangsung hingga jam 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan pertama.
Gerakan pasukan Inggris disertai dengan pengeboman yang ditujukan pada target yang diperkirakan menjadi tempat pemusatan pemuda.
Surabaya yang telah digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan oleh para perjaka hampir 3 ahad lamanya. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih, walaupun pihak Inggris menggunakan senjata-senjata modern dan berat.
Pertempuran yang terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan.
Markas pertahanan Surabaya dipindahkan ke desa yang terkenal dengan sebutan Markas Kali. Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia dari segala bentuk penjajahan.
Pertempuran di Surabaya telah memperlihatkan begitu heroiknya para pejuang kita untuk melawan kekuatan asing. Untuk mengenang, insiden itu, maka tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
d. Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR dan perjaka Indonesia melawan pasukan Inggris.
Latar belakang dari insiden ini dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang setelah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.
Oleh pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang.
Ternyata mereka diboncengi oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu.
Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden Magelang yang menjelma pertempuran antara TKR dan tentara Sekutu.
Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945.
Mereka mengadakan negosiasi gencatan senjata dan tercapai kata sepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya sebagai berikut.
1) Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melaksanakan kewajibannya melindungi dan mengurus penyelamatan Allied Prisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu);
2) Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi kemudian lintas IndonesiaSekutu; dan
3) Sekutu tidak akan mengakui kegiatan NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melaksanakan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
Pasukan TKR bersama perjaka dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.
Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melaksanakan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur pasukan Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.
Sementara itu, Batalion Imam Adrongi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian disusul 3 batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Suharto, batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalion Sugeng.
Musuh jadinya terkepung.
Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan dengan mengadakan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan Indonesia dari belakang dengan tanktanknya.
Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono. Dengan proteksi resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini, batalion Polisi spesial yang dipimpin Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu.
Di Desa Jambu para komandan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.
Rapat itu menghadirkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di Magelang. Sejak dikala Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor Selatan, sektor Barat dan sektor Timur.
Kekuatan pasukan bertempur secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yaitu Letkol Isdiman gugur.
Setelah mengetahui Isdiman gugur maka pimpinan pasukan TKR Purwokerto Kolonel Sudirman turun pribadi memimpin pasukan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa. Kolonel Sudirman menyodorkan taktik perang Supit Urang.
Taktik ini segera diterapkan. Musuh mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR.
Sejak dikala itu, pimpinan pasukan TKR Purwokerto dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
Pada tanggal 5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan yang terdepan. Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR bergerak menuju target masingmasing.
Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melaksanakan pertempuran.
Pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting lantaran letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka sanggup mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta, Magelang dan Yogyakarta.
Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan yang gemilang. Menyambut kemenangan itu Sudirman yang masih berpakaian perang pribadi mengambil air wudu dan segera melaksanakan sujud syukur seraya berdoa: Ya Allah ya Tuhan, Maha Besar dan Maha Kuasa Engkau.
Engkaulah sumber kekuatan dan kemenangan. Ampunilah hamba-Mu yang lemah dan dhaif ini dan berikan kami kekuatan”.
Kemenangan pertempuran Ambarawa ini cepat menyebar ke pos-pos pertahanan TKR, bahkan hingga ke dapur-dapur umum. Hal ini semakin menambah semangat juang pada pejuang di medan tempur.
Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin terkenal sebagai komandan dan pimpinan TKR. Kemenangan ini juga memperlihatkan bahwa Republik Indonesia masih mempunyai pasukan yang berpengaruh yaitu pasukan TKR dan rakyat yang menolak kembalinya penjajah di bumi pertiwi Indonesia. Untuk mengenang pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan Hari Infanteri. Di Ambarawa juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.
e. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan.
Pemerintahan RI Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Medan, mirip Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan lainnya, lantaran menghormati kiprah mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan.
Sehari setelah mendarat, tim dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan.
Ternyata kelompok itu pribadi dibuat menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu, maka tampaklah perubahan perilaku dari bekas tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak lantaran merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara impulsif oleh para pemuda.
Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang digunakan oleh salah seorang yang ditemuinya.
Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda Insiden ini menjalar ke banyak sekali kota mirip Pematang Siantar dan Brastagi.
