Sejarah Indonesia Xi Pecahan 4 Sumpah Cowok Dan Jati Diri Keindonesiaan

Adanya pendidikan/sekolahsekolah akan memunculkan kaum terpelajar. Kaum muda berakal inilah kemudian memelopori lahirnya kebangkitan nasional di Indonesia.

Hal ini juga dipacu oleh adanya surat kabar-surat kabar yang sudah terbit ketika itu sehingga mempercepat berkembangnya semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia.

Dengan demikian, berkembanglah masa pergerakan kebangsaan, suatu periode yang sangat penting dalam sejarah usaha bangsa.

Dalam periode pergerakan kebangsaan ini telah terjadi bencana yang sangat penting dan monumental, yakni bencana Sumpah Pemuda.

Peristiwa ini sanggup dikatakan sebagai titik puncak dari sebuah usaha untuk mempersatukan seluruh bangsa menuju impian kemerdekaan Indonesia.

Pada uraian ini kita akan berguru ihwal makna nilai-nilai Sumpah Pemuda bagi kehidupan berbangsa, terutama dalam rangka memperkokoh jati diri keindonesiaan.

Memasuki era ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara.

Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, bila perlu dengan pendekatan militer.

Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi gres yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica.

Pemerintah kolonial pun melaksanakan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem manajemen tradisional berubah ke sistem manajemen modern.

Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial.

Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin kawasan ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar korelasi tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.

Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menyebabkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia.

Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata.

Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme itu masih bersifat lingkup kawasan atau wilayah tertentu.

Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masingmasing kawasan atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba.

Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan

Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia.

Pengalaman ini memperlihatkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan pada persatuan dan kesatuan.

Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang.

Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.

Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer.

Ia membuat goresan pena yang berjudul “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899).

Dalam tulisannya Van Deventer menyampaikan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh laba yang besar.

Oleh lantaran itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang kebijaksanaan itu dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan

Kritikan itu mendapat perhatian dari banyak sekali kalangan.

Beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memperlihatkan balas budi.

Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan.

Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui banyak sekali bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan.

Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Belanda.

Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan gres bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan gres itu ialah Politik Etis.

Awal era ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).

Ada tiga jadwal Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik Etis membawa dampak besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan.

Pada era itu pula muncul simbol gres yaitu “kemajuan”.

Dunia mulai bergerak dan banyak sekali kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura.

Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu.

Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memperlihatkan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.

Di samping itu, pemerintah juga melaksanakan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan kawasan di Sumatera.

Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada ketika itu. Semangat era etis ialah kemajuan menuju modernitas.

Perluasan pendidikan gaya Barat sebagai model pendidikan modern merupakan tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu.

Pendidikan itu hanya saja menghasilkan tenaga kerja yang diharapkan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.

Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/ Indonesia.

Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.

Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar ialah guru dan jurnalis di kota-kota.

Pendidikan dan pers itu pula menjadi sarana untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda.

Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun lantaran mereka ialah bumiputra.

Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan sesudah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang bau tanah mereka.

Para kaum muda berakal inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna gres bagi kaum pelajar terdidik ketika itu.

Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia.

Mereka saling membuatkan pengalaman, gagasan, dan perkiraan ihwal dunia, Hindia, dan zaman mereka.

Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya.

Mereka menggerakkan wacana perubahan di forum tersebut.


Pada awal era ke-20, para priyayi gres menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan.

Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi terkenal pada ketika itu.

Kemajuan ketika itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup.

Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional.

Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan.

Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers ketika itu ialah orang Indo menyerupai H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi

Pada era itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat.

Dalam perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian tugas mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa.

Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka.

Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan era ke-20 ialah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.

Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.

Bermunculannya media cetak itu segera diikuti dengan munculnya sejumlah jurnalis bumiputra lainnya.

Mereka ialah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya ialah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee.

Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co.

Para jurnalis bumiputra itulah yang memperlihatkan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentarkomentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar ialah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi.

Mereka juga mendapat tunjangan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).

Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, menyerupai Surabaya, Padang, dan Semarang.

Kebudayaan cetak mempermudah kaum terdidik untuk memperoleh informasi.

Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kolaborasi para berakal di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, andal bahasa Melayu.

Ketua redaksi majalah itu ialah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli.

Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”.

Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde ialah dongeng kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”.

Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”.

Ulasan ihwal perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”.

Majalah itu tidak saja memuat artikel ihwal bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat ihwal info Asia dan Eropa.

Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang gres tiba dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi.

Dalam tulisantulisannya pada surat kabar Bintang Hindia, ia selalu memuat ihwal “kemajuan” dan “dunia maju”.

Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda.

Menurut Rivai, kaum muda ialah orang yang senantiasa ingin mendapat harga diri melalui pengetahuan dan ilmu.

Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan semoga ada organisasi berjulukan Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.

Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan goresan pena Rivai.

Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam goresan pena itu disarankan semoga kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat.

Gagasan Wahidin karenanya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi berjulukan Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya sanggup dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).

Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan perempuan pertama yang terbit terencana yaitu Poetri Hindia (1908-1913).

Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat ihwal tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan lantaran mereka bersatu”.

Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI).

Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi.

Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui goresan pena di media cetak.

Begitu pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913).

Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi ihwal panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau.

Sementara itu, bawah umur muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa kendala adat yang mengekang. Wacana kemajuan terus merebak melalui pers.

Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada ketika itu. Harian Sinar Djawa, memuat ihwal perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin.

Surat kabar tersebut memuat dua hal penting, yaitu ihwal “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”.

Bangsawan permintaan ialah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain.

Bangsawan pikiran ialah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.

Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial ketika itu ialah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ideide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial.

Puncaknya ketika Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913).
Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda.

Di balik itu tujuan Komite Bumiputra ialah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana tunjangan dari rakyat. Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi Seorang Belanda”).

Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda yang tidak tahu aib lantaran minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk perayaan kemerdekaan negara yang menjajah.

Pemerintah Kolonial Belanda menilai goresan pena itu sanggup menghasut rakyat untuk melawan pemerintah.

Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode.

Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, alasannya sudah mencetak dan menyebarluaskan goresan pena itu.

Pemerintah kolonial selanjutkan menetapkan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa.

Cipto pada awalnya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda. Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers ialah Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia.

Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara.

Seorang penggagas dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap jadwal Indie Weerbaar dalam bentuk syair.

Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar ialah orang Eropa.



Keberadaan kaum muda berakal sangat cocok dan responsif terhadap berkembangnya paham-paham baru, apalagi paham yang ikut menggelorakan kemerdekaan.

Pada ketika itu di Eropa sedang tumbuh subur paham-paham yang terkait dengan kemajuan, kebebasan, kemerdekaan sebagai dampak dari Revolusi Perancis.

Paham-paham itu contohnya liberalisme, nasionalisme, sosialisme. Pada awal era ke-20, paham nasionalisme memasuki wilayah Indonesia.

Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya kaum muda terpelajar.

Pemikiran mereka semakin rasional, wawasannya semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham gres di Indonesia. Paham gres itu contohnya nasionalisme.

Paham ini telah mendorong lahirnya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam suatu bangsa, Bangsa Indonesia.

Kesadaran ini kemudian mendorong untuk merubah dan menyempurnakan taktik usaha bangsa yang selama ini telah dilakukan.

Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka munculnya kaum terpelajar, tugas pers/media cetak, dan paham-paham baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh beberapa bencana dunia.

Misalnya adanya Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, Gerakan Nasional di India dan Filipina.

Sekalipun didorong oleh banyak faktor, kesadaran berbangsa dan kebangkitan nasional yang muncul di Indonesia tidak lepas dari bentuk antitesis terhadap penjajahan dan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Belanda.

Kesadaran bersama muncul bahwa untuk melaksanakan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, bentuk dan strateginya harus sudah berubah.

Bentuk diplomasi dan melalui banyak sekali organisasi pergerakan dipandang lebih tepat.

Dipelopori oleh kaum berakal kemudian lahirlah banyak sekali organisasi pergerakan nasional. Organisasi pergerakan itu ada yang bercorak sosio-kultural, politik, keagamaan tetapi juga yang sekuler, kedaerahan tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok cowok tetapi juga ada kelompok perempuan.

Dalam taktik ada yang kooperatif dan ada juga non-kooperatif. Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang bersifat sosio-kultural.

Organisasi ini didirikan antara lain oleh Sutomo, Gunawan atas rintisan Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 20 Mei 1908.

Tujuannya untuk mengumpulkan dana guna membantu kaum bumiputera yang kekurangan dalam menempuh pendidikan.

Organisasi yang berikutnya ialah Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini lahir lantaran adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang berjulukan Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H. Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto.

Pada tahun 1912 itu juga berdiri organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro.

Setelah itu IP berkembang pesat di banyak sekali kawasan di Indonesia.

Dari bidang keagamaan contohnya ada Muhammadiyah yang bersifat modern, yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta.

Organisasi ini, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.

Tujuannya antara lain memurnikan pedoman Islam sesuai dengan pedoman AlQuran dan Al-Hadis.

Tindakannya ialah amar makruf nahi munkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini ialah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya.

Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Organisasi ini tetap mempertahankan tradisi yang sudah usang berkembang di kalangan ulama.

Tujuan organisasi ini terkait dengan duduk masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kedua oraganisasi Islam ini kini merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di Indonesia.

Dari kalangan kaum Kristiani juga membentuk organisasi antara lain didirikannya Perkumpulan Politik Nasrani Jawi (PPKJ). Organisasi ini didirikan I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. Organisasi ini juga bergerak di bidang sosial pendidikan. Tujuannya turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan Indonesia

Organisasi lain yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan yang bersifat nasional contohnya Taman Siswa.

Organisasi ini didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal nama Ki Hajar Dewantoro.

Tujuannya lebih diarahkan pada upaya memajukan pendidikan bagi bumiputera.