Sementara itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 dibuat TKR Sumatra Timur dengan pimpinannya Ahmad Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan terhadap bekas Giyugun dan Heiho ke Sumatra Timur.
Panggilan ini menerima sambutan luar biasa dari mereka. Di samping TKR, di Sumatra Timur terbentuk juga badan-badan usaha yang semenjak 15 Oktober 1945 menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur dan kemudian berganti nama menjadi Pesindo.
Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, Inggris memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan Republik dengan cara memperlihatkan ultimatum kepada bangsa Indonesia semoga menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Hal ini dilakukan pula oleh Kelly terhadap perjaka Medan pada tanggal 18 Oktober1945.
Sejak dikala itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak Inggris. Demikian pula pasukan Sekutu mulai melaksanakan aksi-aksi terornya, sehingga timbul rasa permusuhan di kalangan pemuda.
Patroli-patroli Inggris tidak pernah merasa aman, lantaran pemerintah Republik Indonesia tidak memperlihatkan jaminan keamanan.
Meningkatnya korban di pihak Inggris menimbulkan mereka memperkuat kedudukannya dan menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di banyak sekali sudut pinggiran kota Medan. Tindakan pihak Inggris itu merupakan tantangan bagi para pemuda.
Pihak Inggris bersama NICA melaksanakan agresi pencucian terhadap unsur-unsur Republik yang berada di kota Medan.
Para perjaka membalas aksi-aksi tersebut, setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan, bahkan seringkali terjadi tembak menembak. Pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha menghancurkan konsentrasi TKR di Trepes.
Selanjutnya TKR menculik seorang perwira Inggris dan menghancurkan beberapa truk. Dengan insiden ini Jenderal Kelly kembali mengancam para perjaka semoga menyerahkan senjata mereka. Barang siapa yang nyata-nyata melanggar akan ditembak mati.
Daerah yang ditentukan yakni kota Medan dan Belawan. Perlawanan terus memuncak, pada bulan April 1946 tentara Inggis mulai berusaha mendesak pemeintah RI ke luar kota Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar.
Dengan demikian Inggris berhasil menguasai kota Medan. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area.
Pertemuan tetapkan dibentuknya satu komando yang berjulukan “Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area” yang dibagi atas 4 sektor dan bermarkas di Sudi Mengerti (Trepes). Di bawah komando inilah mereka meneruskan usaha di Medan Area.
f. Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para perjaka untuk merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang Pindad) dan berlangsung terus hingga kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada 17 Oktober 1945.
Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA melaksanakan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran.
Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia.
Namun, semangat juang rakyat dan para perjaka yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan usaha semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran terjadi.
Pada bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin panglima TKR, Aruji Kartawinata.
Dewan usaha ini terdiri atas wakil-wakil TKR dan banyak sekali kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum semoga para pejuang menyerahkan senjata dan mengosongkan Bandung Utara.
Ternyata ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para perjaka melaksanakan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung di bawah Sekutu.
Penculikan juga sering terjadi. Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Dalam suasana yang demikian itu, Majelis Dewan Perjuangan tidak sabar menunggu reaksi dari pemerintah. Majelis yang terdiri dari banyak sekali kesatuan ini tetapkan untuk melancarkan perlawanan.
Pada malam hari tanggal 24 - 25 November 1945 rakyat Bandung melancarkan serangan terhadap posisi-posisi Sekutu dan NICA. Tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum.
Isi ultimatum itu yakni semoga TRI mengosongkan seluruh kota Bandung dan mundur ke luar kota dengan jarak 11 km. Untuk menghindari penderitaan rakyat dan kehancuran kota Bandung, maka Pemerintah RI menyetujui untuk melaksanakan pengosongan kota Bandung.
Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi menginstruksikan rakyat untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946.
Malam harinya bangunan-bangunan penting mulai dibakar dan ditinggalkan mengungsi ke Bandung Selatan oleh sekitar 200.000 warganya. Kota Bandung yang terbakar ini juga disaksikan oleh istri Otto Iskandardinata yang masih menunggu kabar kepastian hilangnya sang suami.
Warga mengungsi dengan membawa barang seadanya, sebagian mengatur perjalanan ke pengungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen kota, sebagian memperabukan gedung-gedung penting, bahkan meledakkan bangunanbangunan besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya gudang mesiu yang diledakkan oleh Mohammad Toha yang gugur bersama ledakan. Tengah malam kota Bandung yang terbakar telah ditinggalkan.
Menyisakan kenangan usaha Bandung Lautan Api. Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars Halo Halo Bandung diciptakan.
Kemudian monumen pun didirikan di lapangan Tegalega. Sineas pun tak luput menjadikan insiden tersebut dalam film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan Api” karya Alam Rengga Surawijaya.
Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra juga mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua wacana Bandung Lautan Api.
g. Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, hingga pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang dikala itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar menerima kiprah dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional Indonesia.
Sementara itu, para perjaka Sulawesi memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru.
Atas inisiatif Manai Shopian dan kawan-kawan, dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat itu tentara Sekutu dengan cepat sanggup menguasai Indonesia belahan Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk memberikan gosip proklamasi ke penjuru Sulawesi menerima halangan dari tentara Sekutu.
Para perjaka mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok perjaka yang terdiri dari bekas Kaigun, Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya.
Akibat insiden itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan perjaka dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng.
Bahkan Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua. Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mulamula gosip diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh tentara Jepang.
Saat itu yang bertugas memimpin Heiho yakni Idie Heiso dan Sudamitsu Heiso. Sementara gosip proklamasi gres diketahui oleh rakyat Muna, dikala Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari.
Di Buton gosip proklamasi diterima rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari orang-orang Jepang yang tiba ke Makassar. Mula-mula gosip itu diterima di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi).
Di Sulawesi Tengah, gosip proklamasi diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat.
Berita itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara Heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu menyampaikan “Bangsa Indonesia sudah merdeka”. Di Manado, gosip proklamasi pertama kali diterima di markas besar tentara Jepang yang berkedudukan di Minahasa.
Di Markas itu terdapat alat-alat sarana komunikasi yang mempekerjakan tenaga Indonesia diantaranya yakni A.S. Rombot. Saat itu, Rombot sedang menerima kiprah untuk mendapatkan gosip Domei dari Tokyo. Pada dikala itulah gosip wacana proklamasi yang disebarkan di seluruh penjuru dunia itu diketahuinya, tepatnya pada 18 Agustus 1945.
Berita itu diterimanya bersamaan dengan gosip kapitulasi Jepang dan perintah genjatan senjata. Segera setelah bertugas Rombot mengontak W.F. Sumati yang dikala itu sebagai daidancho boo ei Teisintai di Tondano.
Kedua tokoh itu kemudian memberikan gosip proklamasi itu ke tokoh-tokoh nasionalis. Berita itu kemudian disebarkan ke Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo.
Setelah gosip proklamasi kemerdekaan tersebar keseluruh penjuru Sulawesi, semenjak itu pula bendera merah putih mulai berkibar menjadi lambang Indonesia merdeka. Cita-cita yang sudah usang diinginkan oleh rakyat pun terwujud. Di Sulawesi Tenggara misalnya, bendera merah putih dikibarkan pada 17 September 1945 dengan dipimpin oleh D. Andi Kasim.
Di Lasusua bendera merah putih dikibarkan pada 5 Oktober 1945 yang dihadiri oleh kepala distrik Patampanua dan beberapa pimpinan perjaka RI dari Luwu.
Sementara itu, pada 14 Februari 1946, B.W. Lapian sebagai pemimpin sipil pada dikala itu memimpin pasukan perjaka bersama Letkol. Ch. Taulu dan Serda S.D. Wuisan merobek belahan biru pada bendera Belanda di tangsi militer Belanda, di Teling, Menado. Peristiwa heroik itu menandai berkibarnya bendera merah putih.
h. Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi adonan dan pertempuran bahari pertama semenjak berdirinya negara Republik Indonesia. insiden itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 3 Maret 1946.
Hal ini dimaksudkan Bali sebagai kerikil loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga sanggup dijadikan penghubung ke arah Australia.
Dengan perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin usaha yang sudah hingga di Jawa berusaha mencari proteksi dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Markadi atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk.
Pasukan itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Markadi sebelumnya bertugas mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, lantaran makin lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.
Kondisi itu mendorong Letjen. Urip Sumoharjo di Markas Besar TRI Yogyakarta untuk tetapkan memperkuat TRI Sunda Kecil dengan proteksi senjata dan amunisi kepada I Gusti Ngurah Rai.