Pendidikan yang ditawarkan ialah sistem pendidikan nasional yang berdasarkan kepada kebudayaan orisinil Indonesia.

Asas usaha Taman Siswa ialah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.

Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat. Ki Hajar Dewantoro diakui sebagai bapak pendidikan di Indonesia. Ia telah meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Organisasi pergerakan lainnya yang bersifat nasionalis, contohnya Perhimpunan Indonesia (PI). Pada mulanya organisasi ini berjulukan Indische Vereniging didirikan pada tahun 1908 oleh para pelajar/mahasiswa yang berguru di negeri Belanda menyerupai R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat. Kemudian dengan datangnya para penggagas usaha dari Indonesia menyerupai Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, J.B. Sitanala, organisasi ini semakin bernuansa politik kebangsaan.

Bahkan nama Indische Vereeniging diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1925.

Organisasi ini cukup revolusioner dalam memperjuangkan kebebasan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Majalahnya sebagai corong usaha yang semula berjulukan “Hindia Putera” diubah menjadi “Indonesia Merdeka” Asas perjuangannya antara lain: menolong dirinya sendiri (swadaya), non-kooperasi, persatuan nasional.

PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani lantaran dampak Moh. Hatta.

Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya.

Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional.

Mahasiswa secara teratur melaksanakan diskusi dan melaksanakan kritik terhadap pemerintah Belanda.

PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan secepatnya.

Terilhami dengan perkembangan dan usaha PI di Belanda, beberapa tokoh cowok menyerupai Soekarno, Gatot Mangkuprojo dan lain-lain pada 4 Juli 1927 berkumpul untuk mendiskusikan pembentukan organisasi semacam PI.

Setelah melalui serangkaian diskusi dan pertemuan akhirnya, dalam pertemuan di Bandung, di kediaman Ir. Sukarno, tanggal 4 Juli 1927, diresmikanlah berdirinya partai gres yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Sebagai ketua dipercayakan kepada Ir. Sukarno.

Pada Kongres I di Surabaya, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia.

Asas perjuangannya sanggup berdiri diatas kaki sendiri (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme (orientasi kerakyatan).

Organisasi yang bersifat revolusioner yang lain sebelum PNI sebenanrnya sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).

Organisasi ini bekerjsama merupakan kelanjutan dari organisasi Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).

ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet. Tokoh-tokohnya antara lain Semaun, Darsono.

Dengan memperhatikan perkembangan politik, sesudah melalui serangkaian pembahasan, maka pada ketika kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis Hindia.

Kemudian pada bulan Desember 1920 diubah dengan wajah keindonesiaan yakni menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai ketua PKI yang pertama ialah Semaun.

Pada tahun 1921 diterapkan disiplin partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus menentukan salah satu.

PKI bermetamorfosis partai radikal dan sekuler. PKI juga menjadi partai rakyat yang cepat berkembang.

Masa pergerakan kebangsaan ini juga berkembang organisasi cowok dan tidak ketinggalan organisasi para perempuan.

Organisasi cowok yang pertama berdiri di Indonesia ialah Trikoro Darmo.

Organisasi ini dibuat pada tanggal 7 Mei 1915. Organisasi ini diharapkan menjadi wadah pembinaan generasi muda di Indonesia.

Tokohnya antara lain: Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman. Nama Trikoro Darmo ini bermakna mempunyai tiga tujuan utama yakni: sakti, kebijaksanaan dan bakti.

Tujuan dan arah gerakan Trikoro Darmo untuk membuat wadah training dan pembinaan generasi muda/pelajar untuk menjadi pemuka/pemimpin nasional yang cinta tanah air.

Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di lingkungan cowok ini juga berkembang gerakan kepanduan yang umumnya dimiliki oleh organisasi induknya.

Misalnya Muhammadiyah mempunyai organisasi kepanduan Hizbul Wathan (HW). Sementara itu itu di lingkungan kaum perempuan juga berkembang organisasi wanita.

Organisasi yang pertama ialah Puteri Mardika. Organisasi ini dibuat pada tahun 1912 atas prakarsa BU.

Melihat beberapa organisasi yang berkembang di masa pergerakan kebangsaan, terang orientasinya ialah untuk kemajuan bangsa.

Bahkan ada beberapa organisasi yang secara terang-terangan bertujuan untuk pembebasan Indonesia dari penjajahan. Namun organisasi-organisasi itu masih berkembang sendiri-sendiri.

Oleh lantaran itu, untuk memperkuat usaha banyak sekali organisasi menuju impian mulia yakni pembebasan rakyat dari belenggu penjajahan atau kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan.

Hal inilah yang mendorong para cowok berjuang untuk sanggup mempersatukan banyak sekali organisasi dan partai yang ada di Indonesia.

TULISANN

TULISANN

Related : Sejarah Indonesia Xi Pecahan 4 Sumpah Cowok Dan Jati Diri Keindonesiaan

0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xi Pecahan 4 Sumpah Cowok Dan Jati Diri Keindonesiaan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)