Untuk itulah Pasukan M berperan penopang Pasukan Sunda Kecil di bawah Pimpinan Ngurah Rai. Pasukan ini juga dilengkapi pasukan sandi yang disebut CIS (Combat Intelligent Section) yang terdiri dari para pelajar.
Disiapkanlah tiga pasukan untuk memblokade pasukan Belanda. Pasukan angkatan bahari dipimpin oleh Kapten Makardi dan Waroka.
Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Operasi itu direncanakan melalui tiga titik pendaratan. Pasukan Waroka mendarat di Pantai Gerokgak dan Celuk Bawang.
Pasukan Markadi mendarat di antara Cupel dan Candi Kusuma, Jembrana dan Pasukan I Gusti Gurah Rai mendarat di Pantai Yeh Kuning.
Operasi belakang layar itu ditujukan untuk mendapatkan informasi intelijen yang akurat. Pasukan diberangkatkan dari Muncar Banyuwangi dengan target tempat Kuning dan terus ke Munduk Malang. Penyeberangan dilaksanakan malam hari.
Rombongan ini dalam penyeberangannya di tengah bahari dipergoki oleh patroli Belanda dan pribadi menembaki ke arah rombongan pasukan Ngurah Rai.
Akibatnya Cokorde Rai Gambir dan Cokorde Dharma Putra gugur. Sebagian berhasil mendarat di Yeh Kuning dan sebagian lagi di bawah Ngurah Rai kembali ke Muncar.
Keesokan harinya tanggal 4 April 1946, rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya menuju Munduk Malang.
Gelombang ketiga, Pasukan M sebagai induk pasukan berangkat pada tanggal 4 April 1946 malam hari. Mereka berangkat dari pelabuhan Banyuwangi dengan berkekuatan empat peleton. Sasarannya akan mendarat di tempat Candikusuma.
Saat fajar menyingsing, rombongan Pasukan M dipergoki oleh dua motorboat Belanda yang sedang berpatroli.
Terjadilah pertempuran antara Pasukan M melawan patroli Belanda. Dengan taktik melekat pada motorboat Belanda, Pasukan M sulit untuk ditembaki Belanda.
Sebaliknya, Pasukan M sanggup melemparkan granat-granat tangan ke dek motorboat. Akhirnya, satu motorboat Belanda terbakar dan karam serta yang satunya melarikan diri.
Setelah berhasil menghancurkan patroli Belanda, Pasukan memerintahkan untuk putar haluan kembali ke Banyuwangi, lantaran arus bahari yang berpengaruh dan kapal Markadi sendiri berlobang-lobang. Dalam perang ini, pihak Pasukan M gugur dua orang, yakni Sumeh Darsono dan Sidik.
Keesokan harinya, Pasukan M kembali berlayar menuju Bali dan mereka berhasil melaksanakan pendaratan di Klatakan, Melaya, dan Candikusuma. Sesampainya di Bali dilakukan koordinasi dan dibuat MGGSK (Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil).
Kemudian pada bulan Juli 1946, juga terjadi pendaratan pasukan tempur yang dipimpin oleh Kapten Saestuhadi.
Setelah itu terjadilah pertempuran di banyak sekali daerah. Mula pertama pasukan MGGSK dihadang oleh pasukan Belanda di Klatakan. Terjadilah pertempuran sengit. Pasukan MGGSK terdesak dan pemimpin yang gugur, antara lain Kapten Saestuhadi, Kapten Suryadi, dan Letnan Nurhadi.
Selanjutnya, Pasukan M melaksanakan penyerangan ke banyak sekali daerah, antara lain, di Gilimanuk Cekik, Penginuman, Candikusuma, Cupek, Negara, Sarikuning, Pulukan, Gunungsari, Klatakan, Munduk Malang, Tabanan, dan Celukan Bawang.
Untuk mengenang usaha pasukan kita yang gugur dalam operasi lintas laut, maka di tempat Cekik, Gilimanuk didirikan monumen yang dinamakan Monumen Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.
TULISANN
Lihllllll
TULISANN
Lihllllll
0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xi Cuilan 7 Revolusi Menegakan Panji-Panji Nkri"